*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Tan Malaka berhasil mendapat akta guru. Tan Malaka, guru tetaplah guru. Seperti guru Soetan Casajangan dan guru Djamaloeddin, Tan Malaka yang belum lama lulus dari sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock, malanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1912. Lantas bagaimana sejarah Tan Malaka? Sebenarnya, tidak terinformasikan seluruhnya.
Tan
Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka (lahir Juni 1897 adalah seorang
pejuang kemerdekaan Indonesia, juga pendiri Partai Murba, dan merupakan salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir di Suliki, Ayahnya bernama HM Rasad,
seorang karyawan pertanian. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool di
Fort de Kock. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, melanjutkan studi
di Rijkskweekschool di Haarlem Belanda. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober
1917, tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia
sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.
Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat
Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak
karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Ia bertemu Henk
Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)
organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Ia lalu tertarik
dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal
Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial
Guru). Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang
disebut hulpactie.
(Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Tan Malaka, Ibrahim gelar Datoek Soetan Malaka lahir di Soeliki dan Soetan Casajangan? Seperti disebut di atas, narasi sejarah Tan Malaka tidak sepenuhnya terinformasikan. Hanya merahnya saja, lupa ketika kunung dan masih hijau. Guru tetaplah guru. Lalu bagaimana sejarah Tan Malaka, Ibrahim gelar Datoek Soetan Malaka lahir di Soeliki dan Soetan Casajangan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tan Malaka, Ibrahim gelar Datoek Soetan Malaka Lahir di Soeliki dan Soetan Casajangan; Guru Tetaplah Guru
Tan Malaka diduga diketahui sudah berada di Belanda tahun 1916 (lihat Algemeen Handelsblad, 26-08-1916). Disebutkan seorang Melayu dari Soeliki pertama kali studi sekolah guru di Fort de Koek. Disana dia lancar dalam studi dan lulus ujian akhir dengan sangat baik sehingga Studiefond Suliki memutuskan untuk mengirim pemuda itu ke Belanda untuk mendapatkan sertifikat guru Eropa. Namun kapan pastinya Tan Malaka tiba di Belanda tidak terinformasikan.
Pada tahun 1903 dua guru Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan dan
Djamaloedin yang dipimpin Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (pemimpin surat
kabar Pertja Barat) berangkat ke Belanda untuk membantu Dr AA Fokker dalam
menerbitkan majalah dwimingguan Bintang Hindia. Dja Endar Moeda adalah
pensiunan guru yang juga pemilik sekolah swasta di Padang adalah kakak kelas
Soetan Casajangan di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Sedangkan
Djamaloedin adalah lulusan sekolah guru Kweekschool Fort de Kock yang menjadi
asisten editor Dja Endar Moeda pada majalah Insulinde di Padang yang dipimpin oleh Dja Endar Moeda. Pada Agustus 1905 Soetan Casajangan sempat pulang kampong ke Padang Sidempoenan dan segera kembali ke Belanda. Soetan Casajangan lulus ujian
dan mendapat akta guru LO tahun 1907. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan
organisasi mahasiswa pribumi Indische Vereeniging. Sementara itu Djamaloedin
juga melanjutkan studi di sekolah menengah pertanian di Wagenigen. Pada tahun
1910 Soetan Casajangan lulus ujian
akta guru MO (sarjana pendidikan, setara lulusan IKIP sekarang). Pada bulan
Juli 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan diangkat sebagai direktur
Kweekschool Fort de Kock.
Lantas kapan pastinya Tan Malaka tiba di Belanda? Pada tahun 1913 di Soeliki terdapat guru swasta (bukan guru pemerintah) Saidi Ibrahim gelar Maharadja Soetan (lihat Sumatra-bode, 13-02-1913). Disebutkan Saidi Ibrahim gelar Maharadja Soetan diangkat sebagai guru di Padang, seorang guru swasta di Soeliki. Perpindahan Saidi Ibrahim ke Padang diduga bersamaan dengan perubahan status dari guru swasta menjadi guru pemerintah. Namun beberapa hari kemudian disebutkan kandidat guru di Padang Oemar Ali gelar Saidi Maharadja cuti sebulan karena sakit ke Batavia (lihat Sumatra-bode, 15-02-1913).
Saidi Ibrahim gelar Maharadja Soetan diduga kuat menggantikan posisi guru sebelumnya di Soeliki, yakni Dahlan (lihat De Preanger-bode, 05-10-1912). Disebutkan guru honorer di Soeliki, Dahlan mengundurkan diri terhitung sejak tanggal 16 Juni 1912. Pertanyaannya: apakah Dahlan adalah Dahlan Abdoellah dan Saidi Ibrahim gelar Maharadja Soetan atau Oemar Ali gelar Saidi Maharadja adalah Tan Malaka? Dahlan diberitakan pertama kali tahun 1911 (lihat Sumatra-bode, 12-12-1911). Disebutkan guru pribumi, diangkat kweeeling dan ditempatkan di Soeliki, Dahlan guru swasta di Koebang Poetih, Fort de Koek. Setahun kemudian Dahlan guru kelas dua sekolah pemerintah di Soeliki diberhentikan terhitung tanggal 16 Juni 1912 (lihat De Preanger-bode, 05-10-1912). Catatan: Dahlan Abdoellah lahir 15 Juni 1895 dan Tan Malaka lahir tahun 1897. Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka sama-sama lulus dari sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock.
Lantas kapan Tan Malaka berangkat studi ke Belanda? Yang jelas pada akhir tahun 1913 Soetan Casajangan sudah berada di sekolah guru Kweekschool Fort de Kock. Sementara Dahlan Abdoellah lulus ujian Onderwij Hulp Akte pada bulan Juni 1915 di Belanda (lihat Haagsche courant, 05-06-1915). Pada bulan Juni 1916, Sorip Tagor Harahap lulus ujian kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916).
Kepengurusan Indisch Vereeniging tahun 1916 diketuai oleh Raden Loekman
Djajadiningrat. Dalam kepengurusan ini Dahlan Abdoellah duduk sebagai
archivaris (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant,
10-08-1916). Pada tahun sebelumnya, tahun 1915 di Belanda diadakan kongres
pertama Pendidikan Hindia (lihat Algemeen Handelsblad, 24-03-1916). Dalam
kongres hampir semua yang hadir orang Belanda. Kongres ini diketuai oleh JH
Abendanon. Dalam kongres ini turut hadir Dahlan Abdoellah.
Pada bulan Januari 1917, diadakan pertemuan anak-anak Sumatra. Dalam pertemuan ini dideklarasikan organisasi anak Sumatra dengan nama Sumatra Sepakat. Dalam struktur kepengurusan, Sorip Tagor Harahap (di Utrecht) sebagai ketua; Dahlan Abdoellah (di Leiden) sebagai sekretaris dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (di Leiden) sebagai bendahara. Para anggota pengurus lainnya antara lain Ibrahim Datoek Tan Malaka (Haarlem) dan Mohammad Iljas (Delft).
Sorip Tagor kelahiran Padang Sidempoean, setelah lulus sekolah guru di
Fort de Kock melanjutkan studi ke sekolah kedokteran hewan di Veeartsenschool
di Buitenzorg pada tahun 1907. Sorip Tagor lulus tahun 1912 dan diangkat
sebagai asisten dosen. Pada tahun 1913 Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda
dan terdaftar sebagai mahasiswa di sekolah kedokteran di Utrecht pada tahun
akademik 1913/.1914. Sementara Soetan Goenoeng Moelia tiba di Belanda tahun
1911. Sedangkan Mohammad Iljas berangkat ke Belanda tahun 1913 (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-07-1913).
Lantas mengapa nama Ibrahim Datoek Tan Malaka jarang terinformasikan alias jarang muncul ke permukaan. Nama-nama yang menjadi pengurus Sumatranen Bond/Sumatra Sepakat, hanya nama-nama Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan Soetan Goenoeng Moelia yang kerap terinformasikan.
Dalam Kongres Hindia (Indisch Congres) tahun 1917 beberapa nama yang berbicara dari Indische Vereeniging adalah Goenawam Mengoenskoesoemo, Sorip Tagor, dan Dahlan Abdoellah. Dalam kongres tahun 28 November 1917 di Leiden Indisch Congres yang diketuai oleh HJ van Mook (ketua Indologen Vereeniging) nama yang berbicara dari Indische Vereniging antara lain Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Kutipan dari pembicara mewakili Indisch Vereeniging “Kami, orang Indonesia, di Hindia Belanda merupakan bagian utama dari penduduk Hindia dan karenanya kami memiliki hak untuk berpartisipasi lebih dari sebelumnya”. Mr Han Tiauw Tjong ketua asosiasi Cina Chung Hwa Hui mengamini Dahlan Abdoellah, menyatakan “Cina tidak menginvasi Hindia dan karena itu tidak berlebihan kami disambut disana, menjadi kolaborator yang sangat diperlukan untuk pembangunan negara. Dalam kongres tahun 1918 (nama Indische Congres saling menggantikan dengan nama Indonesia Cengres) di Wageningen tanggal 30 Aug. J918 yang berbicara antara lain dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, Ny Ratulangi dan Dahlan Abdoellah. Topik yang dibicarakan hubungan antara Oost en West. Koengres ini disebut kongres pertama Indonesia Cengres. Salah satu hasil kongres itu dibentuk organisasi Perhimpoenan Indonesia dengan nama Indonesisch Verbond van Studeerenden (lihat De locomotief, 28-11-1918). Organisasi yang merupakan gabungan Belanda, Cina dan pribumi mendorong mendesaknya penyediaan perguruan tinggi di Hindia (lihat Het vaderland, 02-02-1919).
Dahlan Abdoellah dan Sjamsi Widagda ditunjuk sebagai
asisten dosen di Rijks-Universiteit te Leiden (lihat De locomotief, 02-10-1918). Dahlan Abdoellah untuk
bahasa Melayu dan Sjamsi Widagda untuk bahasa Jawa, Biro pers Indonesia diirganisasikan
oleh Soewardi Soerjaningrat (lihat Het vaderland, 08-11-1918).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Guru Tetaplah Guru: Generasi Guru Pribumi Ketiga di Hindia Belanda
Nama Tan Malaka kurang terinformasikan hingga tahun 1918, apakah di kongres Indisch/Indonesia Congres maupun Indonesisch Verbond van Studeerenden. Apakah hal itu tidak dilakukan oleh Tan Malaka karena guru. Tampaknya tidak, sebab Soetan Goenoeng Moelia hadir dalam dua kegiatan mahasiswa Hindia/Indonesia tersebut.
Nama Tan Malaka baru terinformasikan pada awal tahun 1919 (lihat Het nieuws van den dag, 21-01-1919). Disebutkan Tan Malaka hadir di Veremiiging "Hou' 'en Trouw". Ibnahim Datoek Tan Malaka, Rabu 29 Januari 1819 akan memberikan kuliah di "Parkzicht" tentang ‘Refleksi seorang rekan senegaranya tentang orang Melayu Menangkabau. „Parkzicht" adalah suatu gedung di Amsterdam.
Pada bulan September 1919 Tan Malaka menghadiri kongres
hari ketiga Indonesisch
verbond van Studeerenden (lihat Provinciale
Overijsselsche en Zwolsche courant, 06-09-1919). Rapat ini diadakan di Deventer, 5 September 1919. Dalam kongres-kongres IVS
di Den Haag, Wageningen dan Leiden Tan Malaka tidak terinformasikan. Dalam
kongres ini yang dibahas topik tentang ‘Apa yang Belanda inginkan, dapat dan
harapkan dari Indonesia?’. Topik lanjutan dari sebelumnya tentang ‘Apa yang
dapat diharapkan Hindia Belanda dari Belanda’. Dalam kongres ini Ibrahim D. Tan
Malaka angkat bicara.
Menurut Ibrahim Malaka, bahwa Sarekat Islam setelah tahun 1916 sebenarnya
tidak berbuat apa-apa selain menebar ketidakpuasan di kalangan rakyat Indonesia
terhadap kepentingannya sendiri. Ibrahim Malaka menyebut
aneksasionisme Belgia menjengkelkan, tetapi mengapa orang Hindia harus
mengizinkan Belanda untuk mencaplok seluruh Aceh? Apa yang disebut perusuh di
Hindia bagi penduduk adalah pembebas dari Belanda.
Untuk urusan politik, baru pada kongres IVS inilah Tan Malaka terinformasikan. Sorip Tagor telah mengingatkan bahwa 'studi dan politik sama pentingnya'. Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ Indische Vereeniging pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya mengatakan bahwa 'studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi'. Sorip Tagor dengan kata-kata pedas mengatakan 'jika Indische Vereeniging menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa datang'. Sorip Tagor juga dalam tulisannya mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik.
Seperti disebut di atas, Sorip Tagor yang juga pendiri dan ketua Sumatranen
Bond/Sumatra Sepakat di Belanda adalah mahasiswa pribumi pertama di Belanda
yang bergerak ke arah politik mahasiswa. Yang dimaksud Sorip Tagor sejumlah
mahasiswa asal Jawa dari keluarga ningrat bersifat anonym. Namun hal itu jelas
ditujukan hanya kelompok tertentu di dalam Indische Vereeniging. Vokalis-vokalis
asal Jawa cukup banyak termasuk Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeardi
Soerjaningrat, Raden Sarengat. Hanya saja Sowardi Soerjaningrat agak terkekang
(karena masih di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda). Catatan: Goenawan
Mangoenkoesoemo, adalah adik Dr Tjipto Mangoekoesoemo dan Soeardi Soerjaningrat
kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Diantara semua anggota Sumatranen Bond/Sumatra Sepakat di Belanda, meski ada yang diam saja, Tan Malaka terbilang yang ‘lambat panas’ dalam memperjuankan kepentingan pribumi. Tan Malaka baru tahun 1919 ini muncul ke permukaan. Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellan sudah lebih awal memulainya, sejak kongres Indisch Congres tahun 1917. Apa yang menjadi sebab tidak diketahui secara pasti. Apakah karena diantara mahasiswa asal Sumatra Tan Malaka, dari segi umur, paling muda?
Upaya memperjuangkan kepentingan pribumi dimulai oleh Soetan Casajangan
pada tahun 1911. Ini dapat diperhatikan di dalam isi pidatonya di hadapan pera
pengurus Vereniging Oost en West dan di dalam bukunya yang diterbitkan pada
tahun 1913. Untuk internal mahasiswa Soetan Casajangan menginisiasi pendirian
Studifond. Setelah kepulangan Soetan Casajangan pada tahun 1913 dinamika di
Indische Vereeniging agak menghilang upaya-upaya individu maupun organisasi
untuk memperhatikan kepentingan pribumi dalam arti kebutuhan yang bersifat principal.
Inisiatif Sorip Tagor membentuk organisiasi Sumatranen Bond/Sumatra Sepakat
tampaknya ingin mengakselerasi Indische Vereeniging. Hasilnya perdebatan antara
tiga pihak (perwakilan Belanda, Cina dan pribumi) yang terbentuk mulai terbuka
pada kongres pada tahun 1916 dan semakin meningkat tensinya pada tahun 1917 dan
1918. Dalam kongres tahun 1917 nama Indonesia diterima pihak Belanda dan pihak
Cina. Pada kongres tahun 1919 ini semakin tinggi lagi tensinya yang mengusung topik
‘Apa yang Belanda inginkan, dapat dan harapkan dari Indonesia?’. Pada tahun
1919 frase-frase merdeka dan kemerdekaan bagi pribumi sudah mengemuka.
Satu yang menarik saat munculnya Tan Malaka dalam kongres 1919 ini disebutkan sebagai berikut: ‘Ibrahim D Tan Malaka mendapat lantai, dia menyatakan tidak berbicara disini atas nama Indische Vereeniging, maupun atas nama rakyat Hindia; apa yang dia katakan adalah pernyataan individu’.
Dalam topik ‘Apa yang Belanda inginkan, dapat dan harapkan dari Indonesia?’
Tan Malaka menyimpulkan ‘Tuan Malaka sampai pada kesimpulan bahwa Belanda dapat
dan dapat mengharapkan Insulinde untuk mempersiapkan keberadaan nasionalnya
yang mandiri dengan energi terbesar yang dapat dibayangkan. Hindia akan
melakukannya dengan cara yang harmonis, yaitu di sepanjang garis budaya,
ekonomi, dan politik!’.
Tan Malaka kembali ke tanah air (lihat Algemeen Handelsblad, 07-11-1919). Disebutkan kapal ss Jan Pieterszoon Coen berangkat dari Amsterdam dengan tujuan akhir Batavia pada tanggal 8 November 1919. Dalam manifes dicatat nama Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Kapal ss Jan Pieterszoon Coen akan merapat di Tandjoeng Priok, Batavia pada tanggal 14 Desember (lihat De Preanger-bode, 10-12-1919). Nama Ibrahim terdapat dalam manifes kapal. Satu-satunya nama non Eropa/Belanda.
Kapal ss Jan Pieterszoon Coen adalah kapal besar yang mewah (hanya naik
dan turun di Batavia). Biasanya kapal ini penumpangnya adalah orang penting
yang mampu membayar mahal seperti pejabat pemerintah, pengusaha dan oleh
pribumi umumnya menjadi prioritas para keluarga pangeran dan orang kaya Cina. Ibrahim
gelar Datoek Tan Malaka ada di dalam kapal ini. Lantas apakah Ibrahim gelar
Datoek Datoek Tan Malaka? Tampaknya tidak. Ibrahim belum lama lulus studi di
Belanda sebagai guru dengan akta guru MO (akta tertinggi bagi guru, semacam
sarjana keguruan lulusan IKIP pada masa kini). Apakah Ibrahim gelar Datoek Tan
Malaka sudah banyak uang?
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka adalah seorang sarjana keguruan. Tentu saja tidak sulit mendapat lowongan pekerjaan, bahkan untuk sekolah-sekolah berbahasa Belanda di sekolah menengah seperti di PHS dan KWS III Batavia. Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka setiba di Batavia, setelah sempat pulang kampong ke Soeliki, lalu berangkat ke Tandjoeng Morawa (province Oostkust van Sumatra). Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka menjadi guru di (lingkungan) Senembah Mij, suatu perusahaan besar yang berpusat di Tandjoeng Moerawa.
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka tidak bekerja untuk pemerintah
atau mendirikan sekolah sekolah sendiri (swasta). Akan tetapi dalam hal ini,
menjadi guru di Senembah Maatschappij, suatu perusahaan perkebunan skala besar,
suatu perusahaaa kaya. Besar dugaan perusahaan inilah yang menyediakan tikel
kapal ss Jan Pieterszoon Coen bagi Ibrahim dari Belanda. Senembah Maatschappij
perusahan berbadan hukum dan terdaftar di Amsterdam. Senembah Maatschappij juga
sudah diketahui memiliki klink/rumah sakit yang bagus dan bahkan telah memiliki
laboratorium. Catatan: Dr Soetomo pernah bekerja sebagai dokter pemerintah di
Tandjoeng Morawa dari tahun 1912-1915. Pada tahun 1919 ini Dr Soetomo sudah di
Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran.
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka di Senembah Mij., menjadi cepat dikenal luas di pers. Ibrahim tidak hanya karena tempatnya bekerja di Senembah Mij, juga Ibrahim adalah guru lulusan/berlisensi Eropa/Belanda. Kakak kelas Ibrahim di Rijkskweekschool di Haarlem, yang kembali ke tanah air pada tahun 1913, pada tahun 1919 ini sebagai direktur sekolah guru (kweekschool) di Ambon. Rekan Ibrahim di Belanda, Soetan Goenoeng Moelia yang juga telah mendapat akta guru MO di Leiden telah mendapat beslit untuk diangkat sebagai guru/direktur sekolah HIS tengah bersiap-siap di Belanda untuk kembali ke tanah air. Mereka bertiga dapat dikatakan tiga guru pribumi yang telah memiliki akta guru MO.
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka yang sudah mulai dikenal di
Hindia, dari Medan dilaporkan Ibrahim diusulkan sebagai kandidat untuk dewan
pusat Volksraad di Batavai (lihat Deli courant, 11-11-1920). Dalam daftar
kandidat tersebut tidak hanya Ibrahim, juga rekan-rekannya di Indische Vereeniging
seperti Dr Goenawan Mangoenkoesoemo, Dr Ratoelangi dan Soewardi Soerjaningrat.
Dalam daftar ini juga ada nama Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr Abdoel Rasjid
Siregar di Panjaboengan. Dalam masa penjaringan ini, daftar kandidat dari
golongan pribumi semakin banyak (lihat De Sumatra post, 05-01-1921). Dalam
daftar baru ini juga ada nama seperti Dr Hoesein Djajadiningrat (pernah menjadi
ketua Indisch Vereeniging di Belanda). Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon di Sibolga (alumni Belanda yang kembali ke tanah air pada tahun
1915), Dr Abdoel Hakim Nasoetion, dokter dan anggota gemeenteraad di Padang dan
Dr Abdoel Rivai (alumni Belanda) dokter swasta di Bandoeng. Hingga bulan Januari
nama Ibrahim masih ada dalam daftar kandidat (lihat De Sumatra post, 05-01-1921).
Ini mengindikasikan pribumi yang pulang studi dari Belanda semakin banyak,
sebaliknya siswa pribumi yang berangkat studi ke Belanda juga semakin banyak.
Salah satu siswa yang melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1921 ini adalah
Ida Loemongga Nasoetion, lulusan HBS di PHS Batavia. Dari sekolah elit di
Batavia, ini Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda tahun 1919. Ida Loemongga
adalah perempuan pribumi pertama studi di Belanda di fakultas kedokteran di Utrecht
(ayahnya seorang dokter di Telok Betoeng).
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka pada bulan Februari berangkat ke Batavia dengan kapal ss Rumphius dari Medan (lihat Deli courant, 24-02-1921). Hanya Ibrahim Bernama non Eropa/Belanda dalam manifes kapal. Ibrahim tidak lagi guru di Senembah Mij, (lihat De Sumatra post, 01-03-1921). Dalam pencalonan tampaknya Ibrahim menjadi bagian dari NIP. Catatan: yang menjadi anggota dewan pusat Volksraad, antara lain Dr Tjipto. Nama yang menjadi anggota Volksraad juga ada anam Soetan Goenoeng Moelia. Lalu mengapa Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka berhenti guru di Senembah Mij dan ada apa ke Batavia?
Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1921: ‘Koresponden kami di Semarang menulis
kepada kami pada tanggal 25 Desember: Kemarin, menjelang malam, kongres komunis
dimulai yang didahului dengan rapat umum besar-besaran di gedung SI Semarang. Komunis
versi SI sekitar 1.500 orang berkumpul di aula, mendengarkan janji-janji
komunisme yang terdengar indah dan apa yang dikatakan tentang Rusia. Kami tidak menganggap diri
kami terikat untuk memberikan penjelasan rinci tentang kletsika yang dijual di
sana. Kepemimpinan (ketua pertemuan) berada di tangan T. Malaka yang fanatik,
sementara Kadaroesman, Mas Bergsma dan Raden Dekker juga duduk di meja dewan.
Diumumkan bahwa sobat Semaoen tidak dapat hadir karena cuti. Dekker wakil
inspektur NIS, seseorang yang dalam pekerjaannya sehari-hari masih bergaul
dengan orang-orang baik, bertindak melawannya dengan cara yang hanya bisa
diharapkan dari para pelanggar jalanan Amsterdam. T. Malaka mengulangi dengan
teriakan dalam bahasa Melayu dan melangkah lebih jauh: kami telah menarik perhatian
pihak berwenang pada fanatismenya. Dalam pertemuan Volksraad diserang dan…diksi
yang mengerikan... memutuskan untuk memboikot dewan tersebut. Mereka bisa
menggunakan biaya kehadiran 30 gulden untuk seorang anggota komunis, jika hanya
untuk membantu sekolah komunis sedikit lebih baik. Menjelang tengah malam,
rapat umum diubah menjadi rapat tertutup. Polisi terlebih dahulu memastikan,
apakah pesertanya benar, memiliki sertifikat keanggotaan PKI.’
Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka sudah menjadi PKI? Tiga guru akta MO dari Belanda telah berbeda haluan. Soetan Casajangan tetap menjadi guru, Soetan Goenoeng Moelia, selain tetap menjadi guru juga menjadi anggota Volksraad. Ibrahim tidak lagi menjadi guru, sudah menjadi sosok penting di dalam lingkaran PKI. Apakah Tan Malaka masih menjadi guru, tidak terinformasikan, tetapi yang jelas Tan Malaka sudah menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Semarang.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-12-1921: ‘Empat
anggota dewan Semarangsehe, yaitu Moh Kasan, Malaka, Soelinkar dan Dekker, mengajukan
mosi ke Dewan Kota (Gemeenteraad) untuk menyediakan sejumlah emas untuk
meringankan penderitaan kaum Bolsjewisten di wilayah Wolga, Rusia. Anggota (lainnya
di dewan) masih cukup waras untuk mempertimbangkan kembali mengirim pesanan pos
ke Lenin sama gegabahnya dengan pekerjaan yang tidak dipikirkan, tetapi itu
menunjukkan betapa banyak anggota dewan baru yang kita miliki’.
Bagaimana Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka menjadi bagian dari lingkaran partai komunis? Besar dugaan bukan dimulai dari Tandjoeng Morawa di Senembah Mij. Akan tetapi dimulai dari Belanda. Bagaimana? Setelah lulus MO di Haarlem tahun 1916, nama Ibrahim menghilang cukup lama hingga baru muncul pada saat Kongres IVS di Wageningen pada tahun 1919. Ibrahim mengambil podium dalam kongres dimana Ibrahim menyatakan dirinya bukan mewakili Indische Vereeniging dan juga bukan mewakili Hindia. Lalu mewakili siapa? Ibrahim hanya menyebut mewakili dirinya. Ibrahim juga menyindir SI di Hindia setelah tahun 1916 tidak ada yang diperbuatnya.
Apakah sikap dan penyataan Ibrahim gelar Datoek Datoek Tan Malaka di
kongres Indonesi tahun 1919 mengindikasikan Ibrahim sudah di dalam lingkaran
partai komunis internasional? Saat kembali ke tanah air tahun 1919 ini Ibrahim
gelar Datoek Datoek Tan Malaka menumpang kapal mewah ss Pieters Joon Coon dari
Amsterdam ke Batavia. Siapa yang membayarnya, apakah pihak Senembah Mij di
Amsterdam? Argumentasi ini kurang kuat kerena Ibrahim hanya menjadi guru di
Senembah Mij sekitar setahun. Apakah ke Senemba Mij untuk menannamkan
pengaruhnya diantara para kuli perkebunan (asal Jawa). Satu yang jelas, setelah
Ibrahim ke Jawa sudah menjadi anggota dewan kota di Semarang. Dalam kongres PKI
di Semarang, sosok Ibrahim sangat menonjol sebagai ketua pertemuan di Gedung SI.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar