*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Salak Condet sangat terkenal, dikenal sejak tempo doeloe karena banyak kebun salak. Condet tidak jauh dari gunung Salak. Namun tidak diketahui secara pasti apakah salak Condet berasal dari gunung Salak. Yang jelas nama Condet sudah dikenal sebelum munculnya perkebunan salak. Orang yang pertama menguasai wilayah Condet adalah Kapitein Makassar berdasarkan Hooge Regeering tahun 1656 (lihat De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java, 1878).
Salak Condet sangat terkenal, dikenal sejak tempo doeloe karena banyak kebun salak. Condet tidak jauh dari gunung Salak. Namun tidak diketahui secara pasti apakah salak Condet berasal dari gunung Salak. Yang jelas nama Condet sudah dikenal sebelum munculnya perkebunan salak. Orang yang pertama menguasai wilayah Condet adalah Kapitein Makassar berdasarkan Hooge Regeering tahun 1656 (lihat De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java, 1878).
Kawasan Condet (Peta 1724) |
.
Sebagai
kawasan terkenal (bahkan sejak tempo doeloe), sejarah Condet sudah barang tentu
telah banyak ditulis. Namun artikel ini tidak bermaksud untuk menulis ulang
yang sudah ada, tetapi lebih pada upaya menambahkan yang belum ada dan meluruskan
yang keliru. Sejarah tetaplah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Untuk
menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Kawasan Tjondet (Peta 1901) |
Kapitein
Makassar dan Fort Tandjoeng
Sejarah
Condet haruslah dimulai dari suatu titik origin terpenting yakni benteng (fort)
Tandjoeng. Benteng ini berada di suatu tanjung (lekukan) sungai di sisi timur
sungai Tjiliwong. Posisi GPS dari Fort Tandjoeng ini kini berada di belakang
Rindam Jaya di jalan Raya Condet. Fungsi benteng ini dibangun adalah untuk
pertahanan dan pos pemantauan lalu lintas di sungai Tjiliwong. Benteng
Tandjoeng diperkirakan dibangun setelah ekspedisi tahun 1687 dan sebelum
ekspedisi kedua tahun 1703.
Posisi Fort Tandjoeng (Peta 1901 dan Now) |
Benteng Tandjoeng adalah
benteng penghubung antara benteng Meester Cornelis (lokasinya di Berlan yang
sekarang) dan Fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong (lokasinya di istana
Bogor yang sekarang). Benteng ini diduga dibangun bersamaan dengan benteng Tjilengsi
(sungai Bekasi/Tjilengsi), benteng Sampoera (sungai Tjisadane di Serpong) dan
benteng Tandjoengpoera (Karawang, sungai Tjitaroem). Benteng Padjadjaran
dibangun pada tahun 1687 ketika ekspedisi pertama dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong
yang dipimpin oleh Sersan Scipio. Ekspedisi ini dilakukan setelah tahun 1684 Majoor
Saint Martin diberi hadiah lahan atas prestasinya di Banten. Lahan yang
diberikan pemerintah VOC tersebut berada di Pondok Terong (kini Tjitajam) dan
Tjinere. Sersan Scipio adalah anak buah Majoor Saint Martin.
Pada ekspedisi kedua tahun 1703 dipimpin oleh Abraham van Riebeeck ke hulu sungai Tjiliwong (hingga ke Priangan). Rute yang ditempuh dari (pelabuhan) Tjililitan, Tandjoeng, Serengseng, Pondok Tjina, Depok, Ponndok Terong dan Bodjong Manggis (Bojong Gede). Pada tahun 1695 Cornelis Chastelein telah membuka lahan pertanian di Serengseng. Sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan di Serengseng, sejak 1656 Kapitein Makassar dan pasukannya telah ditempatkan di Tjondet. Kapitein Makassar adalah komandan pasukan pribumi asal Makassar yang mendukung militer VOC/Belanda. Sudah barang tentu, benteng ini dibangun pemerintah VOC dengan mengandalkan pasukan asal Makassar yang ditempatkan di Tjondet. Mereka inilah yang kemudian yang menjaga benteng ini. Bersamaan dengan penempatan pasukan Kapitein Makassar (untuk mengawal benteng Meester Cornelis), pasukan Kapitein Abdul Latif asal Malajoe ditempatkan di Gandaria di arah hulu (sungai) Grogol (benteng Vijfhooek, kini Jembatan Lima). Pasukan Kapitein Tjakra Djaja asal Bali ditempatkan di Petodjo di sungai Kroekoet (benteng Riswijk). Pasukan asal Bali yang lain dibawah pimpinan Kapitein Goesti Badoele ditempatkan di sekitar Pesing untuk mengawal benteng Angke (di sungai Angke).
Benteng Tandjoeng dibangun
untuk menggantikan posisi benteng Meester Cornelis di Berlan. Berdasarkan Peta
1724 benteng Tandjoeng sama pentingnya dengan benteng Angke, benteng Sampoera
(Serpong), benteng Riswijk dan benteng Noorwijk (posisinya kini tepat di masjid
Istiqlal). Benteng Tandjoeng, benteng Sampoera, benteng Tjilengsi dan benteng
Tandjoengpoera berada pada posisi sejajar (ring-2 untuk mengawal Batavia).
Benteng pada ring-1 terdapat
enam benteng dalam posisi lingkaran yang terdiri dari benteng Jacatra, benteng
Riswijk, benteng Noorwijk, benteng Angke, benteng Antjol dan benteng (pulau)
Onrust. Dua benteng pendukung lainnya berada di hilir sungai Tjitaroem di muara
sungai Bekasi dan di hilir sungai Tjisadane di Tangerang. Benteng
Tangerang terhubung dengan benteng Angke dan benteng Bekasi terhubung dengan
benteng Antjol.
Benteng-benteng ini di satu
sisi untuk mempertahankan ibu kota (stad) Batavia, di sisi lain benteng-benteng
ini juga untuk memberi ruang wilayah untuk pengembangan pertanian. Pemerintah
VOC mulai memberikan hak penuh bagi pedagang VOC untuk membangun lahan
pertanian sendiri untuk mendukung komodiri ekspor (gula, lada dan minyak
kelapa). Hak lahan yang diberikan sebagai tanah partikelir (land).
Sementara untuk para
pemimpin lokal yang berada di pedalaman dibuat kerjasama untuk penanaman kopi.
Kerjasama ini sudah dilakukan sejak era ekspedisi Abraham van Riebeeck ke
Priangan (Preanger) yang berpusat di Tjiandjoer.
Sehubungan dengan
pembangunan benteng Tandjoeng di Tjondet, diduga area antara sungai Tjiliwong
dan sungai Tjipinang dibebaskan. Pasukan Makassar di Tjondet diduga kuat telah
direlokasi ke timur sungai Tjipinang. Untuk menggantikan orang-orang Makassar dalam
menjaga benteng Tandjoeng di Tjondet. Oleh karena orang-orang Makassar sudah
ada di sisi timur sungai Tjipinang, orang-orang Jawa ini diduga telah membuka
lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Hal inilah yang menyebabkan munculnya
perkampongan Makassar di sisi timur sungai Tjipinang yang diidentifikasi
sebagai Kampong Makassar dan kampong Djawa di sisi barat sungai Tjiliwong
(dekat stasion Pasar Minggu yang sekarang). Dalam perkembangannya area Tjondet
antara sungai Tjipinang dan sungai Tjiliwong telah diberikan kepada Pangeran
Poerbaja.
Pangeran Poerbaja adalah anggota keluarga kesultanan
Banten yang bekerjasama dengan VOC/Belanda ketika Soeltan Banten digulingkan
pada tahun 1682. Pemberian lahan ini semacam hadih yang diberikan oleh
pemerintah VOC kepada yang berjasa dalam membantu kepentingan pemerintah VOC.
Hadiah lahan ini sebelumnya tahun 1684 telah diberikan kepada pahlawan VOC di
Banten Majoor Saint Martin berupa dua persil lahan di Pondok Terong dan
Tjinere. Juga hadiah lahan diberikan kepada Hendrik Lucasz Cardeel di sisi
timur Tjinere. Hendrik Lucasz Cardeel sebelum perang adalah orang yang banyak
membantu Kesultanan Banten yang mana putrinya Helena menikah dengan Soeltan
Banten. Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan Christin
Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Lahan (milik) Hendrik Lucasz Cardeel
ini kemudian disebut land Ragoenan (berasal dari Wira Goena?). Antara Pangeran
Poebaja (di Tjondet) dan Hendrik Lucasz Cardeel (di Ragoenan) sudah saling
kenal sejak dari Banten.
Pangeran Poerbaja di
Tjondet membuka perkampongan di dekat benteng Tandjoeng. Perkampongan tersebut
berada di antara kampong Makassar di timur dan kampong Djawa di barat. Besar
dugaan perkampongan keluarga Poerbaja ini yang kemudian disebut kampong Tengah.
Tiga kampong ini diduga tiga kampong terawal di sekitar Tjondet (sekitar
benteng Tandjoeng).
Tanah Partikelir (Land) dan Jalan Oosterweg
Setelah sejumlah lahan
ditetapkan pemerintah VOC sebagai hak lahan partikelir (land) di sejumlah titik,
penetapan lahan partikelir secara perlahan ditambah untuk menambah pemasukan (uang)
pemerintah. Penetapan lahan partikelir ini dimulai dari lahan-lahan yang subur
yang memiliki (sumber) pengairan yang cukup. Lahan Tjondet tidak termasuk lahan
yang subur karena lahannya yang berada di atas permukaan air sungai.
Lahan Tjondet mengalir sungai kecil Tjondet. Di
sebelah barat mengalir sungai besar Tjiliwong. Antara sungai Tjondet dan sungai
Tjipinang mengalir sungai Tjililitan. Sungai Tjidjantoeng yang berada di arah
hulu (selatan) jatuh ke sungai Tjiliwong sebelum benteng Tandjoeng.
Penetapan lahan Tjondet
sebagai lahan partikelir baru dimulai pada tahun 1753. Pemilik land pertama
lahan Tjondet ini adalah FW Freijer. Posisi rumah kediaman (landhuis) dari
pemilik land (landheer) Tandjoeng dibangun tidak jauh dari benteng Tandjoeng. Land
baru di area Condet sekitar benteng Tandjoeng ini kemudian dikenal sebagai land
Tandjoeng.
Sebelum land Tjondet/land Tandjoeng terbentuk, sudah
terbentuk sejumlah land di hulu sungai Tjiliwong seperti land Campong Baroe, land
Kedong Badak, land Tjiloear (Kedong Halang), land Tjimanggis, land Tjitrap dan
land Tjibinong. Land Kampong Baroe kemudian berganti nama menjadi land Bloeboer
(kelak menjadi kota Buitenzorg/pusat kota Bogor yang sekarang). Land yang sudah
terbentuk di sisi barat sungai Tjiliwong (sebelum terbentul land Tandjoeng)
adalah land Serengseng, land Depok, land
Tjinere, land Ragoenan, land Simplicitas (Pondok Laboe), land Pondok Terong
(Tjitajam) dan land Bodjong Manggis (Bodjong Gede).
Dalam pembangunan land-land ini dibangun sejumlah
bendungan dan kanal irigasi. Untuk mengairi land Kedong Badak dibangun kanal
dengan menarik aliran sungai Tjipakantjilan (yang sebelumnya jatuh ke sungai
Tjisadane) dengan membangun kanal melalui kampong Paledang (Jembatan Merah yang
sekarang); untuk mengairi land Tjiloear dan land Tjibinong dibuat bendungan di
Katoelampa (sungai Tjiliwong) dengan membangun kanal di sepanjang jalan poros
(Oosterweg). Kanal ini kemudian disebut Oosterslokkan; untuk mengairi land
Depok dibangun bendungan dan kanal Pitara.
Setelah beberapa tahun
land Tandjoeng dikapitalisasi sebagai land partikelir, lahan di sisi barat
sungai Tjiliwong juga dikapitalisasi sebagai land baru. Oleh karena land baru
ini dekat dengan benteng Tandjoeng, maka nama land disebut land Tandjoeng West
(sementara land Tandjoeng kemudian diidentifikasi sebagai land Tandjoeng Oost.
Landhuis Tandjoeng (Oost en West) (Peta 1901) |
Dalam Peta 1774 (jaringan
jalan) di sisi timur sungai Tjiliwong hingga Tandjoengpoera teridentifikasi
nama land(huis) Tandjoeng (Oost). Landhuis lainnya yang berdekatan dengan
landhuis Tandjoeng (Oost) adalah landhuis Tjililitan, landhuis Tjidjantoeng,
landhuis Tjisalak, landhuis Dykt van de Velde (kampong Makassar) dan landhuis Pondokgede.
Land Tandjoeng (Peta 1774) |
Seperti di land-land
lainnya, pembangunan kanal irigasi juga dibangun di land Tandjoeng Oost. Sungai
Tjondet tidak mampu mensuplai kebutuhan air yang meningkat untuk land Tandjoeng
Oost. Sementara sungai Tjililitan airnya berada di bawah land Tandjoeng Oost. Satu
cara yang digunakan adalah mengalihkan aliran sungai Tjidjantoeng yang jatuh ke
sungai Tjiliwong dengan membangun kanal menuju land Tandjoeng Oost.
Bersamaan dengan pembangunan kanal ini dibangun setu
Tjidjantoeng. Air permukaan yang lebih tinggi di setoe Tjidjantoeng dialirkan menuju
sungai Tjililitan di land Tandjoeng Oost. Dari kanal penghubung ini dibangun kanal-kanal
irigasi untuk mengairi pencetakan sawah dan perkebunan yang diusahakan di land Tandjoeng
Oost. Sisa aliran air irigasi ini diteruskan (kembali) ke sungai Tjililitan/sungai
Tjidjantoeng. Sehubungan dengan pengalihan aliran sungai Tjidjantoeng, aliran
air menuju muara sungai Tjidjantoeng di sungai Tjiliwong dimatikan (yang diduga
menjadi asal-usul nama kampong Kalimati di (kelurahan Kali Pasir yang
sekarang).
Land Tandjoeng Oost
kemudian diketahui telah dimekarkan menjadi dua land: land Tandjoeng Oost dan
land Tjondet. Tidak diketahui kapan pemekaran ini dilakukan apakah pada era VOC
atau pada era Pemerintah Hindia Belanda (atau pada era Prancis atau era
Inggris). Satu alasan pemekaran ini (biasanya seperti land-land pemekaran yang
lain) karena pemilik baru merasa perlu menjual sebagian land Tandjoeng Oost
karena land Tjondet dianggap tidak produktif (tidak subur karena tidak memiliki
pengairan yang baik). Land Tjondet tidak mendapat aliran irigasi dari kanal
sungai Tjidjantoeng dan land Tjondet baru mendapat pengairan aliran irigasi
setelah era Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris).
Bataviasche courant, 27-03-1824 |
Dengan selesainya
perbaikan kanal Buitenzorg-Batavia ini dimungkinkan land Tjondet mendapat
aliran irigasi (karena debit kanal sudah memadai). Namun muncul persoalan
bagaimana mengalirkan air irigasi ke land Tjondet? Sementara itu, land
Tandjoeng Oost juga mendapat pasokan tambahan dari kanal. Satu cara yang
dilakukan adalah membangun tanggul dari kanal ke land Tjondet yang mana di atas
kanal Tjidjantoeng dibangun tali air/jembatan air (seperti di Kedoeng Halang).
Hal yang dialami oleh
land Tjondet dilakukan di land Tandjoeng West. Usaha peternakan di land
Tandjong West telah lama berlalu. Land Tandjoeng West telah menjualnya pada
tahun 1816. Oleh pemilik baru di land Tandjoeng West akan diusahakan pertanian
(pengganti peternakan). Cara yang dilakukan adalah dengan membangun bendungan
di Serengseng (setoe Babakan) dan mengalirkan airnya dengan membangun kanal ke
land Tandjoeng Oost pada tahun 1830. Kanal ini masih terlihat hingga ini hari
di bawah stasion Lenteng Agung.
Land
Tjondet makin lama makin berkembang (juga land Tandjoeng West makin lama makin
berkembang). Lahan tadah hujan di dua land tersebut telah menjadi lahan
beririgasi. Nama land Tjondet lambat laun semakin dikenal. Dalam kondisi yang
baik land Tjondet telah dijual oleh pemiliknya (lihat Bataviasche courant, 15-11-1826).
Disebutkan dijual, land Landlust atau Tjondet yang berada diantara Tjililitan
dan Tandjong Oost, yang berminat hubungi DCH van Riemsdijk. Di bawah iklan
Tjondet tersebut terdapat iklan dari Ament, pemilik land Tandjoeng Oost. Siapa
yang membeli land Tjondet tidak diketahui secara jelas.
Bataviasche courant, 15-11-1826 |
Yang
jelas adalah bahwa perbaikan kanal antara Buitenzorg-Batavia baru sampai land
Tandjong Oost. Pada tahun 1831 diumumkan akan dilakukan perbaikan kanal ruas
Tandjong Oost dan Batavia dengan lebar kanal menjadi empat meter (lihat
Javasche courant, 26-05-1831). Sehubungan dengan perbaikan ruas kanal ini jalur
lalu lintas ditutup dan kendaraan (pedati) yang berasal dari Buitenzorg
diinstruksikan hanya sampai di Tandjoeng Oost.
Kanal Buitenzorg-Batavia (Peta 1824) |
Pada
tahun 1836 land Tjondet kembali dijual oleh pemiliknya (lihat Javasche courant,
18-06-1836). Disebutkan bahwa sebidang lahan tertentu yang disebut Tjondet,
menjadi bagian reguler yang terletak sekitar 4 jam ke arah selatan di luar
kota. Pembelinya adalah Tjong Aliok namun kemudian lahan itu dieksekusi karena
Aliok bangkrut (lihat Javasche courant, 27-04-1839).
Disebutkan dalam eksekusi tersebut termasuk bangunan batu, pabrik minyak
goreng, penggilingan padi, kerbau, kuda, babi dan perabotan. Dalam
perkembangannya pemilik baru land Tjondet telah menggabungkan dengan miliknya
di land Ragoenan, Nama dua land tersebut diberi nama land Ragoenan en Tjondet.
Nama land Ragoenan en Tjondet paling tidak, sudah diketahui pada tahun 1848
(lihat Particuliere landerijen, 1848). Yang membeli (kembali) land Tjondet diduga
adalah keluarga Cina.
Javasche courant, 18-06-1836 |
Penutupan (awalnya karena
pembangunan kanal) dan terutama di musim hujan pedati dari ruas Tandjong Oost
dan Batavia masih diberlakukan hingga tahun 1855. Selama penutupan tersebut
angkutan barang dari Batavia dan Buitenzorg sebaliknya melalui jalur sungai
Tjiliwong di Tjondet dan Weltevreden. Sementara untuk pejalan kaki telah dibangun
jalan setapak di sisi timur sungai.
Pada tahun 1855 pemerintah mengalihkan jalan setapak
dari sisi timur sungai ke sisi barat sungai mulai dari jembatan Kampong Malajoe
hingga Tjondet (lihat Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-08-1855). Pada
Peta 1824 jalan setapak di sisi barat sungai Tjiliwong ini belum ada. Besar
dugaan jalan setapak inilah yang menjadi cikal bakal jalan yang sekarang (jalan
Gudang Peluru, jalan Pangadegan Timur, Rawajati Timur). Di land Tjondet jalan
setapak ini dihubungkan dengan jembatan (kayu) di atas sungai Tjiliwong. Dimana
posisi GPS jembatan ini diduga yang menjadi cikal bakal jembatan gantung di
dekat stasion Pasar Minggu yang sekarang. Catatan: Jalan Pasar Minggu yang
sekarang adalah jalan kuno yang sudah eksis lama (Westerweg). Area sekitar
antara jalan Westerweg dan jembatan Tjondet ini diduga muncul keramaian
(pasar). Area ini sudah sejak lama dikenal sebagai kampong Djawa. Suatu area
yang strategis yang dengan sendirinya menghubungkan arah dari utara
Batavia/kampong Malajoe (Pasar Senen), arah dari selatan sisi barat
Depok/Buitenzorg (Pasar Lenteng Ahoeng/Pasar Pondok Terong, kini Pasar Tjitajam)
dan sisi timur Tandjoeng Oost/Buitenzorg (Pasar Rebo) dan dari arah barat land
Simplicitas/Pondok Laboe (Pasar Simplicitas). Kelak pasar yang muncul ini
disebut Pasar Minggu (pasar di hari Minggu).
Garis dari simpang jalan kuno (Westerweg) dan jalan ke
arah jembatan dan jalan ke arah Simplicitas menjadi batas land Tandjoeng West
(sebelah selatan) dan land Ragoenan (sebelah utara). Pasar yang muncul ini
dikelola oleh pemilik land Tandjoeng Wesr. Sejak tahun 1854 land Tandjoeng West
diketahui sudah dimiliki oleh seorang Cina Lie Ing Lie (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1854). Besar
dugaan landheer Lie Ing Lie yang mengelola dan mengembangkan pasar yang
kemudian disebut Pasar Minggoe. Land Tandjoeng West sudah sangat berkembang
sejak 1830 saat mana dimulai dibangun bendungan Setoe Babakan dan kanal irigasi
menuju land Tandjoeng West.
Pada tahun 1865 land
Ragoenan en Tjondet diketahui telah dimiliki oleh Said Mohamad bin Aboe Bakar
Aidit, Cs dengan komoditi utama yang diusahakan padi dan kelapa. Sementara itu
land Tandjoeng Oost telah dimiliki oleh Erven Riemsdijk dan land Tjiboeboer
dimiliki oleh T Ament. Sedangkan land Tandjong West masih tetap dimiliki oleh
Lie Eng Lie.
Land Ragoenan en Tjondet pada tahun 1871 masih
dimiliki oleh Said Mohamad bin Aboe Bakar Aidit, Cs (lihat Almanak van
Nederlandsch-Indië voor het jaar, 1871). Kongsi ini juga diketahui pemilik land
Lenteng Agoeng. Dalam hal ini land Ragoenan en Tjondet dan land Lenteng Agoeng
barada dalam satu area (menyatu),
Pada tahun 1870 pembangunan
jalur kereta api dari Batavia-Buitenzorg untuk ruas Meester Cornelis hingga
Buitenzorg dimulai. Dalam hubungan ini pada jalur ini dibangun halte di Pasar
Minggoe dan di Lenteng Agoeng. Nama halte mengacu pada nama pasar (bukan nama
land). Jalur kereta api mulai dioperasikan pada bulan Januari 1873.
Setelah adanya pasar di sisi barat sungai Tjiliwong di
perbatasan antara di land Ragoenan en Tjondet dan land Tandjoeng Oost, di area
sisi timur sungai/jembatan mulai makin ramai sebagai pemukiman. Area yang
semakin ramai ini kemudian dikenal sebagai Tjondet Balekambang. Catatan:
jembatan penghubung di atas sungai Tjiliwong (jembatan kayu) hanya terdapat di
empat titik: Kwitang, Matraman, Meester Cornelis dan Buitenzorg (kini di Warung
Jambu). Untuk jembatan penyeberangan yang terbuat dari bambu paling tidak
teridentifikasi di empat titik di Balekambang dan di Serengseng (kini disebut
jembatan ala Indiana Jones) serta di Depok (di lokasi Jembatan Panus yang
sekarang) dan Pondok Terong. Di Pondok Tjina tidak ada jembatan tetapi tempat
penyeberangan dengan menggunakan getek.
Izin meminta datanya, untuk konten sejarah condet di instagram @aksaracondet. Terima kasih
BalasHapusSilahkan bung Jaka. Pengetahuan seharusnya disebarluaskan
HapusTerima kasih banyak :)
Hapus