Rabu, 15 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (32): Hubungan Jepang dan Indonesia Tidak Pernah Putus; Parada Harahap dan Akhir Tragis Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Secara defacto tidak pernah putus hubungan antara Jepang dan Indonesia. Kekalahan Jepang terhadap Sekutu (Eropa dan Amerika Serikat) hanya menyebabkan Jepang tidak bisa bernuat banyak ketika Belanda (NICA) kembali tahun 1945. Secara dejure, pasca perang kemerdekaan, ketika pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, dibubarkannya RIS dan kembalinya ke kittah NKRI (1950) serta kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahan Belanda (1957), Presiden Soekarno mengundang kembali ‘kawan lama’ Jepang yang diresmikan sebagai Penandatanganan Perjanjian Perdamaian antara Jepang dan Republik Indonesia pada bulan April 1958. Disebut ‘kawan lama’ karena faktanya tidak pernah pemimpin Indonesia berselisih dengan pemimpin Jepang (hanya Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang membenci Jepang).

Hubungan baik bangsa Indonesia dan bangsa Jepang dimulai ketika, seorang revolusioner Indonesia yang anti Belanda, Parada Harahap memimpin rombongan tujuh revolusioner Indonesia berkunjung ke Jepang pada tahun 1933. Parada Harahap di Jepang disambut bagaikan raja, sementara di Indonesia orang-orang Belanda serasa kebakaran jenggot. Media-media Jepang menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Selain Parada Harahap, rombongan tujuh revolusioner ke Jepang tersebut antara lain adalah pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, Abdullah Lubis; ekonomi Dr. Sastra Widagda, Ph.D, guru di Bandoeng dan Drs. Mohamad Hatta (yang belum lama pulang studi dari Belanda). Kepergian tujuh revolusioner Indonesia ini karena Ir. Soekarno ditahan dan akan diasingkan. 

Pemimpin Indonesia hanya berselisih dengan Belanda. Ketika Jepang menduduki Tiongkok, Pemerintah Hindia Belanda mendorong orang Cina di Indonesia untuk membantu Tiongkok. Sementara Soekarno dan Mohamad Hatta di pengasingan, pemimpin Indonesia menyambut baik kerjasama yang ditawarkan Jepang pada tahun 1938. Dalam program Jepang ini, MH Thamrin diproyeksikan sebagai pemimpin Indonesia. KonsulatJepang di Batavia mulai mengambil langkah berpartisipasi dalam pembentukan surat kabar berbahasa Melayu (sebagai corong propaganda Jepang). Bagaimana kisah itu berlangsung sebelum terjadi pendudukan militer Jepang? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 14 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (31): Sejarah Radio, Radio Republik Indonesia (RRI); Bataviasche Radio dan Tokyo Hoso Kyoku


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Radio Indonesia tidaklah dimulai dari Radio Republik Indonesia (RRI) tetapi jauh sebelum RRI didirikan tahun 1945. RRI adalah ujung dari sejarah perjuangan radio di Indonesia. Lahirnya RRI adalah hasil proses belajar orang-orang Indonesia sejak era kolonial Belanda hingga era pendudukan militer Jepang. Semua itu bermula ketika perhimpunan radio dibentuk tahun 1925 yang disebut Bataviasche Radio Vereeniging di Batavia (kini Jakarta).

Sementara itu Tokyo Hoso Kyoku, radio Jepang pertama yang kali pertama mengudara pada tangga 22 Maret 1925 di Tokyo, Jepang. Tokyo Hoso Kyoku dan dua radio (hoso kyoku) yang muncul berikutnya di Osaka dan Nagoya bergabung dengan membentuk radio nasional tahun 1925 dengan  nama Nippon Hoso Kyokai, (Broadcasting Corporation of Japan, semacam RRI sekarang). Pada saat pendudukan militer Jepang, Nippon Hoso Kyokai (NHK) mendirikan cabang di Bandoeng. Ketika kemerderkaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 crew Radio Bandoeng Hoso Kyoku berinisiatif menyiarkan teks proklamasi yang dikirim oleh Adam Malik Batubara dari Djakarta yang dibawa oleh Mochtar Lubis ke Bandoeng dengan naik kereta api. Pada pukul 19 malam, penyiar Bandoeng Hoso Kyoku Sakti Alamsyah Siregar membacakan teks tersebut sehingga kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat ditangkap (didengar) di Jogjakarta dan Australia. Sakti Alamsyah dalam pengantarnya, memulai intro sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Inilah awal sejarah Radio Republik Indoensia (RRI) yang terus eksis hingga ini hari.

Lantas bagaimana perjuangan orang Indonesia belajar dan memperjuangkan radio bagi rakyat Indonesia tentu saja belum pernah di tulis. Itu bermula ketika orang-orang Indonesia ingin memasukkan konten pribumi di radio Bataviasche Radio Vereeniging yang hanya cenderung bernuansa Eropa/Belanda sementara sasaran radio untuk semua penduduk. Proses belajar dan berjuang ini pada akhirnya diselesaikan di Radio Bandoeng Hoso Kyoku pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagaimana itu semua berlangsung? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 13 Januari 2020

Sejarah Kota Depok (59): Riwayat Tiang Telepon di Depok, Kapan Sebenarnya Mulai Dibangun? Sejarah Telepon di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Diantara situs-situs tua di Depok, ada satu situs yang selalu menarik perhatian warga maupun para peminat sejarah. Situs tua tersebut adalah tiang telepon yang kini masih berdiri tegak di pertigaan jalan Kartini dan jalan Pemuda. Tiang telepon ini sekarang meski tidak difungsikan, tetapi tetap dipertahankan apa adanya.

Tiang telepon kuno di Depok (Now)
Sebelum ditemukan fungsi telepon, alat komunikasi jarak jauh yang paling efisien dan efektif adalah telegraf. Penggunaan telepon di Indonesia (baca: Hindia Belanda) baru diintroduksi pada tahun 1882. Baru sebatas jaringan telepon jarak jauh antar instansi tertentu semisal antara Weltevreden dan Tandjoeng Priok, antara Batavia dan Soerabaja dan antara Batavia dan Buitenzorg (menarik kabel sepanjang jalur jalan pos Batavia dan Buitenzorg via Tjimanggis dan Tjibinong). Lalu jaringan telepon kemudian diperluas dengan membangun jaringan telepon lokal (dalam kota). Dalam tahap berikutnya baru dikembangkan telepon umum antar kota (intercommunale).

Bagi peminat sejarah, boleh jadi sayang tiang telepon di kota Depok ini dibongkar (toh juga tidak mengggangu dan menghalangi yang lain). Tiang telepon di kota Depok dapat dianggap sebagai bagian dari sejarah (kota) Depok. Namun yang menjadi persoalan dan kerap ditanyakan di internet, sejak kapan tiang telepon ini dibangun? Sejauh ini tidak ada keterangan yang memuaskan. Lantas kapan pesisnya? Itulah yang menjadi pertanyaan? Untuk menjawabnya mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 12 Januari 2020

Sejarah Jakarta (77): Toko Populair di Pasar Baroe; Yo Kim Tjan Rekam Album Lagu Indonesia Raja Karya WR Soepratman,1927


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe di Pasar Baroe, Batavia-Centrum terdapat salah satu toko terkenal yang bernama Toko Populair. Pemilik toko ini adalah seorang Tionghoa Yo Kim Tjan. Toko Populair terdiri dari beberapa outlet seperti alat musik, elektronik yang dalam perkembangannya juga meliputi produk kosmetik dan optik. Toko Populair dalam kenyataannya juga melakukan kegiatan perekaman lagu-lagu yang dimainkan oleh orchest (band) sendiri: Populair Orchest. Toko Populair saat itu dalam bahasa masa kini dapat dikatakan sebagai hypermarket.

Toko Populair, 1938 (insert Yo Kim Tjan, 1934)
Perusahaan rekaman Yo Kim Tjan diberi nama sesuai namanya Electric Recording Yokimtjan. Satu yang penting dari perusahaan rekaman ini adalah merekam lagu ciptaan WR Soepratman dalam bentuk piringan hitam. Lagu ini dimainkan oleh Populair Orchest yang dipimpin oleh Achmat Bandoeng. Pada kant-A (side-A) lagu Indonesia Raja karya WR Soepratman sementara pada kant-B (side-B) lagu berjudul Serenade Populair yang diciptakan oleh Achmat juga dimainkan oleh Populair Orchest. Album piringan hitam dua lagu ini diproduksi dan dipasarkan pada tahun 1927. Dua lagu ini terdengar genre kroncong. Lagu Indonesia Raja karya WR Soepratman ini mirip dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang sekarang. Namun lagu Indonesia Raja versi WR Soepratman (yang asli) lirik lagunya bernada lembut dan masih diterima oleh orang Belanda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-08-1950). Disebutkan lagu dan lirik Indonesia Raja versi asli ini pernah dimuat pada harian Sin Po edisi 10 November 1928 (setelah Kongres Pemuda). WR Soepratman meninggal di Soerabaja pada tanggal 17 Agustus 1938. Namun tentu saja sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1950 lirik lagu mengalami perubahan (penyesuaian). Dengan kata lain lagu Indonesia Raja versi asli pada Kongres Pemuda 1928 tidak segarang lirik lagu yang sekarang. Rekaman lahu Indonesia Raya asli ini tersimpan di perpustakaan Leiden.

Lantas apakah Toko Populer yang ditemukan pada masa ini di Pasar Baru adalah kelanjutan Toko Populair yang sudah eksis sejak lampau? Entahlah. Namun yang jelas Yo Kim Tjan, sang pemilik Toko Populair terkait dengan WR Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam hal ini Toko Populair dan Yo Kim Tjan adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah pusat perbelanjaan di Indonesia. Siapa sesungguhnya Yo Kim Tjan kurang terinformasikan. Oleh karena Toko Populair dan nama Yo Kim Tjan terkait dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, memaksa kita untuk menelusuri sumber-sumber tempo doeloe. Laten we kijken! Let's check it out!

Sejarah Menjadi Indonesia (30): Indonesia Raya, WR Soepratman dan Parada Harahap; Nama Lagu Kebangsaan, Partai, Surat Kabar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Indonesia Raja, Indonesia Raja, Indonesia Raja....Kini lebih dikenal sebagai nama lagu kebangsaan Indonesia: Indonesia Raya. Tempo doeloe, nama Indonesia Raya juga digunakan sebagai nama partai: Partai Indonesia Raja (Parindra). Nama Indonesia Raja juga digunakan Mochtar Lubis sebagai nama surat kabarnya. Bagaimana nama Indonesia Raja terhubung satu sama lain, hanya satu orang yang menghubungkan, yakni: Parada Harahap.

Indonesia Raja, WR Soepratman, Yokimtjan, Populair Orchest, 1927
Lagu kebangsaan Indonesia Raja karya WR Supratman sudah direkam dalam bentuk gramplate (piringan hitam) dan dijual ke publik pada tahun 1927. Lagu karya WR Supratman ini terdapat pada album yang diproduksi oleh Toko Populair (di Pasar Baroe). Pada album ini terdapat dua lagu, satu lagu pada kant-A (side-A) berjudul Indonesia Raja karya WR Soepratman dan satu lagu pada kant-B (side-B) berjudul Serenade Populair karya Achmat Bandoeng. Dua lagu tanpa vokal ini dimainkan oleh Populair Orchest dengan genre kroncong. Jika kita dengar lagu Indonesia Raja pada kant-B (side-B) mirip dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang sekarang. Lagu inilah yang diduga diperdengarkan pada Kongres Pemuda 1928.

Lantas bagaimana lagu Indonesia Raja karya WR Supratman bertransformasi menjadi lagu kebangsaan Indonesia dengan lirik yang dapat kita nyanyikan sekarang adalah hal lain lagi. Ini bermula menjelang kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) karya WR Supratman dipoles lagi di Australia dan kemudia diakui secara resmi oleh otoritas Belanda di Australia (lihat Nieuwe Haagsche courant, 13-08-1945). Untuk memahami semua itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 07 Januari 2020

Sejarah Jakarta (76): Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini 

Sebagian besar wilayah Jakarta sejak tempo doeloe kerap terjadi banjir hingga ini hari dan terkesan berulang di tempat yang sama. Cara ampuh solusi banjir tempo doeloe adalah kanalisasi. Dalam fase berikutnya muncul lagi banjir, solusi yang dilakukan adalah normalisasi. Namun dalam fase berikutnya banjir tetap terjadi. Lalu muncullah sejumlah gagasan baru.

Setu dan kanal Menteng (Foto udara, 1943)
Pada era Republik Indonesia dua bentuk solusi banjir yang dilakukan adalah pembangunan Waduk Pluit dan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Sebelum kedua situs tersebut dibangun, sudah lebih awal pemerintah melakukan program kanalisasi di wilayah Bekasi dan Tengerang. Wujud program kanalisasi di era Presiden Soekarno itu adalah terbentuknya kanal Kalimalang (Bekasi) dan kanal Pasar Baroe (Tangerang). Kanal Pasar Baroe di Tangerang ini memberi kontribusi positif terbentuknya lahan luas bebas banjir di area dimana kini dibangun bandara Soekarno-Hatta. Sebaliknya kanal Kalimalang lebih banyak menimbulkan masalah, boleh jadi terkait dengan potensi banjir di Bekasi, seperti yang terjadi baru0baru ini. Kanal Pasar Baroe di Tangerang mengikuti hukum alam (semua sungai kecil jatuh ke kanal), sementara kanal Kalimalang di Bekasi melawan hukum alam (kanal yang dibuat melintang menyebabkan aliran alamiah sungai-sungai kecil terkendala).

Pada akhir-akhir ini muncullah suatu gagasan seakan baru tentang solusi banjir dengan istilah naturalisasi (ala Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan). Suatu terminologi yang tidak dikenal sejak era VOC/Belanda. Lantas mengapa tidak dikenal? Sebab yang ada hanya kanalisasi dan normalisasi. Apakah naturalisasi suatu gagasan brilian? Gagasan ini mirip pembangunan setu-setu. Yang dibutuhkan pada masa ini adalah normalisasi pada kanal-kanal dan setu-setu. Mengapa bisa melakukan normalisasi pada waduk Pluit, tetapi lupa melakukan normalisasi pada kanal-kanal dan setu-setu di wilayah hulu? Biaya normalisasi akan lebih murah daripada naturalisasi.