Rabu, 20 Agustus 2025

Sejarah Indonesia Jilid 4-2:Aksara Latin dan Interaksi Nusantara dengan Eropa: Saatnya Menulis Sejarah di Nusantara Tanpa Aksara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini

Zaman aksara adalah periode ketika manusia mulai menggunakan sistem tulisan untuk merekam sejarah dan informasi, menandai transisi dari masa prasejarah ke masa sejarah. Aksara memungkinkan manusia untuk menyimpan pengetahuan, mengembangkan ilmu pengetahuan, menciptakan karya seni, dan membangun peradaban yang lebih kompleks. Tanpa aksara, sejarah akan tetap menjadi tradisi lisan, yang rentan terhadap distorsi dan kehilangan.


Sejarah ditulis dengan aksara, yang merupakan sistem simbol tertulis yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa. Aksara memungkinkan manusia untuk mencatat dan melestarikan informasi, ide, dan cerita dari generasi ke generasi, memungkinkan perkembangan peradaban. Tanpa aksara, sejarah akan tetap menjadi tradisi lisan, yang rentan terhadap distorsi dan kehilangan. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai sejarah penulisan dan aksara: Asal Usul: Tulisan dimulai dengan gambar sederhana (piktogram dan ideogram) yang kemudian berkembang menjadi sistem simbol yang lebih kompleks. Aksara Tertua: Aksara Cuneiform dari Mesopotamia (sekarang Irak) dan hieroglif Mesir Kuno adalah beberapa aksara tertua yang diketahui. Perkembangan Alfabet: Alfabet Fenisia, yang muncul sekitar 1200 SM, memperkenalkan sistem fonetik yang lebih efisien, yang menjadi dasar bagi banyak aksara modern. Aksara Nusantara: Di Indonesia, aksara-aksara seperti Pallawa, Jawa Kuno, dan Bali berkembang dari Aksara Brahmi India, menunjukkan pengaruh budaya India pada masa lalu (AI Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah aksara Latin dan interaksi Nusantara dengan Eropa? Seperti disebut di di atas, bahwa pada masa ini aksara memungkinkan manusia untuk menyimpan pengetahuan, mengembangkan ilmu pengetahuan, menciptakan karya seni, dan membangun peradaban yang lebih kompleks. Bagaimana jika bukti aksara tidak ditemukan? Saatnya menulis sejarah Nusantara tanpa aksara. Lalu bagaimana sejarah aksara Latin dan interaksi Nusantara dengan Eropa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Aksara Latin dan Interaksi Nusantara dengan Eropa: Saatnya Menulis Sejarah Nusantara Tanpa Aksara

Tidak sedang membicarakan adanya kontroversi antara terminologi prasejarah versus sejarah awal. Bagaimana menulis sejarah jika tidak terdapat bukti tulisan juga menjadi penting. Mengapa? Seperti disebut di atas, sjarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Lantas bagaimana jika bukti catatan tertulis tidak tersedia? Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber alternatif’ seperti ukuran-ukuran pendekatan geomorfologis, genom (DNA), radiokarbon dan bintang. Sumber tertulis hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding) saja.


Prasejarah dan sejarah awal adalah dua istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada periode waktu sebelum manusia mengenal tulisan. Meskipun keduanya seringkali tumpang tindih, ada perbedaan halus dalam penggunaannya. "Prasejarah" secara umum merujuk pada seluruh periode sebelum adanya catatan tertulis, sementara "sejarah awal" bisa jadi merujuk pada bagian dari prasejarah yang lebih dekat dengan masa ketika tulisan mulai muncul. Prasejarah: Merupakan istilah yang lebih luas, mencakup seluruh rentang waktu dari kemunculan manusia pertama hingga ditemukannya sistem penulisan. Ini adalah masa ketika manusia belum mengenal tulisan dan informasi tentang masa lalu hanya bisa didapatkan melalui peninggalan-peninggalan seperti alat-alat batu, fosil, dan artefak lainnya. Contoh: Masa ketika manusia purba hidup berpindah-pindah, berburu, dan meramu makanan, serta menggunakan alat-alat batu sederhana.  Sejarah Awal: Istilah ini bisa merujuk pada periode yang lebih spesifik, yaitu masa transisi dari prasejarah ke masa sejarah, di mana manusia mulai mengembangkan sistem penulisan meskipun belum sepenuhnya terstruktur atau meluas. Istilah ini juga bisa digunakan untuk menyebut periode awal sejarah yang dicatat, namun masih sangat sederhana atau terbatas dalam cakupannya. Contoh: Masa ketika mulai muncul tanda-tanda tulisan, meskipun belum meluas, atau masa ketika catatan sejarah mulai ditulis tetapi masih sangat sederhana dan terbatas. Penting untuk diingat: Perbedaan antara prasejarah dan sejarah awal tidak selalu jelas dan seringkali bersifat abu-abu. Pembagian waktu ini juga bisa berbeda-beda tergantung pada wilayah geografisnya. Sebagai contoh, di Indonesia, masa prasejarah juga sering dibagi menjadi beberapa periode, seperti Zaman Batu (Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum) dan Zaman Logam. Periode sejarah awal di Indonesia bisa merujuk pada masa ketika pengaruh Hindu-Buddha mulai masuk, yang ditandai dengan ditemukannya prasasti-prasasti (AI Wikipedia)

Dalam narasi sejarah masa kini, sadar atau tidak sadar, para penulis sejarah umumnya menganggap permukaan bumi (rupa bumi, luas dan elevasi) tidak berubah. Peta digital Indonesia yang sekarang dianggap (diasumsikan) sama ketika mendeskripsikan sejarah Nusantara pada abad-abad yang jauh di masa lampau. Demikian juga soal ekosistem, bahwa habitat (flora dan fauna) dan wujud populasi masa kini dianggap sama dengan abad-abad yang jauh di masa lampau. Dalam hal inilah penting menyusun peta-peta baru yang didalamnya memiliki waktu dan ruang yang mengindikasikan ukuran-ukuran luas (persebaran) dan time-reference (perbedaan umur). Peta-peta baru (yang bersifat alternatif) ini dapat dijadikan untuk mendukung (mengisi kekosongan data) narasi sejarah yang tidak memiliki bukti (data) catatan tertulis.


Pada dasarnya, catatan tertulis hanyalah sedikit titik dalam peta bumi populasi dunia. Titik-titik yang sedikit tersebut jelas tidak bisa mendeskripsikan semua titik-titik permukaan bumi. Peta Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2, belum sepenuhnya mampu memetakan geografi wilayah nusantara. Satu yang jelas sebelum peta itu disusun, sudah ada sebaran populasi di nusantara. Catatan tertulis tertua di nusantara menurut kajian para arkeologis yang dibantu oleh para ahli linguistik mengindikasikan berasal dari abad ke-3 (prasati o Canh di Champa, kini pantai tenggara ietnam) yang kemudian disusul yang berasal dari abad ke-5 (prasasti Muara Kaman di daerah aliran sungai Mahakam dan prasasti Tugu di daerah aliran sungai Sunter). Selanjutnya prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 seperti prasasti Kedoekan Boekit.  

Catatan tertulis di nusantara yang terdapat dalam prasasti jelas tidak cukup. Meskipun catatan tertulis dari Eropa (peta Ptolomeus) dan catatan tertulis dari daratan Tiongkok ditambahkan tetap tidak cukup untuk mendeskripsikan seluruh wilayah nusantara. Terlalu naif untuk membuat generalisasi jika hanya berdasarkan catatan tertulis yang ada tersebut. Data-data tertulis tersebut haruslah tetap ditempatkan sebagai titik-titik (waktu dan tempat) di dalam narasi ruang sejarah masa lampau.  


Pada masa awal, tidak ada garis penyebaran populasi dari Afrika ke Amerika. Rute penyebaran ke Amerika justru berasal dari Asia melalui selat Bering. Warna kulit populasi Amerika generasi awal ini tidak berwarna gelap, tetapi akan lebih cenderung berwarna lebih terang. Bagaimana dengan di nusantara? Dengan asumsi teori Out of Africa, populasi di nusantara adalah berkulit gelap. Ada jalur migrasi awal dari Afrika melalui Asia ke nusantara hingga kita sampai pada suatu peta anomali (kelompok-kelompok) populasi di (pulau) Papua yang memiliki ras yang relatif sama tetapi memiliki akar bahasa yang berbeda-beda. Etnik Semang di wilayah Semenanjung Malaya besar kemungkinan kelompok populasi yang masih eksis dan terjebak di tengah daratan (pedalaman) dari kehadiran para migran baru dari bebagai tempat.

 Tunggu deskripsi lengkapnya

Saatnya Menulis Sejarah Nusantara Tanpa Aksara: Geomorfologis, Peta Genom (DNA), Radiokarbon dan Peta Bintang

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 *Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar