*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Di Depok tempo dulu ada nama keluarga (geslachtsnaam), jumlahnya 12 buah: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh. Mereka ini adalah pewaris Land Depok milik Cornelis Chastelein. Nama keluarga Zadokh disebutkan telah hilang. Paling tidak nama keluarga tersebut ditulis di belakang nama sudah dilakukan pada tahun 1812. Nama-nama keluarga tersebut masih digunakan hingga masa ini.
Di Depok tempo dulu ada nama keluarga (geslachtsnaam), jumlahnya 12 buah: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh. Mereka ini adalah pewaris Land Depok milik Cornelis Chastelein. Nama keluarga Zadokh disebutkan telah hilang. Paling tidak nama keluarga tersebut ditulis di belakang nama sudah dilakukan pada tahun 1812. Nama-nama keluarga tersebut masih digunakan hingga masa ini.
Silvester Jacobus Laurens
lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812); Johanna Laurens lahir di Depok
30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). D. Jonathans di Depok
(Bataviaasch handelsblad, 30-08-1869). Reiner Leander di Depok (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-08-1878). Rijkloff
Johannes Loen van Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 16-02-1894). Daniel Jozef
Bacas, Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 10-03-1897). JE Isakh di Depok (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 21-08-1915). L Samuel menikah di Depok (Bataviaasch
nieuwsblad, 30-08-1916). Sara Tholense menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad,
31-03-1920). Leena Jacob di Depok (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 08-03-1921). RF Soedira di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1926).
A Joseph di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 15-03-1937),
Pertanyaannya sejak kapan nama-nama tersebut ditabalkan
sebagai nama keluarga. Lalu sejak kapan awal mula pencatatannya. Pada era VOC,
orang Eropa/Belanda sudah sejak lama menggunakan nama keluarga di belakang
nama, bahkan jauh sebelum mereka datang ke Hindia Timur seperti Cornelis de
Houtman. Namun ada juga nama-nama keluarga yang baru yang harus ditetapkan melalui
proses pengadilan. Lantas bagaimana dengan nama-nama keluarga yang di Depok
yang jumlahnya 12 buah. Tentu saja masih menarik untuk ditelusuri sabab musababnya.
Geslachtsnaam: Keluarga Laurens di Depok
Mengapa begitu penting geslachtsnaam sehingga seseorang
harus mematenkan nama belakang ayahnya ke pengadilan untuk dijadikan sebagai
nama keluarga (geslachtsnaam) untuk anak-anak dan turunannya (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 16-12-1927). Kita tidak tahu. Yang jelas pengidentifikasian
seseorang berdasarkan nama keluarga sudah sejak lama ada di Eropa dan juga
tetap dilestarikan di Hindia baik pada era VOC maupun pada era Pemerintah
Hindia Belanda. Bagi orang-orang Eropa/Belanda penulisan nama keluarga di
belakang nama tampaknya wajib, tetapi belum menjadi penting di kalangan
orang-orang Arab, Tionghoa maupun pribumi. Di kalangan pribumi sendiri, penulisan
nama sesuai tradisi masing-masing yakni mengidentifikasi nama menurut nama
kecil dan atau nama gelar. Nama depan (first name) dan nama belakang (surname)
adalah sebagai penanda nama navigasi. Nama last name (geslachtsnaam)
menunjukkan asalnya dari mana, berkerabat dengan siapa.
Pada era modern zaman
now, penulisan nama tetap memiliki persoalan sendiri. Beberapa puluh tahun yang
lalu saya dengan teman memasuki sebuah perpustakaan di Hawaai. Petugas yang
harus mencatat setiap pengunjung masuk hanya membolehkan masuk yang memiliki
nama lengkap (first name dan surname/last name). Saya tidak masalah karena di
paspor sudah diidentifikasi secara lengkap (awal, tengah dan akhir). Saya cukup
menggunakan nama first name dan last name/marga saja. Teman saya segera
berpikir, lalu memberikan nama ayahnya di belakang nama (yang nama ayahnya juga
nama tunggal). Sejak itulah teman saya itu memiliki first name dan family name.
Hingga sekarang teman tersebut tetap melestarikannya dan bahkan nama
anak-anaknya juga mengikuti nama kakeknya (sebagai nama keluarga). Tentu saja
penggunaan nama tunggal pada masa ini di Indonesia tidak terlalu dipersoalkan.
Pada era kolonial Belanda, pada dasarnya nama depan
(first name) adalah nama lahir sebagaimana diminta di dalam mengajukan akte
kelahiran. Sementara nama belakang (last name) adalah nama sosial sebagaimana
lazim digunakan oleh orang-orang Eropa. Satu lagi, di dalam nama juga
diselipkan di tengah sebagai nama baptis diantara orang yang beragama
Kristen/Katolik. Dalam penulisan nama publik (nama sosial) nama baptis lebih
sering disingkat dengan hanya menandai dengan huruf pertama. Untuk orang
pribumi solusinya adalah nama kecil (sebagai first name) dan nama gelar
(sebagai last name). Dalam hal ini last name hanya sebagai nama individu, bukan
nama keluarga (family name, geslachtsnaam atau marga).
Di berbagai daerah di
Hindia Belanda (baca: Indonesia), berbagai kelompok masyarakat satu garis
keturunan (clan) telah memiliki nama keluarga yang ditransformasikan dari nama
clan. Nama clan ada yang sudah eksis sejak zaman kuno dan juga ada yang baru
ditabalkan kemudian. Di Tapanuli (Tanah Batak) nama clan itu adalah marga,
seperti Harahap, Siregar, Nasution dan Lubis. Sejak kapan nama marga di Tanah
Batak diidentifikasi sulit diketahui. Penulis Portugis Mendes Pinto menulis di
dalam bukuanya yang terbit tahun 1535 menyebut duta besar Kerajaan Aroe (Aroe
Batak Kingdom) bergama Islam berkunjung ke Malaka. Nama dubes ini adalah ipar
dari raja bernama Quareng Daholay. Nama dubes ini mirip nama Karim marga
Daulay.
Orang Eropa/Belanda ke
Tanah Batak yang kemudian disebut Tapanoli baru terjadi pada era Pemerintahan Hindia
Belanda. Nama marga diadopsi sebagai nama individu baru terdeteksi pada tahun
1892 yakni Thomas Siregar di Sipirok (lihat Gumbu Humene. 1892. Amsterdam:
Hoveker). Nama berikutnya adalah Markus Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws-
en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu diikuti dengan empat nama berikutnya,
yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap, Samuel Tandjoeng dan Cornelia Pane (lihat
Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Penulisan nama marga di belakang nama mereka
ini diduga kuat dimulai oleh kalangan misionaris. Sebab nama-nama di kalangan
pemerintahan belum ada yang menggunakan nama marga, hanya berdasarkan nama
kecil dan atau nama gelar.
Penggunaan nama marga di
belakang nama kemudian muncul di kalangan pendidikan. Yang pertama terdeteksi pada
tahun 1909, yakni: Mohamad Daulaij [lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909:
‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche
Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di
Semarang’]. Lalu kemudian terdeteksi tahun
1912 yakni Aminoeddin Loebis dan I. Harahap yang terdaftar sebagai siswa
Koningin-Wilhelmina School di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 09-05-1912). Selanjutnya terdeteksi nama Abdoel Azis
Nasoetion, seorang siswa sekolah pertanian Landbowschool di Buitenzorg (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1912). Dari kalangan jurnalis terdeteksi pertama
adalah Abdullah Lubis tahun 1916 di Medan editor surat kabar Benih Merdeka dan
jurnalis muda Parada Harahap editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang
Sidempoean tahun 1919.
Di Depok, jika selama ini dianggap terdapat ada 12 nama
keluarga, penulisan nama keluarga di belakang nama pertama kali terdeteksi pada
tahun 1812. Sebagaimana telah disebut di atas nama tersebut adalah Silvester
Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812)
dan Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette,
19-12-1812). Yang mengiklankan nama-nama ini diduga kuat adalah ayah dari masing-masing
anak yang baru lahir tersebut, yang kebetulan sama-sama dari keluarga Laurens.
Pendaftaran Nama
Keluarga
Paling tidak sejak 1812 di Depok sudah diketahui nama
Laurens sebagai nama keluarga. Penggunaan nama keluarga di Depok diduga sudah
lama dilakukan. Hanya saja, surat kabar baru muncul kali pertama tahun 1810
yakni Bataviasche Koloniale Courant. Dalam semua edisi Bataviasche Koloniale Courant tidak ditemukan hal yang terkait dengan penulisan nama
keluarga bagi golongan pribumi. Penulisan nama keluarga baru terdeteksi pada era pendudukan Inggris yang
mana surat kabar berbahasa Inggris Java government gazette.
Surat kabar pada era
VOC/Belanda tidak ditemukan nama-nama orang pribumi, karena itu tidak ada yang
bisa diidentifikasi apakah ada pribumi yang telah menggunakan nama keluarga.
Bagi pribumi, penggunaan nama keluarga didasarkan pada
nama keluarga. Pribumi yang terbilang awal berinteraksi dengan asing (sejak
Portugis) adalah penduduk Maluku khususnya di Ambon.
Dalam deskripsi Prancois
Valentijn tidak terdeteksi nama-nama pribumi. Dengan demikian penggunaan nama
keluarga bagi pribumi juga tidak ditemukan. Demikian juga nama-nama keluarga
juga tidak ditemukan di Makassar.
Dalam hal ini, boleh dikatakan, penggunaan nama keluarga
bagi pribumi baru ditemukan di Depok. Paling tidak penggunaan nama keluarga
sudah terdeteksi pada tahun 1812.
Sejak penggunaan nama
keluarga Laurens di Depok, penggunaan nama-nama keluarga yang lain menyusul
kemudian seperti nama keluarga Jonathans (1869). Leander (1878), Loen (1894), Bacas
(1897), Isakh (1915), Samuel (1916), Tholense (1920), Jacob (1921), Soedira (1926)
dan Joseph (1937). Dari 12 nama keluarga yang disebut di Depok, nama keluarga
Zadok tidak pernah ditemukan.
Pada tahun 1889 muncul di Jogjakarta seorang pribumi
mendaftarkan namanya menjadi nama keluarga (Nederlandsche staatscourant, 23-08-1889).
Nama pribumi tersebut adalah Kassian yang dalam sehari-hari menyebut dirinya
sebagai Chepas. Dalam hal Kassian seorang fotografer namanya kerap ditulis
dengan nama Kassian Chepas. Kemudian diketahui Kassian Chepas mengajukan
namanya di Djokjokarta pada tanggal 14 Juni 1888 yang ditujukan kepada Gubernur
Jenderal untuk dirinya dan putranya Sem dan Tarif agar disahkan memiliki nama
keluarga Cephas. Permintaan ini kemudian dikabulkan (lihat Nederlandsche
staatscourant, 31-12-1889).
Pemerintah sejak 1883
mengakomodir bagi pribumi untuk mendaftarkan nama untuk dijadikan menjadi nama
keluarga dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni dikeluarkannya Ordonansi
30 Juli 1883 (Indisch Staatsblad No. 192). Pada Pasal 3 disebutkan bahwa....
Sementara itu penggunaan nama keluarga di Tapanoeli baru
terdeteksi pada tahun 1892. Penggunaan nama ini muncul kali pertama di
lingkungan misionaris.
Pada tahun 1927
diberitakan bahwa seseorang bernama Soetan Sjahboedin telah mendaftarkan nama
ayahnya menjadi nama keluarga (Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Selama ini
yang bersangkutan menulis namanya dengan nama Soetan Sjahboedin Proehoeman yang
mana Prohoeman adalah nama ayahnya. Berdasarkan keputusan pemerintah, kepada
Soetan Sjahboedin Proehoeman diberikan nama keluarga Prohoeman, keluarganya dan
keturunan lainnya yang dilisensikan dengan nama keluarga. Untuk menerima
Proehoeman dan selanjutnya menyebutkan dan ditulis Proehoeman.
Pendaftaran nama keluarga semakin kerap diberitakan.
Tidak hanya pribumi tetapi juga Tionghoa, seperti yang diputuskan pemerintah kepada
Benjamin Oscar Oei melisensikan nama keluarganya Oei untuk mengganti dengan nama
Moniaga dan selanjutnya dipanggil dan menulis Benjamin Oscar Moniaga. Dalam hal
ini nama keluarga lama diganti dengan nama keluarga yang baru.
Nama-Nama Keluarga Masa
Ini
Penggunaan nama keluarga di belakang nama pada masa ini
dapat dikatakan sebagai suatu yang lazim dan seakan menjadi standar
internasional. Di Indonesia pada masa ini, penggunaan nama keluarga tidak
memiliki aturan yang baku sebagaimana di era kolonial Belanda. Setiap orang
atau setiap keluarga bebas menggunakan nama keluarga apa yang sesuai dengan
yang diinginkan tanpa harus mengajukannya ke pemerintah. Namun penggunaan nama
keluarga yang baru tampaknya lebih pada untuk menunjukkan latar belakang
keluarga dengan menggunakan nama ayah atau nama kakek.
Untuk sekadar
menunjukkan yang mudah dilihat adalah anak-anak Presiden RI Soekarno, yang mana
anak-anaknya disebut sebagai Megawati Sukarnoputri (untuk perempuan) dan Guntur
Sukarnoputra (untuk laki-laki). Demikian juga putri Wakil Presiden Mohamad
Hatta digunakan anaknya menjadi nama belakang sebagai Meutia Hatta. Tentu saja
nama Tommy Suharto dapat dihubungkan dengan nama ayahnya Suharto (Presiden).
Saya sendiri tidak pernah menambahkan nama keluarga
(marga) di belakang nama, karena sejak kecil nama Akhir Matua Harahap sudah
tertulis di izajah sekolah dasar (SD) dan surat kenal lahair (pengganti akta
kelahiran). Ini berbeda dengan teman saya, di akta kelahiran tidak tertulis
nama marga, tetapi nama keluarga digunakannya di belakang nama apakah pada KTP
atau surat-surat indentitas lainnya.
Intinya nama marga
adalah satu hal, nama marga dijadikan sebagai nama keluarga adalah hal lain
yang dengan kata lain penggunaan nama keluarga adalah hal lain, sedangkan
pembentukan nama keluarga adalah hal lain lagi.
Jika kita kembali kepada 12 nama keluarga di Depok, bahwa
ke-12 nama keluarga tersebut bukanlah nama marga (clan), tetapi lebih tepat
sebagai nama keluarga (family group), suatu nama keluarga yang digunakan turunannya
sebagai identitas nama keluarga yang kemudian digunakan sebagai nama belakang.
Oleh karena ke-12 nama keluarga tidak pernah diketahui didaftarkan kepada
pemerintah (pada era kolonial Belanda), tetapi ke-12 nama keluarga itu
digunakan sebagai nama belakang, maka ke-12 nama keluarga itu diduga sudah
sejak lama eksis di dalam keluarga (lingkungan di Depok). Namun bagaimana awal mula
pengelompokkan ke-12 nama keluarga tersebut tidak diketahui secara jelas.Namun
bisa diduga kapan nama keluarga di Depok ada, sudah pasti sejak era Cornelis
Chastelein (meninggal tahun 1714).
Marga di Tanah Batak
Dua belas nama keluarga di Depok bukanlah 12 marga dalam
pengertian marga di Tanah Batak. Marga di Tanah Batak adalah suatu kelompok
keluarga genealogis yang disebut clan, suatu kelompok keluarga yang sudah lama
eksis dan secara turun temurun mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan 12
kelompok keluarga di Depok adalah suatu komunitas penduduk (yang konon
dikatakan eks pekerja Cornelis Chastelein) yang kemudian dikelompokkan menjadi
12 kelompok. Tidak disebutkan apa yang menjadi dasar pembagian kelompok dan
pembagian kelompok bertujuan untuk apa. Jika rujukannya kelompok marga di Tanah
Batak, pembagian kelompok keluarga di Depok sangat rancu (sangat longgar).
Jika dahulunya dari 12
kelompok keluarga terdapat Zadok dan kemudian (meng)hilang besar dugaan bukan
karena punah tetapi. Mungkin dapat diandaikan bahwa semua keluarga (tanpa
terkecuali) dari kelompok keluarga Zadok berada dalam satu kapal lalu kapalnya
karam dan tidak seorangpun (laki-laki) yang selamat. Iu dapat dikatakan punah. Tetapi
perandaian ini probabilitasnya sangat kecil. Satu kemungkinan yang besar adalah
kelompok keluarga Zadok telah menghilang atau dihilangkan yang boleh jadi
karena menghilangkan diri atau dikeluarkan dari 12 kelompok keluarga karena alasan
misalnya melakukan tindakan yang berbeda dan tidak sejalan dengan kelompok-kelompok
lainnya, seperti beralih agama. Di Tanah Batak, perbedaan agama tidak
menghilangkan pemilik marga karena marga bersifat genealogis. Sedangkan di
Depok dapat hilang atau menghulang karena bukan bersifat genalogis tetapi pengelompokkannya
lebih pada sifat sosiologis atau teritorial.
Kelompok keluarga di Depok lebih tepat dapat disebut
sebagai pendaftaran nama keluarga atau suatu pembentukan nama keluarga yang dimaksudkan
untuk identifikasi, dibedakan dengan kelompok keluarga lainnya dan kepada masing-masing
kelompok dapat menurunkan nama keluarga kepada anak dan turunannya. Bahwa
mereka yang satu kelompok keluarga tidak boleh satu sama lain kawin tidak ada
jaminannya, seperti kelompok keluarga di dalam tradisi orang Eropa. Sementara
kelompok marga di Tanah Batak tidak boleh kawin sesama karena dijaga atau
diawasi oleh kelompok-kelompok marga lainnya secara adat di dalam sistem
dalihan na tolu.
Peta wilayah marga di Afdeeling Padang Sidempoean (1886) |
Dalam sistem sosial di Tanah Batak, kelompok marga yang
diatur secara genealogis diturunkan kepada turunannya sangat ketat. Seseorang
menjadi bagian dari marga, selain lahir secara alamiah, setiap yang ditambahkan
(diadopsi) dan dikurangi (dibuang dan dihapus karena kawin semarga, menjadi
budak dan lainnya) diatur oleh hukum adat dan prosesnya melalui sidang adat.
Pernikahan dalam satu marga
(di Tanah Batak) dilarang (lihat Willer. 1846. Verzamileng Mandheling en
Pertibie). Willer menyebut incest antara iboto (kakak dan adik) ini akan
menjadi keduanya dihukum dengan hukuman mati, dan dalam derajat lebih lebih
rendah dikenakan denda dan pembuangan (ke luar wilayah adat). Persitiwa
kejadian kawin semarga pernah terjadi di Afdeeling Padang Sidempoean yang
kemudian dilakukan (sidang) peradilan adat pada hari Ahad tanggal 12 November
1922 (lihat Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest
Tapanoeli, 1930).
Joustra menyebutkan
bahwa hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita dari marga yang
sama dianggap incest. Anggota marga dari generasi yang sama menganggap satu
sama lain sebagai saudara dan saudari. Namun marga asli yang populasinya besar
ada yang membagi menjadi beberapa submarga yang lebih kecil dan tetap menjaga
adanya persatuan. Oleh karena itu di banyak daerah hal serupa ini cenderung
mengatakan larangan pernikahan tidak melanggar prinsip marga yang semula (marga
awal), tetapi tetap menjaga agar kelompok-kelompok tidak terlalu berdekatan
(lihat M. Joustra. Batak Spigel. SC van Doesburgh. Lead, 1926).
Dalam perkembangan lebih lanjut, ketika terjadi hubungan
perkawinan yang lebih luas, seseorang harus mengadopsi sebuah marga (yang
berbeda dengan marga calon suami atau calon istri) dalam satu upacara adat.
Sebaliknya dari sudut pandang pemilik marga, orang yang telah diadopsi menjadi
satu marga dapat menurunkan marga. Dalam konteks sekarang disebut upacara
pemberian marga.
Dalam hubungan sosial,
setiap orang yang bertemu dengan orang yang baru selalu saling menanyakan
marga. Ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi masing-masing apakah diantara
mereka berdua siapa yang menjadi pihak mora dan siapa yang menjadi pihak anak
boru. Untuk yang berlainan jenis kelamin, saling bertanya marga tentu sangat
penting untuk menentukan apakah mereka semarga (ito) atau bukan. Dengan kata
lain, dua pihak yang berlainan jenis kelamin tersebut menjadi saling
memposisikan diri apakah ito (dongan samarga yang tidak boleh kawin semarga)
atau boru tulang (gadis yang bisa dilamar si lelaki). Saling memperkenalkan
marga ini tidak main-main. Bagi dua laki-laki, akan terkoreksi dengan
sendirinya ketika mereka lebih jauh membuka stambuk masing-masing; dan bagi
pasangan laki-laki dan perempuan akan terkoreksi pada upacara perkawinan
(mengikuti prinsip dalihan na tolu).
Namun yang tetap menjadi misteri (sulit dijelaskan),
sejak kapan adanya marga di Tanah Batak? Adanya marga diduga seumur dengan
adanya larangan perkawinan di dalam satu garis keturunan. Di Tanah Batak, garis
keturunan (marga) mengikuti garis keturunan genealogis ayah. Oleh karena garis
keturunan genealogis ayah yang digunakan di Tanah Batak dan bukan garis
keturunan sosial (karena harta dan jabatan) atau garis keturunan teritorial
(berdasarkan konsensus) maka pengakuan (deklarasi) marga haruslah dikaitkan
dengan pentingnya larangan kawin semarga. Kesadaran pentingnya larangan kawin
semarga diduga manjadi faktor terpenting lahirnya marga. Kesadaran pentingnya
larangan kawin semarga diduga bersumber dari pengaruh luar/asing.
Tentu saja pada zaman
kuno di Tanah Batak tidak mengetahui hukum hereditas modern sebagaimana sudah
dipahami di Eropa. Namun kesadaran larangan kawin semarga di Tanah Batak haruslah
dikaitkan dengan kehadiran orang asing atau hasil interaksi pengetahuan yang
diperoleh dari orang asing. Sebagaimana diketahui pengaruh asing sudah barang
tentu dapat dihubungkan dengan keberadaan Budha/Hindu yang sudah ada sejak abad
ke-8. Paling tidak ini dapat dilihat peninggalan candi di Simangambat (abad
ke-9) dan percandian di Padang Lawas (abad ke-11). Namun sistem sosial yang
umum Budha/Hindu yang diduga berasal dari India kenyataannya tidak berbekas di
dalam sistem sosial penduduk Batak yang mengikuti garis genealogis ayah. Konsep
dalihan na tolu yang berbasis marga juga tidak ditemukan hubungannya dengan
pengaruh Budha/Hindu di dalam kebudayaan penduduk Batak. Ini suatu indikasi
bahwa pengaruh Budha/Hindu yang boleh jadi memang sistem sosial penduduk Batak
sudah eksis sebelum orang-orang Budha/Hindu datang ke pedalaman Tanah Batak. Sistem
sosial penduduk Batak yang merujuk pada sistem sosial inti dalihan na tolu
sebagai inti kebudayaan (core culture) jika dikaitkan dengan konsep dalihan na
tolu (berbasis marga) yang tidak boleh kawin semarga haruslah dihubungkan
dengan pengaruh asing lainnya. Terbentuknya (konsep) larangan kawin semarga
dalam hal ini dan yang paling dekat diduga muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh
Islam. Dalam Islam dikenal konsep muhrim. Besar dugaan larangan kawin semarga di
diduga konsep muhrim (hukum Islam) yang diperluas. Secara historis, penduduk
Batak sudah sejak lama terhubung (berinteraksi) dengan orang asing, apakah
Hindu, Budha atau Islam yang berada di pelabuhan kuno terdekat di Barus. Pelabuhan
utama di zaman kuno di pantai barat Sumatra terdapat di Barus (wilayah teritori
Tanah Batak), suatu pelabuhan yang menjadi muara dari semua komoditi-komoditi
kuno yang dihasilkan di Tanah Batak seperti kamper, kemenyan, damar, emas,
gading dan sebagainya. Kehadiran Islam di Barus adalah kehadiran Islam pertama
di Nusantara.
Geslachtsnaam dan Marga
Adanya nama keluarga di Depok dapat dikatakan sebagai
suatu pendaftaran nama keluarga (Geslachtsnaam), bukan sebagai nama keluarga
dalam pengertian marga di dalam tradisi masyarakat Batak. Marga di Tanah Batak
adalah elemen pembentuk sistem sosial di dalam kebudayaan Bataka (core
culture). Sedangkan nama keluarga di Depok boleh jadi dimaksudkan untuk
identifikasi dalam hubungannya dengan penguasaan resources yang terbatas di
Depok di masa lampau. Dengan kata lain pengelompokan komunitas Depok ke dalam
kelompok keluarga memiliki arti penting dalam pewarisan (selanjutnya).
Keterbatasan lainnya
dalam hal ini di masa lampau di Depok, jika dan hanya jika dipercaya bahwa
komunitas Depok sebagai penganut agama Kristen yang taat, dengan pembentukan
kelompok keluarga diharapkan tercapai tertib dalam hubungan sosial, utamanya
dalam hubungan perkawinan. Mungkin incest taboo sudah dipahami di lingkungan
komunitas Depok, paling tidak dalam hal ini atas prakarsa (inisiasi) dari Cornelis
Chastelein, pembentukan kelompok keluarga sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya incest.
Alasan-alasan serupa inilah diduga mengapa muncul
pembentukan kelopok keluarga di Depok, suatu kesadaran yang untuk menciptakan
aturan sosial baru dalam hubungannya dengan permasalahan hubungan antar orang (semisal
perkawinan) dan hubungan antara orang dengan lahan (semisal hak pewarisan
berikutnya). Jika hal ini yang menjadi dasar pengelompokan dan pembentukan
kelompok keluarga maka pengelompokkan keluarga tersebut sudah lama adanya,
bahkan boleh jadi semasa Cornelis Chastelein masih hidup.
Dalam hal ini
pengelompokan keluarga di dalam komunitas Depok (beragama Kristen) haruslah
dipandang sebagai satu hal, sedangkan nama-nama kelompok keluarga tersebut
menjadi bagian dalam penulisan nama (belakang) adalah hal lain. Adopsi
penggunaan nama keluarga alam Depok dalam penulisan nama di dalam sistem sosial
yang lebih luas (seperti pemerintahan) tentu saja baru muncul belakangan,
ketika orang per orang yang berasal dari komunitas Depok berinteraksi dalam
sistem sosial yang lebih luas semiasal dalam kegunaan sistem registrasi dan
administrasi yang lazim digunakan umum seperti yang telah lama dilakukan oleh orang
Eropa dalam penulisan nama menggunakan nama keluarga.
Demikianlah sistem pencatatan nama: Marga adalah satu hal, nama kelaurga adalah hal ian, dan penggunaan nama keluarga dan marga dalam penulisan nama adalah hal lain lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar