Dalam banyak hal, Pemerintah Hindia Belanda tidak terlalu mengistimewakan warga Land Depok dibandingkan penduduk land lainnya. Pemerintah menganggap Islam, Kristen dan pagan dipandang sama, yang membedakan adalah siapa yang bersedia berpartisipasi dalam pembangunan dalam wujud kerjasama untuk membangun jalan; jembatan dan mengembangkan lahan-lahan pertanian. Itulah inti politik kolonial: memaksimumkan keuntungan.
Papan nama Gemeente Bestuur Depok |
Pemerintah Hindia Belanda menganggap warga Gemeente Depok hanyalah sebagai
penyewa lahan (pemerintah). Namun warga Gemeente Depok tetap menganggap lahan
Land Depok adalah warisan Cornelis Chastelein sejak 1714. Ketika muncul
peraturan perpajakan yang baru tahun 1933 (Staatsblad No. 352), pemerintah
bertindak tegas terhadap warga yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar
pajak. Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi motif ‘setangah membangkang’
ini.
Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 08-02-1934 melaporkan seorang penyewa lahan di
Land Depok coba tidak membayar pajak. Pengadilan memutuskan untuk warga
membayar kewajiban yang sudah terlambat dibayar. Terdakwa selain harus membayar
kewajiban juga harus membayar biaya-biaya yang muncul selama persidangan.
Ketegasan dalam kasus ini, pemerintah menilai ini sebagai peringatan untuk
penghuni (Land) Depok yang lain, yang berpikir untuk menghindari kewajiban
mereka terhadap gemeenschap.
Dalam hal ini Gemeente Depok hanyalah dianggap sebuah area yang setara
dengan desa, wilayah administrasi pemerintahan terkecil seperti puluhan desa
yang berada di sekitar Land Depok. Pemerintah bersama pemimpin lokal secara
bersama-sama mengerahkan penduduk asli dan warga Depok berpartisipasi seperti
membangun jalan, jembatan dan irigasi. Atas dasar inilah Pemerintah Hindia
Belanda yang berpusat di Buitenzorg semua warga dan penduduk diperlakukan sama:
hak memanfaatkan fasilitas umum dan kewajiban membayar pajak tanpa terkecuali.
Dalam Sensus
Penduduk 1930 kampung-kampung yang berasal dari dua distrik dikelompokkan ke dalam sejumlah desa. Dari
distrik Tjibinong terbentuk tiga desa (Tapos, Tjilangkap dan Tjilodong) dan dua
kemandoran (Kmd Tjimanggis dan Kmd Tjilodong). Sedangkan dari distrik Paroeng
dibentuk sebanyak 29 desa, yakni: Tjimanggies, Tjinangka, Tjinere, Tjipajoeng, Tjitajam,
Tjoeroeg, Bedji, Bodjonggede, Grogol, Kalisoeren, Kedoengringin, Kemiri Moeka, Koekoesan,
Limo, Mampang Ilir, Mampang Oedik, Nangerang, Paboearan, Pangkalan Djati, Paroengblingbing,
Pasir Poetih, Pitara, Ratoe Djaja, Rawadenok, Saroea, Sasak Pandjang, Sawangan,
Tadjoerhalang dan Tanahbaroe (lihat Alphabetisch Register van de
Administratieve-(Bestuurs-) en Adatrechtelijk Indeeling van Nederlandsch-Indie.
Deel I: Java en Madoera. Door W. F. Schoel. Landsdrukkerij, Batavia, 1931). Gemeente
Depok adalah bagian dari desa Paroengblimbing.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar