*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Sejarah
Tanah Gayo relatif sama dengan sejarah Tanah Alas dan sejarah Tanah Karo dalam dimensi
waktu (histrical) dan spasial (geografis). Perbedaan diantara ketiganya tempo
doeloe lebih pada interaksi penduduknya dengan dunia luar (tetangga). Namun
secara ekonomi sosial budaya kurang lebih sama. Itulah sejarah awalnya.
Tanah Gayo (Gajoelanden) terletak di antara
pegunungan pertama dan kedua yang membelah Sumatera. Wilayah ini didiami oleh
orang pegunungan yang mandiri dengan bahasa, adat istiadat, dan moral yang
berbeda (dengan Atjeh) yang paling terkait dengan orang Batak dan mereka
beragama Islam, yang merupakan agama yang berlaku, tentu saja telah membawa
perubahan besar di dalamnya. Penduduk ini adalah suku Gajoes atau Gajou. Di
utara berbatasan dengan Aceh Timur (Edi) dan Tamiang, selatan Tanah Orang Alas
dan barat ke tanah Batak dan ke barat pantai barat Atjeh. Betapa padatnya
penduduk Gajoeland. Penduduk terbagi menjadi empat Pogis atau Soekoe yang
dipimpin oleh kepala yang terpisah dan berdiri sendiri, masing-masing
menyandang gelar Kajoeroean. Pogi tersebut disebut Putie Ambaag, Lingga, Boekit
dan Laut Tawar; yang pertama adalah kepala dan yang paling banyak penduduknya
(lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 14-12-1878).
Lantas
bagaimana sejarah awal Tanah Gayo dan perkembangan selanjutnya? Yang jelas Pemerintah Hindia Belanda telah
memisahkan Tanah Gayo dan Tanah Alas dimasukkan ke Residentie Atjeh dan Tanah
Karo dimasukkan ke Residentie Oostkust van Sumatra. Namun sejarah tetaplah
sejarah. Seperti
kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.