Jumat, 08 Februari 2019

Sejarah Kota Depok (56): Melacak 12 Nama Keluarga (Geslachtsnaam) di Depok; Awal Mula Pencatatan dan Penulisan Last Name


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Di Depok tempo dulu ada nama keluarga (geslachtsnaam), jumlahnya 12 buah: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh. Mereka ini adalah pewaris Land Depok milik Cornelis Chastelein. Nama keluarga Zadokh disebutkan telah hilang. Paling tidak nama keluarga tersebut ditulis di belakang nama sudah dilakukan pada tahun 1812. Nama-nama keluarga tersebut masih digunakan hingga masa ini.

Silvester Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812); Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). D. Jonathans di Depok (Bataviaasch handelsblad, 30-08-1869). Reiner Leander di Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-08-1878). Rijkloff Johannes Loen van Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 16-02-1894). Daniel Jozef Bacas, Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-03-1897). JE Isakh di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1915). L Samuel menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1916). Sara Tholense menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 31-03-1920). Leena Jacob di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-03-1921). RF Soedira di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1926). A Joseph di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 15-03-1937),

Pertanyaannya sejak kapan nama-nama tersebut ditabalkan sebagai nama keluarga. Lalu sejak kapan awal mula pencatatannya. Pada era VOC, orang Eropa/Belanda sudah sejak lama menggunakan nama keluarga di belakang nama, bahkan jauh sebelum mereka datang ke Hindia Timur seperti Cornelis de Houtman. Namun ada juga nama-nama keluarga yang baru yang harus ditetapkan melalui proses pengadilan. Lantas bagaimana dengan nama-nama keluarga yang di Depok yang jumlahnya 12 buah. Tentu saja masih menarik untuk ditelusuri sabab musababnya.

Geslachtsnaam: Keluarga Laurens di Depok

Mengapa begitu penting geslachtsnaam sehingga seseorang harus mematenkan nama belakang ayahnya ke pengadilan untuk dijadikan sebagai nama keluarga (geslachtsnaam) untuk anak-anak dan turunannya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Kita tidak tahu. Yang jelas pengidentifikasian seseorang berdasarkan nama keluarga sudah sejak lama ada di Eropa dan juga tetap dilestarikan di Hindia baik pada era VOC maupun pada era Pemerintah Hindia Belanda. Bagi orang-orang Eropa/Belanda penulisan nama keluarga di belakang nama tampaknya wajib, tetapi belum menjadi penting di kalangan orang-orang Arab, Tionghoa maupun pribumi. Di kalangan pribumi sendiri, penulisan nama sesuai tradisi masing-masing yakni mengidentifikasi nama menurut nama kecil dan atau nama gelar. Nama depan (first name) dan nama belakang (surname) adalah sebagai penanda nama navigasi. Nama last name (geslachtsnaam) menunjukkan asalnya dari mana, berkerabat dengan siapa.

Pada era modern zaman now, penulisan nama tetap memiliki persoalan sendiri. Beberapa puluh tahun yang lalu saya dengan teman memasuki sebuah perpustakaan di Hawaai. Petugas yang harus mencatat setiap pengunjung masuk hanya membolehkan masuk yang memiliki nama lengkap (first name dan surname/last name). Saya tidak masalah karena di paspor sudah diidentifikasi secara lengkap (awal, tengah dan akhir). Saya cukup menggunakan nama first name dan last name/marga saja. Teman saya segera berpikir, lalu memberikan nama ayahnya di belakang nama (yang nama ayahnya juga nama tunggal). Sejak itulah teman saya itu memiliki first name dan family name. Hingga sekarang teman tersebut tetap melestarikannya dan bahkan nama anak-anaknya juga mengikuti nama kakeknya (sebagai nama keluarga). Tentu saja penggunaan nama tunggal pada masa ini di Indonesia tidak terlalu dipersoalkan.

Pada era kolonial Belanda, pada dasarnya nama depan (first name) adalah nama lahir sebagaimana diminta di dalam mengajukan akte kelahiran. Sementara nama belakang (last name) adalah nama sosial sebagaimana lazim digunakan oleh orang-orang Eropa. Satu lagi, di dalam nama juga diselipkan di tengah sebagai nama baptis diantara orang yang beragama Kristen/Katolik. Dalam penulisan nama publik (nama sosial) nama baptis lebih sering disingkat dengan hanya menandai dengan huruf pertama. Untuk orang pribumi solusinya adalah nama kecil (sebagai first name) dan nama gelar (sebagai last name). Dalam hal ini last name hanya sebagai nama individu, bukan nama keluarga (family name, geslachtsnaam atau marga).

Di berbagai daerah di Hindia Belanda (baca: Indonesia), berbagai kelompok masyarakat satu garis keturunan (clan) telah memiliki nama keluarga yang ditransformasikan dari nama clan. Nama clan ada yang sudah eksis sejak zaman kuno dan juga ada yang baru ditabalkan kemudian. Di Tapanuli (Tanah Batak) nama clan itu adalah marga, seperti Harahap, Siregar, Nasution dan Lubis. Sejak kapan nama marga di Tanah Batak diidentifikasi sulit diketahui. Penulis Portugis Mendes Pinto menulis di dalam bukuanya yang terbit tahun 1535 menyebut duta besar Kerajaan Aroe (Aroe Batak Kingdom) bergama Islam berkunjung ke Malaka. Nama dubes ini adalah ipar dari raja bernama Quareng Daholay. Nama dubes ini mirip nama Karim marga Daulay.

Orang Eropa/Belanda ke Tanah Batak yang kemudian disebut Tapanoli baru terjadi pada era Pemerintahan Hindia Belanda. Nama marga diadopsi sebagai nama individu baru terdeteksi pada tahun 1892 yakni Thomas Siregar di Sipirok (lihat Gumbu Humene. 1892. Amsterdam: Hoveker). Nama berikutnya adalah Markus Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu diikuti dengan empat nama berikutnya, yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap, Samuel Tandjoeng dan Cornelia Pane (lihat Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Penulisan nama marga di belakang nama mereka ini diduga kuat dimulai oleh kalangan misionaris. Sebab nama-nama di kalangan pemerintahan belum ada yang menggunakan nama marga, hanya berdasarkan nama kecil dan atau nama gelar.

Penggunaan nama marga di belakang nama kemudian muncul di kalangan pendidikan. Yang pertama terdeteksi pada tahun 1909, yakni: Mohamad Daulaij [lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di Semarang’]. Lalu kemudian terdeteksi tahun  1912 yakni Aminoeddin Loebis dan I. Harahap yang terdaftar sebagai siswa Koningin-Wilhelmina School di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1912). Selanjutnya terdeteksi nama Abdoel Azis Nasoetion, seorang siswa sekolah pertanian Landbowschool di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1912). Dari kalangan jurnalis terdeteksi pertama adalah Abdullah Lubis tahun 1916 di Medan editor surat kabar Benih Merdeka dan jurnalis muda Parada Harahap editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919.

Di Depok, jika selama ini dianggap terdapat ada 12 nama keluarga, penulisan nama keluarga di belakang nama pertama kali terdeteksi pada tahun 1812. Sebagaimana telah disebut di atas nama tersebut adalah Silvester Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812) dan Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). Yang mengiklankan nama-nama ini diduga kuat adalah ayah dari masing-masing anak yang baru lahir tersebut, yang kebetulan sama-sama dari keluarga Laurens.

Pendaftaran Nama Keluarga

Paling tidak sejak 1812 di Depok sudah diketahui nama Laurens sebagai nama keluarga. Penggunaan nama keluarga di Depok diduga sudah lama dilakukan. Hanya saja, surat kabar baru muncul kali pertama tahun 1810 yakni Bataviasche Koloniale Courant. Dalam semua edisi Bataviasche Koloniale Courant tidak ditemukan hal yang terkait dengan penulisan nama keluarga bagi golongan pribumi. Penulisan nama keluarga baru terdeteksi pada era pendudukan Inggris yang mana surat kabar berbahasa Inggris Java government gazette.

Surat kabar pada era VOC/Belanda tidak ditemukan nama-nama orang pribumi, karena itu tidak ada yang bisa diidentifikasi apakah ada pribumi yang telah menggunakan nama keluarga.

Bagi pribumi, penggunaan nama keluarga didasarkan pada nama keluarga. Pribumi yang terbilang awal berinteraksi dengan asing (sejak Portugis) adalah penduduk Maluku khususnya di Ambon.

Dalam deskripsi Prancois Valentijn tidak terdeteksi nama-nama pribumi. Dengan demikian penggunaan nama keluarga bagi pribumi juga tidak ditemukan. Demikian juga nama-nama keluarga juga tidak ditemukan di Makassar.

Dalam hal ini, boleh dikatakan, penggunaan nama keluarga bagi pribumi baru ditemukan di Depok. Paling tidak penggunaan nama keluarga sudah terdeteksi pada tahun 1812.

Sejak penggunaan nama keluarga Laurens di Depok, penggunaan nama-nama keluarga yang lain menyusul kemudian seperti nama keluarga Jonathans (1869). Leander (1878), Loen (1894), Bacas (1897), Isakh (1915), Samuel (1916), Tholense (1920), Jacob (1921), Soedira (1926) dan Joseph (1937). Dari 12 nama keluarga yang disebut di Depok, nama keluarga Zadok tidak pernah ditemukan.

Pada tahun 1889 muncul di Jogjakarta seorang pribumi mendaftarkan namanya menjadi nama keluarga (Nederlandsche staatscourant, 23-08-1889). Nama pribumi tersebut adalah Kassian yang dalam sehari-hari menyebut dirinya sebagai Chepas. Dalam hal Kassian seorang fotografer namanya kerap ditulis dengan nama Kassian Chepas. Kemudian diketahui Kassian Chepas mengajukan namanya di Djokjokarta pada tanggal 14 Juni 1888 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal untuk dirinya dan putranya Sem dan Tarif agar disahkan memiliki nama keluarga Cephas. Permintaan ini kemudian dikabulkan (lihat Nederlandsche staatscourant,    31-12-1889).

Pemerintah sejak 1883 mengakomodir bagi pribumi untuk mendaftarkan nama untuk dijadikan menjadi nama keluarga dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni dikeluarkannya Ordonansi 30 Juli 1883 (Indisch Staatsblad No. 192). Pada Pasal 3 disebutkan bahwa....

Sementara itu penggunaan nama keluarga di Tapanoeli baru terdeteksi pada tahun 1892. Penggunaan nama ini muncul kali pertama di lingkungan misionaris.

Pada tahun 1927 diberitakan bahwa seseorang bernama Soetan Sjahboedin telah mendaftarkan nama ayahnya menjadi nama keluarga (Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Selama ini yang bersangkutan menulis namanya dengan nama Soetan Sjahboedin Proehoeman yang mana Prohoeman adalah nama ayahnya. Berdasarkan keputusan pemerintah, kepada Soetan Sjahboedin Proehoeman diberikan nama keluarga Prohoeman, keluarganya dan keturunan lainnya yang dilisensikan dengan nama keluarga. Untuk menerima Proehoeman dan selanjutnya menyebutkan dan ditulis Proehoeman.

Pendaftaran nama keluarga semakin kerap diberitakan. Tidak hanya pribumi tetapi juga Tionghoa, seperti yang diputuskan pemerintah kepada Benjamin Oscar Oei melisensikan nama keluarganya Oei untuk mengganti dengan nama Moniaga dan selanjutnya dipanggil dan menulis Benjamin Oscar Moniaga. Dalam hal ini nama keluarga lama diganti dengan nama keluarga yang baru.

Nama-Nama Keluarga Masa Ini

Penggunaan nama keluarga di belakang nama pada masa ini dapat dikatakan sebagai suatu yang lazim dan seakan menjadi standar internasional. Di Indonesia pada masa ini, penggunaan nama keluarga tidak memiliki aturan yang baku sebagaimana di era kolonial Belanda. Setiap orang atau setiap keluarga bebas menggunakan nama keluarga apa yang sesuai dengan yang diinginkan tanpa harus mengajukannya ke pemerintah. Namun penggunaan nama keluarga yang baru tampaknya lebih pada untuk menunjukkan latar belakang keluarga dengan menggunakan nama ayah atau nama kakek.

Untuk sekadar menunjukkan yang mudah dilihat adalah anak-anak Presiden RI Soekarno, yang mana anak-anaknya disebut sebagai Megawati Sukarnoputri (untuk perempuan) dan Guntur Sukarnoputra (untuk laki-laki). Demikian juga putri Wakil Presiden Mohamad Hatta digunakan anaknya menjadi nama belakang sebagai Meutia Hatta. Tentu saja nama Tommy Suharto dapat dihubungkan dengan nama ayahnya Suharto (Presiden). 

Saya sendiri tidak pernah menambahkan nama keluarga (marga) di belakang nama, karena sejak kecil nama Akhir Matua Harahap sudah tertulis di izajah sekolah dasar (SD) dan surat kenal lahair (pengganti akta kelahiran). Ini berbeda dengan teman saya, di akta kelahiran tidak tertulis nama marga, tetapi nama keluarga digunakannya di belakang nama apakah pada KTP atau surat-surat indentitas lainnya.

Intinya nama marga adalah satu hal, nama marga dijadikan sebagai nama keluarga adalah hal lain yang dengan kata lain penggunaan nama keluarga adalah hal lain, sedangkan pembentukan nama keluarga adalah hal lain lagi.

Jika kita kembali kepada 12 nama keluarga di Depok, bahwa ke-12 nama keluarga tersebut bukanlah nama marga (clan), tetapi lebih tepat sebagai nama keluarga (family group), suatu nama keluarga yang digunakan turunannya sebagai identitas nama keluarga yang kemudian digunakan sebagai nama belakang. Oleh karena ke-12 nama keluarga tidak pernah diketahui didaftarkan kepada pemerintah (pada era kolonial Belanda), tetapi ke-12 nama keluarga itu digunakan sebagai nama belakang, maka ke-12 nama keluarga itu diduga sudah sejak lama eksis di dalam keluarga (lingkungan di Depok). Namun bagaimana awal mula pengelompokkan ke-12 nama keluarga tersebut tidak diketahui secara jelas.Namun bisa diduga kapan nama keluarga di Depok ada, sudah pasti sejak era Cornelis Chastelein (meninggal tahun 1714).

Marga di Tanah Batak

Dua belas nama keluarga di Depok bukanlah 12 marga dalam pengertian marga di Tanah Batak. Marga di Tanah Batak adalah suatu kelompok keluarga genealogis yang disebut clan, suatu kelompok keluarga yang sudah lama eksis dan secara turun temurun mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan 12 kelompok keluarga di Depok adalah suatu komunitas penduduk (yang konon dikatakan eks pekerja Cornelis Chastelein) yang kemudian dikelompokkan menjadi 12 kelompok. Tidak disebutkan apa yang menjadi dasar pembagian kelompok dan pembagian kelompok bertujuan untuk apa. Jika rujukannya kelompok marga di Tanah Batak, pembagian kelompok keluarga di Depok sangat rancu (sangat longgar).

Jika dahulunya dari 12 kelompok keluarga terdapat Zadok dan kemudian (meng)hilang besar dugaan bukan karena punah tetapi. Mungkin dapat diandaikan bahwa semua keluarga (tanpa terkecuali) dari kelompok keluarga Zadok berada dalam satu kapal lalu kapalnya karam dan tidak seorangpun (laki-laki) yang selamat. Iu dapat dikatakan punah. Tetapi perandaian ini probabilitasnya sangat kecil. Satu kemungkinan yang besar adalah kelompok keluarga Zadok telah menghilang atau dihilangkan yang boleh jadi karena menghilangkan diri atau dikeluarkan dari 12 kelompok keluarga karena alasan misalnya melakukan tindakan yang berbeda dan tidak sejalan dengan kelompok-kelompok lainnya, seperti beralih agama. Di Tanah Batak, perbedaan agama tidak menghilangkan pemilik marga karena marga bersifat genealogis. Sedangkan di Depok dapat hilang atau menghulang karena bukan bersifat genalogis tetapi pengelompokkannya lebih pada sifat sosiologis atau teritorial.

Kelompok keluarga di Depok lebih tepat dapat disebut sebagai pendaftaran nama keluarga atau suatu pembentukan nama keluarga yang dimaksudkan untuk identifikasi, dibedakan dengan kelompok keluarga lainnya dan kepada masing-masing kelompok dapat menurunkan nama keluarga kepada anak dan turunannya. Bahwa mereka yang satu kelompok keluarga tidak boleh satu sama lain kawin tidak ada jaminannya, seperti kelompok keluarga di dalam tradisi orang Eropa. Sementara kelompok marga di Tanah Batak tidak boleh kawin sesama karena dijaga atau diawasi oleh kelompok-kelompok marga lainnya secara adat di dalam sistem dalihan na tolu.

Peta wilayah marga di Afdeeling Padang Sidempoean (1886)
Pengawasan kemurnian marga di dalam sistem dalihan na tolu karena dihubungkan dengan perkawinan dengan kelompok keluarga dari marga lainnya. Yang memiliki kepentingan dalam menguji kemurnian marga tidak hanya pemilik marga tetapi marga-marga lain. Azas pelarangan kawin semarga adalah acuannya. Kawin semarga dianggap pelanggaran (incest taboo). Dalam hubungan perkawinan diantara dua keluarga tentu bukan incest dalam pengertian sekarang yang menjadi alasan. Tentu saja penduduk Batak tidak mengetahui arti hereditas di jaman dulu. Incest dalam hal ini lebih pada kerusakan sistem sosial. Di dalam horja (kegiatan besar), marga yang memiliki hajatan semua orang semarga duduk sebagai tuan rumah orang semarga (kahanggi). Kahanggi adalah investor (pemilik saham) dalam kegiatan horja tersebut. Dalam posisi marga kahanggi ini, keluarga-keluarga pemberi boru diposisikan sebagai mora (yang sangat dihirmati) sedangkan keluarga-keluarga pengambil boru diposisikan sebagai anakboru. Yang bekerja (sebagai pekerja) dalam hajatan itu adalah pihak anak boru, sedangkan pihak mora sebagai tamu utama yang suaranya harus didengar. Dalam posisi garis lurus: Moora di depan kahanggi dan anakboru di belakang kahanggi. Posisi dalam garis lurus ini akan berubah sendiri keluarga siapa yang akan mendirikan (melaksanakan) horja. Dalam hubungannya dengan identitas marga dan hubungan perkawinan, pengujian marga (kemurnian marga) ini diperiksa apakah seseorang diposisikan sebagai kahanggi, mora atau anak boru. Disnilah letak arti perting marga bagi seseorang. Dalihan na tolu sendiri dalam hal ini dapat dikatakan sebagai suatu sistem sosial dan menjadi inti kebudayaan (core culture) penduduk Batak. Dengan demikian, eksistensi marga yang dimiliki seseorang atau yang diadopsinya selalu diuji (kemurniannya) di dalam horja.  

Dalam sistem sosial di Tanah Batak, kelompok marga yang diatur secara genealogis diturunkan kepada turunannya sangat ketat. Seseorang menjadi bagian dari marga, selain lahir secara alamiah, setiap yang ditambahkan (diadopsi) dan dikurangi (dibuang dan dihapus karena kawin semarga, menjadi budak dan lainnya) diatur oleh hukum adat dan prosesnya melalui sidang adat.

Pernikahan dalam satu marga (di Tanah Batak) dilarang (lihat Willer. 1846. Verzamileng Mandheling en Pertibie). Willer menyebut incest antara iboto (kakak dan adik) ini akan menjadi keduanya dihukum dengan hukuman mati, dan dalam derajat lebih lebih rendah dikenakan denda dan pembuangan (ke luar wilayah adat). Persitiwa kejadian kawin semarga pernah terjadi di Afdeeling Padang Sidempoean yang kemudian dilakukan (sidang) peradilan adat pada hari Ahad tanggal 12 November 1922 (lihat Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli, 1930).

Joustra menyebutkan bahwa hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita dari marga yang sama dianggap incest. Anggota marga dari generasi yang sama menganggap satu sama lain sebagai saudara dan saudari. Namun marga asli yang populasinya besar ada yang membagi menjadi beberapa submarga yang lebih kecil dan tetap menjaga adanya persatuan. Oleh karena itu di banyak daerah hal serupa ini cenderung mengatakan larangan pernikahan tidak melanggar prinsip marga yang semula (marga awal), tetapi tetap menjaga agar kelompok-kelompok tidak terlalu berdekatan (lihat M. Joustra. Batak Spigel. SC van Doesburgh. Lead, 1926).

Dalam perkembangan lebih lanjut, ketika terjadi hubungan perkawinan yang lebih luas, seseorang harus mengadopsi sebuah marga (yang berbeda dengan marga calon suami atau calon istri) dalam satu upacara adat. Sebaliknya dari sudut pandang pemilik marga, orang yang telah diadopsi menjadi satu marga dapat menurunkan marga. Dalam konteks sekarang disebut upacara pemberian marga.

Dalam hubungan sosial, setiap orang yang bertemu dengan orang yang baru selalu saling menanyakan marga. Ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi masing-masing apakah diantara mereka berdua siapa yang menjadi pihak mora dan siapa yang menjadi pihak anak boru. Untuk yang berlainan jenis kelamin, saling bertanya marga tentu sangat penting untuk menentukan apakah mereka semarga (ito) atau bukan. Dengan kata lain, dua pihak yang berlainan jenis kelamin tersebut menjadi saling memposisikan diri apakah ito (dongan samarga yang tidak boleh kawin semarga) atau boru tulang (gadis yang bisa dilamar si lelaki). Saling memperkenalkan marga ini tidak main-main. Bagi dua laki-laki, akan terkoreksi dengan sendirinya ketika mereka lebih jauh membuka stambuk masing-masing; dan bagi pasangan laki-laki dan perempuan akan terkoreksi pada upacara perkawinan (mengikuti prinsip dalihan na tolu).

Namun yang tetap menjadi misteri (sulit dijelaskan), sejak kapan adanya marga di Tanah Batak? Adanya marga diduga seumur dengan adanya larangan perkawinan di dalam satu garis keturunan. Di Tanah Batak, garis keturunan (marga) mengikuti garis keturunan genealogis ayah. Oleh karena garis keturunan genealogis ayah yang digunakan di Tanah Batak dan bukan garis keturunan sosial (karena harta dan jabatan) atau garis keturunan teritorial (berdasarkan konsensus) maka pengakuan (deklarasi) marga haruslah dikaitkan dengan pentingnya larangan kawin semarga. Kesadaran pentingnya larangan kawin semarga diduga manjadi faktor terpenting lahirnya marga. Kesadaran pentingnya larangan kawin semarga diduga bersumber dari pengaruh luar/asing.

Tentu saja pada zaman kuno di Tanah Batak tidak mengetahui hukum hereditas modern sebagaimana sudah dipahami di Eropa. Namun kesadaran larangan kawin semarga di Tanah Batak haruslah dikaitkan dengan kehadiran orang asing atau hasil interaksi pengetahuan yang diperoleh dari orang asing. Sebagaimana diketahui pengaruh asing sudah barang tentu dapat dihubungkan dengan keberadaan Budha/Hindu yang sudah ada sejak abad ke-8. Paling tidak ini dapat dilihat peninggalan candi di Simangambat (abad ke-9) dan percandian di Padang Lawas (abad ke-11). Namun sistem sosial yang umum Budha/Hindu yang diduga berasal dari India kenyataannya tidak berbekas di dalam sistem sosial penduduk Batak yang mengikuti garis genealogis ayah. Konsep dalihan na tolu yang berbasis marga juga tidak ditemukan hubungannya dengan pengaruh Budha/Hindu di dalam kebudayaan penduduk Batak. Ini suatu indikasi bahwa pengaruh Budha/Hindu yang boleh jadi memang sistem sosial penduduk Batak sudah eksis sebelum orang-orang Budha/Hindu datang ke pedalaman Tanah Batak. Sistem sosial penduduk Batak yang merujuk pada sistem sosial inti dalihan na tolu sebagai inti kebudayaan (core culture) jika dikaitkan dengan konsep dalihan na tolu (berbasis marga) yang tidak boleh kawin semarga haruslah dihubungkan dengan pengaruh asing lainnya. Terbentuknya (konsep) larangan kawin semarga dalam hal ini dan yang paling dekat diduga muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh Islam. Dalam Islam dikenal konsep muhrim. Besar dugaan larangan kawin semarga di diduga konsep muhrim (hukum Islam) yang diperluas. Secara historis, penduduk Batak sudah sejak lama terhubung (berinteraksi) dengan orang asing, apakah Hindu, Budha atau Islam yang berada di pelabuhan kuno terdekat di Barus. Pelabuhan utama di zaman kuno di pantai barat Sumatra terdapat di Barus (wilayah teritori Tanah Batak), suatu pelabuhan yang menjadi muara dari semua komoditi-komoditi kuno yang dihasilkan di Tanah Batak seperti kamper, kemenyan, damar, emas, gading dan sebagainya. Kehadiran Islam di Barus adalah kehadiran Islam pertama di Nusantara.

Geslachtsnaam dan Marga

Adanya nama keluarga di Depok dapat dikatakan sebagai suatu pendaftaran nama keluarga (Geslachtsnaam), bukan sebagai nama keluarga dalam pengertian marga di dalam tradisi masyarakat Batak. Marga di Tanah Batak adalah elemen pembentuk sistem sosial di dalam kebudayaan Bataka (core culture). Sedangkan nama keluarga di Depok boleh jadi dimaksudkan untuk identifikasi dalam hubungannya dengan penguasaan resources yang terbatas di Depok di masa lampau. Dengan kata lain pengelompokan komunitas Depok ke dalam kelompok keluarga memiliki arti penting dalam pewarisan (selanjutnya).

Keterbatasan lainnya dalam hal ini di masa lampau di Depok, jika dan hanya jika dipercaya bahwa komunitas Depok sebagai penganut agama Kristen yang taat, dengan pembentukan kelompok keluarga diharapkan tercapai tertib dalam hubungan sosial, utamanya dalam hubungan perkawinan. Mungkin incest taboo sudah dipahami di lingkungan komunitas Depok, paling tidak dalam hal ini atas prakarsa (inisiasi) dari Cornelis Chastelein, pembentukan kelompok keluarga sebagai upaya untuk menghindari terjadinya incest.

Alasan-alasan serupa inilah diduga mengapa muncul pembentukan kelopok keluarga di Depok, suatu kesadaran yang untuk menciptakan aturan sosial baru dalam hubungannya dengan permasalahan hubungan antar orang (semisal perkawinan) dan hubungan antara orang dengan lahan (semisal hak pewarisan berikutnya). Jika hal ini yang menjadi dasar pengelompokan dan pembentukan kelompok keluarga maka pengelompokkan keluarga tersebut sudah lama adanya, bahkan boleh jadi semasa Cornelis Chastelein masih hidup.

Dalam hal ini pengelompokan keluarga di dalam komunitas Depok (beragama Kristen) haruslah dipandang sebagai satu hal, sedangkan nama-nama kelompok keluarga tersebut menjadi bagian dalam penulisan nama (belakang) adalah hal lain. Adopsi penggunaan nama keluarga alam Depok dalam penulisan nama di dalam sistem sosial yang lebih luas (seperti pemerintahan) tentu saja baru muncul belakangan, ketika orang per orang yang berasal dari komunitas Depok berinteraksi dalam sistem sosial yang lebih luas semiasal dalam kegunaan sistem registrasi dan administrasi yang lazim digunakan umum seperti yang telah lama dilakukan oleh orang Eropa dalam penulisan nama menggunakan nama keluarga.

Ketika penulisan nama keluarga di belakang nama diadopsi orang pribumi dan dalam prakteknya semakin kerap dilakukan, orang-orang yang berasal dari komunitas Depok tidak perlu mendaftarkan nama keluarga kepada pemerintah, sebab nama-nama keluarga di komunitas Depok sudah sejak lama eksis dan diantara komunitas Depok telah diakui secara sosial, seperti halnya marga di dalam mayarakat Batak. Di dalam masyarakat untuk menguji seseorang apakah benar pemilik marga dapat dirujuk pada stambuk yang dimiliki oleh setiap keluarga, suatu stambuk yang dapat diperbandingkan (apakah kompatibel) dengan stambuk yang dimiliki keluarga lain. Marga di dalam tradisi orang Batak tidak hanya sekadar pengakuan, tetapi dapat dibuktikan di dalam catatan tertulis yang disebut stambuk keluarga.

Demikianlah sistem pencatatan nama: Marga adalah satu hal, nama kelaurga adalah hal ian, dan penggunaan nama keluarga dan marga dalam penulisan nama adalah hal lain lagi.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar