Rabu, 16 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (10): Sejarah Jampang Kulon; Perjuangan oleh RA Eekhout dan Pengakuan Dunia pada Geopark Tjiletoeh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Nama Ciletuh yang sudah dikenal tempo doeloe--pada saat mulai pembentukan pemerintahan di onderafdeeling Soekaboemi yang lalu kemudian ditempatkan Controleur di Soekaboemi tahun 1846--kini menjadi ikon utama ibu kota baru Kabupaten Sukabumi. Ketika Presiden Soekarno membangun hotel internasional di Pelabuhan Ratu pada tahun 1960 yang diberi nama keren Samudra Beach Hotel, nama Pelabuhan Ratu tetap tak menggetarkan warga Kota Sukabumi maupun warga Kota Jakarta. Baru setelah UNESCO tahun 2015 mengakui nama (daerah aliran sungai) Ciletuh sebagai inti Geopark di pantai selatan Jawa (Samudra Beach) nama Pelabuhan Ratu terangkat kembali. Padahal Pelabuhan Ratu sendiri sudah sejak tahun 2000 ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Sukabumi. Nama Tjiletoeh sudah sejak satu abad yang lalu dipromosikan oleh RA Eekhout.

Pelabuhan Ratu (Peta 1886); Tjiwaroe dan Tjiletoeh masa kini
A Eekhout, pemilik lahan pertanian di Baros tanpa henti memperjuangkan pembangunan di wilayah bagian selatan Sukabumi. Ini bermula tidak lama setelah jalur kerata api Buitenzorg-Bandoeng dioperasikan pada tahun 1883, pemerintah pusat di Batavia menutup pelabuhan ratu sebagai pusat perdagangan dan juga menutup Pelabuhan sebagai pelabuhan internasional. Menyadari bahwa protesnya tidak digubris pemerintah, RA Eekhout pada tahun 1888 coba mengambil inisiatif untuk membangun jalur kereta api dari Soekaboemi ke Pelabuhan Ratu via Tjibadak. Konsesi yang sudah didapatkan ini kemudian ditolak oleh pemerintah. Tidak berhenti sampai disitu, RA Eekhout merintis jalur kereta api dari Sagaranten ke Leuwiliang via Tjikembar. Lagi-lagi ditolak pemerintah. Semua itu diperjuangkan RA Eekhout demi untuk kue pembangunan dapat menyentuh wilayah Jampang Kulon. Perjuangan tanpa henti RA Eekhout akhirnya baru direspon pemerintah pusat pada tahun 1901 dengan membuka jalur pelayaran pemerintah Batavia-Pelaboehan Ratoe.     

Lantas bagaimana sejarah Jampang Kulon secara keseluruhan? Nah, itulah yang ingin kita kedepankan. Sebab selama ini, sejarah Jampang Kulon kurang terperhatikan selama ini. Dengan ditetapkannya kampong Tjiletoeh sebagai warisan dunia sebagai Geopark (taman bumi) di District Djampang Koelon, maka sudah sepatutnya sejarah Jampang Kulon dinarasikan secara lengkap. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumlah artikel dibaca dalam blog ini saat mulai menulis artikel ini
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

District Djampang Koelon dan Muara Sungai Tjiwaroe

Nama Djampang Koelon sebagai nama suatu district di daerah aliran sungai Tjimandiri paling tidak sudah dilaporkan pada tahun pada tahun 1706 (lihat Dgahregister 1 April 1706). Disebutkan bahwa Anga Nata pemimpin Djampang berhasil dilumpuhkan di rumahnya di Djampang. Anga Nata masih sebagai pemimpin, hoofd van Djampang hingga tahun 1715 (lihat Daghregister 2 April 1715).

District Palaboehan dan District Djampang Koelon
Anga Nata pernah mengirim surat ke pihak VOC tahun 1715 (lihat Daghregister 21 Mei 1715). Lalu Capitain (lieutenenant) VOC Soeta Djaja dikirim ke Djampang. Dalam surat Soeta Djaja menceritakan perilaku Anga Nata (lihat Daghregister, 2 Agustus 1715). Besar dugaan Anga Nata telah melakukan perlawanan, atau paling tidak melakukan protes terhadap VOC. Catatan: Anga diduga adalah nama gelar (Anga, Angabey, Ngabehi?). Sejauh ini nama Djampang hanya satu kesatuan wilayah, belum terbentuk Djampang Wetan dan Djampang Koelon (dan adanya pemekaran dengan terbentuknya Djampang Tengah). Ketika pemerintah Hindia Belanda membentuk district-district, wilayah Djampang dibagi dua yakni Djampang Wetan dan Djampang Koelon. Berdasarkan peta-peta 1830 (lihat kumpulan Peta de Haan) district Djampang Wetan berada di bawah (bupati) Tjiandjoer sedangkan district Djampang Koelon bersifat independen. Ketika terjadi reorganisasi tahun 1870 district Djampang Wetan masuk Afdeeling Tjiandjoer dan district Djampang Koeloen dimekarkan dengan membentuk district Djampang Tengah yang mana kemudian kedua district dan lima distrit lainnya disatukan di dalam Afdeeling Soekaboemi.

Nama Djampang  baru satu abad kemudian muncul pada tahun 1821 (lihat Bataviasche courant, 07-04-1821). Berita ini terkait dengan adanya banjir dan longsor akibat hujan lebat yang menyebabkan delapan tewas dan 41 luka berat yang dialami penduduk. Namun tidak disebutkan di kampong-kampong mana kejadian terjadi.

Kampong Tjiletoe-Tjikanteh, District Djampang Koelon (Peta 1840)
District Djampang Koelon adalah salah satu district di Regentschap Tjiandjoer, Residentie Preanger yang beribukota di Tjiandjoer. District tetatangga Djampang Koelon adalah district Palaboehan, district Djampang Wetan, dan district Goenoeng Parang. Dua district Djampang Koelon dan Palaboehan langsung bersentuhan dengan samudra. Di district Djampang Koelon inilah terdapat kampong Tjiletoeh di muara sungai Tjiletoeh (yang kini menjadi inti Geopark). Ciletuh sebagai nama kampong tidak ditemukan lagi pada masa ini, Saya pernah dua kali ke kawasan (daerah aliran sungai) Ciletuh. Pertama pada tahun 1985 ketika diajak oleh paman saya untuk meninjau proyek pembangunan irigasi yang dikerjakan oleh perusahaannya PT Megah Sakti Sukabumi. Kedua, pada tahun 1988 ketika membantu dosen saya melakukan penelitian di Sukabumi ketika Pemda Sukabumi meminta rekomendasi akademik untuk menetapkan dua kandidat ibu kota Kabupaten Sukabumi apakah di Pelabuhan Ratu atau Cibadak. Satu diantara sejumlah desa yang kami teliti di sekitar Pelabuhan Ratu yang membuat saya terkesan adalah kawasan Ciletuh, sedangkan satu diantara desa yang kami teliti di kecamatan Cibadak yang membuat saya terkesan adalah desa Mekarjaya. Daru desa di dekat kawasan Ciletuh saya mendapat hadiah (oleh-oleh) dari kepala desa adalah abon ikan (yang enak rasanya). Bukan karena abon ini yang membuat kami menyimpulkan Pelabuhan Ratu sebagai kandidat kuat ibu kota kabapaten Sukabumi, tetapi karena semata-semata kecamatan Pelabuhan Ratu secara akademik lebih layak. Tentu saja pada saat itu kawasan Ciletuh belum memiliki arti penting seperti sekarang (era Geopark). Kalau dipikir-pikir sekarang, kepala desa tersebut, disamping kearifan lokal, ingin mempromosikan kawasan Ciletuh.

Sejak berita pertama tidak pernah muncul lagi nama Djampang Koelon. Baru pada tahun 1834 nama Djampang Koelon dilaporkan (lihat Javasche courant, 08-03-1834). Berita ini dikaitkan dengan iklan Residen OC Holmberg de Beckfelt yang memberitakan sebuah kapal dagang yang mengalami kecelakaan di muara sungai Tjiwaroe, district Djampang Koelon. Para penduduk (yang arif) yang menemukan pecahan kapal juga berhasil mengumpulkan berbagai barang dagangan seperti alat-alat pribadi (seperti pisau cukur, kunci dan gunting), bahan bangunan (seperti paku, kunci, engsel dan batangan besi) dan milik pribadi pedagang (seperti pakaian, sepatu, syal, linen dan sikat gigi). Residen OC Holmberg meminta kepada ahli waris yang bisa mengklaim untuk mengambilnya di kantor residen di Tjiandjoer.

Pada tahun 1840an, wilayah Soekaboemi mulai diperhitungkan sebagai wilayah pembangunan ekonomi yang potensial. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah pusat adalah merintis jalan akses antara Buitenzorg dan Tjiandjoer melalui Tjitjoeroek dan Soekaboemi dan jalan akases yang menghubungkan antara Soekaboemi dengan Wijnkoopsbaai (Palaboehan Ratoe). Pada tahun 1846 sejumlah pemerintahan di Residentie Preanger ditingkatkan, Controleur Bandoeng di Bandoeng statusnya ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan di District Goenoeng Parang ditempatkan seorang Controleur yang berkedudukan di kampong Tjikole (Soekaboemi). Sejak itu nama Regentschap Tjiandjoer diubah menjadi Regentschap Tjiandjoer en Soekaboemi. Controleur di Soekaboemi ini membawahi distrist-district yang kini menjadi wilayah kabupaten/kota Sukabumi, yakni: district Goenoeng Parang, district Tjimahi, district Tjiheulang, district Tjitjoeroek, district Palaboehan, district Djampang Wetan dan district Djampang Koelon. Kemajuan yang pesat di Onderafdeeling Soekaboemi, pemerintah pusat meningkatkan Soekaboemi sebagai afdeeling dan pada tahun 1871 meningkatkan status Controleur menjadi Asisten Residen Soekaboemi. 

Untuk lebih mengoptimalkan pemerintahan di wilayah Soekaboemi selatan, pemerintah pusat juga menempatkan seorang Controleur di Djampang Wetan yang berkedudukan di Njalindoeng. Jalan-jalan akses dari Soekaboemi ke dua district di selatan dibuka (district Djampang Wetan dan Djampang Koelon).

Palabeoahn-Djampang Keolon
Sejak tahun 1879 terjadi pemekaran di Afdeeling Soekaboemi. Sejumlah onderdistrict dibentuk. Di District Djampang Wetan dibentuk tiga ondersdistrict yakni Djampang Tengah, Njalindoeng dan Sagaranten. Nama district Djampang Wetan diubah menjadi district Djampang Tengah (sehubungan dengan pemindahan ibukota dari Njalindoeng ke Djampang Tengah). Di District Djampang Koelon dibentuk empat onderdistrict yakni: Djampang Koelon, Lengkong dan Tjiemas. Nama district Djampang Koeloen tempo doeloe disebut district Lengkong (sebelum dipecah dan membentuk nama baru district Djampang Wetan dan Djampang Koelon). Dalam perkembangannya nanti dibentuk satu lagi onderdistrict di district Djampang Koelon yakni onderdistrict Tjiratjap, Dengan demikian wilayah Djampang yang sekarang awalnya disebut fistrict Lengkong. Lalu dalam perkembanganya dibentuk dipecah menjadi dua district: Djampang Wetan (ibu kota di Njalindoeng) dan Djampang Koelon (ibu kota di Djampang Koelon). Ketika ibu kota dipindahkan dari Njalindoeng ke Djampang Tengah nama district Djampang Wetan berubah menjadi district Djampang Tengah).

Koffiestelsel dan RA Eekhout Membela Penduduk Djampang Koelon

Segera setelah pembukaan jalur kereta api dari Buitenzorg ke Soekaboemi pada tahun 1882, seorang perwira muda angkatan laut, RA Eekhout mencampakkan jabatannya dan mulai merintis usaha pertanian di Baros (sisi utara sungai Tjimandiri). Langkah serupa juga dilakukan oleh abangnya GW Eekhout yang mengundurkan diri sebagai pejabat di Batavia karena melihat birokrasi yang korup dan kemudian membuka usaha pertanian di Njalindoeng (dekat dengan danau Telaga Warna). Dua bersaudara  Eekhout ini boleh dikatakan sebagai perintis pertanian swasta di wilayah Soekaboemi selatan (district Djampang Wetan, district Djampang Koelon dan district Laboehan).

Koffiestelsel (kebijakan tanam paksa) yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833) sangat menyengsarakan penduduk dimana-dimana. Seorang anggota dewan di Belanda van Houten berteriak dan memprotes koffiestelsel. Dalam perkembangannya pemerintah dengan berat hati membebaskan koffiestelses dan membuka ruang bagi penduduk dalam kebebasan menanam. Meski kebijakan itu sudah lama berlalu, tetapi di beberapa wilayah tersembunyi kebijakan koffiestelsel itu masih dipertahankan, termasuk district Djampang Wetan (Djampang Tengah), district Djampang Koelon dan district Laboehan).

Sebelum GW Eekhout membuka lahan di Djampang Tengah, pemerintah di Afdeeling Soekaboemi melalui Controleur Tjitjoeroek mulai meningkatkan jalan dari Palaboehan Ratoe (ibu kota District Palaboehan) ke Djampang Koelon (ibu kota District Djampang Koelon). Pembangunan jalan ini sangat banyak membutuhkan tenaga kerja yang dikerahkan sehingga banyak sawah penduduk yang terlantar (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-09-1883).

Pembangunan jalan yang sudah ada sejak awal (awal era koffiestelsel) adalah jalan antara Tjiandjoer ke Soekaboemi (district Goenoeng Parang) terus ke Tjitjoeroek (district Tjitjoeroek) hingga ke Buitenzorg dan jalan dari Soekaboemi ke Palaboehan (district Palaboehan) melalui Tjikembar (district Tjimahi). Pada saat mulai pembentukan pemerintahan di onderafdeeling Soekaboemi yang lalu kemudian ditempatkan Controleur di Soekaboemi tahun 1846 pembangunan jalan ditambah dari dari Nagrak ke Tjikembar terus ke Lengkong dari Soekaboemi ke Njalindoeng melalui Baros. Lalu dibangun jalan dari Palaboehan melalui Waluran ke Lengkong serta jalan dari Palaboehan melalaui Tjidadap ke Tjiletoeh dan jalan dari Lengkong ke Tjikaso. Di garis mulai terbentuk jalan dari (sungai) Tjiletoeh ke (sungai) Tjikaso (lihat Peta 1840). Setelah ditingkatkan Controleur menjadi Asisten Residen Soekabomi pada tahun 1870 pembangunan jalan baru dari Njalindoeng ke Sagaranten. Lalu pada perkembangan berikutnya dari Njalindoeng ke Djampang Tengah.

Dibukanya pertanian swasta di wilayah Soekaboemi Selatan oleh dua bersaudara Eekhoust menyebabkan perhatian pemerintah berupaya untuk meningkatkan mutu jalan ke ibu kota district (Djampang Tengah dan Djampang Koelon). Sebagaimana diketahui alasan kuat dua besauadara Eekhout membuka pertanian karena dibukanya jalur kereta pai ke dari Buitenzorg ke Soekabomi pada tahun 1882. Dalam hal pengadaan/pembangunan antar moda transportasi saling mempengaruhi. Adanya moda transportasi kereta api menyebabkan district Djampang Koelon, wilayah paling terpencil di Afdeeling Soekaboemi secara perlahan tumbuh sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru, apalagi dengan masuknya investor swasta seperti dua bersaudara Eekhout.

Dalam pembangunan jalur kereta api ruas Buitenzorg-Soekaboemi, area paling sulit dan menjadi pekerjaan berat adalah area di sekitar Nagrak. Ini karena faktor topografi yang bergunung dan ngarai yang dalam (sungai Tjitjatig). Pembangunan jalur kereta dibangun mengikuti jalan yang sudah ada sejak lama dari Buitenzorg ke Soekaboemi. Tetapi setelah pembangunan jembatan kereta di atas sungai Tjitjatih jalur tidak mengikuti garis lurus ke timur tetapo ke arah selatan mengikuti arah jalan Nagrak-Tjikembar baru berbelok ke arah tiimur ke Soekaboemi (di kampong Tjibadak). Sehubungan dengan pergeseran arah jalur kereta api ini ke kampong Tjibadak, juga diikuti dengan perubahan arah (pembangunan) jalan dari Paroeng Koeda melalui kampong Tjibadak (tidak lagi melalui Nagrak). Oleh karenanya kampong Tjibadak yang berada di titik GPS perpotongan Nagrak-Cikembar dan Paroeng Koeda-Soekaboemi, kampong Tjibadak cepat berkembang. Posisi strategis kampong Tjibadak menyebabkan dipilih sebagai ibukota district yang baru ketika terjadi dua district dimerger yakni district Tjimahi dan district Tjiheulang dengan nama baru district yakni District Tjibadak. Dalam perkembangannya di District Tjibadak dibentuk tiga onderdistrict yakni: Onderdistrict Tjibadak dan Onderdistrict Nagrak (eks District Tjiheulang) dan Onderdistrict Tjikembar (eks District Tjimahi). Oleh karenanya, nama Tjibadak baru populer belakangan.    

Dengan semakin terbukanya wilayah Soekaboemi Selatan, pemerintah mulai mengkapitalisasi nilai produksi telur penyu di District Djampang Koelon pada tahun 1886 (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-02-1886). Disebutkan Residen Preanger, Peltzer mengumumkan ke publik untuk disewakan untuk pengumpulan telur penyu di pantai barat Djampang Koelon selama tiga tahun. Bagi peminat dapat menghubungi kantor Asisten Residen. Kapitalisasi produksi telur penyu ini juga dilanjutkan oleh Residen Preanger yang baru J Heijting untuk masa sewa tiga tahun (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-06-1888). RA Eekhout mulai mendapat masalah karena pelabuhan Pelabihan Ratoe ditutup pemerintah.

Pada tahun-tahun inilah RA Eekhout dalam posisi ekonomi yang menguntungkan. Hal ini juga karena lahan pertanian abangnya GW Eekhout di Njalindoeng telah diakuisisinya (GW Eekhout telah meninggal dunia). Namun adanya pembangunan jalur kereta api Buitenzorg-Soekaboemi menjadi faktor awal pemicu keuntungan bagi RA Eekhout membuka usaha di Baros, tetapi ketika melakukan ekspansi ke wilayah yang lebih jauh ke selatan (ke District Djampang Koelon, muncul bencana bagi RA Eekhout. Ini disebabkan pemerintah menutup pelabuhan Pelaboehan Ratoe sebagai pusat perdagangan yang terkoneksi ke Batavia. Pemerintah beralasan agar semua aliran produk menuju jalur kereta api. RA Eekhout seakan mati langkah di wilayah selatan. Namun RA Eekhout tidak patah arah, lalu meminta konsesi ke pemerintah untuj membangun jalur kereta api (trem) dari Sagaranten (District Djampang Tengah) ke Leuwiliang melalui Djampang Tengah, Tjiekembar dan Tjikidang. Dengan terbangunnya jalur kereta api baru ini diharapkan district Djampang Koelon tidak terisolasi. Jalur kereta api ruas Sagaranten-Leuwiliang ini sendiri akan diintengrasikan jalur dari Soekaboemi ke Palaboehan Ratoe melalui Tjikembar.  

RA Eekhout terus berjuang untuk tetap menghidupkan wilayah District Djampang Koelon. Kecintaannya terhadap wilayah Soekaboemi selatan semakin menjadi-jadi. Boleh jadi ini semua karena begitu banyak asetnya bertebaran di tiga district paling selatan ini (Djampang Tengah, Djampang Koelon dan Palaboehan Ratoe). Perjuangannya untuk membangun jalur kereta api di wilayah Soekaboemi selatan kandas. Pemerintah menolak proposal RA Eekhout. Ibarat kata, RA Eekhout seakan jatuh tertimpa tangga (penutupan pelabuhan dan penolakan pembangunan jalur kereta api).

Boleh jadi para pejabat birokrasi melakukan tindakan balas dendam kepada RA Eekhout. Hal ini karena sebelumnya begitu sering RA Eekhout mengkritisi birokrasi yang korup. Tlusan-tulisan RA Eekhout di berbagai surat kabar sangat tajam. Namun sesuungguhnya tidak hanya itu, tetapi diduga juga terkait dengan masih diberlakukannya koffiestelsel di tiga district tersebut. Untuk produksi kopi oleh pemerintah (koffiestelsel) diwajibkan seperti sebelumnya, tetap diangkut ke gudang pemerintah di Soekaboemi. Gudang-gudang-gudang pemerintah di Palaboehan sudah ditutup. Meski RA Eekhout menghadapi masalah pelik (dengan pemerintah), RA Eekhout terus berjuang untuk membangunan sendiri wilayah Soekaboemi selatan.

Perjuangan RA Eekhout mulai berhasil. Boleh jadi karena musuh-musuhnya tidak lagi duduk dalam posisi pejabat pemerintah, pejabat baru yang muncul kemudian lebih realistik, apalagi wilayah Soekabomi selatan sudah jauh berkembang sejak kehadiran RA Eekhout. Pelabuhan Pelaboehan Ratoe dibuka kembali pada tahun 1901 yakni dengan dadakannya jalur pelayaran reguler dari Batavia ke Pelaboehan Ratoe terus ke Tjilatjap. RA Eekhout kembali berada di atas angin.

Setelah dibukanya kembali pelabuhan pedagangan di Palaboehan Ratoe segera terlihat dampaknya. Para investor baru mulai melirik wilayah Soekaboemi selatan. Ini terlihat dari sebuah iklan di surat kabar tahun 1902 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-06-1902). Disebutkan sebuah perusahaan meminta sebidang tanah luar biasa di Djampang Koelon, kondisi yang menguntungkan.

RA Eekhout yang musuh-musuhnya telah menghilang, pelabuhan yang dibuka kembali, RA Eekhout tidak lagi sendiri. Sudah mulai banyak investor baru yang membuka usaha di wilayah Soekaboemi selatan. Hasil perjuangan dan hoki terus menyatu di tangan RA Eekhout. Pada tahun 1906 RA Eekhout menemukan sumber minyak di pantai selatan (lihat De Preanger-bode, 11-06-1906). Disebutkan RA Eekhout, direktur Wijnkoopsbaai Exploitatie-mij, setelah melakukan penelitian mengumumkan baru-baru ini bahwa telah menemukan sumber minyak pada ketinggian 400 eter di atas laut di dataran tinggi Wijnkoopsbaai dan Zandbaai.

Di wilayah Soekaboemi selatan (district Palaboehan dan district Djampang Koelon) sesungguhnya hanya terdapat dua teluk besar, yakni teluk Wijnkoopsbaai dan teluk Zandbaai. Teluk Wijnkoopsbaai adalah teluk Palaboehan Ratoe sendiri, tempat dimana pelabuhan (pemerintah) berada. Nama Wijnkoopsbaai sudah muncul sejak era VOC, dimana seorang pedagang Belanda (Jacobs) membuka usaha pembuatan minuman anggur (wijn) di suatu tempat dekat pos militer di teluk (baai). Dari sinilah asal-usul mengapa disebut teluk Wijnkoopsbaai. Sementara itu, pada saat ekspedisi Sersan Scipio tahun 1687 nama pantai berpasir (zandbaai) sudah diidentifikasi. Titik zandbaai tidak banyak tetapi yang terluas terdapat di muara sungai Tjiletuh. Nama Zandbaai sesungguhnya merujuk pada muara sungai Tjiletoeh.

RA Eekhout tidak pernah berhenti berjuang. Perjuangannya untuk soal kedadilan bagi penduduk mulai didengungkannya. Ini dapat dilihat pada protesnya pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 10-01-1908. Dalam tulisan ini perang antara RA Eekhout kembali terjadi ketika dia memprotes koffiestelsel yang masih diberlakukan di Djampang Koelon, Djampang Tengah dan Palaboehan. Padahal menurut RA Eekhout di tempat lain sudah lama dihapuskan. RA Eekhout mengatakan bahwa produksi kopi sudah sangat sedikit dan tidak begitu menguntungkan kembali. RA Eekhout menyindir para pengawas kopi yang selalu memberikan laporan palsu ke atas yang hanya dibuat untuk menyenangkan hati Gubernur Jenderal. ‘Silahkan diselidiki’ demikian tuntutan RA Eekhout.

RA Eekhout juga melampiaskan kekesalannya bahwa produksi kopi yang harus dibawa dengan gerobak dari selatan ke Soekaboemi membuat jalan-jalan rusak di musim hujan. Padahal banyak jalan-jalan yang justru dibangun swasta rusak karena gerobak pemerintah. Sementara itu, akibat koffiestelsel yang tetap dijalankan yang hasilnya tidak seberapa tetapi dari sisi tenaga kerja yang tersedot sehingga di pihak lain kesulitan bagi perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja. RA Eekhout berpendapat jika diberi kebebasan, para penduduk akan bekerja di perusahaan daripada di kebun-kebun kopi pemerintah. Pengusaha swasta akan mampu memberi upah yang lebih baik.

Namun protes RA Eekhout tersebut tidak digubris oleh pemerintah. Meski demikian, pihak swasta di wilayah Soekaboemi selatan terus bekerja. Bahkan banyak perusahaan swasta yang terus menambah luas lahannya. Ini dapat dilihat  pada surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 18-02-1911. Disebutkan bahwa perusahaan teh 1.096 bau di Djampang Koelon yang mendapat hak konsesi 75 tahun dan yang telah menghasilkan menawarkan saham ke publik untuk tujuan perluasan 200 bau per tahun. Dari 600 bau hanya 400 bau yang ditanami teh sedangkan sisinya di areal yang curam akan ditanam karet. Perusahaan ini tampaknya dimulai pada tahun 1907.

De Preanger-bode, 17-07-1907: ‘Sewa. J. de Qroot telah diberi prasarana dan sebidang tanah liar seluas 80 bau yang berdekatan dengan Onderneming Tjiletoe miliknya dan juga berlokasi di district Djampang Koelon, Soekabumi. Mr. H. J. Huidekoper telah diberikan untuk memulai eksploitasi tanah kasar yang dijanjikan kepadanya untuk waktu yang lama selama 75 tahun, yang terletak di district yang sama’.

Sementara para investor semakin banyak yang berminat di district Djampang Koelon, tetap penduduk tidak bebas memilih pekerjaan karena koffiestelsel masih berlangsung. Para penduduk makin sulit. Para pengusahan mulai mencari solusi jika tidak cukup tenaga kerja. Ini semua terindikasi dari berita pada surat kabar De Sumatra post, 23-11-1917: ‘Perkebunan makin maju dan membentuk asosiasi, namun wilayah pemerintah dalam kesulitan. Pemerintah dalam dilema. Penduduk kesulitan dan penerimaan pemerintah minim. Para pegawai malas turun ke lapang. Demang hanya meberikan laporan ABS, Para pekebun mendatangkan tenaga kerja dari Tjilatjap dengan biaya murah lewat laut’.

Akhirnya jalan menuju district Djampang Koelon direalisisikan dengan peningkatan mutu jalan dengan aspal (lihat  De Preanger-bode, 06-06-1921). Pembangunan jalan aspal ini di satu pihak telah membuka isolasi Djampang Koelon, sementara di pihak lain kebermanfaat jalan aspal ini tidak hanya untuk para planter tetapi juga untuk penduduk Djampang Koelon khususnya di Tjiemas dan Bodjoenglopang (Panoembangan). Peningkatan mutu jalan ini diintegrasikan dengan pembangunan jembatan kuat di atas sungai Tjimandiri yang dengan sendirinya memperlancar antara Djampang Koelon ke Palaboehan Ratoe. Diharapkan ke depan akan memungkinkan lebih terhubung koneksi antara Tjiemas dengan teluk (zandbaai).

Tampaknya semua cita-cita RA Eekhout telah tercapai. Wilayah Soekaboemi selatan telah berkembang dengan baik khususnya di District Djampang Koelon. Tidak hanya semua kota-kota di wilayah Soekaboemi selatan telah terhubung dengan jalan aspal, meski cita-citanya pembangunan moda kereta api tidak tercapai, paling tidak kombinasi jalan-jalan raya beraspal dan pelabuhan Palaboehan Ratoe yang semakin ramai sudah cukup. Arus wisatawan juga ke Tjiletoeh (zandbaai) semakin tinggi.

Jika memori kolektif penduduk Limbangan (Garoet) sangat dekat dengan KF Holle dan nama keluarga van Motman di Buitenzorg barat, maka di wilayah Soekaboemi selatan maka nama RA Eekhout harus dicatat. Namun, sayang sejauh ini kapan meninggal dan dimana RA Eekhout tidak diketahui. RA Eekhout adalah seorang Indo (lahir di Hindia) yang sangat mencintai tanah kelahirannya.

Kawasan Geopark Tjiletoeh: Perjuangan Belum Selesai

Pada masa ini kawasan Ciletuh berada di kecamatan Ciemas. District Djampang Koelon pada masa tempo doeloe kini telah terbentuk sejumlah kecamatan, salah satu diantara kecamatan yang terbentuk adalah Kecamatan Ciemas. Terbentuknya kecamatan-kecamatan dari origin District Djampang Koelon sesuai perkembangan jaman. Pada era kolonial Belanda di District Djampang Koelon dibentuk tiga onderdistrict, yakni: Onderdistrict Djampang Koelon, Onderdistrict Lengkong, Onderdistrict Tjiemas dan Onderdistrict Tjiratjap.

Pada dasarnya kecamatan Ciemas yang sekarang bukanlah berasal dari District Palaboehan melainkan dari District Djampang Koelon. District Palaboehan sendiri pada era kolonial Belanda dibagi ke dalam tiga onderdistrict, yakni: Onderdistrict Palaboehan, Onderdistrict Tjikidang, Onderdistrict Tjisolok dan Onderdistrict Waroeng Kiara. Setelah sempat ditinggalkan cukup lama (sejak era VOC), wilayah pantai selatan Jawa mulai digunakan lagi. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1837 mengirim satu ekspedisi ke Wijnkoopsbaai dan sekitar (lihat Javasche courant, 06-09-1837). Disebutkan bahwa ekspedisi dipimpin oleh Kapten Ampt yang didukung oleh satu tim khusus angkatan laut yang dipimpin oleh Letnan Eescher. Tujuan utama untuk memetakan jalur pelayaran di sepanjang pantai. Dalam ekspedisi ini ditemukan teluk berpasir (zaandbaai). Teluk ini besar kemungkinan adalah teluk Tjiletoeh. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1849 sebuah penerbit di Belanda menjual buku-buku dan peta-peta yang terkait dengan pelayaran dan kapal pesiar. Tiga diantara peta yang dijual adalah Peta Wijnkoopsbaai, Peta Zandbaai dan Peta Tjilatjap. Peta-peta ini diduga hasil ekspedisi yang dilakukan pada tahun 1837. Sudah barang tentu Peta Zandbaai juga turut mengidentifikasi curug-curug yang eksotik di zaandbaai mengingat peta-peta yang dijual tersebut bersifat komersil (pesiar atau wisatawan).

Kecamatan Ciemas kini terdiri dari sembilan buah desa. Satu nama desa bernama desa Ciwaru. Jika diperhatikan nama-nama kampong (dusun) di desa Ciwaru terdapat nama dusun (kampong) seperti Dusun Cikanteh, Dusun Cimarinjung dan Dusun Ciwaru. Nama dusun Ciwaru yang dijadikan nama desa. Sungai terbesar di desa Ciwaru adalah sungai Ciletuh.

Nama Dusun Cikanteh pada masa lampau disebut Dusun Tjiletoeh Tjikanteh. Besar dugaan nama muncul dari dua kampong yang merger (lihat Peta 1840). Namun dalam perkembangannya nama kanmpong ini hanya disebut kampong Tjikante. Boleh jadi ini karena posisi nama Tjikanteh lebih kuat daripada nama Tjiletoeh. Lalu lambat launTjiletoeh sebagai nama kampong menghilang. Tamat nama Tjiletoeh sebagai penanda navigasi sebagai nama kampong. Meski demikian, nama Tjiletoeh sebagai nama sungai tetap eksis. Hal ini karena sungai Tjiletoeh adalah sungai besar. Sungai-sungai yang berdekatan antara lain adalah sungai Tjiletoeh, sungai Tjikanteh dan sungai Tjiwaroe. Seperti disebutkan di atas, nama muara sungai Tjiwaroe di District Djampang Koelon sudah diberitakan tahun 1834 karena adanya kecelakaan kapal.

Sungai Ciletuh kini dijadikan nama kawasan bumi, suatu kawasan yang disebut Geopark Ciletuh. Nama Ciletuh pada masa lampau juga menjadi nama kampong. Namun kini hanya teridentifikasi hanya sebagai nama sungai. Sejak tahun 1924 di (daerah aliran sungai) Tjiletoeh dibangun stasion pemantau cuaca seperti mengukur curah hujan.  Pada tahun 1935 diberitakan bahwa di Tjiletoeh NV Handel Mij. Java-Cairo diberikan konsesi untuk usaha pembangkit listrik tenaga air di Onderneming Margasari (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-09-1935).

Keindahan kawasan Ciletuh sudah sejak lama digambarkan oleh seorang dokter Adolphe Guillaume Vorderman yang datang ke pantai district Djampang Koelon untuk melakukan penelitian pada tanggal 26 dan 27Juni (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-10-1889). Di kampong Bale Kambang (Zandbaai), Djampang Koelon. Vorderman melakukan pengamatan di sepanjang pantai laut ke mulut Tji Marindjoeng dan juga melakukan pengamatan hingga ke Pesawahan, dusun terdekat di pedalaman. Beberapa penemuannya yang perlu dikutip antara lain seperti burung merpati hijau, burung merak. Dalam perjalanan pulang dari Pesawahan melewati pinggir hutan alami menemukan jejak badak. Menurut penduduk badak yang berada di dalam hutan, sering keluar pada malam hari ke air payau di mulut sungai Tji Letoe atau Tji Marindjoeng. Di Pesawahan, Vorderman mendapat kesan pemandangan indah yang berbatasan dengan dataran Tjiletoe. Dari pegunungan Lengkong juga Tji Kanteh dan Tji Kawocng dapat dilihat yang curam dengan air terjun raksasa yang jatuh ratusan meter ke bawah. Kampong Balekambang sendiri dibuka pada tahun 1874 oleh Pak Hadji dan keluarganya. Kini rumah pak haji yang lebih besar yang secara keseluruhan terdapat 16 buah rumah dimana selain keluarganya terdapat orang yang ‘menumpang’ (pendatang) yang datang dari Banten dan Palaboehan. Pak haji memiliki dua ekor kuda di kandang. Umumnya warga hidup mencari ikan dan jika berlebih dikeringkan sebagai ikan asin. Di antara waktu luang warga juga mencari telur penyu

Itulah sejarah singkat Djampang Koelon, suatu wilayah dimana terdapat teluk pasir yang indah yang kini ditetapkan sebagai Geopark. Anda mau ke Geopark Ciletuh? Jangan lupa baca terlebih dahulu sejarah Jampang Kulon.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar