*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah zaman kuno adalah dasar pembentukan
cabang pemerintahan. Selama era Portugis dan Belanda/VOC secara teknis belum
terbentuk cabang pemerintahan, tetapi baru terjadi pada era Hindia Belanda (pasca
dibubarkannya VOC tahun 1799). Pembentukan cabang pemerintahan di Jambi dimulai
di Palembang dalam rangka pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda yang
berpusat di Palembang (Residentie Palembang). Lalu dalam perkembangannya Jambi
menemukan jalan sendiri hingga menjadi suatu provinsi (hingga ini hari).
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904, Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan (Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906). Pemerintahan Hindia Belanda berakhir tanggal 9 Maret 1942 yang digantikan Jepang. Serelah proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, dimana kemudian Sumatera menjadi satu provinsi (Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya). Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan provinsi Sumatera dilikuidasi dengan membentuk tiga provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan). Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah (UU nomor 10 tahun 1948). Dalam UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Keresidenan Jambi terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci, bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat (bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Keresidenan Jambi menjadi provinsi seiring dengan pemberontakan PRRI, Keresidenan Jambi secara de facto menjadi provinsi tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (https://jambiprov.go.id/profil-sejarah-jambi)
Lantas bagaimana sejarah era Hindia Belanda di Jambi? Seperti yang disebut di atas, wilayah Jambi masa ini adalah salah satu provinsi di Indonesia. Dalam hal ini era Hindia Belanda adalah era pemerintahan Belanda di Hindia yang menjadi cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lalu bagaimana sejarah era Hindia Belanda di Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Era Hindia Belanda di Jambi; Pemerintahan Belanda di Hindia, Cikal Bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia
Awal pembentukan cabang pemerintahan di Jambi, sejatinya dimulai di Palembang. Hal serupa juga terjadi di seluruh Hindia, dimulai dari satu titik, dimana Pemerintah Hindia Belanda menetapkan satu titik permulaan, yang kemudian dikembakan ke seluruh penjuru wilayah. Seperti halnya di Jawa, dimulai di Batavia (kini Jakarta) lalu secara bertahap menyeluruh di seluruh wilayah (pulau) Jawa. Di (pulau) Sumatra dimulai di dua titik yang berbeda waktu: di pantai timur Sumatra di Palembang dan kemudian di pantai barat Sumatra dimulai di Tapanuli.
Pasca pendudukan Inggris (1811-1816), Pemerintah Hindia Belanda yang
sempat terhenti lima tahun, cabang-cabang pemerintahan direorganisasi, dengan
memodifikasi kembali system pemerintahan terakhir yang dijalankan oleh Inggris.
Pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda memulai kegiatan (cabang)
pemerintahan di Palembang dengan menempatkan seorang Residen. Hal yang sama
juga pada tahun yang sama dimulai di Semarang, Soerabaja, Bandjarmasin dan
Makassar. Pembentukan cabang pemerintahan di pantai barat Sumatra sedikit telah
karena kekuatan Inggris di pantai barat Sumatra masih eksis (meski sudah ada
serah terima dari Inggris ke Belanda tahun 1916). Pada tahun 1819 Pemerintah
Hindia Belanda memulainya dengan pusat pemerintahan di Tapanoeli dengan
menempatkan pejabat setingkat Asisten Residen. Pada fase ini tampaknya Inggris
masih bingung, personel dan pejabat Inggris mau ditempatkan dimana. Setelah
mendapatkan (pulau) Penang, Inggris kemudian mendapatkan Singapoera (1819). Sisa
pemerintahan Inggris di pantai barat Sumatra yang berpusat Bengkulu (dan
menumpang paksa di Padang) terus melakukan konsolidasi sehingga ditemukan jalan
keluar, yakni dilakukan tukar guling antara Malaka (Belanda) dengan Bengkulu
(Inggris) dalam perjanjian 1824 di London (Traktat London 1824). Seiring dengan
terbentuknya koloni baru si Semenanjung Malaya (The Strait Settlement) dengan
basis di Penang dan Singapoera plus Malaka, maka Inggris yang tidak menentu di
pantau barat Sumatra akhirnya bedol desa ke The Strait Settlement yang berpusat
di Penang. Lalu pada tahun 1826 Pemerintahan Hindia Belanda merapihkan struktur
cabang pemerintahan (Residentie Pantai Barat Sumatra) dengan merelokasi ibu
kota dari Tapanoeli ke Padang dengan meningkatkan status dari Asisten Residen
menjadi Residen. Lalu setahun kemudian pantai barat Sumatra bagian selatan
dibentuk satu residentie baru dengan ibu kota di Bengkulu. Praktis pada tahun 1827di
(pulau) Sumatra sudah terbentuk tiga residentie, dengan ibu kota di: Pelembang,
Padang dan Bengkulu. Namun seiring dengan peningkatan eskalasi politik di pantai
barat Sumatrea dengan Gerakan Padri yang semakin luas dan intens, dibentuk satu
residentie baru (Residenti Air Bangis, yang terdiri dari Air Bangis, Natal,
Angkola Mandailing dan Tapanoeli). Pembentukan residentie baru ini untuk
melengkapi statuus pantai barat Sumatra dijadikan sebagai satu provinsi dengan
menempatkan seorang gubernur di Padang. Pada saat Gubernur pantai barat
Sumatra, Kolonel AV Michiels perlawanan Padri berhasil ditaklukkan pada tahun
1838. Seiring dengan situasi yang mulai kondusif, Residentie Padangsche (Benelanden)
dimekarkan dengan membentuk residentie baru (Residentie Padangsche Bovenlanden).
Ini dengan sendiri, residentie Bengkulu dipisahkan dari provinsi Sumatra’s Westkust
sebagai residentie Mandiri (seperti halnya Residentie Palembang). Pada tahun
1840 Residentie Air Bangis dilikuidasi dengan membentuk Residentie Tapanoeli
(jumlah residentie di provinsi tetap tiga).
Selama penataan cabang-cabang pemerintahan Hindia Beland di pantai barat Sumatra, banyak hal yang terjadi di pantai timur Sumatra (Residentie Palembang). Dalam Almanak 1827 di Residentie Palembang dipimpin oleh Residen JC Reynar yang berkedudukan di Palembang. Residen Reynar dibantu oleh dua asisten residen, yakni asisten residen urusan di Palembang dan satu asisten residen untuk urusan luar Palembang (wilayah Lampung dan wilayah Jambi). Dalam Almanak ini wilayah Bangka sendiri sudah dipisahkan dari Palembang dengan membentuk residentie sendiri dengan struktur pemerintahan yang masih sangat sederhana (dimana di pulau Belitung ditempatkan seorang Asisten Residen). Pada fase ini di wilayah pantai timur Sumatra yang berpusat di Palembang sudah sejak awal kehadiran Pemerintahan Hindia Belanda 1816 terbilang kondisif (setelah kerusuhan sebelumnya).
Cababf pemerintahan Hindia Belanda suda sejak awal, setelah terbentuknya
Pemerintahan Hindia Belanda sebagai kelanjutan pemerintahan VOC yang dibubarkan
pada tahun 1799. Pada era Gubernur Jenderal Daendels, sejak 1809 sudah banyak
kemajuan di Jawa, tetapi di pulau Sumatra, Residen Palembang masih bekerja
sendiri di wilayah yang jauh dan sunyi (tidak ada cabang pemerintahan
terdekat), hanya berinteraksi langsung ke Batavia. Pada tahun 1811 terjadi
pendudukan Inggris di Jawa, Daendels menyerah. Seluruh Jawa dengan segera
dikuaasi Inggris. Dalam kesibukan Inggris di Jawa, dan terputusnya wilayah luar
seperti Palembang dengan Jawa), maka pemerintahan Hindia Belanda di Palembang
seakan terisolasi dan semakin melemah (karena tidak bertuan lagi di Batavia).
Pada fase inilah seorang pangeran Palembang melakukan pemberontakan (meski
tidak direstui sang ayah, Radja Palembang: Sultan Mahmud Badaruddin) dan
terjadi perang berdarah yang mana Residen dan keluarganya terbunuh. Tidak ada
pejabat/orang Belanda yang tersisa. Pada tahun 1812 satu detasemen Inggris dikirim
dari Jawa untuk menggantikan posisi cabang pemerintahan Hindia Belanda, tetapi
yang ditemukan berita yang sangat mencekam. Pasukan Inggris segera paham dan segera
pula melakukan tindakan (sesame Eropa meski bermusuhan). Pemerintahan Hindia
Belanda Kembali menggantikan Inggris. Permasalahan yang tersisa dari Inggris
diambil alih Belanda, lebih-lebih dengan dendam yang membara karena tragedi terbunuhnya
Residen sebelumnya. Pangeran Palembang menjadi target: dead or alive. Singkat
kata perlawanan Pangeran Palembang berakhir tahun 1821. Pangeran yang kini dikenal
Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan dan cabang pemerintahan Hindia Belanda
di Palembang mulai secara perlahan kondusif.
Dalam Almanak 1831 struktur pemerintahan di Palembang sudah lengkap dan menyeluruh. Residen dijabat oleh CFE Praetorius. Struktur pemerintahan di Bangka juga sudah lengkap. Kelengkapan ini karena pemerintahan local juga sudah terbentuk yang juga dibentuknya pengadilan local (Landraad). Dalam struktur pemerintahan di Palembang, fungsi asisten residen urusan luar (daerah) dihapuskan, sementara struktur pemerintahan lokal hanya terbatas di wilayah Palembang (daerah aliran sungai Musi) yakni di Ogan, Komering Ilir, Komering Oeloe, Rawas, Limatang, Moedi Ilir, Moesi Tanga dan Moesi Oeloe.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam struktur pemerintahan baru
di Palembang (dan Bangka) tidak ada yang mengindikasikan hal yang terkait
dengan di Jambi. Fungsi asisten residen urusan luar (buitenland) dihapus.
Apakah ini ada indikasi Jambi dilepaskan, sementara fungsi pemerintahan hanya
diintensifkan di Palembang dan Bangka? Kita lihat nanti. Yang jelas dalam almanac
1831 sudah terbentuk cabang pemerintahan di Riau setingkat residen.
Dalam konteks pembentukan cabang pemerintahan di Jambi, yang mengejutkan adalah pembentukan cabang pemerintahan di (kepulauan) Riau. Dalam Almanak 1836) tiga residentie yang sudah ada (Palembang, Bangka dan Riau) semakin berkembang. Namun ada apa di Jambi. Satu yang membedakan dalam pemerintahan lokal di Riau fungsi Sultan masih berkuasa (dipimpin oleh Sultan Lingga dan wakilnya Sultan Riau di Penyengat. Dalam Almanak ini di Jambi fungsi Sultan Jambi Mohamad Fahruddin di Jambi. Sebelum pengakuan ini, Sultan Jambi telah melakukan perlawanan pada paruh kedua tahun1833.
Drentsche courant, 14-01-1834:’Laporan dari Palenibang~ sampai 10 Agustus. sangat menguntungkan. Pada awal Juli, asisten residen Andriesse telah mengikuti detasemen pasukan, yang dikomandani oleh letnan satu artileri, Vrijdaq ke dataran tinggi untuk mengarahkan langkah-langkah sendiri untuk menaklukkan Sultan Jambi. Pada tanggal 14 bulan itu, kekuatan musuh di Sereka direbut oleh badai, pada saat itu Letnan Vrijdag, Letnan 2 Erencron, Sergant de la Bare, Kopral Lobster, yang pertama kali menembus tikungan. Kemudian kampong Keban diduduki oleh kami, dan pada saat mereka mendekati kaampong Maeara Rawas, dimana musuh telah membentengi diri terutama di sungai. Selanjutnya ke arah timur musuh melancarkan serangan terhadap kampong Maeara Rawas yang dilaporkan, yang telah ditempatkan dalam status pertahanan oleh kita, tetapi dipukul mundur dengan kekalahan. Posisinya disekitarnya kemudian direbut dan pada saat itu ia kembali menderita kerugian yang cukup besar, dimana Sultan Jambi mundur dan pada tanggal 7 Agustus ia telah mundur ke perjalanan sehari dari perbatasan Jambi. Sementara bala bantuan dari Batavia telah tiba di Palembang, dibawah komando Overste (AV) Michiels. Para kepala suku asli telah sangat berjasa dan akan menerima penghargaan dari Pemerintah untuk ini”
Cabang-cabang pemerintahan Hindia Belanda di Residentie Palembang semakin
diperluas ke Jambi dan Lahat. Sebagaimana diketahui di Palembang sendiri sudah
sejak lama fungsi Sultan dihapuskan. Sultan Jambi di daerah aliran sungai
Batanghari dengan kraton di Jambi dilibatkan dalam pemerintahan local. Dapat
ditambahkan seiring dengan penempatan pejabat di Jambi, di district Lampong
juga ditempatkan seorang pejabat militer pangkat kapten yang menjalankan fungsi
Controleur yang dibantu oleh seorang kommies.
Pada tahun 1836 Cabang-cabang pemerintahan di (pulau) Sumatra semakin meluas. Selain di pnatai barat sudah mencapai Tapanoeli, di pantai timur Sumatra sudah mencapai Jambi. Di wilayah kepulauan dari Bangka diperluas ke Riau. Di pedalaman Sumatra sudah mencapai Lahat serta di pantai selatan Sumarta di Lampong (Telok Betoeng). Yang masih tersisa adalah wilayah Riau daratan, Sumatra Timur plus Atjeh.
Di wilayah pedalaman Sumatra, praktis di pnatai timur Sumatra baru
dibentuk hanya di Lahat. Sementara di pantai barat Sumatra di pedalaman sudah
terbentuk di Agam (residentie Padangsche Bovenlanden) dan di Angkola Mandailing
(Residentie Air Bangis). Satu yang khusus dalam hal ini, jika dari arah pantai
timur cabang pemerintahan terjadi di Lahat, maka dari arah pantai barat cabang
pemerintahan terjauh di Ampat Lawang (yang menjadi bagian wilayah Residentie
Bengkoelen). Lahat (kini berpusat di Lubuk Linggau) berada di utara dan Ampat
Lawang di selatan (kini berpusat di Tebing Tinggi, yang masuk Sumatra Selatan).
Harus dicatat dalam hal ini bahwa fase ini di Sumatra bagian utara di pedalaman
Padangsche Borvenlanden (Agam dan sekitar) dan Air Bangis (Angkola Mandailing
dan sekitar serta Rao dan sekitar) terjadi pertarungan antara militer Belanda
dan galongan Padri. Seperti disebut di atas perlawanan Padri ini berakhir tahun
1838 di Bondjol dan kemudian tahun 1839 di Padang Lawas (Dalu-Dalu). Lalu
bagaimana di wilayah Sumatra bagian selatan? Seperti kita lihat nanti mulau ada
riak-riak perlawanan di pedalaman, seperti di Lahat, Lampong dan tentu saja di
Jambi.
Dalam Almanak 1840, yang sebelumnya Ampat Lawang masuk Residentie Bengkoelen, sebaliknya telah dimasukkan ke wilayah Residentie Palembang. Tidak hanya Ampat Lawang juga Redjang. Sementara itu di (Residentie) Padangsche Bovenlanden semakin meluas ke Lima Poeloeh Kota (Paijakoemboe), Tanah Data dan Solok. Sedangkan di wilayah Residentie Air Bangis semakin meluas ke Portibi yang mencakup wilayah Padang Lawas, Pane, Bila dan Tambusai (Dalu0Dalu). Seorang Controleur di tempatkan do wilayah Bila, yang ini mengindikasikan Residentei Air Bangis dalam rentang coast to coast (pantai barar dan pantai timur). Bagaimana dengan di Jambi?
Di wilayah Jambi tetap hanya terbatas di Moeara Kompeh, seorang pejabat
sipil setingkat Controleur. Sementara di wilayah Lampong cabang pemerintahan
telah meluas ke seluruh wilayah distrik Lampong seperti di Manggala. Kini,
wilayah Jambi dan wilayah di utara (Siak), yang di satu sisi masih terbatas di
Jambi, masih indepensn diantara Palembang/Jambi di selatan, di barat Padangsche
Bovenlanden/Lima Poeloeh Kota dan Solok, di utara Air Bangis/Bila dan Tambusai,
dan di timur (kepulauan) Riau. Dalam hal ini di Jambi masih cabang pemerintahan
permulaan.
Dalam Almanak 1846 situasi dan kondisi di Jambi masih tetap sama seperti sebelumnya, seorang pejabat sipil setingkat Controleur di Moara Kompeh. Namun yang agak berubah adalah di Lahat sudah ditempatkan seorang pejabat sipil, tetapi sebaliknya di Tebing Tinggi (Ampat Lawang) yang ditempatkan adalah seorang militer dengan pangkat Kapiten yang berfungsi sebagai Controleur. Ada apa? Perlawanan penduduk mulai muncul terhadap kehadiran otoritas Pemerintah Hindia Belanda.
Sejak 1845 Residentie Air Bangis dilikuidasi, sebagai penggantinya
dibentuk Residentie Tapanoelie. Afdeeling Air Bangis dan Rau dimasukkan ke
residentie Padangsche Benelanden. Residentie baru ini terdiri dari Natal, Angkola
Mandailing, Sibolog dan sekitarm Baros dan Singkil serta Padang Lawas. Yang
menjadi residen pertama adalah Luitenan Colonel A van der Hart, seorang anak
buah Kolonel AV Michiels pada tahun 1838 yang berhasil memasuki benteng Bondjol
(masih panhkat kapten). Pada fase ini Hart tengah menghadapi ancaman dari utara
(Atjeh) dan sisa Padri di Padang Lawas. Dalam hal ini AV Michiels sendiri adalah
mantan salah satu komandan di Palembang dalam ekspedisi melumpuhkan perlawanan
Pangeran Palembang 1820 (masih berpangkat kapten).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pemerintahan Belanda di Hindia, Cikal Bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia: Proses Pembentukan Cabang Pemerintahan di Jambi
Pada tahun 1850 di Residenti Palembang yang menjabat sebagai residen adalah seorang militer dengan pangkat Luitenant Colonel (CA de Brauw). Boleh jadi ini karena peningkatan eskalasi politik di pedalaman Lampong dan Palembang. Status pemerintahan di Tebing Tinggi ditingkatkan dari Controleur menjadi Asisten Residen. Cabang pemerintahan di Lahat di Likuidasi, yang boleh jadi dipusatkan semua di Tebing Tinggi. Boleh jadi perlawanan penduduk semakin nyata, Ini juga dengan penempatan seorang pejabat di Rawas seorang militer berpangkat Luitenan. Residentie Palembang mulai tergoncang setelah perlawanan beberapa decade yang lalu dipimpin oleh Pangeran Palembang (Sultan Mahmud Badaruddin II). Lalu bagaimana di Jambi?
Dalam Almanak 1853 Jambi telah dipisahkan dari Residentie Palembang. Meski demikian, di Jambi hanya pemerintahan terbatas di Moeara Kompeh. Yang membedakan dengan sebelumnya adalah pejabat tersebut kini seorang militer dengan pangkat kapten. Ada apa? Apakah karena eskalasi politik yang terjadi di pedalaaman selatan di Lampong, dan di barat pedalaman Pallembang di Lahat? Perlawanan di pedalaman Palembang ini dipimpin oleh Radja TÃangalam (di wilayah Komering Oeloe). Catatan: Sejak 1852 Residentie Palembang terdiri dari lima afdeeling: (1) Palembang dan sekitar; (2) Tebing Tinggi dan sekitar; (3) Ogan Oeloe dan sekitar, (4) daerah aliran sungai Rawas; (5) Djambi. Suatu wilayah kerajaan Jambi dibawah sultan kecuali Moara Kompeh yang langsung oleh pejabat Belanda dimana tahun 1858 dilakukan kontrak (plakat) antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan.
Setelah sekian lama, di Jambi mulai ada perubahaan cabang pemerintahan yakni pemimpin tertinggi berkedudukan di Jambi, seorang militer pangkat kapten dan di Muara Kompeh seorang pejabat militer dengan pangkat eerste luitenant (lihat Almanak 1864). Namun dalam hal ini perlu dicatat Redjang/Lebong masih menjadi bagian dari Residentie Palembang. Di wilayah daerah aliran sungai Musi semakin lengkap cabang-cabang pemerintahan dengan penempatan pejabat Belanda. Di wilayah hanya ada satu pejabat setingkat Asisten Residen di Tebing Tinggi dan yang lainnya setingkat Controleur di sejumlah afdeeling/onderafdeeling termasuk di onderafdeeling Ampat Lawan dan onderafdeeling Redjan Lebong. Pada tahun 1865 distrik Lampong ditingkatkan menjadi sebuah Residentie.
Pada tahun 1867 yang menjadi Residen Palembang adalah JAW van Ophuijsen.
Seorang yang humanis yang memulai karir sebagai Controleur di Natal (Tapanuli)
pada tahun 1850. Pada tahun 1857 dipromosikan menjadi Asisten Residen di Padangsche
Bovenlanden. Anak pertamanya Charles Adrian van Ophuijsen lahir tahun 1854
(kelak menjadi penyusun tata bahasa Melayu, ejaan van Ophuijsen). Pada tahun
1866 di Lematang Oeloe en Ilir ditambahkan satu Asisten Residen di Lahat. Ini
mengindikasikan bahwa di wilayah daerah aliran sungai Musi cabang pemerintahan
semakin meningkat.
Pada tahun 1870 Residentie Palembang menjadi Sembilan afdeeling (lihat Almanak 1870). Residen masih dijabat oleh JAW van Ophuijsen. Di wilayah Jambi masih seperti sebelumnya. Namun seorang sipil yang mendamping Sultan di Jambi (tetapi masih letnan di Moara Kompeh). Ini masih mengindikasikan di wilayah Jambi masih kondusif di bawah kepemimpinan Sultan.
Di Residentie Riau, residen dijabat oleh Elisa Netscher (sejak 1861). Sejak
1863 Residentie Riau diperluas dengan membentuk Afdeeling Siak Indrapoera
(pantai timur Sumatra) dengan menempatkan Controleur di Bengkalis, Asahan dan
Deli dan satu pejabat di Laboehan Batoe. Wilayah Laboehan Batoe awalnya masuk
ke pantai barat Sumatra). Di Residentie Tapanoeli, pantai barat Sumatra juga
cabang pemerintahan sejak 1865 sudah mencapai pedalaman di Silindoeng dan Toba
(namun ada perlawanan keras dari Sisingamangardja). Ini mengindikasikan bahwa
cabang-cabang pemerintahan Hindia Belanda sudah meliputi seluruh Sumatra (minus
Atjeh). Meski begitu, di wilayah Jambi, sekalipun sudah lama ada cabang pemerintahan
tetapi masih setingkat Controleur. Mengapa begitu? Sisa perlawanan yang
signifikan terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra hanya di
wilayah Toba dan sekitar dan wilayah Atjeh.
Namun demikian, wilayah Jambi meski masih berada di bawah langsung Sultan (kecuali di Moara Kompeh), secara tidak langsung wilayah Jambi telah diapit oleh sejumlah pejabat Pemerintah Hindia Belanda yakni: Asisten Residen di Lingga (Residentie Riau): Residen Palembang yang dibantu pejabat di Banyuasin dan di Lahat; Asisten Residen di Solok (Residentie Padangsche Bovenlanden); Controleur di Indrapoera (Afdeeling Painan, res Padangsche Benelanden) yang meliputi wilayah Kerinci. Dan tentu saja Asisten Residen di Siak Indrapoera. Andaikan ada perlawanan di Jambi, tidak ada lagi jalur escape. Namun yang jelas system pemerintahan di Jambi yang masih bersifat local terkesan special dengan kedudukan Sultan (dan minimnya pengaruh langsung Pemerintah Hindia Belanda). Singkat kata: pada tahun 1906 situasi dan kondisi di Jambi berubah. Boleh jadi hal yang di Jambi ini terkait dengan hamper berakhirnyan Perang Atjeh dan Perang Batak.
Meski sudah sejak lama dipisahkan dari Residentie Palembang, wilayah
Jambi secara resmi dipisahkan dengan membentuk Residentie Jambi pada tahun 1906
yang mana didalamnya termasuk landscbap Koertntji (Stbls. 1906 No. 187 dan 259). Sementera pembentukan residentie berdasarkan Stbls. 1906 No. 261,
286 dan 461), kemudian Stbls. 1907 No. 295 dan Srbls 1908 No. 324, yang mana wilayah Residentie
Djambi terdiri dari empat afdeeling: (1) Djambi (hoofdplaats Djambi); (2) Moearotembesi (hoofdplaats Moearotembesi); (3) Moearatebo
(hoofdplaats Moearotebo); (4) Djambische
Bovenlanden (hoofdplaats Bangko) yang terdiri dari empat onderafdeeling: (a) Bangko (hoofdplaats Bangko'); (b) Moearoboengo (hoofdplaats
Moearoboengo); (c) Sarolangoen (hoofdplaats
Sarolangoen); (d) Koerintji (hoofdplaats Soengai
Penoeh).
Residen pertama di residentie Jambi adalah OI Helfrich (Stbls 1905 No 20) lalu digantikan AJN Engelenberg pada bul;an Desember 1908. Controleur di Afd Jambi adalah H F van Oa; di Afd Moeara Tembesi AF Meijer; di afd. Moera Tebo LC Ouwerling. Sementara di afd Djambi Bovenlanden setingkat Asisten Residen RC van den Bor dimana di masing-masing Bangko, Moeara Boengo dan Soengei Penoeh serta Saeolangoen ditempatkan Controleur. Masing-masing pejabat Controleur didamping oleh seorang demang.
Di wilayah Onderafdeeling Moera Boengo di Moeara Boengo, Controleur
dijabat oleh EWF van Walchren. Sedangkan demangnya adalah Si Ali alias Si Kali
gelar Soetan Oloan (Harahap). Soetan Oloan memulai karir di dalam pemerintahan
di Padang Sidempoean. Demang di Soengai Penoeh adalah juga berasal dari Padang
Sidempoean Ihrahim gelar Soetan Goeroe. Satu lagi demang yang berasal dari
Padang Sidempoean adalah Mangaradja Gading yang mengawali karir sebagai
opziener di Sarolangun yang kemudian diangkat menjadi demang. Salah satu anaknya
lahir di Sarolangoen pada tahun 1905 diberinama Abdoel Hakim. Kelak, Abdoel
Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli (1948-1929), Wakil Perdana Manteri RI
di Jogjakarta (1950) dan Gubernur Sumatra Utara (1951-1953) dan Menteri Negara
bidang pertahanan 1955.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar