*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Zaman
aksara adalah periode ketika manusia mulai menggunakan sistem tulisan untuk
merekam sejarah dan informasi, menandai transisi dari masa prasejarah ke masa
sejarah. Aksara memungkinkan manusia untuk menyimpan pengetahuan, mengembangkan
ilmu pengetahuan, menciptakan karya seni, dan membangun peradaban yang lebih
kompleks. Tanpa aksara, sejarah
akan tetap menjadi tradisi lisan, yang rentan terhadap distorsi dan kehilangan.
Sejarah ditulis dengan aksara, yang merupakan sistem simbol tertulis yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa. Aksara memungkinkan manusia untuk mencatat dan melestarikan informasi, ide, dan cerita dari generasi ke generasi, memungkinkan perkembangan peradaban. Tanpa aksara, sejarah akan tetap menjadi tradisi lisan, yang rentan terhadap distorsi dan kehilangan. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai sejarah penulisan dan aksara: Asal Usul: Tulisan dimulai dengan gambar sederhana (piktogram dan ideogram) yang kemudian berkembang menjadi sistem simbol yang lebih kompleks. Aksara Tertua: Aksara Cuneiform dari Mesopotamia (sekarang Irak) dan hieroglif Mesir Kuno adalah beberapa aksara tertua yang diketahui. Perkembangan Alfabet: Alfabet Fenisia, yang muncul sekitar 1200 SM, memperkenalkan sistem fonetik yang lebih efisien, yang menjadi dasar bagi banyak aksara modern. Aksara Nusantara: Di Indonesia, aksara-aksara seperti Pallawa, Jawa Kuno, dan Bali berkembang dari Aksara Brahmi India, menunjukkan pengaruh budaya India pada masa lalu (AI Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah aksara Latin dan interaksi Nusantara dengan Eropa? Seperti disebut di di atas, bahwa pada masa ini aksara memungkinkan manusia untuk menyimpan pengetahuan, mengembangkan ilmu pengetahuan, menciptakan karya seni, dan membangun peradaban yang lebih kompleks. Bagaimana jika bukti aksara tidak ditemukan? Saatnya menulis sejarah Nusantara tanpa aksara. Lalu bagaimana sejarah aksara Latin dan interaksi Nusantara dengan Eropa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Aksara Latin dan Interaksi Nusantara dengan Eropa: Saatnya Menulis Sejarah Nusantara Tanpa Aksara
Tidak sedang membicarakan adanya kontroversi antara terminologi prasejarah versus sejarah awal. Bagaimana menulis sejarah jika tidak terdapat bukti tulisan juga menjadi penting. Mengapa? Seperti disebut di atas, sjarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Lantas bagaimana jika bukti catatan tertulis tidak tersedia? Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber alternatif’ seperti ukuran-ukuran pendekatan geomorfologis, genom (DNA), radiokarbon dan bintang. Sumber tertulis hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding) saja.
Prasejarah dan sejarah awal adalah dua istilah yang
sering digunakan untuk merujuk pada periode waktu sebelum manusia mengenal
tulisan. Meskipun keduanya seringkali tumpang tindih, ada perbedaan halus dalam
penggunaannya. "Prasejarah" secara umum merujuk pada seluruh periode
sebelum adanya catatan tertulis, sementara "sejarah awal" bisa jadi
merujuk pada bagian dari prasejarah yang lebih dekat dengan masa ketika tulisan
mulai muncul. Prasejarah: Merupakan istilah yang lebih luas, mencakup seluruh
rentang waktu dari kemunculan manusia pertama hingga ditemukannya sistem
penulisan. Ini adalah masa ketika manusia belum mengenal tulisan dan informasi
tentang masa lalu hanya bisa didapatkan melalui peninggalan-peninggalan seperti
alat-alat batu, fosil, dan artefak lainnya. Contoh: Masa ketika manusia purba
hidup berpindah-pindah, berburu, dan meramu makanan, serta menggunakan
alat-alat batu sederhana. Sejarah Awal: Istilah
ini bisa merujuk pada periode yang lebih spesifik, yaitu masa transisi dari
prasejarah ke masa sejarah, di mana manusia mulai mengembangkan sistem
penulisan meskipun belum sepenuhnya terstruktur atau meluas. Istilah ini juga
bisa digunakan untuk menyebut periode awal sejarah yang dicatat, namun masih
sangat sederhana atau terbatas dalam cakupannya. Contoh: Masa ketika mulai
muncul tanda-tanda tulisan, meskipun belum meluas, atau masa ketika catatan sejarah
mulai ditulis tetapi masih sangat sederhana dan terbatas. Penting untuk
diingat: Perbedaan antara prasejarah dan sejarah awal tidak selalu jelas dan
seringkali bersifat abu-abu. Pembagian waktu ini juga bisa berbeda-beda
tergantung pada wilayah geografisnya. Sebagai contoh, di Indonesia, masa
prasejarah juga sering dibagi menjadi beberapa periode, seperti Zaman Batu
(Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum) dan Zaman Logam. Periode sejarah awal
di Indonesia bisa merujuk pada masa ketika pengaruh Hindu-Buddha mulai masuk,
yang ditandai dengan ditemukannya prasasti-prasasti (AI
Wikipedia)
Dalam narasi sejarah masa kini, sadar atau tidak sadar, para penulis sejarah umumnya menganggap permukaan bumi (rupa bumi, luas dan elevasi) tidak berubah. Peta digital Indonesia yang sekarang dianggap (diasumsikan) sama ketika mendeskripsikan sejarah Nusantara pada abad-abad yang jauh di masa lampau. Demikian juga soal ekosistem, bahwa habitat (flora dan fauna) dan wujud populasi masa kini dianggap sama dengan abad-abad yang jauh di masa lampau. Dalam hal inilah penting menyusun peta-peta baru yang didalamnya memiliki waktu dan ruang yang mengindikasikan ukuran-ukuran luas (persebaran) dan time-reference (perbedaan umur). Peta-peta baru (yang bersifat alternatif) ini dapat dijadikan untuk mendukung (mengisi kekosongan data) narasi sejarah yang tidak memiliki bukti (data) catatan tertulis.
Pada dasarnya, catatan tertulis hanyalah sedikit
titik dalam peta bumi populasi dunia. Titik-titik yang sedikit tersebut jelas
tidak bisa mendeskripsikan semua titik-titik permukaan bumi. Peta Ptolomeus
yang berasal dari abad ke-2, belum sepenuhnya mampu memetakan geografi wilayah
nusantara. Satu yang jelas sebelum peta itu disusun, sudah ada sebaran populasi
di nusantara. Catatan tertulis tertua di nusantara menurut kajian para
arkeologis yang dibantu oleh para ahli linguistik mengindikasikan berasal dari
abad ke-3 (prasati o Canh di Champa, kini pantai tenggara ietnam) yang kemudian
disusul yang berasal dari abad ke-5 (prasasti Muara Kaman di daerah aliran
sungai Mahakam dan prasasti Tugu di daerah aliran sungai Sunter). Selanjutnya prasasti
di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 seperti prasasti Kedoekan
Boekit.
Catatan tertulis di nusantara yang terdapat dalam prasasti jelas tidak cukup. Meskipun catatan tertulis dari Eropa (peta Ptolomeus) dan catatan tertulis dari daratan Tiongkok ditambahkan tetap tidak cukup untuk mendeskripsikan seluruh wilayah nusantara. Terlalu naif untuk membuat generalisasi jika hanya berdasarkan catatan tertulis yang ada tersebut. Data-data tertulis tersebut haruslah tetap ditempatkan sebagai titik-titik (waktu dan tempat) di dalam narasi ruang sejarah masa lampau.
Pada masa awal, tidak ada garis penyebaran
populasi dari Afrika ke Amerika. Rute penyebaran ke Amerika justru berasal dari
Asia melalui selat Bering. Warna kulit populasi Amerika generasi awal ini tidak
berwarna gelap, tetapi akan lebih cenderung berwarna lebih terang. Bagaimana dengan
di nusantara? Dengan asumsi teori Out of Africa, populasi di nusantara adalah
berkulit gelap. Ada jalur migrasi awal dari Afrika melalui Asia ke nusantara
hingga kita sampai pada suatu peta anomali (kelompok-kelompok) populasi di
(pulau) Papua yang memiliki ras yang relatif sama tetapi memiliki akar bahasa
yang berbeda-beda. Etnik Semang di wilayah Semenanjung Malaya besar kemungkinan
kelompok populasi yang masih eksis dan terjebak di tengah daratan (pedalaman)
dari kehadiran para migran baru dari bebagai tempat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Saatnya Menulis Sejarah Nusantara Tanpa Aksara: Geomorfologis, Peta Genom (DNA), Radiokarbon dan Peta Bintang
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar