*Untuk melihat semua artikel Sejarah Perjalanan Haji dalam blog ini
Klik Disin
|
Jamaah Haji (1851) |
Kapal-kapal dagang Persia dan Arab lambat
laun digantikan oleh kapal-kapal dagang Inggris sebagai pengangkut jamaah haji
dari Nusantara (Indonesia). Kapal-kapal dagang Belanda menjadi hanya terbatas pada
pelayaran jarak jauh (Batavia-Amsterdaam via Afrika Selatan). Pengaruh Belanda
yang telah memudar di India (khususnya Coromandel dan Malabar) dan semakin meluasnya
pengaruh Inggris di Timur Tengah menjadi faktor penting mengapa kapal-kapal
dagang Inggris sebagai moda transportasi haji Nusantara. Pelabuahn Colombo di
bawah Inggris menjadi pelabuhan transit.
Setelah berakhirnya VOC (1799) dan digantikan Pemerintah
Hindia Belanda, belum sepenuhnya Belanda tertarik dengan bisnis pelayaran haji.
Kapal-kapal Inggris masih leluasa. Pemerintah Hindia Belanda yang beribukota di
Batavia, lambat laun mulai melirik haji, namun tidak dalam urusan memfasilitasi
tetapi lebih melihat jamaah haji yang terus meningkat dari waktu ke waktu hanya
karena melihat potensi pajaknya. Kegiatan perjalanan haji (moda pelayaran)
dibiarkan melalui mekanisme pasar, namun potensi pajaknya Pemerintah Hindia
Belanda mulai mengendus ‘fulus’. Lukisan: Jamaah Haji di Loear Batang. Batavia,
1851
Kampong
Loear Batang: ‘Embarkasi’ Haji Pertama
Selama kehadiran VOC (1619-1799) satu-satunya
kota yang dibangun di Nusantara adalah Batavia. Kota ini telah meluas ke arah
hulu sungai Ciliwung hingga area Gambir yang sekarang. Sementara itu, di
berbagai tempat di nusantara hanya dibangun pos-pos pedagangan seperti di
Baros, Padang, Palembang, Gontong (Siak), Semarang, Soerabaja. Tentu saja
Macassar, Ambon, dan Ternate.
|
Peta
Batavia 1682 |
Pos-pos perdagangan ini wujudnya hanya sekadar bangunan
VOC yang terdiri dari loji (loge) tempat gudang-gudang rempah, tangsi militer,
rumah pemimpin VOC dan bangunan tenaga kerja. Pos perdagangan ini, eksklusif
bagi pemerintah VOC. Dari pos inilah VOC melakukan pengumpulan komoditi
perdagangan dari berbagai tempat di sekitar dengan menyediakan pelabuhan bagi
pedagang pribumi. Pemerintah VOC dari pos ini merancang kerjasama dengan
pemimpin lokal untuk transaksi perdagangan. Dari pos-pos perdagangan ini
kemudian komoditi diteruskan ke Batavia untuk diekspor ke Eropa/Belanda.
|
Cikal
bakal Perkampungan Loear Batang (1730) |
Kota Batavia sebagai pusat perdagangan
(simpul utama) terus berkembang sebagai kota. Para pedagang Eropa terus
bertambah, investasi semakin besar, suasana kota yang sebelumnya di sekitar
Casteel Batavia lambat laun telah menjadi kota besar, Kota Batavia, sebagai
satu-satu kota besar, untuk mengakomodasi para pengusaha Eropa/Belanda fasilitas
kota terus berkembang seperti kanal-kanal baru, bangunan-bangunan permanen dan
situs lainnya. Moda transportasi di Batavia masih mengandalkan air yang dalam
hal ini kanal-kanal bagaikan jalan raya pada masa ini. Kota Batavia dibatasi
oleh tembok yang mengitari kota, yang membedakan dalam kota dan luar kota.
Di dalam kota, hanya yang berkepentingan yang memiliki
akses permanen: pemerintah VOC, pedagang/investor Eropa/Belanda, tenaga-tenaga
kerja (budak dan kuli kontrak dari Tiongkok) yang bekerja untuk VOC, yang
bekerja untuk pelayaran, kuli angkut, pabrik-pabrik (utamanya pabrik gula).
Salah satu pemukiman baru yang berada di luar
tembok kota dan lokasinya berada dekat ke laut, kelak dikenal sebagai Kampong
Loear Batang. Perkampungan ini muncul sebagai akibat alamiah terbentuknya Kota
Batavia sebagai kota Eropa/Belanda dimana VOC memerintah. Kapal-kapal asing non
Eropa/Belanda seperti kapal-kapal Arab, Persia, Tiongkok dan sebagainya dan
kapal-kapal pribumi yang datang dari berbagai daerah, setelah usai melakukan
transaksi dagang, memanfaatkan perkampungan yang disebut Luar Batang itu
sebagai tempat tinggal sementara.
Kampung Luar Batang adalah kampong para pelaut/pedagang
non Eropa/Belanda. Pelabuhan-pelabuhan laut sebelumnya yang menjadi pusat
perdagangan internasional (sebelum VOC) adalah pelabuhan Sunda Kelapa dan pelabuhan
Iacatra (baca: Jakarta). Pelabuhan ini menjadi tempat berlabuh utamanya
kapal-kapal Arab, Persia dan Tiongkok. Dua pelabuhan ini setelah kehadiran VOC
(sejak 1619) telah menjadi bagian dalam (tembok) Kota Batavia.
Kampung Luar Batang menjadi begitu penting.
Tidak untuk orang Eropa/Belanda, tetapi untuk orang-orang pribumi yang datang
dari berbagai wilayah di pantai barat Sumatra, pantai timur Sumatra, pantai
utara Jawa, pantai selatan Kalimantan dan pantai barat/selatan Sulawesi dan
Sumbawa. Di perkampongan inilah berita-berita pelayaran internasional
dibicarakan, khususnya ke Jazirah Arab. Kapal-kapal dagang dari jazirah Arab
menjadi penghubung Nusantara dengan jazirah Arab (peabuhan Jeddah) yang juga
menjadi penghubung para jamaah haji ke tanah suci di Makkah.
|
Masjid di Palembang, 1830 |
Kapal-kapal dagang dari (jazirah) Arab ini dari Batavia
ke Jeddah menjadi jarak pelabuhan terjauh dalam pelayaran internasional antara
nusantara dan jazirah Arab. Kapal-kapal dagang Arab ini ketika berangkat ke
Persia dan Arab (Jeddah) juga melakukan transaksi di pelabuhan-pelabuhan
seperti Singapoera, Malaka dan Kota Radja (kini Banda Atjeh) dari sisi timur
Sumatra, sedangkan dari sisi barat Sumatra juga melakukan yang sama di
pelabuhan Telok Betong, Bencoelen, Padang, Pariaman, Baros, Singkel dan Meaulaboh
(dan Kota Radja). Pelabuhan-pelabuhan ini juga menjadi semacam pelabuhan
‘embarkasi’ jamaah haji.
Kapal Dagang Inggris
|
Masjid Loear Batang,
Batavia, 1851 |
Diantara Belanda dan Inggris, kapal-kapal
dagang Inggrislah yang memanfaatkan peluang untuk membawa jamaah haji.
Kapal-kapal dagang Inggris cukup leluasa di perairan India, pantai barat
Sumatra, pantai timur Sumatra (termasuk Semenanjung Malaya), Indo Cina dan
Tiongkok. Hal ini mudah dipahami, karena sejumlah pelabuhan penting di Laut
Merah dan selat Ormus menjadi pelabuhan pusat perdagangan Inggris. Pengaruh
Inggris lebih kuat di kawasan ini dibanding Belanda.
Belanda sangat berkuasa di Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara
dan Maluku. Namun di Sumatra, perseteruan Inggris dan Belanda tetap berlangsung
ketat. Pengusaan pelabuhan silih berganti antara Belanda dan Inggris. Satu
keluwesan Inggris di Sumatra adalah kemampuannya bernegosiasi dengan Atjeh,
tetapi antara Belanda dan Atjeh tidak pernah terjadi kedamaian. Oleh karena pemberontakan
di Jawa, Sulawesi dan Maluku, konsentrasi Belanda kerap mengabaikan Sumatra.
Inggris memanfaatkan peluang di Sumatra yang intensitas Belanda memang pasang
surut. Kedekatan India (pusat Inggris) dengan Sumatra dan Semenanjung menjadi
faktor penguat lainnya. Masjid di Molenvliet (kini di sekitar Jalan Gajah
Mada), 1850
|
Masjid Banten, 1845 |
Pemanfaatan kapal-kapal Inggris terus
berlangsung hingga terjadinya pendudukan Inggris atas Jawa (1811-1816).
Kapal-kapal dagang Inggris bahkan terus beroperasi hingga tahun 1824 (traktat
London). Sejak Bengkulu dan Malaka tukar guling antara Belanda dan Inggris,
kapal-kapal dagang Inggris menjadi salah satu pilihan utama jamaah haji untuk
ke Makkah. Pelabuhan Singapoera, Malaka dan Penang menjadi simpul pelayaran
haji yang utama (embarkasi haji). Kapal-kapal kecil dari berbagai penjuru
nusantara mengantarkan jamaah haji ke pusat embarkasi Inggris ini. Kapal-kapal
kecil milik orang-orang Eropa.Belanda dan pribumi, selain datang dari Batavia,
juga dari pelabuhan-pelabuhan kecil di Sumatra, pelabuhan di pantai utara Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Haji dan Masjid
|
Masjid Kota Radja, Atjeh, 1874 (sebelum Perang Atjeh) |
Para haji yang telah menunaikan ibadah haji
di Mekkah, setelah pulang ke tanah air besar kemungkinan menjadi pemimpin agama
di kampong halaman masing-masing. Mereka umumnya adalah pedagang-pedagang dan
bermukim di kota-kota. Para haji ini, seiring perkembangan kota, terutama di
daerah-daerah kaoem (pusat perdagangan yang mana para haji sangat dominan)
besar kemungkinan memainkan peran besar dalam mengkonsolidasi penduduk untuk
pembangunan-pembangunan masjid. Keberadaan masjid-masjid di kota-kota terekam
dalam bentuk lukisan dan foto. Masjid-masjid ini tampak dengan arsitektur yang
berbeda-beda. Masjid-masjid tersebut terdapat di Palembang (1830), Banten
(1845), Ternate (1850), Molenvliet te Batavia (1850), Bima (1855), Blora
(1862), Magelang (1864), Soerabaja (1865), Bengcoelen (1867), Barabai (1867),
Pati (1867), Lima Poeloeh Kota (1867), Ambon (1868), Bandjarmasin (1870), Kota
Radja (1874) dan lainnya. Sejaman dengan masjid-masjid ini. baru-baru ini saya
lihat di Solo, di Jalan Radjiman diantara deretan pertokoan (dekat Kampong
Batik) masih terlihat eksis sebuah masjid (yang terbuat dari beton dan kayu) yang
dibangun tanggal 7 Juli 1877 (sesuai relief yang terlihat di dinding luar depan).
|
Masjid Besar Kota Radja, Atjeh, 1889 |
Pada tahun 1874, Masjid Kota Radja (kini Banda Aceh)
dalam Perang Atjeh dihancurkan oleh militer Belanda. Penghancuran kraton dan
masjid di Kota Radja mendapat reaksi besar di Angkola dan Mandailing. Willem
Iskander, guru pribumi di Mandailing memberi komentar yang sangat pedas yang
dilansir berbagai surat kabar. Sebagaimana dilaporkan sebelum terjadi serangan
besar-besaran di Atjeh sejumlah hulubalang dari Angkola dan Mandailing bergerak
ke Atjeh untuk ikut membantu penduduk Atjeh. Reaksi ini kemudian segera
disadari oleh pemerintah Hindia Belanda dan dianggap suatu kesalahan. Lantas
kemudian, Pemerintah Hindia Belanda menginisiasi penggalangan dana untuk
merehabilitasi Masjid Atjeh. Dalam tempo singkat, dana yang umumnya terkumpul
dari pengusaha Eropa/Belanda jumlahnya sangat besar. Dana inilah yang digunakan
untuk merehabilitasi Masjid Kota Radja dengan membangun kembali masjid yang
sangat besar dengan arsitektur mewah. Sebagian dana ini juga dialokasikan untuk
membangun masjid Bandoeng (1876).
|
Masjid Bandoeng (1880) |
Rehabilitasi yang cepat terhadap pembangunan
kembali Masjid Kota Radja, boleh jadi menjadi koreksi terhadap kesalahan yang
dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Sebab, saat itu, bagi umat Islama sudah Atjeh
sudah dianggap sebagai Serambi Mekkah. Untuk menghindari munculnya gejolak umat
Islam yang lebih luas dan semakin menguatnya peran haji di tengah masyrakat
terutama di kota-kota, upaya rehabilitasi cepat ini dianggap sebagai tindakan
koreksi dan ingin merangkul (memberi simpati) terhadap umat Islam di seluruh
Nusantara. Untuk sekadar tambahan: Perang Atjeh adalah perang terakhir yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
|
Masjid dan gereja di Sipirok (1906) |
Pemerintah Hindia Belanda pada dasarnya penganut paham
liberal. Para misionaris dan organisasi-organisasi misionaris yang terus
menerus mempengaruhi pemerintah. Pada tahun 1860an paham liberal ini masih
terdengar dimana-mana. Pejabat-pejabat Belanda di lapangan (di tingkat
kontroleur dan asisten residen) sering mengemukakan ‘baik Islam, Kristen maupun
pagan, sama pentingnya, yang diutamakan adalah penduduk yang bersedia untuk
membangunan jalan dan jembatan (baca: kerjasama ekonomi).
Setelah peristiwa Atjeh, penghancuran Masjid
Kota Radja, pemerintah lebih adaptif sesuai semangat paham liberalnya. Sejumlah
masjid mulai mendapat perhatian, dalam alokasi anggaran sudah mulai dibuka.
Dukungan terhadap pembangunan rumah ibadah didukung karena pemerintah
menganggap itu sebagai bagian dari pembangunan sosial. Namun sebagaimana
praktek kolonial, tidak ada makan siang gratis, besarnya alokasi untuk
kontribusi pembangunan masjid disesuaikan dengan potensi pendapatan wilayah
dimana masjid itu berada.
|
Masjid pemberian para planter (N. v.h.Noorden,
09-06-1931) |
Pembangunan masjid raya Al Mahsun di Medan pada tahun
1890an peran pengusaha perkebunan sangat besar (peran pemerintah sangat minor).
Para pengusaha perkebunan yang tergabung dalam sarikat perkebunan bergotong
royong membangun masjid Medan. Masjid ini sungguh sangat mewah dan melebihi
kemegahan masjid Kota Radja, Atjeh. Para pengusaha sudah barang tentu
mempertimbangkan partisipasi Sultan selama ini utamanya dalam urusan pembebasan
lahan yang kemudian menjadi lahan-lahan konsesi perkebunan. Para pengusaha
respek terhadap Sultan tetapi belum tentu terhadap penduduk.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto-fot dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis)
dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar