*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini
Suatu wilayah sejarah tidak hanya sebatas
wilayah administrasi, juga terkait dengan sejarah geografis. Akan tetapi itu
tidak cukup, dalam batas-batas administrasi di wilayah geografi Bengkulu juga perlu
memperhatikak geomorfologis wilayah. Sebab, perubahan geomorfologis wilayah
dari masa ke masa akan terkaut dengan perubahan wilayah geografis yang dengan
sendirinya perubahan wilayah aministrasi.
Wilayah administasi (provinsi) Bengkulu pada masa ini meliputi Sembilan kabupaten dan satu kota. Dengan memperhatikan bentuk geografis, dengan memisahkan tiga kabupaten (kabupaten Lebong, kabupaten Rejang Lebong dan kabupaten Kapahiang), terlihat wilayah geografis provinsi Bengkulu seperti garis sejajar dengan pantai barat Sumatra. Garis geografi pantai ini menjadi garis pantai yang lebih panjang di masa lalu. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, wilayah administrasi residentie Bengkulu telah dikurangi wilayah district Indrapura (kini masuk wilayah administrasi kabupaten Pesisir Selatan, provinsi Sumatra Barat). Pada era Republik Indonesia wilayah administrasi provinsi Bengkulu dikurangi district Krui (kini masuk wilayah adsministrasi kabupaten Pesisir Barat). Jadi dalam hal ini provinsi Bengkulu diapit oleh wilayah administrasi Pesisir Srlatan di utara dan Pesisir Barat di selatan). Lalu mengapa tiga wilayah geografis kabupaten (kabupaten Lebong, kabupaten Rejang Lebong dan kabupaten Kapahiang) dimasukkan ke wilayah administrasi (residentie) Bengkulu? Mengapa tidak ke wilayah administrasi (provinsi) Sumatra Selatan? Itu adalah soal lain lagi.
Lantas bagaimana sejarah geomorfologi wilayah Bengkulu di Pantai Barat Sumatra? Seperti disebut di atas, wilayah geografis provinsi Bengkulu di Pantai Barat Sumatra berada diantara wilayah administrasi kabupaten Pesisir Selatan dan kabupaten Pesisir Barat. Dalam konteks inilah penting wilayah geografis provinsi Bengkulu diperhatikan secara geomorfologis. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi wilayah Bengkulu di Pantai Barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Geomorfologi Wilayah Bengkulu di Pantai Barat Sumatra; Pegunungan Bukit Barisan dan Pantai Timur Sumatra
Pada masa ini pantai barat Sumatra, terkesan lurus dari utara di Aceh hingga ke selatan di Bengkulu. Sebaliknya, pantai timur Sumatra cenderung tidak lurus. Namun itu berbeda di masa lampau, baik di pantai barat maupun pantai timur. Tempo doeloe, ada sejumlah teluk di pantai barat, tetapi hanya satu yang tersisa yakni teluk Tapanoeli. William Marsden (1781) menyatakan teluk Tapanoeli adalah teluk terbaik di Sumatra. Beberap teluk di pantai barat Sumatra telah tertutup oleh (proses) sedimentasi jangka panjang. Sementara sejumlah tanjong telah tererosi, akibat abrasi (gelombang laut dari lautan India) jangka panjang sehingga pantai barat Sumatra terkesan lurus.
Apakah ketiadaan teluk yang menjadi sebab mengapa tujuan navigasi pelayaran pelaut-pelaut Eropa kurang tertarik mengunjungi pantai barat Sumatra? Satu yang jelas, sungai0sungai yang mengalir ke pantai barat, dangkal dan deras sehingga tidak bisa dinavigasi ke arah pedalaman. Kapal-kapal Eropa sejak era Portugis hingga era VOC, yang cenderung memiliki tonase yang yang lebih berat dan tiang-tiang layer yang tinggi sangat berisiko pada saat badai. Sangat minim perlindungan saat badai. Boleh jadi karena itulah Marsden menyebut teluk Tapanuli yang terbaik. Bagaimana dengan di zaman kuno? Mungkin masih banyak teluk, dan sungai dapat dinavigasi beberapa mil di belakang pantai. Hal itulah mengapa navigasi pelayaran perdagangan di zaman kuno arus perdagangan dari barat (India, Persia, Arab dan Mesir) menuju pantai barat Sumatra. Pada masa itu kota Padang yang sekarang masih berupa perairan/teluk dan kota Indrapura masih berada di sisi dalam suatu teluk. Pada masa itulah terbentuk peradaban Sumatra, yang dimulai dari pantai barat Sumatra, sementara populasi awal Sumatra berpusat di danau-danau pegunungan, termasuk di danau Ranau dan danau Kerinci. Sketsa Bengkulu (1665).
Sebelum kehadiran pelaut-pelaut Eropa, sungai Bengkulu masih dapat dinavigasi beberapa mil di belakang pantai. Akan tetapi bukan kapal besar yang berlindung ke arah dalam sungai tetapi perahu-perahu besar milik pelaut-pelaut domestik, bahkan pelaut-pelaut dari Atjeh, Pada saat pertama kali pelaut Eropa/Belanda menemukan Bengkulu tahun 1665, kampong/kota Bengkulu tepat berada di sisi selatan muara sungai.
Sejak kehadiran VOC/Belanda di Padang pada tahun 1665, memindahkan pos pedagangan dari pulau Chinko, dengan membangun benteng di Padang. Benteng ini merupakan benteng pertama VOC/Belanda dan satu-satunya benteng pelaut Eropa di pantai barat Sumatra. Benteng tersebut, yang disebut Fort Padang, mengambil tempat di suangai Batang Arau, sekitar 1 mil dari muara sungai, di sisi selatan sungai di lereng gunung Padang. Posisi benteng dengan sendirinya memiliki barrier, tidak hanya terhadap ancaman alam (badai) juga dari serangan musuh dari laut. Sebagimana kita lihat nanti, masalah serupa inilah yang menyebabkan Inggris membangun benteng Fort Marlborough di Bengkulu dengan konstruksi yang sangat kuat (idem dito di Natal).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pegunungan Bukit Barisan dan Pantai Timur Sumatra: Geomorfologis Kota Bengkulu,
Populasi penduduk asli Sumatra berada di pedalaman, pusat peradaban di seputar danau-danau pegunungan. Sumber daya yang melimpah di pedalaman, aman dari serangan dari laut, dengan situasi dan kondisi yang ideal penduduk mengembangkan peradaban pertanian dengan membangun sawah-sawah. Dengan demikian dimungkinkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti religi, arsitektur bangunan, seni, aksara dan bahasa dan adat-istiadat (yang kelak dapat dibedakan dengan populasi baru di wilayah pesisir). Populasi penduduk di pedalaman di seputar danau, berinteraksi dengan pendatang di pesisir dalam perdagangan. Jalan-jalan setapak terbentuk dari pedalaman ke pantai mengikuti daerah aliran sungai.
Secara geomorfologi bentuk permukaan pulau Sumatra pada masa kini berbeda dengan di zaman kuno (awal peradaban di Sumatra). Pulau Sumatra saat itu tidak segemuk sekarang, tetapi sangat ramping dimana titik tengah antara pantai barat dan pantai timur di pegunungan (Bukit Barisan) dengan densitas penduduk di seputar danau. Populasi penduduk pedalaman berinterakasi dengan pendatang (perdagangan) baik dari barat seperti India maupun dari timur seperti Tiongkok (perdagangan komoditi emas, kamper, kemenyan, damar, hasil-hasil hutan dan gading). Sungai-sungai ke pantai timur (laut yang lebih dangkal) dari pegunungan Bukit Barisan dari masa ke masa terus memanjang seiring dengan terbentuknya daratan baru (proses sedimentasi jangka Panjang) di muara-muara sungai. Dari danau Kerinci mengalir sungai ke hilir (ke timur) yang membentuk sungai Tembesi (kemudian dalam perkembangannya sungai Tembesi dan sungai Batanghari) terbentuk sungai yang lebih besar (juga disebut sungai Batanghari). Dari danau Curup mengalir sungai ke hilir (ke timur) yang ke hilir membentuk sungai Musi (yang lebih ke hilir di sungai Musi sejumlah sungai bermuara termasuk sungai Martapura). Dari danau Ranau sungai mangalir ke timur yang membentuk sungai Martapura yang kemudian bermuara di sungai Musi. Dalam konteks inilah permukaan pulau Sumatra semakin meluas ke arah timur. Danau Curup diduga kuat telah jebol di masa lampau akibat pengaruh vulkanik atau tektonik (danau lainnya yang jebol antara lain danau Siabu di Sumatra Utara dan danau Tangse di Atjeh).
Dalam konteks geomorfologi, ketika peradaban pada puncaknya terjadi di pedalaman, di wilayah pesisir terbentuk kota-kota baru, dalam hal ini termasuk kota-kota kuno seperti kota Bengkulu, kota Krui, kota Manna, kota Moko-Moko dan kota Indrapoera. Pada saat kehadiran pelaut Eropa/Belanda di pantai barat Sumatra tahun 1665, kota/kampong Bengkulu sudah terbentuk di muara sungai (mix population).
Sejak kapan kampong/kota Bengkulu bermula? Sulit memastikan. Yang jelas kota/kampong di pedalaman sebagai pendahulu dari kota-kota di pesisir. Jika diperhatikan sejumlah prasasti di Sumatra bagian selatan yang berasal dari abad ke-7, tempat dimana kini ditemukan prasasti diduga masih berada di pantai/teluk (Kota Kapur, Bangka, Palas Pasemah Lampung, Karang Brahi, Jambi serta Kedukan Bukit, Talang Tuwo dan Telaga Batu di Palembang). Saat itu, diduga Palembang masih berada di suatu pulau diantara daratan pantai timur Sumatra dan pulau Bangka. Palas Pasemah juga masih berada di suatu pulau (lereng gunung Radjabasa). Karang Brahi di daerah pesisir pantai timur Sumatra (teluk) dengan Bangko. Lalu apakah ada relasi antara nama (pulau) Bangka, (nama tempat) Bangko dengan (nama tempat) Bengkulu?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar