Minggu, 08 Januari 2023

Sejarah Surakarta (24): Pecinan di Surakarta Kaptein Cina di Solo; Area Eropa/Belanda, Kawasan Kauman dan Lingkungan Kraton


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Pada masa ini disebutkan kawasan pasar Gede (pasar Gedhe Hardjonagoro) dan pasar Balong merupakan tempat perkampungan orang Cina, sementara kawasan pemukiman orang Arab berada di kawasan pasar Kliwon. Dalam memahami sejarah pecinan di Surakarta ini tidak cukup itu, juga harus memperhatikan dimana area Eropa/Belanda berada, perkampongan penduduk asli dan tentu saja area kraton (pihak kerajaan).


Menapak Sejarah Pecinan di Solo. RMOL Jateng. Kota Solo memiliki sejarah khusus sejak jaman dahulu. Etnis Cina di Surakarta, mendiami tempat tersendiri yang telah diatur sejak masa kolonial. Warga Arab dan Eropa, mendiami lokasi di tengah kota. Pecinan Solo, terletak di sekitar Pasar Gede. Etnis Arab, sebagian besar tinggal di Pasar Kliwon. Pada abad ke-19, etnis Cina dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka dilarang tinggal di tempat tertentu tanpa memiliki surat izin (wijkenstelsel). Selain itu, etnis Cina juga dilarang berpergian bila tanpa surat jalan (passenstelsel). Disebutkan pasar Gede Hardjonagoro merupakan salah satu pasar yang berpengaruh terhadap ekonomi kota di Solo. Tempo doeloe, pasar ini masih berupa pasar oprokan/ndeprok/belum memiliki bangunan utuh untuk peneduh. Awalnya area pasar tersebut milik seorang kapitan atau mayor Tionghoa bernama Be Kwat Koen. Akhirnya, tanah tersebut ditebus dengan uang sebesar 35.000 gulden pada tahun 1924, lalu direnovasi dan diresmikan oleh PB X, Lalu Kampung (kelurahan) Sudiroprajan, yang menjadi kampung pecinan di Solo (https://www.rmoljawatengah.id/)

Lantas bagaimana sejarah pecinan di Surakarta dan kaptein Cina di Solo? Seperti disebut di atas, di Surakarta terdapat perkampongan orang-orang Cina (China Town; pecinan), namun untuk lebih memahami diperlukan untuk memahami area pemukimnan Eropa/Belanda, kawasan orang Arab (kauman) dan lingkungan kraton. Lalu bagaimana sejarah pecinan di Surakarta dan kaptein Cina di Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (23): Pasar Gede di Kota Surakarta, Pasar Gede di Jogjakarta; Asal Usul Pasar-Pasar Tempo Doeloe di Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Apa arti pasar dalam sejarah? Pasar adalah pusat pertukaran (transaksi) yang telah muncul sejak zaman kuno dan terdapat di berbagai wilayah termasuk di Soerakarta. Pasar pada era Pemerintah Hindia Belanda menjadi penting karena kehadiran para pendatang termasuk dalam hal ini pedagang Arab dan pedagang Cina. Di pasar dan di sekitar pasar inilah adakalanya yang membentuk Kawasan pemerintah yang terus berkembang menjadi suatu kota.  


Sejarah Pasar Gede, Pasar Tertua yang Ada di Solo. Solopos.com - Pasar Gede Hardjonagoro berlokasi tak jauh dari Balai Kota Solo disebut pasar tertua di Kota Bengawan. Pasar ini didirikan di zaman Paku Buwono X yang dibangun arsitek Ir Herman Thomas Kartsen. Pasar Gede dibangun di tanah Babah Cina berpangkat Mayor, biasa dipanggil Babah Mayor. Kini, pasar yang ramai menjadi tujuan wisata ini telah berusia 92 tahun sejak diresmikan Paku Buwono X pada 12 Januari 1930. Nama Pasar Gede sendiri merujuk pada bangunan yang berbentuk besar menyerupai benteng di pintu masuk utama berbentuk singgasana besar dan atap yang lebar. Nama Hardjonagoro diambil dari nama seorang keturunan China yang mendapat gelar KRT Hardjonegoro. Pasar ini menjadi simbol harmoni kehidupan sosial budaya yang telah berkembang di Solo pada masa itu. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah klenteng Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie yang berada di dekat Pasar Gede. Berdasarkan historinya, Pasar Gede Solo mengalami tiga masa, yakni kerajaan, post kolonial dan masa kemerdekaan. Sebelum diresmikan pada 1930, pada masa kolonial Belanda. Pasar Gede dianggap sebagai mediator perdagangan masyarakat China dan Belanda serta pribumi (https://www.solopos.com/) 

Lantas bagaimana sejarah pasar di Surakarta, asal usul pasar tempo doeloe di Batavia? Seperti disebut di atas, di Surakarta terdapat pasar besar yang terkenal. Seperti pasar Gede di Jogjakarta dan pasar Gede di Surakarta juga terdapat pasar di tempat lain tempo doeloe. Lalu bagaimana sejarah pasar di Surakarta, asal usul pasar tempo doeloe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 07 Januari 2023

Sejarah Surakarta (22): Arsitektur dan Pola Bangunan di Surakarta; Candi Zaman Kuno hingga Bentuk Bangunan Modern Masa Ini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Seperti halnya candi-candi, bangunan-bangunan yang terbentuk kemudian di Soerakarta, termasuk peninggalan bangunan kolonial dapat dikatakan warisan sejarah. Disebut demikian karena masih eksis apakah dalam bentuk asli atau bentuk lain yang telah bertransformasi dalam wujud relief, bentuk, pola atau ciri tradisi lainnya. Bangunan ini mulai dari kraton hingga rumah tinggal biasa penduduk. Dalam bangunan-bangunan inilah kita dapat melihat bentuk-bentuk arsitektur tradisi dan arsitektur modern.


Arsitektur dan peninggalan sejarah di Surakarta. Sebagai kota, berusia hampir 250 tahun, memiliki banyak kawasan situs bangunan tua. Selain bangunan tua, ada juga yang terkumpul di berbagai lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosial beragam. Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo, salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton berdekatan dengan Bengawan Solo selalu terancam banjir, kemudian dibangun tanggul yang hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga kawasan Solo Baru. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Tahun 1997 terdapat 70 objek di Solo yang masuk kategori cagar budaya: Kelompok kawasan sebanyak 4 objek: Keraton Kasunanan, Keraton Mangkunegaran, Kampung Baluwarti, Kampung Laweyan. Kelompok bangunan rumah tradisional sebanyak 8 objek: Dalem Brotodiningratan, Dalem Purwodiningratan, Dalem Sasono Mulyo, Dalem Suryohamijayan, Dalem Wuryaningratan, Dalem Mloyosuman, Dalem Ngabean, Dalem Kadipaten. Kelompok bangunan umum kolonial sebanyak 19 objek antara lain Pasar Gede, Bank Indonesia, Museum Radya Pustaka, Stasiun Balapan, Stasiun Purwosari, Stasiun Jebres, Benteng Vastenburg, Loji Gandrung, Rumah Sakit Kadipolo. Kelompok bangunan peribadatan sebanyak 7 objek, antara lain Masjid Agung Surakarta, Masjid Al Wustho, Langgar Laweyan, Gereja St. Antonius Purbayan, Vihara Avalokiteswara, Vihara Po An Kiong. Kelompok gapura, tugu, monumen dan perabot jalan sebanyak 24 objek, antara lain: Gapura Batas Kota Surakarta (Kleco, Jurug, Grogol), Gapura Keraton Surakarta (Klewer, Gladang, Batangan, Gading), Tugu Lilin, Tugu Cembengan, Tugu Talirogo/Kalirogo, Tugu Jam Pasar Gede, Tugu Tiang Lampu Gladag. Kelompok ruang terbuka/taman sebanyak 8 objek, antara lain Makam Ki Ageng Henis, Taman Sriwedari, Patilasan Panembahan Senopati, Taman Balekambang, Taman Jurug, Taman Banjarsari (Wikipedai)

Lantas bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan di Surakarta? Seperti disebut di atas, wujud arsitektur dapat diperhatikan pada bangunan-bangunan lama, yang menjadi perantara antara wujud arsitektur zaman kuno dengan arsitektur zaman modern. Daftar bangunan-bangunan, termasuk taman cukup banyak di Surakarta. Lalu bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan di Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (21): Nama Kota Solo vs Surakarta, Nama Sungai Bengawan vs Solo; Wilayah Diantara Gunung Lawu dan Merapi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Arosbaya dan Sorabaya di wilayah pantai. Dua kota kuno yang telah eksis jauh sebelum nama kota Surakarta dikenal. Jauh di masa lampau juga sudah dikenal dua gunung berhadapan yakni gunung Lawu dan gunung Merapi. Dari lereng-lereng gunung inilah terbentuk sungai-sungai yang ke arah hilir kini dikenal sebagai sungai Bengawan Solo. Sungai ini besar ini sudah sejak lama menjadi penghubung wilayah pedalaman/pegunungan Kartasura/Surakarta dengan wilayah pantai/pantai di Sorabaya/Arosbaya (Aros kebalikan Sora).  


Kenapa Nama Surakarta dan Kartasura Mirip? Begini Sejarahnya. Soloraya 11 April 2022. Solopos.com. Surakarta dan Kartasura nama dua daerah mirip, tetapi beda wilayah. Dari kebahasaan, keduanya terdiri kata sura dan karta. Sura dalam bahasa Jawa Kuno diartikan keberanian, sementara karta dari bahasa Sanskerta (krta) berarti pekerjaan telah dicapai. Surakarta merupakan nama resmi dari Kota Solo. Munculnya istilah Solo tidak bisa dilepaskan dari berdirinya kota. Kartasura kini sebuah kecamatan di Sukoharjo. Kartasura menjadi titik temu arus lalu lintas dari tiga kota besar yakni Solo, Jogja dan Semarang. Surakarta dan Kartasura sama-sama pernah menjadi ibu kota Kesultanan Mataram pada 1680-1755. Keraton Kartasura didirikan Amangkurat II tahun 1680 karena Keraton Plered (kini di wilayah Bantul) diduduki adiknya Pangeran Puger ketika terjadi pemberontakan Trunajaya. Lalu masa Pakubuwono II, Raja Mataram IX (1726-1742) terjadi Geger Pecinan di Batavia. PB II bekerja sama dengan Cina melawan VOC. Pertempuran gabungan antara Jawa, Tionghoa, Melayu dan Arab yang dipimpin Said Ali melawan VOC juga pecah di Semarang. Kubu VOC menang telak. Ancaman tersebut membuat PB II berubah haluan, berbalik menyerukan agar membantu VOC dengan membunuh orang Tionghoa pada awal 1742, namun para bupati tidak ada yang mengikuti perintah PB II. Setelah PB II kembali menguasai Keraton Kartasura yang hancur, membangun kembali kerajaan memilih di desa Sala. Asal-usul Kota Solo atau Surakarta bermula dari sini. Pada 1745, bangunan kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut ke desa Sala di tepi sungai Bengawan Solo. Pada 17 Februari 1745, keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti Keraton Kartasura (Keraton Surakarta). Kini, setiap 17 Februari diperingati sebagai Hari Jadi Kota Solo/Surakarta (https://www.solopos.com/) 

Lantas bagaimana sejarah nama kota Solo vs kota Surakarta, nama sungai Bengawan vs sungai Solo? Seperti disebut di atas, sungai besar yang kini disebut sungai Bengawan Solo menghubungkan antara kota-kota pantai Sorabaja dan Arosbaja. Di wilayah pedalaman terdapat gunung Lawu dan gunung Merapi darimana sumber air berasal. Lalu bagaimana sejarah nama kota Solo vs kota Surakarta, nama sungai Bengawan vs sungai Solo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 06 Januari 2023

Sejarah Surakarta (20): Gamelan, Gamelan di Soerakarta, Musik Tradisi Tetap Bertahan hingga Musik Pop; Gamelan, World Music


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Ada dua diantara music tradisi nusantara yang terus bertahan dan tetap dilestarikan yakni music gamelan di Jawa dan music gondang di Tanah Batak. Musik gamelan secara khusus sejak era Penmerintah Hindia Belanda telah mendapat perhatian dari orang Eropa/Belanda. Salah satu musikus Eropa yang menggabungkan music barat dengan music gamelan adalah Paul Sieleg (1909). Baiklah. Sekarang kita membicarakan sejarah music gamelan di Surakarta. 


Mengenal Gamelan Sekaten Surakarta, Gamelan yang Dibunyikan Selama 7 Hari. KOMPAS.com - Gamelan Sekaten merupakan perangkat gamelan yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara Sekaten diselenggarakan secara periodik satu tahun sekali, yaitu setiap 5 sampai 11 Rabiul Awal. Upacara akan ditutup pada tanggal 12 Rabi'ul Awal dengan menyelenggarakan Garebeg Maulud. Sekaten berasal dari kata syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Secara simbolik, dua kalimat syahadat tersebut direpresentasikan dalam dua perangkat gamelan Sekaten, yaitu Kanjeng Kyai Guntur Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang ditabuh secara bergantian. Gamelan ini dibunyikan selama tujuh hari. Dua pengakat tersebut ditempatkan di tempat yag berbeda, yaitu di Bangsal Pradangga Kidul dan Bangsal Pradangga Lor yang keduanya terletak di halaman Masjid Agung di kawasan Keraton Surakarta. Anatomi gendhing sekaten secara lengkap terdiri dari racikan, umpak, gendhing (lagu pokok), dan suwukan. Racikan merupakan komposisi musikal yang merupakan pengenalan dalam setiap gendhing Sekaten. Umpak adalah potongan melodi yang digunakan sebagai jembatan dari racikan menuju lagu pokok. Sedangkan, suwukan merupakan melodi pendek yang khusus dibunyikan saat gendhing akan berhenti. Racikan ini diekspresikan pengrawit (musisi) menggunakan instrumen bonang dengan serangkaian melodi. Sementara, instrument lain memberikan keserempakan bunyi dengan nada yang sama. Gamelan Sekaten tidak terlepas peranan kerajaan-kerajaan Islam pada saat para wali di Jawa menyebarkan ajaran agama Islam. Pasalnya saat Islam masuk ke Jawa, masyarakat setempat telah memeluk agama Hindu dan Buddha yang menyertakan gamelan sebagai kesenian atau upacara ritual. Dengan kondisi masyaraka tersebut, Sunan Kalijaga mengusulkan menggunakan gamelan sebagai daya tarik penyebaran agama Islam. Gamelan Sekaten sebagai penyebaran Islam telah dilakukan oleh para walisanga sejak Kesultanan Demak (https://regional.kompas.com/)  

Lantas bagaimana sejarah gamelan, gamelan di Soerakarta, musik tradisi tetap bertahan hingga era musik pop? Seperti disebut di atas, diantara music tradisi nusantara, salah satu yakni music gamelan masih eksis. Seperti gondang di Tanah Batak, gamelan di Jawa tetap dilestarikan sebagai world music. Lalu bagaimana sejarah gamelan, gamelan di Soerakarta, musik tradisi tetap bertahan hingga era musik pop? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (19): Aksara Jawa dan Pengembangan Aksara di Soerakarta; Aksara Latin Diantara Aksara Batak - Aksara Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Ada dua aksara yang mewakili dua bentuk aksara nusantara, yakni aksara Jawa dan aksara Batak. Bentuk aksara Jawa terdapat di daerah Sunda, Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Bentuk aksara Batak terdapat di Kerinci. Rejang, Lampung dan di wilayah Sulawesi dan pulau-pulau di Filipina. Diantara dua bentuk aksara tradisi nusantara ini kemudian diintroduksi dua aksara baru yang dapat berdampingan aksara tradisi nusantara yakni aksara Jawi (Arab gundul) dan aksara Larin (Eropa). 


Aksara Jawa dan Sejarahnya dalam Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta. Aksara Jawa atau yang juga dikenal dengan huruf hanacaraka adalah merupakan salah satu aksara tradisional di Indonesia yang berkembang di daerah Jawa. Aksara yang banyak digunakan pada jaman-jaman kerajaan ini, dulunya diciptakan oleh Aji Saka dari kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka mengabadikan kisah Dora dan Sembada dalam ukiran aksara kuno yang sekarang dikenal aksara Jawa. Selain memiliki sejarah, makna filosofi yang terkandung dalam aksara berjumlah dua puluh huruf utama. Hanacaraka memiliki filosofi bagaimana manusia memiliki Tuhan. Hanacaraka merupakan warisan budaya yang sangat besar, memiliki makna mendalam, dan harus dilestarikan generasi di masa depan m. Selain masih aktif diajarkan di sekolah-sekolah, dan dipublikasikan sebagai muatan lokal. Ternyata ada juga beberapa daerah yang secara nyata mengaplikasikan hanacaraka, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah Kota Solo, dimana pada sekitar tahun 2007 dan 2008, Pemerintah Kota Surakarta mewajibkan setiap papan nama di perkantoran Pemkot Surakarta harus ditulis dengan aksara jawa. Kebijakan untuk melestarikan aksara kuno ini semakin tampak jelas setelah Walikota Solo saat itu yaitu Joko Widodo secara simbolis meresmikan beberapa penambahan aksara jawa di beberapa tempat publik Kota Solo seperti Bank Indonesia, Solo Grand Mall, SMP 27, dan Balai Kota Surakarta (https://surakarta.go.id)

Lantas bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti disebut di atas, aksara Jawa adalah salah satu diantara aksara nusantara, seperti halnya aksara Batak masih tetap dilestarikan. Introduksi aksara baru (aksara Latin) tampaknya tidak menghilangkan aksara Batak dan aksara Jawa. Lalu bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.