*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta kini disebut bandara Adi Sucupto. Nama lapangan bandara ini mengambil nama Adi Soetjipto yang turut dalam penerbangan dari Singapoera yang jatuh di dekat Jogjakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Peristiwa ini menjadi polemik karena pihak RI melalui Radio Jogjakarta membawa obat-obatan atas nama palang merah, tetapi pihak Belanda menduga jatuh karena kelebihan beban yang terbang rendah dan menambrak pohon kelapa. Pihak Inggris di Singapoera pesawat tidak menjalankan prosedur penerbangan normal dan Belanda berhak menembak pesawat di wilayahnya.
Lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta kini disebut bandara Adi Sucupto. Nama lapangan bandara ini mengambil nama Adi Soetjipto yang turut dalam penerbangan dari Singapoera yang jatuh di dekat Jogjakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Peristiwa ini menjadi polemik karena pihak RI melalui Radio Jogjakarta membawa obat-obatan atas nama palang merah, tetapi pihak Belanda menduga jatuh karena kelebihan beban yang terbang rendah dan menambrak pohon kelapa. Pihak Inggris di Singapoera pesawat tidak menjalankan prosedur penerbangan normal dan Belanda berhak menembak pesawat di wilayahnya.
Berita Dakota dan Adi Soetjipto, 1947 |
Lantas bagaimana
sesungguhnya duduk soal jatuhnya pesawat Dakota yang dimiliki
sebuah maskapai di India yang membawa obat-obatan dari Singapoera ke
Jogjakarta? Tentu saja kejadian tersebut sudah banyak ditulis dan dapat dibaca
dalam berbagai versi di internet. Bacaan-bacaan tersebut tentu saja berguna,
tetapi artikel ini coba menyarikan berita-berita yang ada pada seputar waktu
dan tempat kejadian. Mari kita telusuri beritanya pada surat kabar pasca kejadian.
Pesawat Dakota dan Adi Soetjipto
Perseteruan Belanda dan
Indonesia dari hari ke hari semakin meningkat setelah ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke
Djocjakarta. Ini dimulai setelah pasukan Sekutu/Inggris menyelesaikan tugasnya di
Indonesia dalam hal pelucutan militer Jepang dan pembebasan interniran
Eropa/Belanda. Di satu pihak permusuhan Belanda dan Indonesia semakin memuncak
di pihak lain Indonesia (di Djogjakarta) mulai membangun aliansi (paling tidak
di bidang perdagangan) dengan Australa dan Semenanjung (Malaya dan Singapoera)
yang tergabung dalam persemakmuran Inggris. Aliansi ini juga terjadi dalam
bidang transportasi (udara).
Kerjasama perdagangan ini dimulai
dengan mengangkat G Campbell sebagai kepala perwakilan perdagangan Indonesia di
Australia. G Campbell menjadi orang yang bertanggungjawab untuk kepentingan
perdagangan Indonesia di luar negeri. Salah satu wujud kerjasama ini adalah
pengadaan pertama penerbangan domestik di Indonesia jalur Djogja-Malang (Algemeen
Indisch dagblad, 29-04-1947). Disebutkan bahwa pesawat Dakota pertama dari
Maskapai Indonesia, bernama Glatik telah melakukan penerbangan pertama jalur
Djokja-Malang pada tanggal 28 April dengan membawa 29 penumpang dalam penerbangan
uji coba dengan jarak tempuh sekitar 159 Km dalam satu jam dua puluh menit.
Para kru (pesawat pertama ini) terdiri dari seorang pilot pertama Australia,
seorang pilot kedua Inggris, seorang operator telegraf radio Australia dan
seorang pilot Indonesia, Adi Soetjipto. Inilah untuk kali pertama muncul nama
Adi Sucipto dan maskapai penerbangan Indonesia.
Ketakutan Belanda
semakin meningkat. Ini sehubungan dengan keputusan baru pemerintahan Republik
Indonesia menyatukan Tentara Republik (TRI) dan organisasi-organisasi Laskar
yang disebut sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini baru saja
diumumkan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin Harahap melalui Radio Djogja (Nieuwe
courant, 09-05-1947). Menteri Pertahanan mengatakan tujuannya adalah untuk
membentuk tentara nasional yang dimaksudkan untuk membentuk tentara nasional
yang kuat yang akan mampu mempertahankan kedaulatan republik. Menurut Menteri
Pertahanan Indonesia juga mulai memusatkan perhatian pada masalah sistem
pertahanan bersama untuk Asia Selatan dan meletakkan dasar bagi sistem
pertahanan yang melampaui batas-batas kepulauan Indonesia. Ketakutan ini
akhirnya memicu Belanda melakukan pelanggaran. Dengan kata lain boleh jadi
beranggapan daripada diserang duluan lebih baik menyerang duluan.
Belanda semakin khawatir, Belanda
mulai melanggar perjanjian damai (perjanjian Linggarjati). Pelanggaran ini
dilakukan dalih aksi polisional yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer
Belanda I yang dimulai tanggal 21 Juli 1947. Dalam aksi polisional ini terjadi
berbagai pertempuran dengan Republiken di berbagai tempat. Tentu saja banyak
korban di pihak Republiken.
Pertempuran di darat
menjadi tidak terbendung. Angkatan udara Belanda telah melakukan berbagai
manuver baik untuk tujuan untuk memantau dari udara maupun melakukan serangan
dengan menjatuhkan bom di berbagai tempat. Dalam fase inilah satu tim dibentuk
untuk mendatangkan obat-obatan dari luar negeri untuk digunakan oleh Republik dengan
cara mendistribusikan ke kantong-kantong pertempuran. Tim ini mengangkutnya
dari luar negeri dengan menggunakan pesawat Dakota. Namun naas, pesawat Dakota
yang membawa obat-obatan ini mengalami musibah menjelang pendaratannya di
lapangan terbang Magoewo di Djogjakarta. Dalam penerbangan ini turut serta Adi
Sucipto sebagaimana diberitakan surat kabar yang terbit di Soerabaja Nieuwe
courant, 30-07-1947.
Nieuwe courant, 30-07-1947 |
Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin
Harahap Memimpin Pemakaman
Pesawat Dakota tersebut yang ditembak jatuh oleh dua pesawat tempur Belanda adalah milik Indier Patniak dari Government of Orissa yang mana seminggu sebelumnya telah membawa Perdana Menteri Soetan Sjahrir ke India diharapkan kembali lagi ke Singapoera pada hari Rabu.
Dr Hassan Aljuneid dari Singapura,
kepala Palang Merah Indonesia menyatakan mereka yang berkontribusi pada Palang
Merah Indonesia untuk pengiriman adalah Gubernur Jenderal Malaka Malcolm
MacDonald dan istrinya yang menyumbangkan 500 Straits Dollars, Sementara masing-masing
250 Staits Dollars dari Gubernur Siredward Ghent dari Uni Malaya dan dua orang
Eropa yang tidak ingin disebut namanya, sedangkan United Malaya National Organization
menyumbangkan 5.000 dolar (lihat Algemeen Indisch dagblad, 30-07-1947).
Jatuhnya pesawat Dakota
menjadi simpang siur. Ini dapat dibaca pada surat kabar Algemeen Indisch dagblad, 31-07-1947: ‘Disebutkan
bahwa pesawat tidak melakukan prosedur normal untuk mendapatkan penerbangan
bebas melalui wilayah militer Belanda. Ini diakui oleh seorang pejabat Inggris.
Dua pilot Belanda yang diwawancara mengatakan tidak sedang menembak jatuh
pesawat tetapu jatuh sendiri setelah terbang rendah dan menabrak pohon kelapa.
Kami terlalu jauh di belakangnya. Pilot Letnan Satu Penerbang BJ Ruesink dari
Den Haag dan Sersan Mayor Penerbang WE Erkelens mengatakan lebih lanjut bahwa
pesawat Dakota jatuh disebabkan kebakaran pesawar sendiri dan tampak api dari
samping pesawat. Menurut pilot Belanda bahwa pesawat yang jatuh delapan mil
dari Djogja meledak dengan tiba-tiba.
Mereka yang meninggal
telah dimakamkan sore tanggal 30 Juli empat anggota Angkatan Udara Indonesia
yang tewas dalam Dakota India (Inggris) di Djokja. Upacara tersebut dipimpin oleh
Perdana Menteri Indonesia Amir Sjarifoeddin Harahap yang juga dihadiri anggota
lain dari pemerintah Indonesia. Para korban Inggris akan diperintahkan esoknya
sesuai dengan kebiasaan Kristen atas permintaan Konsul Jenderal Inggris di Batavia,
karena tidak mungkin untuk memindahkan jenazah ke Batavia akan dimakamkan di
Djogja. Catatan: Amir Sjarifoeddin Harahap diangkat menjadi Perdana Menteri RI
sejak tanggal 3 Juli 1947 (sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI).
Atas kejadian tersebut di
Singapoera dilakukan penyelidikan menyeluruh. Sementara itu Palang Merah
Indonesia di Singapura telah menyelenggarakan pertemuan protes malam ini
terhadap apa yang terjadi dengan Dakota. Resolusi akan diajukan, mengecam
tindakan Belanda. Di lain pihak Sekretaris Jenderal Gubernur Jenderal, Sir
Ralph Hone di Singapoera mengatakan bahwa tidak ada otorisasi yang diberikan
sama sekali untuk penerbangan. Pesawat itu tidak memiliki pelat nomor Palang
Merah dan dia pikir Belanda bertindak sesuai dengan hak hukum mereka.
Perwakilan Palang Merah
Internasional di Singapura, Mr. H. Schweizer, sangat terpengaruh oleh insiden
tersebut. Dia menyatakan bahwa dia telah melakukan kontak dengannya untuk
melakukan penerbangan di bawah pengawasan Palang Merah Internasional, tetapi
dia tidak dapat memberikan otorisasi untuk ini, karena dia tidak memiliki izin
dari Jenewa untuk melakukannya. Penerbangan itu adalah penerbangan pribadi, itu
tidak dilakukan untuk Palang Merah atau untuk pemerintah Malaka. Juga muncul
pertanyaan apakah pesawat telah melebihi muatan? Officier bandara di Singapoera
menyatakan pintu pesawat yang akan berangkat dibuka lagi untuk mengeluarkan
seorang pemuda Indonesia, karena pilot tampaknya percaya bahwa pesawat itu
kelebihan muatan.
Lapangan Terbang Magoewo Menjadi
Bandara Adi Sucipto
Pasca perang kemerdekaan
dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Desember 1949), ada dua
infrastruktur strategis yang segera dikuasai oleh orang Indonesia. Dua
infrastruktur tersebut adalah bandara (di berbagai kota) dan pabrik senjata dan
mesiu di Bandoeng. Ini dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di
bidang penerbangan sipil untuk moda transportasi cepat bagi penduduk Indonesia dan
produksi senjata dan mesiu untuk kebutuhan militer Indonesia.
Sejumlah pejabat Indonesia yang
diangkat pada awal tahun 1950 diantaranya Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai
Kepala Penerbangan Sipil yang berkedudukan di Djakarta dan Overste (Letkol) Ir.
AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu
(PSM) yang berkedudukan di Bandoeng. Ir. Tarip Abdullah Harahap lulus tahun 1939
dari departemen teknik sipil dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng (kini ITB).
Ir. AFP Siregar lulus tahun 1940 dari departemen teknik kimia dari Universiteit
te Delft. Ir. AFP Siregar adalah lulusan kedua dari Delft, sedangkan yang
pertama adalah Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo yang pada tahun 1950
diangkat sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia (kini Universitas
Indonesia).
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir
tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader,
Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw
Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto,
Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah
Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal;
sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’.
Pada fase inilah
lapangan-lapangan terbang yang sejak era kolonial Belanda sebagai basis
angkatan udara difungsikan untuk penerbangan sipil, termasuk lapangan terbang
Magoewo di Djogjakarta. Namun persoalannya menjadi muncul karena
pesawat-pesawat militer berukuran kecil-kecil.
Lapangan terbang yang pertama
dikuasai oleh Republiken (pasca pengakuan Indoneisa oleh Belanda 27 Desember
1949) adalah lapangan terbang (vliegveld) di Magoewo. Di lapangan terbang
Magoewo Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution bermarkas.
Di lapangan terbang lainnya seperti Tjililitan di Djakarta dan lapangan terbang
Andir di Bandoeng masih intens pergerakan militer Belanda yang sebagian telah
dipulangkan ke Belanda. Setelah mulai kondusif Kolonel Abdul Haris Nasution
pindah ke Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-01-1950).
Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai
Kepala Penerbangan Sipil dari Kementerian Perhubungan memimpin langsung untuk melakukan
tugas-tugas pemeriksaan terhadap sejumlah lapangan terbang di Indonesia yang
dimulai di Tjililitan dan Magoewo. Namun tidak semua lapangan terbang dapat
dengan mudah dilakukan terutama di Makassar sehubungan dengan masih adanya properti
militer Belanda. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-05-1951: 'Ir. Tarip Abdullah Harahap di Makasser, Kepala
Departemen Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan berdiskusi dengan tentara
dan administrasi sipil, menyangkut rencana untuk memulihkan hubungan udara
antara Djakarta dan Ambon melalui Makasser’. Lapangan terbang di Makassar dan
Ambon adalah lapangan terbang pertama di luar Jawa yang mendapat rehabilitasi
dan renovasi untuk keperluan penerbangan sipil. Setelah itu baru Medan
sebagaimana dilaporkan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952: Di
Medan telah dibentuk sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka
mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melakukan studi
persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan
pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap
(ketua)’.
Upaya rehabilitasi dan
renovasi lapangan terbang (vliegveld) di berbagai kota tersebut dilakukan
sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah yang telah membeli
(mengakuisisi) sebanyak delapan pesawat jenis Convalrs (lihat De vrije pers :
ochtendbulletin, 29-09-1950). Disebutkan bahwa Dr. E. Van Konijnenburg, Direktur
(maskapai) Garuda mengatakan bahwa akan melakukan akuisisi delapan
Convairliners, (maskapai) Garuda akan mengeluarkan anggaran total lebih dari 70
juta Ruplah’. Pesawat jenis Convalrs memiliki badan yang lebih besar dari jenis
Dakota.
Tidak seperti perusahaan
strategis seperti Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandoeng yang harus dimiliki
dan dipimpin oleh anak negeri (Ir. AFP Siregar), perusahaan-perusahaan non
strategis pemerintah beberapa diantaranya dalam bentuk joint venture (Garuda dengan
KLM) dan pengelolaannya diberikan kepada profesional asing seperti Direktur
Garuda, Dr. E. Van Konijnenburg, Hingga awal tahun1951 jumlah armada Garuda
Indonesian Airways sudah mencapai 38 buah pesawat (lihat De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 05-05-1951). Disebutkan bahwa Mr van Houten,
wakil direktur Garuda Indonesla Airways telah mengumumkan bahwa GIA saat ini
memilik 8 buah Convalrs, 22 buah Dakota dan 8 buah Catalinas’. Pesawat GIA
jenis Convalrs secara bertahap akan menggantikan jenis Dakota (lihat Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-12-1952).
Sementara Perusahaan
Garuda Indonesian Airways (GIA) terus meningkatkan kapasitasnya sebagai
operator tunggal di Indonesia, Kementerian Perhubungan cq Direktorat
Penerbangan Sipil yang dipimpin Ir. Tarip Abdullah Harahap terus bekerja keras
untuk membenahi secara bertahap sejumlah lapangan terbang di berbagai kota.
Lapangan terbang Tjililitan dan lapangan terbang Magoewo mendapat perhatian
khusus sebab dua lapangan terbang ini menghubungkan jalur udara paling intens.
Sementara itu, rehabiitasi dan renovasi lapangan terbang lainnya terus
dilakukan.
Java-bode:nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954: 'Ir. Harahap dari direktora
penerbangan sipil, lapangan terbang di Den Pasar, Sumbawa. Waingapu, Kupang, Maumere
dan Makassar dan lainnya menginspeksi bandara di bagian timur Indonesia'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar