*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Pendudukan Inggris (1812) memisahkan Bangka
daan Belitung dari Residentie Palembang. Pada saat kembalinya Pemerintah Hindia
Belanda berkuasa, kepulauan Bangka dan kepulauan Belitung dijadikan sebagai
satu residentie tersendiri pada tahun 1822. Lalu kemudian pada tahun 1851 di
pulau Belitung dibentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda dengan menampatkan
seorang Asisten Residen di Tandjoeng Pandan. Semua itu harus berakhir dengan
terjadinya pendudukan Jepang pada tahun 1942 (yang menjadi pemutus Pemerintah
Hindia Belanda dengan terbentuknya Pemerintah Republik Indonesia).
Tanggal 1 Januari 1939 berlaku peraturan baru di wilayah Belitung, yang berarti Pulau Belitung sudah diberi hak untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi beberapa keadaan, misalnya Onder-afdeling Belitung meliputi 2 distrik yaitu, Distrik Belitung Barat dan Distrik Belitung Timur, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang. Tentara Jepang menduduki Pulau Belitung pada bulan April 1944, pemerintahan dikedua distrik dikepalai oleh Gunco. Pada awal tahun1945 oleh Jepang di Belitung dibentuk Badan Kebaktian Rakyat yang bertugas membantu pemerintahan. Masa pendudukan Jepang tidak lama, selanjutnya perubahan kembali terjadi ketika tentara Belanda kembali menguasai Belitung pada tahun 1946. Pada masa pemerintahan Belanda ini, Onder-afdeling Belitung diperintah kembali oleh Asisten Residen Bangsa Belanda, sedangkan penguasaan distrik tetap dipegang oleh seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd. Pulau Belitung sebagai bagian dari Residensi Bangka - Belitung, beberapa tahun lamanya pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, kemudian menjadi bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul peraturan yang mengubah Pulau Belitung menjadi Neolanchap. Selanjutnya sebagai badan pemerintahan dibentuklah Dewan Belitung pada tahun 1947. Pada waktu pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara tersendiri, bahkan karena sesuatu hal tidak menjadi negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah kekuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati (https://portal.belitung.go.id/sejarah-belitung)
Lantas bagaimana sejarah detik berakhir Pemerintah Hindia Belanda di Bangka dan Belitung? Seperti disebut di atas, cabang pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda telah berlangsung lebih dari satu abad, sejak 1822, tetapi harus berakhir tahun 1942. Dalam fase ini terdapat dua kelompok populasi pribumi dan orang Cina. Lalu bagaimana sejarah detik berakhir Pemerintah Hindia Belanda di Bangka dan Belitung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Detik Berakhir Pemerintah Hindia Belanda di Bangka dan Belitung; Orang Pribumi/Tionghoa vs Orang Cina
Di Residentie Bangka dan Belitung, dari masa ke masa selalu menghadapi masalah stok beras. Kebutuhan beras di Bangka dan Belitung sangat tergantung dari impor. Gejolak harga beras di Bangka Belitung sehingga pemerintah setempat menetapkan peraturan beras pada tanggal 16 Desember 1940. Situasi yang mulai tidak menentu di Asia Timur, persoalan beras di Bangka dan Belitung menjadi persoalan pelik (karena Bangka dan Belitung sangat tergantung beras impor). Itulah gambaran umum di Bangka dan Belitung menjelang berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda.
Selama
ini kebutuhan beras di Bangka dan Belitung diimpor dari Jawa. Hingga pada tahun
1838 importir beras adalah pedagang Cina dan pedagang Belanda, Sejak tahun 1938
pedagang Indonesia diberikan kuota impor. Namun persoalannya tidak sampai
disitu, faktanya beras diimpor dari Jawa, karena produk ekspor Bangka Belitung
seperti karet, lada dan kopra menuju Singapoera, sehingga hasil penjualan itu
menjadi biaya pembelian beras untuk dibawa ke Bangka Belitung (lihat Soerabaijasch
handelsblad, 25-07-1941. Sebelumnya pemerintah telah merencanakan membangun gudang-gudang
penyimpanan beras di Bangka dan Belitung sehubungan dengan situasi yang mulai
tidak menentu dengan perang di Asia Timur (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1941).
Isu lainnya yang juga penting berlaku di Bangka Belitung adalah soal peraturan ketenagakerjaan orang Cina di Bangka Belitung. Hal itu terkait dengan pencabutan peraturan ketenagakerjaan untuk orang pribumi (Koeli Ordonatie) yang telah disetujui pemerintah (lihat De Sumatra post, 03-11-1941). Sementara peraturan ketenagakerjaan untuk orang Cina di Bangka dan Belitung (Chineesch Arbeidersreglement Bangka en Billiton) tetap dipertahankan.
Koeli
Ordonatie yang dicabut pada tahun 1941 ini adalah dua ordonansi yang terakhir
diamandemen yang satu ordonansi 1931 dan satu lagi ordonansi tahun 1936. Koeli
Ordonansi ini pertama kali diterapkan di Deli dan sekitar. Isi peraturannnya
sangat keras dan telah menimbulkan banyak korban kuli asal Jawa. Pada tahun
1918 Parada Harahap, seorang krani telah membongkar kasus koeli ordonantie di
Deli dan mengirimkan laporannya ke surat kabar yang terbit di Medan, Benih
Merdeka. Laporan tersebut kemudian diolah redaksi dengan menurunkan sejumlah
artikel. Ketika artikel-artikel tersebut dilansir surat kabar Soeara Djawa, isu
itu menjadi heboh di Jawa. Pemerintah segera melakukan penyelidikan, namun
hasilnya tidak begitu jelas. Yang jelas Parada Harahap dipecat oleh perusahaan
tempatnya bekerja. Isu kuli ordonansi inilah yang terus diperjuangkan Parada
Harahap di Batavia, ketika dirinya menjadi sekretaris Sumatranen Bond dan
pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timoer (surat kabar miliknya sendiri yang
didirikan tahun 1926). Parada Harahap adalah inisiator pembentukan federasi organisasi
kebangsaan Indonesia (PPPKI) tahun 1927, yang kemudian Parada Harahap melalui PPPKI
tetap memperjuangkan penghapusan ordonansi tersebut. Akhirnya ordonansi
tersebut diamandemen tahun 1931 dan 1936.
Lantas mengapa ordonasi Chineesch Arbeidersreglement Bangka en Billiton tidak dicabut pemerintah dan tetap dipertahankan? Ordonansi yang secara khusus mengatur ketenagakerjaan pekerja Cina di Hindia Belanda hanya ada di Bangka dan Belitung. Tentu saja orang-orang Cina memperjuangkan penghapusan ordonansi tersebut, karena ordonnasi koeli yang dicabut adalah hasil perjuangan para pejuang (ketenagakerajaan) Indonesia.
Penghaspusan
ordonansi kuli, sejatinya dipengaruhi banyak factor. Orang-orang Indonesia
telah semakin menyatu dan dari waktu ke waktu bersuara keras dengan seiring
dengan terbentuknya Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Sehubungan dengan itu, para
pejuang ketenagakerjaan Indonesia. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda
memanfaatkan situasi kondisi tersebut yang ingin bekerjasama dengan MRI, seiring
dengan tingginya tekanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda atas desas-desus
invasi Jepang ke Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda ingin merangkul hati
orang Indonesia. Sementara itu, orang Cina di Hindia Belanda masih terbagi dua
faksi, yang pro Indonesia (Partai Tionghoa) dan yang masih tetap menjadi warga
negara Tiongkok. Invasi Jepang ke Tiongkok turut mempengaruhi psikologis orang
Cina di Hindia Belanda. Orang Indonesia sendiri welkom terhadap Jepang (sebagai
bentuk perlawanan terhadap orang Belanda). Boleh jadi situasi dan kondisi
inilah koeli ordonasi dihapus, sementara ordonansi Cina tidak dicabut.
Akhirnya, invasi Jepang di Hindia Belanda semakin nyata. Pada tanggal 21 Desember 1941 telah menjatuhkan bom di Tarempa (kepulauan Natuna). Tampaknya bom di Tarempa itu salah sasaran yang dikira masuk wilayah Inggris (Semenanjung Malaya dan Singapoera). Oleh karena wilayah kepulauan Natuna adalah wilayah Hindia Belanda, maka kepanikan di terjadi di Jawa khususnya di Batavia (pusat pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda). Hancurnya kota Tarempa menjadi tanda bagi pemerintah untuk bersiap-siap menghadapi perang, melakukan konsolidasi dan terus membujuk orang Indonesia agar berada dalam satu barisan melawan/menghalangi masuknya militer Jepang di Hindia Belanda.
Detik-detik
berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda, di wilayah Bangka dan Belitung tampaknya
stok beras sudah terpenuhi. Jika perang terjadi, penduduk Bangka Belitung masih
bisa mengatur kebutuhan persedian pangan dan cara-cara menghematnya. Namun ada
satu soal yang masih tersisa di Bangka dan Belitung, Ketika ordonasi kuli telah
dicabut, ordonansi ketenagakerajaan Cina tetap berlaku.
Situasi di Hindia Belanda terus mencekam, termasuk di Bangka dan Belitung. Berita-berita melalui radio yang ditangkap di Bangka dan Belitung telah menambah persoalan yang dihadapi penduduk pribumi maupun warga asal Tiongkok. Perang sudah didepan mata. Yang paling mencemaskan perang tersebut adalah orang Cina, yang terbilang akti Cina setelah invasi Jepang ke pantai timur Tiongkok, dan orang-orang Jepang akan segera hadir di hadapan mereka. Pada tanggal 7 Januari peswat-pesawat perang Jepang telah menjatuhkan bom di Potianak, Bontang, Tondano dan Ambon serta Sorong. Jarak Pontianak dengan Belitung begitu dekat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Pribumi/Tionghoa vs Orang Cina di Bangka Belitung: Pemerintah Hindia Belanda vs Pemerintah Republik Indonesia
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar