*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini
Pada masa ini di pulau Kalimantan terdapat puluhan lapangan terbang (bandara). Namun itu semua bermula dari tiga: Tarakan, Balikpapan, Bandjarmasin. Pembangunan tiga lapangan terbang di pulau Borneo terkait dengan pengembangan jaringan penerbangan sipil internasional (Australia, Hindia Belanda, Filipina, Jepang dan China). Sebelumnya sudah berkembang penerbangan sipil di Jawa, Sumatra, Bali dan Koepang. Rencana penerbangan sipil di pulau Borneo ini bersamaan dengan jalur penerbangan baru ke Makassar dan Aboina.
Lantas bagaimana sejarah penerbangan dan sejarah kebandaraan di pulau Kalimantan? Sebagaimana disebut di atas, dimulai karena adanya kebutuhan penerbangan sipil (komersil) yang dihubungkan dengan jaringan penerbangan internasional. Lalu bagaimana itu semua berawal. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sejarah Awal Kebandaraan di Kalimantan: Tarakan, Balikpapan, Bandjarmasin
Tarakan dan Balikpapan kadung sudah terkenal karena produksi minyak. Tentu saja di dua kota ini sudah ada kehidupan yang dinamis, baik sebagai pengusaha maupun relasinya. Hal itulah yang menyebabkan dunia penerbangan sipil internasional melihat peluang menyambung jaringan penerbangan di kawasan yang luas (lihat De locomotief, 04-03-1935). Jaringan itu mencakup wilayah-wilayah Australia, Hindia, Nieuw Guenea, Filipina, Jepang dan China. Untuk jalur Borneo dan Filipina disambungkan Tarakan, Soeloe, Zamboanga dan Manila.
Dalam situsi dan kondisi inilah posisi Tarakan menjadi penting sebagai hub di Hindia Belanda (baca: Indonesia) dala pengembangan jaringan penerbangan sipil dari selatan (Australia) hingga di utara (Jepang). Untuk satu hub yang sudah eksis adalah Soerabaja, Singardja dan Koepang. Untuk meningkatkan jalur Borneo ini juga digagas agar KNILMM memperluas jangkauan ke Makassar pada tahap awal yang dikembangkan ke Amboina. Untuk jalur Jawa-Borneo akan dibangun titik penghubung di Bandjarmasin (dari Soerabaja) untuk terhubung dengan Tarakan melalui Balikpapan.
Gagasan pengembangan penerbangan sipil internasional segera direspon KNIL. Tidak butuh waktu lama KNILM mulai merealisasikannya. Pada bulan November sudah terlihat kemajuan yang dilakukan KNILM dalam persiapan di Borneo (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1935).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Republik Indonesia Akuisisi dan Operasikan 1953
Tidak diketahui berapa banyak yang dibangun di era Hindia Belanda dan pada era pendudukan Jepang serta era perang kemerdekaan. Yang jelas pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada era RIS (1950) jumlah lapangan terbang (bandara) yang ada sebanyak 30 buah. Meski demikian, semaua bandara ini ‘dikuasai’ oleh Belanda apakah secara fisik (bandara), pesawat dan sistem navigasi penerbangan. Umumnya adalah pesawat-pesawat KLM hanya segelintir yang dimiliki Pemerintah Indoensia. Namun situasi cepat berubah, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke negara kesatuan (NKRI) pada bulan Agustus 1950 (kabinet Mohamad Hatta dibubarkan dan digantikan kabinet Natsir yang umumnya Republiken).
Secara praktis, sejak kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hanya lapangan terbang Maguwol di Djogjakarta yang berada di tangan orang Indonesia. Ketika kembali ke negara kesatuan (NKRI) Agustus 1950 orang-orang Belanda berangsur-angsur kembali ke Belanda (termasuk orang-orang Belanda yang bekerja di dalam navigasi penerbangan maupun maskapainya sendiri KLM). Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk menangani semua bandara sistem kebandaraan tersebut karena tidak ada yang memahaminya selama ini.
Perdana Menteri Mohammad Natsir tampaknya jeli melihat situasi dengan memilih Menteri Perhubungan non partai, Ir. Djuanda Kartawidjaja (sebelumnya menjadi Menteri PU). Ir Djoeanda kemudian meminta adik kelasnya di THS Bandoeng, Ir Tarip Harahap untuk membantunya sebagai Direktur Penerbangan Sipil. Untuk urusan vital ini orang Indonesia sangat minim pengalaman. Tampaknya tidak ada pilihan, sebab sebelumnya Ir. Harahap, alumni THS 1939 tersebut hanya berpengalaman ketika ibu kota RI pindah ke Jogjakarta tahun 1946 sebagai Direktur DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia). Tak ada rotan, akar pun jadi. Orang Indonesia tidak ada yang berpengalaman dalam pengoperasian kebandaraan dan sistem navigasi penerbangan.
Sistem aviasi udara jelas berbeda dengan sistem darat DAMRI. Namun Ir Tarip Harahap harus bertanggungjawab karena sudah dipercayakan kepadanya. Kebetulan Ir Tarip Harahap adalah ahli teknik sipil dan karena itu untuk urusan kebandaraan lebih mudah dipahaminya. Tinggal urusan sistem aviasi penerbangan. It Tarip Harahap segera terbang ke Australia untuk beberapa minggu dalam mempelajari sistem penerbangan dari ahli-ahli Australia.
Setelah menyelesaikan masalah urusan penerbangan dan kebandaraan di Jawa, selaku Direktur Penerbangan Sipil, Ir. Tarip Harahap mulai mengembangkan urusan serupa di luar Jawa. Hal yang paling pokok ke barat adalah pengoperasian jalur penerbangan ke Medan (via Palembang). Sementara hal paling pokok ke timur dalam pengoperasian jalur penerbangan ke Makassar (terus ke Ambon) adalah negosiasi dengan militer untuk menjadikan lapangan terbang di Makassar sebagai bandara sipil.
Setelah selesai urusan penerbangan dan kebandaraan ke barat, Ir Tarip Harahap mulai mengembangkan pengoperasian jalur penerbangan ke pulau Kalimantan pada tahun 1953. Lapangan terbang di Kalimantan (Bandjarmasin, Balikpapan dan Tarakan) tidak terlalu masalah.
Sebelumnya Ir Tarip Harahap sudah mulai menasionalisasi pilot, Departemen Penerbangan Sipil, Kemenetrian Perhubungan mulai merintis sekolah pelatihan penerbangan sipil. Sekolah ini dipusatkan di Curug, Tangerang. Sementara pembangunan lapangan terbang di Curug, Tangerang berlangsung departemen penerbangan sipil menyiap kurikulum (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1952).
Sejauh ini Ir. Tarip Abdullah Harahap telah mengoperasikan sebanyak 30 bandara sipil dan sebanyak 20 buah bandara baru yang dibangun, termasuk bandara Curug, Tangerang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-02-1953).
Hari Senin tanggal 2 Maret 1953 secara resmi Sekolah Penerbangan Indonesia dibuka di Kemajoran (lihat De nieuwsgier, 03-03-1953). Dalam peresmian ini dihadiri oleh Menteri Perhubungan Ir. Djoeanda. Dalam foto tampak Menteri melakukan pemeriksaan barisan para siswa. Ir. Djoeanda tampak didampingi oleh Ir. Tarip Abdullah Harahap (celana hitam). Pelatihan penerbangan di Kemajoran ini adalah fase pertama pelatihan yang nantinya akan dikonsentrasikan di Tjoeroeg, Tangerang. Pada bulan Juni 1953 bandara di Indonesia mulai dimodernisasi (lihat De nieuwsgier, 12-06-1953). Disebutkan peralatan kontrol lalu lintas radio yang baru mulai dioperasikan yang pertama di bandara Talang Betutu di Palembang. Unit ini, yang sangat modern, yang tahun lalu oleh Kementerian Perhubungan dipesan di Inggris. Ir Tarip Abdullah Harahap dari kementerian menyatakan kepada PIA bahwa total ada sebanyak 30 unit yang dipesan oleh kementerian di Inggris. Bandara kedua yang akan mendapatkan unit seperti itu setelah Palembang adalah bandara Makassar, demikian menurut Ir. Harahap.
Lalu kemudian setelah selesai di Kalimantan dilanjutkan ke kepulauan Soenda. Yang mendapat prioritas pertama jalur di Indonesia Timur ini adalah untuk memastikan kelayakan lapangan-lapangan terbang yang ada di Denpasar, Sumbawa, Waingapu, Kupang, Maumere dan Makassar (lihat Java-bode:nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954). Bandara-bandara ini selama perang kemerdekaan dan agak terbaikan karena hanya digunakan untuk militer.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar