*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Kota-kota yang telah menjadi gemeente antara lain kota Semarang dan kota Tegal, Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri.
Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Kota-kota yang telah menjadi gemeente antara lain kota Semarang dan kota Tegal, Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri.
Batas kota Jogjakarta, 1890 |
Lantas mengapa kota
Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas berstatus gemeente.
Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri tetapi tidak pernah
berstatus gemeente? Itulah pertanyaannya. Suatu pertanyaan sepele tentang
gemeente dan gemeenteraad, tetapi memiliki dampak besar terhadap penataan (dinamika)
kota selama era kolonial Belanda. Uniknya, di dua kota ini pula pada akhir
perang kemerdekaan terjadi serangan umum: di Jogjakarta 1 Maret 1949 dan di
Padang Sidempoean Mei 1949.
Administrasi Pemerintahan Era Hindia
Belanda: Gubernur, Residen dan Controleur
Administrasi
pemerintahan sesungguhnya baru dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada
era VOC/Belanda meski jabatan Residen sudah ada tetapi batas-batas wilayah
pemerintahan belum dibuat secara tegas. Hanya disebutkan seorang residen
ditempatkan di kota atau pelabuhan tertentu. Jabatan terendah dalam struktur
pemerintahan saat itu (era VOC/Belanda) adalah posthouder. Jabatan tertinggi
adalah Gubernur Jenderal yang membawahi beberapa gubernur seperti Gubernur
Malaka dan Gubernur Amboina dan sejumlah residen (secara langsung).
Pada era Pemerintahan Hindia
Belanda, terutama pada masa jabatan Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811)
administrasi pemerintahan diperjelas dengan membentuk sejumlah wilayah menjadi
Provinsi atau Perfektur yang beribukota di kota-kota tertentu seperti Batavia,
Chirebon, Semarang dan Soerabaja. Namun era baru Pemerintahan Hindia Belanda
ini harus berakhir setelah terjadinya pendudukan Inggris yang dimulai pada
bulan Januari 1812. Pemerintahan Hindia Inggris dibawah Letnan Gubernur Raffles,
pulau Jawa (termasuk Madura) dibagi ke dalam 16 Residen. Dua diantaranya
Residentie Soeracarta dan Residentie Djocjocarta. Pendudukan Inggris juga tidak
lama lalu digantikan kembali Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1816 hingga
1942).
Pada era Pemerintahan
Hindia Belanda (sejak 1816) terminologi Province atau Prefectur tidak digunakan
lagi tetapi mengikuti konsep pembagian wilayah berdasarkan Residentie seperti
yang telah dilakukan Inggris. Namun dalam perkembangannya, tahun 1834 secara
khusus sejumlah residentie di Sumatra disatukan untuk membentuk satu provinsi yang
disebut Provinsi Sumatra’s Westkust yang beribukota di Padang. Pada tahun 1840
Residentie Bengkoelen dipisahkan dan Residentie Tapanoeli dimasukkan sebagai
penggantinya. Lalu tahun-tahun selanjutnya dibentuk Provinsi Groote Oost (baca:
Indonesia Timur) yang beribukota di Makassar. Di Kalimantan, seperti halnya di
Jawab tidak pernah dibentuk satuan administrasi provinsi. Pada tahun 1915 satu
residentie dan hanya satu-satunya yakni Residentie Oost van Sumatra
ditingkatkan statusnya yang dipimpin oleh seorang Gubernur berkedudukan di
Medan. Sebaliknya, status provinsi dan jabatan gubernur di Sumatra’s Wesrkust
dihapus. Baru pada tahun 1920an di pulau Jawa dibentuk provinsi, yakni: West Java
berkedudukan di Batavia, Midden Java di Semarang dan Oost Java di Soerabaja.
Dengan demikian Gubernur Jenderal membawahi lima Gubernur dan sejumlah Residen
yang bersifat otonom seperti Residentie Tapanoeli yang beribukota di Sibolga.
Pembagian wilayah ini tidak berubah hingga berakhirnya Belanda tahun 1942.
Residentie Soeracarta dan Jogjakarta:
Pembentukan Dewan
Pembentukan dewan (raad)
pada dasarnya dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam perencanaan dan
pengawasan pada suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini pada suatu wilayah
kesatuan pembangunan satu afdeeling atau beberapa afdeeling (gewest), kota
(gemeente) atau nasional dibentuk dewan untuk menampung aspirasi dari berbagai
pihak dalam perencanaan dan pengembangan. Pemerintah juga memiliki wakil di
dalam dewan. Perlunya pembentukan dewan ini juga sehubungan dengan perkembangan
sosial, politik dan budaya. Cikal bakal dewan (anggotanya digaji pemerintah) adalah
suatu dewan yang bersifat sukarela yang juga didayagunakan untuk pembentukan
dana (fonds) untuk pembangunan). Dewan pembangunan (Fonds) ini berkembang di
berbagai kota.
Sebagai contoh di Deli yang
beribukota di Medan (sebelum 1900) sudah dibentuk suatu dewan sukarela (fonds) yang diinisiasi oleh pemerintah
(Residen). Anggota dewan (fonds) ini adalah wakil-wakil dari perusahaan besar
atau asosiasi perusahaan (seperti Deli Mij, Spoor Mij), para pemimpin komunitas
seperti Kapten/Majoor China, pangeran yang mewakili kesultanan dan juga
wakil-wakil pemerintah seperti BOW. Dewan ini kemudian menyusun rencana,
mengumpulkan dana dan melaksanakan berbagai kegiatan seperti perbaikan jalan,
pengembangan drainase di dalam kota, penataan taman-taman kota dan bahkan
pembangunan gedung-gedung publik. Dewan sukarela ini terus berkembang sehingga
pada akhirnya bertransformasi menjadi dewan yang bersifat formal yang
anggotanya digaji oleh pemerintah seperti Afdeelingraad, Regentchapraad,
Volksraad dan gemeenteraad. Dewan sukarela (fonds) sebelumnya diangkat oleh
pemerintah lalu dewan formal dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan akhirnya
dipilih melalui suatu pemilihan (semacam
pemilu atau pilkada).
Pembentukan dana (fonds)
ini tidak terdeteksi di Soeracarta dan Djocjocarta. Dana-dana Fonds yang
terbentuk di berbagai kota memunculkan gagasan dalam proses desentralisasi yang
kemudian diformalkan pemerintah berdasarkan Staatsblad tahun 1903 Nomor 329. Rujukan
ini kemudian menjadi dasar pementukan Kota (Gemeente) di Batavia tahun 1903.
Kemudian dibentuk gemeente baru tahun 1905 di Soerabaja, Buitenzorg dan
Chirebon. Lalu pada tahun 1906 terbentuk gemeente di Makassar, Bandoeng,
Samarang, Tegal, Pekalongan, Magelang, dan Palembang (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1906).
Di Medan, dewan sukarela (Fonds) ini
sangat kuat karena didukung oleh para miliarder-miliarder yang tinggi di Medan
seperti para pengusaha kelas kakap di perkebunan, konglomerat bersaudara Tjong
A Fier dan Tjing Jong Hian. Dalam perkembangannnya, gengsi pemerintah
dipertaruhkan, lalu pemerintah menerapkan pembentukan dewan (raad) untuk
menggantikan dewan sukrela (fonds) baik untuk wilayah maupun kota. Pada tahun
1909, sebagaimana yang sudah dilakukan di kota-kota lain, kota Medan dibentuk menjadi
Kota (Gemeente). Seiring dengan pembentukan kota segera dibentuk dewan kota
(gemeenteraad).
Lantas mengapa Soeracarta
dan Jogjakarta tidak dibentuk menjadi kota (gemeente) dan juga mengapa di
Residentie Soeracarta dan Residentie Jogjakarta tidak terbentuk dewan atau
fonds? Sulit menemukan penjelasannya. Padahal kota Soeracarta dan kota
Djocjocarta memiliki potensi untuk dijadikan kota (gemeente) agar penggalian
dana dapat dimaksimalkan dan perencanaan wilayah atau kota dapat menjadi lebih
efektif. Satu-satunya faktor yang menjelaskan dalam hal ini adalah masih
kuatnya pemerintahan lokal di dua wilayah yang bertumpu pada Kaisar di Soeracarta
dan Soeltan di Jogjakarta yang pada gilirannya tiga stakeholder utama
(pemerintah, kraton dan pengusaha) berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan pengalaman sejak masa
lampau terutama pasca Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro) 1830,
secara psikologis antara pemerintah (Residen) dan pemimpin lokal (Kaisar dan
Soeltan) terus terjadi pasang surut. Pemerintah selalu sangat hati-hati jika
berkaitan dengan kebijakan yang berbeda dari pihak kraton. Akibat tidak terlalu
menyatunya pemerintah dan pemimpin lokal membuat pihak ketiga terutama para
pengusaha menjaga jarak. Seperti di berbagai tempat atau kota, hubungan
tripartit (pemerintah, pemimpin lokal dan para pengusaha) terbentuk hubungan
yang harmonis, sedangkan di Soeracarta terutama di Djocjocarta hubungan satu
sama bagaikan minyak dan air dalam satu wadah. Masing-masing menjalankan fungsi
masing-masing. Bagi pengusaha, sifat sukarelanya tidak muncul seperti di Medan,
karena para pengusaha lebih sering mengeluh karena kepentingan mereka kurang
mendapat penanganan seperti pembangunan jalan dan jembatan yang memperlancar
pengangkutan dalam usaha mereka. Hubungan kraton dengan pengusaha hanya sebatas
sewa lahan dan hubungan pengusaha dengan pemerintah serba tanggung karena
kemampuan pemerintah sangat terbatas di bidang anggaran. Terlambatnya
pembanguunan kereta api ke Soeracarta dan Jogjacarta lebih pada kurang
harmonisnya hubungan pemerintah dan pemerintah lokal. Dengan adanya pembangunan
kereta api, para pengusaha hanya melihat sisi bisnis saja. Oleh karenanya,
kantor-kantor pusat perusahaan-perusahan besar lebih memilih di Semarang dan
hanya cabang yang ditempatkan di Soeracarta dan Jogjakarta.
Dalam prakteknya para
konglomerat tidak menonjol di Soeracarta dan Jogjakarta. Konfigurasi ini
menyulitkan partisipasi pengusaha dalam penggalangan dana pembangunan (fonds). Yang terjadi di Jogjakarta adalah distribusi
kemakmuran yang lebih merata diantara para pengusaha dan para pangeran.
Akibatnya penggalangan dana berdasarkan partisipasi masyarakat kurang
berkembang di kota Soeracarta dan Jogjakaarta. Urusan pembangunan menjadi seakan
hanya urusan pemerintah. Pemerintah dalam mengintroduksi pembentukan kota
maupun pembentukan dewan menjadi mengalami kesulitan tersendiri.
Struktur pemerintahan di
masing-masing wilayah atau kota di Hindia Belanda berbeda-beda. Oleh karenanya
dalam menyusun administrasi pemerintahan disesuaikan dengan karakteristik
masing-masing wilayah dan kota. Yang jelas dari semua sistem administrasi yang
berbeda-beda itu hanya satu hal yang tetap: penerimanaan pemerintah harus lebih
meningkat agar surplus (untung) lebih besar. Pemerintahan VOC dan Pemerintahan
Hindia Belanda tetap menjalankan kebijakan koloni yang bertujuan untuk
keuntungan.
Pemerintah dalam mengelola pembangunan
wilayah atau kota dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif tetapi
belum tentu efisien. Pemerintah dalam hal ini adakalnya mendapat tekanan. Di
Soeracarta dan di Djocjocarta tekanan dari pemerintah lokal cukup kuat, sementara
di Deli tekanan para pengusaha yang cukup menonjol. Oleh karenanya setiap
wilayah atau kota memiliki kisahnya sendiri-sendiri dalam kaitannya dengan
pembangunan ekonomi dan sosial dan pengembangan politik dalam pemerintahan
dalam wujud otonomi (gemeente) atau partisipasi (gemeenteraad). Hasilnya ada
kota yang maju pesat dan ada kota yang maju lambat. Kota Jogjakarta termasuk
kota yang maju lambat dalam berbagai aspek urban.
Lahirnya Boedi Oetomo
pada tahun 1908 tidak cukup membantu untuk membuka perkembangan kota
Jogjakarta. Boedi Oetomo sudah melenceng sesuai yang diharapkan para golongan
muda. Boedi Oetomo cepat terkooptasi oleh golongan senior, Boedi Oetomo lambat
laun menjadi terkesan hanya sekadar klub atau paguyuban para pangeran dan
bupati. Pusat pemerintahan Boedi Oetomo tertambat di Jogjakarta. Boedi Oetomo
justru sebaliknya memberi pengaruh kuat dalam pengembangan kota di Batavia,
Semarang, Soerabaja, Bandoeng dan Buitenzorg. Para tokoh Boedi Oetomo di
kota-kota ini yang cenderung dari golongan terpelajar bertarung untuk merebut
kursi di dewan. Mereka yang terpilih bersuara lantang di dewan dalam urusan
perkotaan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, pengembangan pendidikan,
kesehatan dan lainnya. Kota Jogjakarta jauh dari hingar bingar semacam ini. Kota
Jogjakarta hidup dengan caranya sendiri, sunyi, sepi. Kesan gemerlapnya (perkembangan)
kota tidak terlihat. Kota Jogjakarta tenggelam diantara kota-kota utama di
Jawa.
Residen tidaklah ahli dalam urusan
kota (urban) sebab itu adalah urusan wali kota (burgemeester). Residen hanya
ahli dalam urusan wilayah, wilayah yang luas. Sekarang, ibarat bupati
mengembangkan kota masih jauh lebih piawai jika dilakukan oleh seorang Wali
Kota. Kota Jogjakarta tidak pernah menjadi Kota (gemeente) dan tentu saja tidak
akan pernah ada dewan kota (gemeenteraad) dan juga tidak pernah datang seorang
wali kota (burgemeester). Lantas mengapa Soeracarta dan Jogjakarta tidak pernah
menjadi kota (gemeente). Hanya satu alasan yang membuat itu terjadi, bukan
karena faktor Residen atau faktor Soeltan, tetapi karena kapasitas alamiah kota
untuk menjadi gemeente. Kapasitas alamiah kota dalam hal ini antara lain
kemampuan finansial warga kota, pertumbuhan dan perkembangan bisnis,
keterbukaan kota (heterogen), pemanfaatan lahan kota dan dinamika perdagangan
(arus keluar masuk barang).
Kota (gemeente) adalah
otonomi khusus di tengah wilayah pembangunan. Sebagai otonomi khusus,
pemerintah kota (burgemeester dan gemeenteraad) harus mampu menggali potensi ekonomi
kota untuk mempu membiayai sendiri. Elemen ini tampaknya secara alamiah tidak
dimiliki oleh Jogjakarta. Dan, karena itu pula Jogjakarta tidak pernah menjadi
gemeente. Kota Jogjakarta tetap menggyunakan (alokasi) anggaran (pembangunan)
wilayah yang dipimpin oleh seorang Residen. Sebagai perbandingan dapat
disandingkan antara kota Bandoeng dan Jogjakarta sebagai dua kota di pedalaman.
Semua elemen urban dan elemen pembentukan gemeente dimiliki oleh Bandoeng.
Apa yang terjadi di
Jogjakarta, setali tiga uang juga terjadi di kota Padang Sidempoean. Sebagai
kota di pedalaman, kota Padang Sidempoean tidak pernah memiliki kapasitas alamiah
untuk menjadi kota. Tidak ada potensi ekonomi kota yang dapat digali. Oleh
karena itu kota Padang Sidempoean tidak pernah menjadi gemeente. Namun ada
perbedaan antara kota Jogjakarta dengan kota Padang Sidempoean. Di kota Padang
Sidempoean terdapat kantor dewan. Bukan kantor dewan kota tetapi kantor dewan
wilayah (gewest). Hal ini karena di luar kota Padang Sidempoean terdapat cukup
banyak perkebunan. Lantas yang menimbulkan pertanyaan mengapa tidak terdapat
(kantor) dewan wilayah di Jogjakarta. Disinilah duduk soal perbedaan antara
kota Jogjakarta dengan kota Padang Sidempoean. Padahal wilayah di luar kota
Jogjakarta terdapat banyak perkebunan, Lalu faktor apa yang menyebabkan
suara-suara para pengusaha perkebunan tidak terbentuk dalam bentuk dewan di
Jogjakarta? Boleh jadi hanya satu jawaban yakni masing-masing dari tiga
stakeholder (pemerintah, kraton dan pengusaha) tidak ada yang mengambil
inisiatif. Dengan kata lain dari tiga stakeholder di Djocjocarta (juga di
Soeracarta) sama-sama merasa tidak memerlukan fungsi suatu dewan.
Hingga tahun 1921 di
seluruh Hindia Belanda terdapat sebanyak 31 kota yang sudah berstatus gemeente
(lihat lampiran di bawah). Masing-masing gemeente memiliki lembaga dewan kota
(gemeenteraad). Dari daftar ini tidak terdapat nama kota Soeracarta dan nama
kota Djocjocarta. Padahal dua kota ini terbilang dua kota tua.
Di seluruh Hindia Belanda terdapat
sebanyak 53 wilayah yang memiliki dewan (raad) yang mana 31 wilayah merupakan
gemeente. Uniknya, hanya satu wilayah yang setingkat onderafdeeling (kecamatan)
yakni Onderfadeeling Angkola en Sipirok atau juga disebut Onderfadeeling Padang
Sidempoean. Uniknya lagi, hanya di Onderafdeeling Padang Sidempoean
satu-satunya dewan yang terbentuk di seluruh Residentie Tapanoeli. Lantas
mengapa begitu? Satu-satunya jawaban: dari tiga stakeholder di wilayah
Onderafdeeling Padang Sidempoean masing-masing merasa penting dan perlu
dibentuk dewan. Ini seakan kota Jogjakarta dan kota Padang Sidempoean bertolak
belakang dalam menyikapi perlunya pembentukan dewan. Disinilah duduk soal
perbedaan antara kota Padang Sidempoean dengan kota Jogjakarta.
Semua gemeente dipimpin
oleh wali kota (Burgemeester), tetapi tidak semua gemeente memiliki wakil wali
kota (Locoburgemeester). Hanya kota-kota besar yang memiliki locoburgemeester. Burgemeester
dan Locoburgemeester semuanya orang Eropa/Belanda. Akan tetapi ada kekecualian
untuk Kota Batavia dan Kota Padang. Di dua kota ini orang pribumi pernah
menjadi Locoburgemeester. Di Kota Batavia pribumi yang pernah menjadi Locoburgemeester
adalah MH Thamrin (tahun 1930-1931) sedangkan di Kota Padang adalah Dr. Abdul
Hakim Nasution (1931-1942). Uniknya lagi kedua pribumi yang menjadi Locoburgemeester
adalah besanan. Putra Dr. Abdul Hakim Nasution, Mr. Egon Hakim Nasution menikah
dengan putri cantik MH Thamrin pada tahu 1935.
Dr. Abdul Hakim Nasution adalah
teman sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School (cikal bakal
STOVIA) yang sama-sama lulus tahun 1905. Pada tahun 1930 di Gemeente Soerabaja
terpilih satu diantaranya anggota dewan kota (gemeenteraad) yakni Dr. Radjamin
Nasution (teman sekelas Dr. Soetomo di STOVIA). Masih pada tahun 1930 di Medan
terpilih Abdul Hakim Harahap sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan. Abdul
Hakim Harahap kelak menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta (1950).
Last but not least. Mengapa
di Onderfadeeling Angkola en Sipirok (Onderafdeeling Padang Sidempoean) yang
merupakan satu-satunya di Hindia Belanda terdapat dewan pada tingkat kecamatan.
Boleh jadi ini ada relasinya dengan banyaknya orang-orang Padang Sidempoean
yang menjadi anggota dewan di berbagai tempat seperti Dr. Abdoel Hakim Nasution
di Padang, Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja dan Mr. Abdul Hakim Harahap di
Medan.
Pada tahun 1916 mulai dirasakan
perlunya dewan pusat, suatu dewan yang berkedudukan di Batavia. Namun fungsinya
masih sangat terbatas, kira-kira mirip dengan pembentukan Fonds di Deli. Pada
tahun 1918 semua gemeenteraad di Hindia Belanda ditingkatkan statusnya, para
anggota tidak lagi penunjukan tetapi dilakukan melalui pemilihan. Lalu pada
tahun 1927 untuk menjadi anggota Volksraad harus melalui pemilihan seperti yang
telah dilakukan di level gemeenteraad. Pada pemilihan anggota Volksraad pada
tahun 1930 jatah untuk pribumi sebanyak 17 orang yang mana 11 orang dari dapil
di (pulau) Jawa. Untuk (pulau) Sumatra dibagi ke dalam empat dapil yakni Dapil
West Sumatra, Dapil Zuid Sumatra, Dapil Oost Sumatra dan Dapil Tapanoeli/Atjeh.
Masing-masing dapil hanya diwakili oleh satu orang. Yang terpilih untuk Dapil
Tapanoeli/Atjeh adalah Dr. Alimoesa Harahap dan yang terpilih untuk Dapil Oost
Sumatra adalah Mr. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon. Alimoesa
Harahap dan Mangaradja Soeangkoepon juga berasal dari Afdeeling Padang
Sidempoean.
Lampiran:
.
Jumlah Anggota Dewan Pribumi/timur asing (non-Eropa)
di Hindia Belanda, 1921
|
|||
No
|
Nama
Daerah
|
Bentuk
administrasi
|
Jumlah
anggota dewan pribumi
(non-Eropa)
|
1
|
Angkola
en Sipirok
(
afd. Padang Sidempoean)
|
Onder-afdeeling
|
23
|
2
|
Bandjermasin
|
Gemeente
|
12
|
3
|
Bandoeng
|
Gemeente
|
13
|
4
|
Bantam
(Banten)
|
Gewest
|
12
|
5
|
Banjoemas
|
Gewest
|
13
|
6
|
Basoeki
|
Gewest
|
15
|
7
|
Batavia
|
Gemeente
|
17
|
8
|
Batavia
|
Gewest
|
22
|
9
|
Bindjei
|
Gemeente
|
6
|
10
|
Blitar
|
Gemeente
|
9
|
11
|
Buitenzorg
(Bogor)
|
Gemeente
|
14
|
12
|
Cheribon
(Cirebon)
|
Gemeente
|
7
|
13
|
Cheribon
(Cirebon)
|
Gewest
|
16
|
14
|
Fort de Kock (Bukittinggi)
|
Gemeente
|
7
|
15
|
Kediri
|
Gemeente
|
9
|
16
|
Kediri
|
Gewest
|
19
|
17
|
Kedoe
|
Gewest
|
26
|
18
|
Komering
Ilir
|
Gewest
|
17
|
19
|
Lematang
Ilir
|
Gewest
|
17
|
20
|
Madioen
|
Gemeente
|
11
|
21
|
Madioen
|
Gewest
|
13
|
22
|
Madura
|
Gewest
|
12
|
23
|
Magelang
|
Gemeente
|
11
|
24
|
Makasser
|
Gemeente
|
12
|
25
|
Malang
|
Gemeente
|
12
|
26
|
Medan
|
Gemeente
|
10
|
27
|
Menado
|
Gemeente
|
9
|
28
|
Minahasa
|
Afdeeling
|
37
|
29
|
Mr.
Cornelis (Jatinegara)
|
Gemeente
|
12
|
30
|
Modjokerto
|
Gemeente
|
8
|
31
|
Ogan
Ilir
|
Gewest
|
23
|
32
|
Oostkust
Sumatra
(Sumatra Timur)
|
Gewest
|
21
|
33
|
Padang
|
Gemeente
|
15
|
34
|
Padang
Pandjang
|
Gewest
|
20
|
35
|
Palembang
|
Gemeente
|
12
|
36
|
Pasoeroean
|
Gemeente
|
9
|
37
|
Pasoeroean
|
Gewest
|
25
|
38
|
Pekalongan
|
Gemeente
|
12
|
39
|
Pekalongan
|
Gewest
|
11
|
40
|
Pematang
Siantar
|
Gemeente
|
8
|
41
|
Preanger
Regentschappen
|
Gewest
|
28
|
42
|
Probolinggo
|
Gemeente
|
12
|
43
|
Rembang
|
Gewest
|
16
|
44
|
Salatiga
|
Gemeente
|
8
|
45
|
Sawah
Loento
|
Gemeente
|
5
|
46
|
Semarang
|
Gemeente
|
16
|
47
|
Semarang
|
Gewest
|
27
|
48
|
Soekaboemi
|
Gemeente
|
10
|
49
|
Soerabaja
|
Gemeente
|
19
|
50
|
Soerabaja
|
Gewest
|
24
|
51
|
Tandjong
Balei
|
Gemeente
|
6
|
52
|
Tebing
Tinggi
|
Gemeente
|
9
|
53
|
Tegal
|
Gemeente
|
10
|
Total
|
767
|
||
Catatan:
-Koefisien
Pemilu adalah 50
-Gemeente=kota
-Gewest=Terdiri
dari beberapa afdeeling
-Afdeeling=Terdiri
dari beberapa onder-afdeeling
Sumber:
De Preanger-bode, 01-02-1921
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar