*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Di kota Jogjakarta tempo doeloe didirikan sebuah societeit yang diberi nama De Vereeniging, suatu klub sosial kemayarakatan bagi orang Eropa/Belanda. Klub sosial ini membangun gedung pertemuan sendiri di dekat Kantor Residen. Societeit Vereeniging di Jogjakarta terkenal karena memiliki cabang kegiatan dalam penggalian sosial budaya di seputar Residentie Djocjocarta. Gedung bekas Societeit Vereeniging hingga ini hari masih eksis yang dijadikan sebagai Taman Budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di kota Jogjakarta tempo doeloe didirikan sebuah societeit yang diberi nama De Vereeniging, suatu klub sosial kemayarakatan bagi orang Eropa/Belanda. Klub sosial ini membangun gedung pertemuan sendiri di dekat Kantor Residen. Societeit Vereeniging di Jogjakarta terkenal karena memiliki cabang kegiatan dalam penggalian sosial budaya di seputar Residentie Djocjocarta. Gedung bekas Societeit Vereeniging hingga ini hari masih eksis yang dijadikan sebagai Taman Budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Societeit 'De Vreeniging' di Jogjakarta, 1910 |
Adanya societeit di
sejumlah kota-kota besar di Hindia Belanda telah menginspirasi kalangan pribumi
untuk membentuk societeit sendiri. Salah satu societeit pribumi tertua di
Hindia Belanda (baca: Indonesia) adalah Medan Perdamaian di Kota Padang.
Societeit Medan Perdamaian ini adalah organisasi kebangsaan Indonesia yang
pertama didirikan tahun 1900. Societeit Boedi Oetomo sendiri didirikan tahun
1908. Lantas bagaimana riwayat Societeit Vereeniging di Jogjakarta yang juga
menginspirasi munculnya klub sosial di kalangan pribumi di Jogjakarta? Mari
kita telusuri.
Societeit ‘De Vereeniging’
Keberadaan societeit ‘De
Vereeniging’ di Djocjocarta paling tidak sudah ada tahun 1844 (lihat Javasche
courant,11-01-1845). Disebutkan seorang bernama J Carli telah mendapat beslit dari
Residen Djocjocarta untuk membangun sebuah logement yang lokasinya berada di
belakang Sociƫteit de Vereeniging. Losmen (logement) itu sendiri diduga adalah
losmen pertama di Djocjocarta, suatu losmen yang kemudian dikembangkan menjadi
sebuah hotel: Hotel Centrum. Pada tahun 1844. di beberapa kota sudah diketahui telah
didirikan societeit seperti di Batavia, Soerabaja dan Padang.
Peta Jogjakarta, 1893 |
Di Jogjakarta juga
muncul klub sosial bagi pribumi, tetapi hanya terbatas untuk petinggi-petinggi
pribumi dari kalangan pangeran, bupati dan lainnya. Namun klub sosial ini,
seperti halnya klub sosial Belanda, tidak pernah berstranspormasi menjadi
organisasi kebangsaan. Klub sosial (societeit) di Jogjakarta tetap sebagai
societeit (klub sosial). Organisasi kebangsaan yang hadir di Jogjakarta hanya
satu, dan satu-satunya, Boedi Oetomo yang ditetapkan Jogjakarta sebagai pusat (kantor
pusat) pada Kongres Boedi Oetomo yang pertama pada tanggal 3-5 Oktober 1908.
Medan Perdamaian, Boedi Oetomo, Indisch
Vereeniging dan PPPKI
Pada tahun 1900 di Kota
Padang didirikan klub sosial yang diberi nama Medan Perdamaian yang didaftarkan
kepada pemerintah sebagai badan hukum. Seperti halnya societeit orang-orang
Belanda di berbagai kota di Hindia yang harus memiliki statuta dan didaftarkan
kepada pemerintah sebagai badan hukum, hal serupa ini juga yang dilakukan oleh
pengurus Medan Perdamaian sebagai organisasi kebangsaan Indonesia yang pertama.
Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian memiliki misi (ruang lingkup) nasional
(lintas komunitas atau etnik dan lintas wilayah).
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900 |
De locomotief, 21-08-1902 |
Pada tahun 1908 di
Batavia dibentuk organisasi kebangsaan yang disebut Boedi Oetomo. Ini berarti
organisasi kebangsaan Indonesia di Hindia Belanda sudah ada tiga: Medan
Perdamaian (pusat di Padang, sejak 1900), Sjarikat Tapanoeli (pusat di Medan,
sejak 1907) dan Boedi Oetomo (pusat di Batavia). Organisasi kebangsaan Boedi
Oetomo digagas oleh (maha)siswa STOVIA yang dimotori oleh Soetomo dan
kawan-kawan
.
.
Organisasi Boedi Oetomo sejatinya
tidak murni dilakukan oleh mahasiswa STOVIA Soetomo dkk, tetapi dipicu oleh
gagasan Dr. Wahidin Soedirihusodo yang telah lama berkecimpung di Jogjakarta
dan sekitarnya dalam rangka meningkatkan status kesehatan penduduk. Dr. Wahidin
juga melihat rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Tentu saja Dr. Wahidin
melihat kemajuan yang terjadi di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie
Tapanoeli baik di bidang pendidikan maupun di bidang kesehatan penduduk. Afdeeling
Mandailing dan Angkola sudah memiliki banyak sekolah, surplus guru dan surplus
dokter. Salah satu teman sekelas Dr. Wahidin ketika kuliah di Docter Djawa
School Dr. Madjilis sudah pula memiliki lisensi untuk membuka praktek (klinik),
suatu lisensi yang jarang diberikan kepada dokter alumni Docter Djawa School.
Tentu saja Dr. Wahidin telah mengetahui guru terkenal dari Afdeeling Mandailing
dan Angkola Dja Endar Moeda telah membuka sekolah swasta di Padang dan memiliki
surat kabar dan percetakan yang telah menggagas pendirian organisasi kebangsaan
Medan Perdamaian. Lebih-lebih Dja Endar Moeda melalui Medan Perdamaian telah
mengirim bantuan sebesar f14.000 ke Semarang untuk peningkatan pendidikan.
Fakta inilah yang dilihat Dr. Wahidin sehingga muncul gagasannya untuk
mengembangkan konsep pembangunan dan pengembangan penduduk melalui pembentukan
organisasi kebangsaan. Pemikiran Dr. Wahidin ini disambut positif oleh
mahasiswa-mahasiswa STOVIA asal Jawa. Lahirlah Boedi Oetomo.
Di Afdeeling Mandailing dan Angkola
di Residentie Tapanoeli mulai diperkenalkan pendidikan modern (aksara Latin)
sejak tahun 1849. Pada tahun 1854 dua siswa dari Mandailing dan Angkola
diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia (dibuka tahun
1851). Dua siswa tersebut (Si Asta dan Si Angan) merupakan yang pertama dari
luar Jawa. Dua tahun berikutnya dua siswa diterima lagi di Docter Djawa School.
Demikian seterusnya secara reguler diterima siswa dari Mandailing en Ankola.
Sementara itu pada tahun 1857 seorang siswa asal Mandailing en Angkola Si Sati dengan
nama populer Willem Iskander berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akta
guru. Setelah selesai studi tahun 1861 kembali ke kampung halaman dan pada
tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, onderafdeeling Mandailing.
Setelah belasan tahun Kweekschool Tanobato ditutup karena kweekschool yang
lebih besar dibuka tahun 1879 di Padang Sidempoean, onderafdeeling Angkola
dengan gurunya yang terkenal Charles Adrian van Ophuijsen. Beberapa lulusan Kweekschool
Padang Sidempoean yang terkenal adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (lulus
1884); Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (lulus 1887) dan Hasan Nasution
gelar Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, lulusan pertama Docter Djawa School
dari luar Jawa)..
Organisasi Boedi Oetomo secara
defacta didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Namun dalam
perkembangannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo dikooptasi oleh golongan
senior yang kemudian misinya bergesar dari nasional menjadi kedaerahan (sesuai
statutanya hanya terbatas di Jawa dan Madoera). Dengan berdirinya Boedi Oetomo,
misi Dr. Wahidin terpenuhi, tetapi mahasiswa STOVIA agak kecewa. Hal ini karena
itu tadi, Boedi Oetomo telah dikooptasi oleh golongan senior termasuk Dr.
Wahidin dan juga kecewa karena misinya telah bergesar dari nasional menjadi
kedaerahan. Golongan muda di dalam Boedi Oetomo secara perlahan tersingkir jelang
kongres Boedi Oetomo (yang akan diadakan di Jogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober
1908) termasuk Dr. Soetomo. Persoalan di Boedi Oetomo mendapat reaksi dari
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda.
Dalam kongres Boedi Oetomo di
Jogjakarta turut hadir beberapa pejabat Belanda. Dalam pidatonya seorang
pejabat mengatakan bahwa organisasi sejenis Boedi Oetomo sudah lama ada di
Padang. Ini mengindikasikan bahwa para peserta kongres dan para pejabat Belanda
yang hadir sudah mengetahui organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang
yang digagas oleh Dja Endar Moeda. Dengan demikian, Boedi Oetomo bukanlah
organisasi kebangsaan yang baru, tetapi yang baru diketahui adalah misi Boedi
Oetomo telah bergeser dari misi nasional menjadi misi kedaerahan. Jelas dalam
hal ini Pemerrintah Hindia Belanda diuntungkan karena pemerintah sangat
khawatir misi nasional semakin menguat. Satu pertanyaan yang belum terjawab
sejauh ini adalah apakah pejabat Belanda telah turut mengubah misi Boedi
Oetomo? Dan berusaha menghalangi semangat golongan muda dalam pembentukan
organisasi (bermisi) nasional? Apakah Soetomo dkk di STOVIA telah dikorbankan
jelang kongres Boedi Oetomo tersebut?
Sementara itu, mahasiswa senior di
Belanda Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan merasa gerah bergesernya misi
Boedi Oetomo ke tangan golongan senior (para pangeran dan bupati). Soetan
Casajangan, alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang tiba di Belanda tahun
1905 untuk melanjutkan studi mengundang semua mahasiswa Indonesia di rumahnya.
Hasil keputusan adalah mendirikan organisasi mahasiswa di Belanda yang disebut
Indisch Vereeniging dengan misi nasional yang ditetapkan pada tanggal 25
Oktober 1908 yang mana Soetan Casajangan secara aklamasi diangkat sebagai Presiden.
Sebagai sekretaris diangkat Raden Soemitro. Soetan Casajangan adalah adik kelas
Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda adalah
pendiri organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang pada tahun 1900.
Dalam perjalanan waktu organisasi
mahasiswa Indisch Vereeniging di Belanda dan Boedi Oetomo di Jawa yang
berkedudukan di Jogjakarta terus dengan pendirian masing-masing. Indisch
Vereeniging tetap dengan haluan nasional dan Boedi Oetomo tetap dengan sifat
kedaerahannya yang hanya terbatas di Jawa dan Madoera. Selama itu pula Boedi
Oetomo didukung habis Pemerintah Hindia Belanda dan selama itu pula Indisch
Vereeniging terus diwaspadai pemerintah. Namun di Belanda, perhimpunan
intelektual Belanda yang disebut Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi
para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sedikit
lebih mentolerir Indisch Vereeniging dan adakalanya mengundang Soetan
Casajangan untuk berpidato di hadapan para anggota perhimpunan intelektual
tersebut. Dalam suatu pertemuan tanggal 28 Maret 1911 di Leiden. Soetan Casajangan
berdiri dengan sangat percaya diri dihadapan forum orang-orang Belanda tersebut
dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs'
(peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi
pidatonya:
‘Geachte Dames en Heeren! (Dear
Ladies and Gentlemen). ..saya selalu
berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak
pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir
dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku
untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang
indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan
yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini
ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat
ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
Dalam perjalanan waktu Indisch
Vereeniging tetap eksis, tumbuh dan berkembang, tidak ada matinya. Pada tahun
1917 tiga serangkai dari Indisch Vereeniging Sorip Tagor Harahap, Dahlan
Abdoellah dan Goenawan mengusulkan nama Indonesia dalam kongres mahasiswa asal
Hindia di Belanda. Kongres tersebut dihadiri oleh mahasiswa Indo (orang Belanda
kelahiran Hindia) termasuk HJ van Mook, mahsiswa Tionghoa dan mahasiswa pribumi
(dari Indisch Vereeniging). Pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan
diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar
bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan
para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan
Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan
makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche
koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi
pidatonya:
Geachte Dames en Heeren!
(Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr.
van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan
kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar
sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap
sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya
peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya
orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang
ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan
bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras
untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah
membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan
cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari
keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar
sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah
kolonial]...’
Isi pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Sebab isu saat itu soal ketidakadilan
terjadi dalam berbagai aspek seperti pendidikan dan keehatan dan terdapat dimana-mana
termasuk di kantong-kantong perkebunan. Soetan Casajangan sendiri saat ini adalah
Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Yang tidak
terduga, dalam forum ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Sementara itu
di tubuh Indisch Vereeniging pada tahun 1921 para pengurus yang dipimpin Dr.
Soetomo mengubah nama organisasi menjadi Indonesiasche Vereeniging. Lalu yang
terakhir pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah nama Indonesiasche
Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).
Soetomo, ketua pendiri Boedi Oetomo
lulus di STOVIA pada tahun 1912. Pada tahun 1913 Dr. Soetomo ditempatkan
sebagai dokter pemerintah di Tandjong Morawa, Deli. Dr. Soetomo sangat kaget
melihat penderitaan kuli asal Jawa di perkebunan. Dr. Soetomo di luar dinasnya
melakukan advokasi kepada para kuli-kuli di perkebunan yang diperbudak para
planter (pengusaha perkebunan). Pada tahun 1915 Dr. Soetomo dipindahkan dan kembali
ke Jawa. Dr. Soetomo meminta diadakan rapat umum di Boedi Oetomo Afdeeling (cabang)
Batavia cabang yang berbeda dengan cabang lain Boedi Oetomo. Cabang Boedi
Oetomo di Batavia dipimpin oleh golongan muda terpelajar. Ketuanya adalah Dr.
Sardjito. Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin:
‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat
menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita
tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.
Pada bulan April 1918 muncul serial artikel
di surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan yang menurunkan laporan
tentang kekejaman di perkubunan terhadap para kuli. Laporan itu dikirimkan oleh
Parada Harahap seorang krani di perkebunan. Pada bulan Juni surat kabar Soeara
Djawa melansir artikel-artikel tersebut. Muncul kehebohan terutama di Jawa.
Saat itu Dr. Soetomo ditempatkan di Palembang. Boleh jadi Dr. Soetomo mulai
tersenyum, ternyata ada yang peduli tentang penderitaan kuli asal Jawa di Deli.
Akibat heboh itu, pemerintah melakukan penyelidikan. Yang mengirim laporan itu
adalah Parada Harahap (di dalam artikel tersebut namanya disebut ananim).
Parada Harahp dipecat sebagai krani dan lalu menganggur dan melamar menjadi
wartawan di Benih Merdeka. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampung ke
Padang Sidempoea dan mendirikan surat kabar baru dengan nama Sinar Merdeka.
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo
berangkat studi ke Belanda atas nama beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda.
Satu bulan kemudian menyusul Dr. Sardjito disekolahkan ke Belanda. Pengiriman Dr.
Soetomo dan Dr. Sardjito diduga keras ‘diasingkan’ ke Belanda dengan memberi ‘sogokan’
dalam bentuk beasiswa. Ternyata di Belanda Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito sambil
kuliah aktif berorganisasi di Indisch Vereeniging. Pada tahun 1921 Dr. Soetomo
terpilih menjadi ketua Indisch Vereeniging. Perilaku dua dokter muda ini boleh
jadi Pemerintah tidak terlalu khawatir karena Boedi Oetomo sendiri di Jawa
semakin menguat sebagai organisasi kedaerahan. Tetapi tentu bisa terjadi titik
balik. Dr. Soetomo, Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D (yang juga alumni
Belanda) mulai memainkan peran untuk mengubah haluan Baoedi Oetomo.
Sementara itu orang-orang
muda yang terpelajar di Boedi Oetomo lambat laun menemukan titik balik dan
secara sadar dan perlahan-lahan Boedi Oetomo kembali ke kittah yakni mengusung misi
nasional pada tahun 1935. Ini dimulai ketika Dr, Soetomo pulang ke tanah air,
pada tahun 1924 mendirikan klub studi di Soerabaja. Klub studi juga didirikan
oleh Ir. Soekarno yang baru lulus dari THS Bandoeng tahun 1926. Pada tahun 1917
klub studi di Bandoeng menjadi organisasi kebangsaan yang disebut Perhimpoenan
Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1928 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution
(sama-sama satu kelas dulu di STOVIA) mendirikan organisasi kebangsaan yang
disebut Persatoean Bangsa Indonesia (PBI).
Sepulang studi dari Belanda dengan
meraih doktor (Ph.D) tahun 1927 Mr. Soepomo, Ph.D ditempatkan sebagai ketua
pengadilan (Landraad) di Jogjakarta. Di Batavia pada tahun 1927 Parada Harahap
sekretaris Sumatranen Bond menggagaskan pembentukan organisasi supra nasional
yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia
(disingkat PPPKI). Ketuanya MH Thamrin dan sekretaris dijabat Parada Harahap. Di
Jogjakarta, Mr. Soepomo, Ph.D menikah dengan putri dari Kraton Jogjakarta.
Sejak inilah Mr. Soepomo, Ph.D menjadi duduk sebagai pengurus pusat Boedi
Oetomo yang berkedudukan di Jogjakarta. Pada tahun 1929 statuta Boedi Oetomo
diubah oleh Mr. Soepomo, Ph.D yang menyatakan Boedi Oetomo ikut mendukung
perjuangan nasional. Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito, Ph.D boleh jadi tersenyum
melihat keberanian Mr. Soepomo, Ph,D yang dengan sadar membawa Boedi Oetomo
bersama-sama ke jalan visi nasional (setelah sejak Oktober 1908 terus mengusung
misi kedaerahan). Pada tahun 1928 diadakan kongres PPPKI (senior) yang juga
diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior). Ketua kongres PPPKI ditunjuk Dr.
Soetomo dari Soerabaja. Untuk panitia Kongres Pemuda oleh Parada Harahap
sebagai sekretaris PPPKI ditunjuk Soegondo dari PPPI, golongan muda PPPKI (sebagai
ketua), Mohamad Jamin dari Jong Sumatranen Bond (sebagai sekretaris) dan Amir
Sjarifoeddin Harahap dari Jong Batak sebagai bendahara. Ketiganya kebetulan
sama-sama mahasiswa Rechtjooges School (RHS) yang mana pembimbing/dosen mereka
Prof. Husein Djajadiningrat. Catatan: Pembentukan PPPKI sendiri diadakan di
rumah Prof. Husein Djajadiningrat pada bulan September 1927. Husein
Djajadiningrat termasuk pendiri Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908.
Sponsor Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) adalah pengusaha
pribumi di Batavia (semacam KADIN pada masa ini). Ketua KADIN Batavia sendiri
adalah Parada Harahap (pemilik tujuh media).
Pada tahun 1928 organisasi
kebangsaan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) yang berpusat di Bandoeng yang
dipimpin Ir. Soekarno mengubahnya menjadi partai politik dengan nama Partai Nasional
Indonesia (juga disingkat PNI). Saat inilah Ir. Soekarno kali pertama
menghimbau agar Boedi Oetomo ikut berpartisipasi dalam perjuangan nasional.
Namun itu tidak cukup, meski Mr. Soepomo. Ph.D telah mengubah statuta Boedi Oetomo,
namun karena Boedi Oetomo masih didominasi golongan senior, maka Boedi Oetomo
berjalan setengah hati: golongan senior masih bersifat kedaerhan sementara
golongan junior sudah berhaluan nasional.
Pada tahun 1930 di Soerabaja organisasi
kebangsaan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) diubah menjadi partai politik.
Namun ada perbedaan antara partai Politik PNI dengan partai PBI. Partai PNI
hanya berjuang di luar, sedangkan parati PBI berjuang di parlemen. Salah satu
anggota partai PBI yang berhasil menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad)
Soerabaja adalah Dr, Radjamin Nasution pada tahun 1931.menjadi partai politik
dan PBI juga menjadi partai politik.
Sehubungan dengan
berubahnya PBI menjadi partai politik untuk berparlemen, Dr. Soetomo dan Dr.
Radjamin Nasution mulai mendekati pengurus Boedi Oetomo yang semakin hari
semakin banyak proporsi golongan muda yang terpelajar. Hasilnya gayung
bersambut. Lalu pada tahun 1935 PBI dan Boedi Oetomo merger (fusi) dan membentuk
partai baru yang disebut Partai Indonesia Raya yang disingkat Parindra.
Tokoh-tokoh politik dan revoluisoner yang tergabung dalam Parindra, selain Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution adalah MH Thamrin dan Parada Harahap.
Itulah sejarah societeit yang
awalnya sebuah klub sosial bermetamorposis menjadi organisasi kebangsaan dan
partai politik Indonesia. Untuk menyebut sedikit dari perjalanan anak bangsa
Indonesia ini menjadi Indonesia merdeka adalah sebagai berikut: Dja Endar Moeda,
Soetomo, Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat, Sardjito, Parada Harahap, Mohamad
Hatta, MH Thamrin, Soekarno, Soepomo, Radjamin Nasution, Soegondo, Mohamad
Jamin dan Amir Sjarifoeddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar