Sabtu, 10 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (16): Sabah, Sulu, Jolo, Tawi-Tawi; Kerajaan Aroe hingga Pulau Aroe via Djohor, Borneo, Manado, Ternate

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini 

Sejarah lama apalagi sejarah kuno kerap mengejutkan pada masa ini. Sejarah Sabah, Sulu, Jolo, Tawi-Tawi dan Mindanao hingga ini hari kurang terinformasikan. Padahal wilayah ini di masa lampau adalah satu kesatuan kawasan wilayah bahkan terintegrasi dengan semenanjung Celebes (Manado) dan Ternate di Halmahera (Batachini del Moro) yang memiliki pengaruh Islam. Era Portugis (kedatangan orang Eropa) hanyalah sejarah baru, kelanjutan sejarah lama ketika dominasi Hindoe-Boedha mulai diretas dengan masuknya pengaruh Islam yang kuat. Peaiain utama di kawasan utara (Indonesia) di sekitar laut Sulwaesi ini adalah orang-orang Moro beragama Islam (suksesi orang-orang Persia dan Arab).

Narasi sejarah masa kini seakan hanya mengutub ke satu titik. Boleh jadi sengaja atau tidak sengaja. Namun sesungguhnya hal itu karena kurangnya data dan tidak tepatnya analisis yang diterapkan dan interpretasi yang keliru. Para sejarawan sangat terikat dan lebih tertarik pada eksistensi Sriwijaya dan Majapahit, kurang memperhatikan dan kurang serius menelusuri garis sejarah dari Baroes ke Padang Lawas (Kerajaan Aroe atau de Aroe atau Daroe) yang dihubungkan dengan Tiongkok melalui Infragiri, Djohor, Borneo (kini Brunei) dan Luzon. Dalam konteks inilah ditemukannya jalan sutra menuju Ternate (Maluku) yang tidak pernah diketahui Madjapahit. Nama pulau Aroe di dekat Papoea bukanlah bersifat acak tetapi garis ujung dari Kerajaan Aroe di Sumatra (Padang Lawas Tapanoeli). Candi yang luas tidak hanya di wilayah Madjapahit tetapi juga di kawasan daerah aliran sungai Baroemoen (Padang Lawas). Padang Lawas dan Baroes berada di satu kawasan teritori. Ketika Presiden Jokowi baru-baru ini meresmikan Titik Nol Kilometer Islam di Nusantara semua menjadi heboh, bukan? Bukankah kerajaan-kerajaan Atjeh berkembang dari Baroes dan dari Baroes agama Islam menyebar ke pulau Jawa?

Lantas bagaimana sejarah Sabah, Sulu, Jolo, dan Tawi-Tawi? Yang jelas nama-nama tempat ini berada di satu kawasan yang sama dengan Nunukan dan Sebatik di pantai timur Borneo (kini provinsi Kalimantan Utara). Lalu apa pentingnya sejarah kawasan ini? Ada dunia lama di sini yang kurang terinforasikan. Padahal dala penulisan sejarah baru tidak boleh melupakan sejarah lama. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Moor Sebelum Kedatangan Portugis: Kerajaan Aroe hingga Pulau Aroe

Orang Eropa pertama datang ke Hindia adalah orang Portugis. Setelah menaklukkan Malaka 1511 Portugis membuat koloni (yang menjadi pos perdagangan utama). Sejak ini Portugis mulai menyusun peta-peta. Peta-peta Portugis dibangun dari peta-peta yang ditemukan di Malaka, suatu peta-peta yang menyebabkan pelaut-pelaut Portugis menemukan jalan ke Ternate. Peta-peta dasar yang ditemukan di Malaka pada dasarnya peta-peta yang pada dasarnya dibuat oleh orang-orang Moor.

Sebelum kedatangan orang Spanyol yang terlebih dahulu memiliki kekuatan adalah orang-orang Moor. Kerajaan-kerajaan di pulau Sumatra dibangun oleh orang-orang Moor termasuk kerajaan Aroe di daerah aliran sungai Baroemoen (Padang Lawas, Tapanoeli) dan kerajaan-kerajaan di Atjeh, Orang-orang Moor ini adalah suksesi pedagang-pedagang Persia dan Arab yang telah menggantikan orang-orang India di jaman kuno. Kerajaan Aroe adalah kerajaan terkuat di Sumatra setelah pudarnya kerajaan Sriwijaya di Palembang. Sebelum kerajaan Majapahit menyerang Palembang, sudah lebih dahulu kerajaan Cola (India) melumpuhkan kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Cola inilah yang kemudian membuat koloni (tahun 1030) di daerah aliran sungai Baroemoen yang bermuara ke selat Malaka dalam perdagangan emas, kemenyan, kamper dan damar (yang menjadi satu kesatuan teritorial dengan Baroes di pantai barat). Peninggalan candi yang begitu banyak di daerah Padang Lawas (lebih banyak daripada di Jawa) adalah eks koloni kerajaan Cola. Nama-nama tempat hingga ini hari banyak diteukan di Tapanuli Selatan seperti sungai Angkola (Cola), gunung Malea (Himalaya) dan sungai Baroemoen (bahasa India selatan aroe=sungai). Eks koloni kerajaan Cola di Padang Lawas inilah yang bermetamorfosis menjadi Kerajaan Aroe di bawah pengaruh orang-orang Moor. Kerajaan Aroe pernah menaklukkan Kerajaan Malaka sebelum kedatangan orang Portugis. Kerajaan Aroe bermusuhan dengan kerajaan Atjeh (setelah orang Moor digantikan oleh orang lain di kerajaan Atjeh). Kerajaan Aroe inilah yang membuka hubungan diplomatik ke Tiongkok. Sehubungan dengan produk baru (rempah-rempah yang memperkaya produk kuno emas, kemenyan dan kamper), pada jalur Aroe-Tiongkok inilah kemudian Kerajaan Aroe menemukan jalan ke Ternate.

Orang-orang Moor (penguasa Kerajaan Aroe) sudah sejak lama merintis jalan ke Ternate tidak melalui Jawa (Madjapahit) tetapi melalui jalur tradisional (Aroe-Tiongkok) elalui Djohor, Boernai (Brunei), Mindanao terus ke Ternate, Orang-orang Moor dari kerajaan Aroe diduga sudah mencapai pantai barat Papoea yang menjadi sebab munculnya nama pulau Aroe (di selatan Banda).

Sebagai jalur sutra dari kerajaan Aroe ke Ternate hingga pulau Aroe maka dalam peta-peta Portugis terkesan pantai-pantai dan pulau-pulau di jalur Sutra (pantai timur Sumatra, semenajung Malaka, pantai utara Borneo, Mindanao dan sekitar, pantai utara Celebes, Halmahera hingga ke pulau Aroe) ini tampak sangat detail (jika dibandingkan dengan selatan Borneo, selatan Celebes dan bahkan pantai utara Jawa. Dengan melihat perbandingan peta-peta tersebut, pulau Jawa tampak sangat asing bagi orang Portugis. Dalam konteks inilah orang-orang Moor memiliki intensitas yang tinggi di jalur sutra sebelum kedatangan orang-orang Portugis. Oleh karena itu dalam peta-peta Portugis pulau Halmahera diidentifikasi sebagai Batachini del Moro (orang Moor dari Tanah Batak? Nama-nama Moor, selain Batachini del Moro adalah pulau Morotai (dekat Halmahera), pelabuhan A-moer-ang di semenanjung Celebes (sekitar Manado). Pada jalur Sutra ini pula orang-orang Portugis menyebut penduduk di sekitar Mindanao sebagai orang Moro (pengaruh orang-orang Moor). Orang Moor adalah orang beragama Islam yang berasal dari pantai utara Afrika di laut Mediterania, orang-orang Islam yang merintis jalan ke Eropa dalam Perang Salib melalui Spanyol (Cordoba). Salah satu warisan yang tersisa dari orang-orang Moor di Afrika utara adalah nama Morocco (Kerajaan Maroko). Beberapa nama tempat yang terkait dengan pemukiman orang-orang Moor ada di India dan pulau Palawan (Filipina). Sebelum orang-orang Moor sampai di Hindia Timur mereka berdagang hingga ke India bagian barat laut di Goa dan Gujarat. Dua kota ini hingga ini hari ditemukan banyak muslim. Pulau Palawan tempo doeloe (era VOC) disebut pulau Paragoa. Tentu saja kerajaan-kerajaan Go[w]a dan Tallo di selatan Celebes tidak lepas dari pengaruh orang-orang Moor.

Dalam laporan-laporan Portugis (Tome Pires dan Barbosa) menyebut nama Baroes dan Aroe saling dipertukarkan. Ini mengindikasikan bahwa Kerajaan Aroe (di pantai timur) dan Baroes (di pantai barat) berada di wilayah teritori yang sama (coast to coast). Laporan Portugis berikutnya (Mendes Pinto, 1535) menyebut Kerajaan Aroe sebagai Aroe Batak Kingdom yang saat kunjungannya dari Malaka ke Aroe mencatat kekuatan kerajaan Aroe sebanyak 15 ribu tentara yang mana tujuh ribu diantaranya berasal dari Minangcabao, Indragiri, Borneo (baca: Brunei) dan Luzon (baca: Filipina).

Mendes Pinto juga menyebut orang-orang Mandarin mengawal kerajaan di muara sungai di pantai timur Sumatra. Pedagang-pedagang dari kerajaan Aroe inilah yang meneukan jalan sutra ke Ternate sejak masa lampau sebelum kedatangan orang Portugis. Apakah dari asal-usul ini dalam peta-peta Portugis, pulau Halmahera disebut pulau Batachini del Moro? Penulis-penulis Belanda menginterpretasi Batachini (orang-orang Mandarin/Cina yang berasal dari kerajaan Aroe yang dikuasai oleh orang-orang Moro?) sebagai Batochina del Moro (lihat Ongemeene scheeps-togten en manhafte krygs-bedryven [...] door Diego Lopez de Sequeira [...] in de Oost-Indien [...] in't jaar 1518, terbit 1706). Tentu saja masih dapat ditambahkan disini hubungan kerajaan Aroe dengan wilayah di Filipina yang tidak hanya terkait dengan hubungan militer dan perdagangan tetapi juga nama pulau Panay di Filipina yang sekarang, suatu nama sungai dan nama kota di daerah aliran sungai Baroemoen (kerajaan Aroe).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Moro dan Orang Batak

Bagaimana hubungan orang-orang Moor dengan kerajaan Aroe sudah jelas. Bagaimana hubungan orang-orang Moor dengan Halmahera juga sudah cukup jelas. Demikian juga bagaimana hubungan orang-orang Moor dengan terbentuknya nama (bangsa) Moro. Namanya dari Moor menjadi Moro. Lalu apakah terininologi orang-orang Portugis Batachini del Moro ada hubungannya dengan orang Batak (di kerajaan Aroe)? Peneliti-peneliti Belanda menginterpretasi nama Batachini sebagai Batachina atau Batochina dan meski sudah tertulis Batachini del Moro tetapi para peneliti tersebut tidak menginterpretasi Moro dapat dihubungkan dengan orang-orang Moor.

Pada era VOC di wilayah yurisdiksi kerajaan Ternate terdapat banyak tempat (wilayah) yang dapat dikaitkan dengan nama Moor atau Moro seperti pulau Morotai (di timur pulau Halmahera); Morowali di ujung timur laut Celebes; dan Amoerang di pantai utara pulau Celebes. Sumua tempat ini berada di bawah yurisdiksi kerajaan Ternate. Kota Amoerang [A-moer-ang] adalah pelabuhan tua yang pernah diduduki orang-orang Portugis dan Spanyol pada era VOC (yang kemudian diambil alih oleh VOC-Belanda pada tahun 1659). Pelabuhan Amoerang adalah pelabuhan antara dua pelabuhan yakni (pulau) Manado dan Toli-Toli.

 

Sementara itu kerajaan Ternate sudah terhubung lama dengan kerajaan-kerajaan di Mindanao. Kerajaan-kerajaan di Mindanao ini (yang kini banyak disebut bangsa Moro) pada era VOC masih terkait dengan kerajaan Candahar di pulau Sangir (kini Sangihe). Pada tahun 1695 antara VOC-Belanda dan Spanyol di Filipina terjadi kesepakatan dimana wilayah Candahar di Mindanao dipisahkan dan diserahkan keapada Spanyol (lihat Daghregister 8 Agustus 1695). Ini menunjukkan hubungan yang kuat antara orang-orang Mindanao dan orang di pulau Sangir. Dala hal ini wilayah pulau Sangir yang terdiri dari sejumlah kerajaan-kerajaan seperti Tahoena dan Taboekan berada di bawah yurisdiksi kerajaan Ternate dimana Gubernur Ternate juga berkedudukan di Ternate. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda (VOC dibubarkan 1799) status Ternate diturunkan dari Gubernur menjadi Resident (Residentie Ternate). Pada tahun 1823 Residentie Ternate dimekarkan dengan membentuk Residentie Manado (yang meliputi wilayaah Manado, Sangir en Talaut, Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Toli-Toli, Donggala, Morowali, Poso dan Banggai).

Lantas mengapa ada orang (bangsa) Batak di Filipina? Tentu saja hal itu tidak bersifat random sebagaimana orang-orang Moor (Moro) di Halmahera dan Mindanao dan pulau-pulau di sekitarnya. Salah satu pulau di dekat pulau Mindanao yakni pulau Palawan ditemukan etnik Batac (Batak). Jumlahnya kini tidak banyak tetapi orang (etnik) Batak di pulau Palawan memiliki adat atau kebiasaan tersendiri dari etnik-etnik lainnya di pulau. Kebiasaan (adat) etnik Batak di pulau Palawan ini memiliki banyak kemiripan baik dari segi fisik maupun dalam hal bahasa dan budaya dengan etnik Batak di Sumatra Utara.

Kemiripan budaya misalnya soal tatacara perkawinan. Kemiripan bahasa antara lain dalam kosa kata ina, inang (ibu), amang (ayah) iboto (saudara lelaki/perempuan), mangan (makan). Kosa kata inti inilah kosa kata yang melekat pada setiap orang sejak lahir (ayah, ibu, saudara, dan makan). Kosa kata lainnya yang masih bersifat primer seperti dila, dilak (lidah), manuk (ayam) dan sebagainya. Kosa kata utama ini tetap dipertahankan sementara kosa kata yang lain telah digantikkan kosa kata bahasa lain (termasuk bahasa Melayu sebagai lingua franca).

Bagaimana orang (etnik) Batak di Filipina dan di Tapanoeli sudah barang tentu dapat dikaitkan dengan eksistensi kerajaan Aroe di daerah aliran sungai Baroemoen (kini Tapanuli Bagian Selatan). Kerajaan Aroe (suksesi koloni kerajaan Cola-India) sangat luas mualai dari pantai barat (Baroes) hingga pantai timur (Panai) dan dari batas Minangcabaodi selatan hingga sungai Deli (di Medan). Di hulu sungai Baroemoen juga terdapat nama sungai Batang Panai. Kerajaan Aroe ini dipimpin oleh orang-orang Moor.

Lalu bagaimana terbentuknya etnik (bangsa) Batak di pulau Palawan? Seperti disebutkan Mendes Pinto (1535) kerajaan Aroe memiliki kekuatan tentara 15 ribu sebanyak delapan ribu Batak dan tujuh ribu berasal dari Minangcabao, Borneo (Brunei), Indragiri dan Luzon. Tentara-tentara Batak dari kerajaan Aroe inilah yang menjadi kekuatan kerajaan Aroe melakukan perdagangan hingga Ternate melalui Borneo, Mindanao, Manado, Sangir dan Talaud. Sebagian dari tentara Batak ini tidak pulang dan menetap di berbagai termpat termasuk di pulau Palawan yang menikah dengan penduduk setempat (penduduk asli). Hal serupa ini lazim pada era VOC (Belanda) ada kampong Banda(n), Jawa, Ambon, Bali, Tambora, Makassar, Boegis dan Melajoe di Batavia (kini Jakarta).

Orang-orang Batak dari sungai Baroemoen sebagaimana orang-orang Moor telah memperkaya penduduk di pulaua Mindanao, pulau Palawan dan pulau-pulau sekitar yang membentuk keragaman kebiasaaan (budaya), bahasa dan bahkan postur dan wajah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kawasan Soeloe: Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tawaou, Sebatik dan Noenoekan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar