Kamis, 03 Juni 2021

Sejarah Filipina (36): Arca Prasasti Zaman Kuno Filipina, Berasal? Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit atau Kerajaan Aru?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini

Sejarah di pulau-pulau di Filipina diduga kuat masih muda seperti halnya di pulau Sulawesi dan pulau-pulau di Maluku. Pendapat ini hanya didasarkan tidak adanya situs candi dan prasasti yang berasal dari zaman kuno. Pulau-pulau di Filipina meski begitu dekat ke Tiongkok, tetapi dari aspek kebudayaan di Filipina pada awalnya merujuk dari arah barat dan kemudian diperkaya dari Tiongkok dan Jepang. Meski tidak ada candi, bahkan di Semenanjung Malaya hanya diitemukan candi di Kedah, sejumlah benda-benda kuno ditemukan yang diduga pada era Kerajaan Aru, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Namun yang menjadi pertanyaan adalah tanda-tanda zaman kuno yang dapat dipelajari pada masa ini di Filipina, siapa yang membawa.

Pada zaman kuno, di Hindia Timur (Nusantara) paling tidak terdapat dua dua kerajaan awal yakni di pantai barat Sumatra (Kerajaan Aru) dan di pantai utara Jawa (Kerajaan Tarumanagara). Memperhatikannya, di Sumatra muncul Kerajaan Sriwijaya dan di Jawa muncul kerajaan Kalingga. Selanjutnya kerajaan-kerajaan bertambah banyak seperti Kerajaan Kadaram, Kerajaan Lamuri, Kerajaan Malaya, Kerajaan Mauli (Dharmasraya), Kerajaan Mataram (Kuno), Kerajaan Kadiri, Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majpahit. Tiga Kerajaan yang sejaman (Kerajaan Aru, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majaphit) diduga kuat pulau-pulau di Filipina tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan tersier.

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di Filipina? Seperti disebut di atas, tidak ditemukan candi tetapi ditemukan arca dan prasasti. Lalu bagaimana sejarah awal zaman kuno di pulau-pulau Filipina hingga muncul arca dan prasasti? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pulau-Pulau di Filipina: Paragoa, Panai, Mindoro, Mindanao hingga Luzon

Negara Filipina sekarang ada beberapa pulau besarm seperti pulau Palawan, pulau Mindanao, pulau Mindoro, pulau Panai dan pulau Luzon. Nama pulau Palawan pada era Portugis adalah Paragoa (nama yang diduga merujuk pada nama  Goa di India). Nama Mindoro, Mangindanao (Mindano) dan Panai juga merujuk pada nama India. Lalu bagaimana dengan nama Luzon, tampaknya nama pulau besar di bagian utara Filipina ini tidak berbau India tetapi lebih dekat dengan nama Tiongkok. Kota terbesar di Filipina adalah Manila di pulau Luzon.

Pada zaman kuno, nama pulau Panai di Filipina, paling dekat berada di pantai timur Sumatra yakni Kerajaan Aru yang orang luar disebut Kerajaan Panai, yang terletak di daerah aliran sungai Barumun [B-aru-mun] dimanai sungai Panai bermuara. Oleh karena itu kerajaan itu disebut Kerajaan Aru dan adakalanya Kerajaan Panai. Kerajaan Aru ini adalah kerajaan yang sudah lama eksis, bahkan jauh sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya. Pelabuhan utama Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra adalah B-aru-s dan di pantai timur di Binanga (di muara sungai Panai di sungai Barumun). Nama Binanga juga merujuk pada nama India. Disebut nama-nama tersebut merujuk pada nama India karena lingua franca sejak awal era Kerajaan Aru adalah bahasa Sanskerta. Hal itulah mengapa banyak nama-nama geografis yang berbau India alias Sanskerta. Kerajaan Aru berbahasa bilingual (bahasa Batak dan bahasa Sanskerta).

Nama Manila ditemukan orang-orang Spanyol di Zebu yang lalu melakukan invasi ke pulau Luzon dengan menyerang pelabuhan Manila pada tahun 1570. Sejak itulah nama Manila dikenal, baik dalam peta-peta navigasi pelayaran dan berita-berita pada surat kabar dan catatan di Kasteel Batavia (Daghregister). Uniknya nama Manila bukan nama yang unik tetapi nama yang menggunakan awaln Ma yang lazim hanya pada wilayah tertentu.

Jarang atau hampir tidak ada nama tempat berawalan Ma di pulau Jawa maupun di pulau Sumatra bagian selatan. Dua nama pertama pada zaman kuno yang dikenal adalah Malaya (merujuk pada nama Himalaya) dan Mauli. Dua nama ini kemudian menjadi kerajaan yakni Kerajaan Malaka di pantai barat Semenanjung dan Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari. Kerajaan Mauli adalah anak kerajaan dari Kerajaan Aru (yang terbentuk pasca pendudukan invasi Kerajaan Chola pada abad ke-11). Kerajaan Mauli ini juga dikenal sebagai Kerajaan Darmasraya. Pada era Portugis semakin banyak nama-nama tempat yang berawalan Ma. Tentu saja selain Malaka adalah Matan, Makao, Manguindanao, Manado, Makale, Manado dan Maluku. Di ujung selatan pulau Sulawesi terdapat nama Goa (Kerajaan Goa).

Kerajaan Aru adalah kerajaan tua yang masih eksis. Pada saat itu Kerajaan Mauli diperkuat Kerajaan Singhasari. Pada era Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya diserang Kerajaan Majapahit (tamar Kerajaan Sriwijaya). Pada saat ini Radja Adityawarman di Kerajaan Mauli atau Kerajaan Dharmasraya merelokasi ibu kota ke hulu sungai Indragiri yang kemudian kelak dikenal sebagai Kerajaan Pagaroejoeng. Radja Adityawarman meninggal 1375. Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran setelah Radja Hayam Wuruk meninggal tahun 1392. Pada saat ekspedisi Tiongkok (yang dipimpin Laksamana Cheng Ho 1403-1433) juga Kerajaan Aru disinggahi Kerajaan Aru adalah kerajaan tua yang terus masih eksis. Mengapa?

Berdasarkan prasasti Batugana di candi Bahal di sungai Batang Panai raja Kerajaan Aru (Kerajaan Panai) bergelar Kadi dan Haji. Salah satu alasan ekspedisi Cheng Ho mengunjungi Kerajaan Aru adalah karena rajanya telah beragama Islam. Bagaimana raja Kerajaan Aru beragama Islam diduga karena kehadiran pedagang-pedagang Moor di selat Malaka yang terkonsentrasi di muara sungai Muar (merujuk pada nama Moor dan Moear). Hal itulah diduga mengapa Ibnu Batutah berkunjung ke selat Malaka pada tahun 1345. Orang Moor adalah pedagang-pedagang Islam asal Afrika Utara di Laut Mediterani seperti Mauritania, Maroko dan Tunisia. Orang-orang Moor ini terusir dari Spanyol pasca Perang Salib yang lalu kemudian menyebar hingga Afrika Timur (Madagaskar) dan terus ke pantai barat India (Gujarat, Surate dan Goa) hingga menemukan jalan ke selat Malaka (Muar). Ibnu Batutah adalah orang Moor asal Tunisia. Ibnu Batutah juga sempat berkunjung hingga Tiongkok. Apakah Ibnu Batutah yang mengabarkan di Tiongkok bahwa Kerajaan Aru beragama Islam?

Pada saat Kerajaan Aru rajanya sudah beragama Islam, Kerajaan Pagaroejoeng masih beragama Hindoe (Hindoe Majapahit). Tentu saja pelabuhan di Kerajaan Malaka juga sudah beragama Islam, demikian juga pelabuhan Kerajaan Pasay. Hal itulah mengapa tiga kerajaan ini disinggahi ekspedisi Cheng Ho. Pelabuhan yang disinggahi ekspedisi Tiongkok ini di Jawa adalah pelabuhan Semarang.

Semakin banyaknya komunitas orang-orang Islam di pantai utara Jawa. Pada akhir abad ke-15 di Demak didirikan suatu kerajaan Islam (Kerajaan Demak). Seperti di masa lampau, kerajaan Majapahit yang sangat ekspansif, demikian juga Kerajaan Demak sangat ekspansif. Kekuatan pertama yang dilumpuhkan adalah Kerajaan Majapahit (tamat sudah Kerajaan Majapahit). Kerajaan Islam baru terbentuk di Chirebon. Dua kerajaan inilah yang menaklukkan pelabuhan Zunda Kalapa dan pelabuhan Banten. Habis sudah pengaru Hindoe di kota-kota pantai utara Jawa. Terakhir Kerajaan Banten yang sudah terbentuk yang dibantu Kerajaan Chirebun menyerang Kerajaan Pakwan Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong, yang sebelumnya pelabuhan berada di Zunda Kalapa. Habis sudah pengaruh Hindoe di Jawa. Di Sumatra pengaruh Boedha Hindoe masaih ada daerah aliran sungai Musi (eks Sriwijaya), daerah aliran sungai Batanghari (eks Mauli Dharmasraya) dan daerah aliran sungai Indragiri (Kerajaan Pagaroejoeng).

Saat ekspedisi Tiongkok (Cheng Ho) yang juga sempat singgah di pelabuhan Semarang, pengaruh Majapahit di Sumatra hanyalah di eks Sriwijaya dan Kerajaan Pagaroejoeng. Pengaruh Hindoe Jawa (Majapahit) yang terpenting terdapat di pantai barat Kalimantan (Kerajaan Tanjungpura) dan di pantai selatan Kalimantan (Kerajaan Martapura). Tidak ada tanda-tanda kerajaan Hindoe Jawa di pantai timur Kalimantan, demikian juga di pulau Sulawesi dan juga di Maluku. Tanda-tanda pengaruh Hindoe Jawa hanya terdapat hingga pulau Sumbawa (Kerajaan Bima). Pulau-pulau sebelah timur mulai dari Flores hingga ke selat Torre (Papua) tidak ada tanda-tanda pengaruh Hindu. Demikian juga di Boeneo Utara tidak ada tanda-tanda pengaruh Hindoe Jawa, tetapi ada pengaruhu Hindoe dari pedagang-pedagang India (yang tengah besaing dengan pedagang-pedagang Moor beragama Islam). Dalam perkembangannya Borneo Utara, pulau-pulau di Fulipina, pulau Sulawesi dan Maluku hanya ditemukan pengaruh yang kuat dari pedagang-pedagang Moor. Pengaruh pedagang-pedagang Moor juga ditemukan di pulau Manggarai (nama lama pulau Flores) hingga Laut Arafuru dan selat Torres (hingga Papua Nugini). Pada saat kejayaan orang-orang Moor inilah mulai muncul kehadiran pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol.

Pedagang-pedagang Moor sudah eksis sejak lama di Hindia Timur. Paling tidak diketahui sejak kehadiran Ibnu Batutah di selat Malaka dan Tiongkok pada tahun 1345 (pada era Kerajaan Aru, Kerajaan Mauli dan Kerajaan Majapahit) Kerajaan Aru sendiri masih bertahan, sementara Kerajaan Sriwijaya dan Kersajaan Singhasari sudah tamat. Suksesi Kerajaan Mauli adalah Kerajaan Pagaroejoeng. Kerajaan Aru dan Kerajaan Malaka sudah Islam, sementara Kerajaan Pagaroejoeng masih Hindoe. Kerajaan Malaka diperkuat oleh pedagang-pedagang Arab, sedangkan Kerajaan Aru diperkuat orang-orang Moor. Di pantai barat Sumatra kerajaan-kerajaan kecil diperkuat oleh pedagang-pedagag Persia. Pedagang-pedagang Moor semakin mendominasi sehingga pedagang-pedadang India tersingkir (tamat pengaruh India di Hindie Timur sejak rebuan tahun). Seperti kita lihat nanti Kerajaan Turki memperkuat Kerajaan Lamuri (kemudian lahir Kerajaan Atjeh).

Pelaut-pelaut Portugis mengikuti rute perdagangan orang-orang Moor. Portugis dan Spanyol adalah awal kemajuan orang Eropa. Orang Moor dalam hal ini dapat  dikatakan pendahulu (predecessor) orang-orang Portugis mencapai Hindia Timur. Pada tahuh 1511 Portugis yang berbasih di Goa (pantai barat India) menduduku pelabuhan Malaka (Kerajaam Malaka tamat). Tidak lama kemudian pelaut-pelaut Spanyol mengikuti suikses pelaut-pelaut Portugis tetapi tidak mengikuti rute Portgis (Moor) tetapi melalui jalur barat melalui celah Amerika Selatan hingga tiba di Zebu (Filipina) setelah melalui lautan Pasifik pada tahun 1524. Sejak 1521 pedagang-pedagang Portugis sudah membuka pos pedagangan di (teluk) Broenai dan di (teluk) Manila dab selanjutnya ke Makao, tiga pusat perdagangan yang telah lama dirintis oleh para pedagang-pedagang Moor (mungkin sejak era Ibnu Batutah atau Cheng Ho).

Perseteruan Portugis (di Manila) dan Spanyol (Zebu) tida di Filipina, tetapi justru di Maluku. Pedagang-pedagang Moor di Maluku yang lebih merakyat tidak terlalu peduli dengan persaingan yang terjadi antara (utusan) Kerajaan Portugis dan Kerajaan Spanyol di Maluku. Orang-orang Moor adalah ibarat layang-layang yang putus karena kerajaan mereka di Spanyol telah tamat pasca Perang Salib. Orang-orang Moor menganut pepatah dimana bumi di pijak di situ langit dijunjung dengan navigasi pelayaran perdagangan sebagai penghubung sesama mereka, mulai dari Afrika Utara hingga Maluku. Pelaut-pelaut Portugis berpusat di Goa dan Malaka, sedangkan pelaut-pelaut Spanyol berpusat di Meksiko.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penemuan Arca dan Prasasti: Pertumbuhan Perdagangan di Filipina hingga Era Spanyol

Satu pertanyaan terpenting dalam hal ini adalah bagaimana hubungan orang-orang Moor dengan Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra? Yang jelas kerajaan-kerajaan besar sejak zaman kuno telah tamat, seperti Kerajaan Singhasari, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Malaka (hingga kehadiran Portugis). Kerajaan baru muncul di ujung utara Sumatra (Kerajaan Atjeh) dan Kerajaan Pagaroejoeng di pedalaman sudah lama tidak terdengar kabarnya. Di Jawa sudah mulai berkembang Kerajaan Demak. Dalam fase ini hubungan Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor masih terjalin dengan baik (sejak prasasti Batugana atau Ibnu Batutah 1345).

Pada prasasti Batugana yang terdapat di candi Bahal di Padang Lawas (Angkola Mandailing) pada baris ke-10 dinyatakan sebagai berikut:. narang kabayaj pu gwa kudhi hangdaj kudhi haji bawa bwat parnnosamuha (lihat Setianingsih dkk. 200) yang kemudian dibaca ulang oleh Lisda Meyanti (2019) sebagai berikut: ‘dari kabayan. punya kuá¹­i hinan. kuá¹­i haji bava bvat. paṇai samuha’.  Jika membaca dari dua pembaca tersebut dapat diartikan sebagai berikut: ‘raja-raja Narang Kabayah, Mpu (Ompu) Guang, Kadi Hinan, Kadi Haji membawakan (memimpin) untuk semua penduduk Panai (Kerajaan Aru). Empat raja-raja ini tampaknya sebuah dewan yang mana dua diantaranya merangkap Kadi (pemimpin agama) yang mana satu diantara Kadi ini bergelar haji (pernah ke Mekkah). Dalam tradisi pemerintahan di Tanah Batak tidak mengenal raja tunggal (monarki) seperti di Jawa atau berbagi kerajaan (oligarki) seperti di Aceh tetapi suatu federasi (dewan) dari berbagai wilayah kerajaan-kerajaan (luhat). Jadi setiap wilayah terwakili, yang masing-masing diwakili oleh raja panusunan bulung (primus interpares). Dalam proses pengambilan keputusan tidak berada di tangan satu orang raja tetapi konsensus (musyawarah) diantara raja-raja yang secara tradisional mengikuti prinsip hukum adat dalihan na tolu. Prinsip pengambilan keputusan serupa ini masih berlaku hingga ini hari yang dapat dibandingkan dengan isi prasasti Batugana. Wujud federasi raja-raja ini juga bisa diperhatikan pada prasasti Sitopayan 1 (FDK Bosch 1930) yang mana ada empat raja membangun candi bersama yakni raja Hang Tahi, raja Si Ranggit, raja Kabaga Yin dan raja Ompu Anyawari. Demikian juga pada prasasti Sitopayan 2 ada empat raja membuat candi yakni Ompu Sapta, Hang Buddi, Sang Imba dan Hang Langgar. Seperti disebut di atas, Kadi adalah pemimpin (raja) yang diduga kuat sudah beragama Islam (dan dibedakan lagi dengan Kadi Haji) sesuai prasasati. Gelar Kadi ini umum di Tanah Batak hingga ini hari sebagai pemimpin agama. Nama Kadi juga digunakan pada gelar raja-raja di Atjeh. Pengganti Sultan Aceh terakhr pada tahun 1875 adalah seorang kerabat Sultan yang bergelar Teuku Kadli Malikoel Adil. Adanya raja yang juga pemimpin agama adalah lazim pada era Hindoe Boedha di Tanah Batak hingga jauh di masa depan (pada era Hindia Belanda) seperti Sisingaangaraja, raja (di luhat Simamora) yang juga merangkap pemimpin agama (Parmalim). Ketika prasasti Batugana (aksaran Pallawa bahasa Sanskerta) dibuat, penyebaran agama Islam di Sumatra dan Semenjanjung (Malaya) sudah begitu meluas karena peran pedagang-pedagang orang Moor.

Lantas raja-raja Kerajaan Aru menganut agama Islam seperti disebut dalam teks prasasti Batugana? Kapan prasasti ini dibuat tidak disebutkan seperti pada prasasti Kedukan Bukit (682) dan prasasti Batu Kapur (686). Nauun jika dihubungkan dengan agama yang dianut Kerajaan Aru sebelumnya adalah Boedha Batak sekte Bhairawa (lihat Schnitger 1935) juga disebutkan salah satu pendukung fanatik sekte Bhairawa adalah raja terkenal yang terakhir dari Kerajaan Singhasari (meninggal 1292). Schnitger juga menyatakan raja Adityawarman (Minangkabau) juga pendukung fanatik sekte Bhairawa (meninggal 1375).

Dalam hal ini dapat dikatakan raja-raja Kerajaan Aru menjadi Islam setelah melepaskan kepercayaan lama (sekte Bhairawa). Pada fase eksisnya sekte Bhairawa seorang Moor dari Tunisia berkunjung ke selat Malaka pada tahun 1345 yang mengindikasikan populasi orang Moor sudah banyak. Dengan demikian dalam hal ini raja-raja Kerajaan Aru masuk Islam sebelum atau sesudah kunjungan Ibnu Batutah. Kerajaan Aru sebagai kerajaan besar, diduga kuat adalah kerajaan Islam pertama di Hindia Timur. Hal ini tentu saja didukung oleh fakta bahwa pelabuhan Barus adalah pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra. Kehadiran Islam di Barus sudah diketahui sejak abad ke-7 seperti yang ditunjukkan nisan makam-makam Islam di Barus.

Hubungan Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor dijelaskan oleh Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Seperti disebut di atas, orang Moor adalah pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara di laut Mediterania seperti Mauritani, Maroko dan Tunisia. Ibnu Batutah yang pernah berkunjung ke selat Malaka 1345 adalah orang Moor berasal dari Tunisia. Mendes Pinto yang pernah bekunjung ke Kerajaan Aru Batak Kingdom dengan ibu kota di Panaju (Panai) pada tahun 1537 menyebut Raja Kerajaan Aru beragama Muslim dan tentara Kerajaan Aru diperkuat oleh (pedagang) orang-orang Moor. Ini mengindikasikan bahwa para raja-raja Kerajaan Aru sudah beragama Islm sejak lama, paling tidak sejak kehadiran orang-orang Moor di selat Malaka yang dalam hal ini pedagang-pedagang Moor telah memperkuat pasukan (militer) Kerajaan Aru.

Mendes Pinto juga menyebutkan bahwa Kerajaan Aru memiliki kekuatan militer sebanyak 15.000 yang mana sebanyak 7,000 orang didatangkan dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon. Di satu sisi ini mengindikasikan bahwa Kerajaan Aru telah terhubung denga sejumlah kerajaan di Sumatra, Borneo dan Luzon (Filipina). Besar dugaan kerajaan-kerajaan tersebut juga kerajaan Islam. Kekuatan Kerajaan Aru sebagai kerajaan besar mengingatkan isi prasasti Kedukan Bukit (682 M) yang mana Radja Dapunta Hiyang dari Binanga (Kerajaan Aru) membawa pasukan sebanyak 20,000 tentara ke Hulu Upang (Bangka) yang diterima oleh raja Sriwijaya. Seperti disebut di atas, penduduk di bagian utara Sumatra sudah diketahui sejak abad ke-2 di Eropa sebagai penghasil kamper dengan pelabuhannya di Barus. Produksi kamper yang tinggi dan satu-satunya sentra poroduksi dunia, perdagangan ekspor di Barus menjadi faktior penting penduduk di Tanah Batak kaya dan makmur sehingga memungkinkan membangun kerajaan yang besar yang bisa memiliki banyak tentara yang membawa pasukan sebanyak 20.000 orang ke Sriwijaya di Bangka. Tujuan ekspedisi Kerajaan Aru ini tentulah dalam hubungannya dengan perdagangan kamper ke Tiongkok. Atas keuntungan perdaangan tersebut Kerajaan Sriwijaya yang didukung Kerajaan Aru melakukan invasi dan menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa (lihat prasasti Kota Kapur di Bangka 686 M). Dalam hal ini nama (desa) Kota Kapur di Bangka sekarang pada zaman doeloe (era Sriwijaya) diduga merujuk pada nama kamper kapur Barus dari Kerajaan Aru di Tanah Batak.

Kolaborasi Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor diduga menjadi faktor penting keberadaan tentara Brunai dan Luzon di Kerajaan Aru. Pedagang-pedagang Moor sudah sejak lama merintis perdagangan ke Borneo utara, pulau-pulau di Filipina dan bahkan Makao diutara (yang diduga terkait dengan kunjungan Ibnu Batutah) serta Sulawesi dan Maluku di sebelah tenggara (sejak pedagang Moor memperkuat Kerajaan Aru). Oleh karena itu dalam navigasi pelayaran perdagangan orang Moor juga diperkuat oleh Kerajaan Aru yang mengirim pasukan untuk membantu kekuatan pedagang-pedagang Moor di Borneo, Luzon dan Maluku. Dalam konteks inilah diduga nama Panai dan Paragoa muncul di Filipina sebagai nama sebuah pulau. Panai adalah pelabuhan Kerajaan Aru di Barumun dan Goa adalah kota perdagangan di pantai barat India dimana terdapat banyak orang Moor  seperti halnya di Muar

Mendes Pinto  1537 juga menyebutkan Kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka, namun tidak diketahui kapan, tetapi paling tidak sebelum kehadiran Portugis yang mana pada tahun 1511 pelaut-pelaur Portugis menyerang dan menduduki pelabuhan Malaka (tamat Kerajaan Malaka). Mendes Pinto menyebut Kerajaan Malaka selalu takut terhadap ancaman Kerajaan Aru. Ini mengindikasikan bahwa Kerajaan Aru adalah kerajaan yang paling berkuasa di kawasan selat, sementara Kerajaan Minangkabau berada di pedalaman. Hal ini sesuai dengan yang disebut Mendes Pinto bahwa pasukan Kerajaan Aru juga didatangkan dari Indragiri, Jambi, Brunai dan Luzon. Pada saat kehadiran Portugis yang juga menyerang dan menduduki Malaka mengindikasikan bahwa hal itu dapat ditolerasnsi Kerajaan Aru karena Kerajaan Malaka yang pernah diserang Kerajaan Aru tidak menginginkan kerjasama dengan Kerajaan Aru. Dengan pendudukan Portugis terhadap Malaka, maka tidak lama kemudian utusan Portugis (Mendes Pinto) mengunjungi Kerajaan Aru sebagai wujud awal persahabatan karena Kerajaan Malaka sudah berakhir.

Sehubungan dengan kehadiran Portugis di Malaka (sejak 1511) dan sejak kehadiran utusan Portugis di Kerajaan Aru (1537)  maka navigasi pelayaran perdagangan antara Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor di satu sisi dan di sisi lain kerjasama yang baru antara Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Portugis menjadi faktor penting eksistensi navigasi pelayaran perdagangan di pantai timur Sumatra, pantai utara Borneo, pulau-pulau di Filipina, Sulawesi dan Maluku. Wilayah-wilayah yang menjadi navigasi pelayaran Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor terbentuk karena sejak awal di wilayah laut selatan, pantai barat Borneo, pantai selatan Borneo dan wilayah Sumatra bagian selatan berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Majapahit.

Setelah meninggalnya raja Majapahit yang terkenal Hayam Wuruk pada tahun 1392, Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran sehingga ekspedisi Tiongkok di pantai utara Jawa (1403-1433) tidak mengalami ancaan dari Majapahit tetapi sebaliknya meningkatkan spirit pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuah pantai utara Jawa seperti di Semarang. Sebagaimana diketahui pada tahun 1490an muncul kerajaan Islam di pantai utara Jawa dekat Semarang (Kerajaan Demak). Praktis Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak hanya terbatas di Jawa. Sementara Kerajaan Aru di wilayah laut utara (pantai timur Sumatra, pantai utara Borneo, Filipina, Sulawesi dan Maluku) perdagangannya dikuasasi pedagang-pedagang Aru yang diperkuat Kerajaan Aru. Dengan semakin menguatnya Kerajaan Demak lalu menyerang Kerajaan Majapahit (tamat Kerajaan Majapahit). Kerajaan Aru yang pernah berkolaborasi dengan Kerajaan Singhasari (pendahulu Kerajaan Majapahit) masih eksis dengan kolaborasi yang tetap terjaga dengan pedagang-pedagang Moor..

Pada fase sebelum kehadiran Portugis inilah navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor begitu kuat di Filipina. Besar dugaan koloni-koloni orang Batak dari Kerajaan Aru sudah terbentuk di Filipina, paling tidak dengan penamaan pulau Panai. Hal itulah mengapa pada masa kini ada kelompok bangsa di pulau Paragoa (kini pulau Palawasn) yang mengaku sebagai etnik Batak berasal dari Sumatra. Etnik Batak di pulau Paragoa (Palawan) ini menurut para antropolog sekarang memiliki karakteristik yang sama dengan sebagain kelopok penduduk di pulau Negritos dan kelompok penduduk Aeta di teluk Manila.

Pada masa kini di teluk Manila terdapat nama-nama geografis yang mirip dengan nama-nama yang merujuk pada era Kerajaan Aru seperti nama provinsi Bata[an], nama municipalitas Morang (Morong), Nama Mariveles sebagai nama pulau di pintu masuk teluk Manila yang juga nama gunung adalah kawasan etnik Aeta (kini kawasan provinsi Marivels), Nama Aeta adakalanya disebut Ayta, Agta atau Atta (mirip nama Bata[k]). Orang Aeta juga ditemukan di Zambales, Tarlac, Pampanga, Panay dan di Bataan sendiri. Pada masa ini Mariveles adalah suatu munucipalitas yang menjadi bagian wilayah provinsi Bataan. Ibu kota Provinsi Bataan adalah Balanga City. Beberapa  munisipalitas (kabupaten) di provinsi Bataan ini selain Mariveles adalah Bagac, Hermosa dan Morong. Munisipalitas Mariveles adalah yang terluas di provinsi Bataan, Nah, sekarang, apakah nama Bataan merujuk pada nama Batak? Seperti halnya penduduk asli Aeta mirip dengan etnik Batak di Palawan yang juga ada kemiripan dengan etnik Batak di Tapanuli (Sumatra Utara) Indonesia. Balanga dalam bahasa Batak adalah cekungan (kuali), Bagak dalam bahasa Batak adalah Cantik. Yang jelas ada nama kampong kuno (era Hindoe) dekat Padang Sidempuan, Tapanuli bernama Mosa (mirip Her-mosa) dan kampong kuno (era Moor, Kerajaan Aru) Morang (mirip Morong). Satu lagi, seperti sudah disebut di atas bahwa nama geografis banyak yang berawal Ma (seperti Ma-nila) atau Mar (seperti Mar-ivele), suatu awalan dalam kata kerja pada bahasa Batak untuk me dan ber. Awalan ma dan mar hanya ditemukan di Tanah Batak. Untuk sekadar menambahkan aksara Batak mirip dengan aksara Filipina. Secara keseluruhan, nama-nama yang mirip nama Batak banyak ditemukan di Filipina, termasuk nama provinsi kepulauan di sebelah utara pulau Luzon (provinsi Batanes). Untuk sekadar menambahkan nama Morong atau Morang juga terdapat di Trengganu (pantai timur Semenanjung Malaya), Nama yang mirip Batak juga ditemukan di Vietnam yakni Ma Da (dalam bahasa Mandirin Kuno, Ma=Ba dan Da=Ta). Distrik Ma Da di sekitar danau Tri An berada di provinse Dong Nai (suatu wilayah tropis) yang dihuni kelompok etnik minoritos yang bahasa berbeda dengan Viet(nam) yang mayoritas.

Lantas bagaimana dengan penemuan arca di Filipina? Banyak versi yang muncul pada tulisan-tulisan pada masa ini. Salah satu prasasti ditemukan di danau Laguna (prasasti Laguna) dalam bentuk keping tembaga 20 × 30 Cm. Prasasti  ini ditemukan di Manila yang bertarih 900 Masehi. Prasasti ini menggunakan bahasa Tagalog Kuno dengan campuran bahasa Sansekerta, Melayu Kuno dan Jawa Kuno serta menggunakan aksara Jawa Kuno. Gulungan tembaga ini agak berbeda pembuatannya apabila dibandingkan dengan gulungan tembaga dari Jawa semasanya.

Isi prasasti: ‘Swasti Shaka warsatita 822 Waisaka masa di(ng) jyotisa. Caturthi Krisnapaksa somawara sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sanak barngaran si Bukah anak da dang Hwan Namwaran dibari waradana wi shuddhapattra ulih sang pamegat senapati di Tundun barja(di) dang Hwan Nayaka tuhan Pailah Jayadewa--Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu diparlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka tuhan Puliran Kasumuran--dang Hwan Nayaka tuhan Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhan Binwangan barjadi bishruta tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat--Ya makanya sadanya anak cucu dang Hwan Namwaran shuddha ya kapawaris dihutang da dang Hwan Namwaran di sang pamegat 'Dewata--Ini grang syat syapanta ha pashkat ding ari kamudyan ada grang urang barujara welung lappas hutang da dang Hwa’. Teks tersebut ada yang menerjemahkan secara bebas sebagai berikut: Swasti. Tahun Saka 822, bulan Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin. Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun, diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah, Jayadewa. Atas perintahnya, secara tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah. Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan  yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang. Ya, oleh sebab itu seluruh anak cucu Sang Tuan Namwaran sudah dimaafkan dari segala hutang Sang Tuan Namwaran kepada Sang penguasa Dewata. (Pernyataan) ini, dengan demikian, menjelaskan kepada siapa pun setelahnya, bahwa jika pada masa depan ada orang yang mengatakan belum bebas hutangnya Sang Tuan .

Isi teks prasasti tersebut mengenai pernyataan pembebasan hutang emas terhadap seseorang bernama Namwaran. Yang menarik dalam teks ini juga disebutka nama-nama tempat seperti Tundun, Pailah, Puliran, Binwangan. Nama tiga tempat tiga yang pertama kini mirip dengan dengan nama-nama di Filipina (Tondo, Pila, dan Pulilan). Nama yang keempat yakni Binwangan tempat dimana Sang Tuan  yang termasyhur berada. Nama Binwangan mirip dengan nama Binanga di daerah aliran sungai Barumun di pantai timur Sumatra (Padang Lawas, Tapanuli), suatu nama yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi pusat Kerajaan Aru (Kerajaan Panai). Untuk lebih lanjut mari kita bandingkan dengan teks prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 M.

Pada situs tua, prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan 1920 di Palembang, yang bertarih 682 M yang ditulis dalam aksara kuno (Pallawa) dan bahasa Melayu Kuno (Sanskerta). Isi prasasti Boekit Sigoentang (Kedukan Bukit) sebanyak 10 baris. Teks tersebut adalah sebagai berikut: ‘svasti sri sakavastitta 605 ekadasi sukla- paksa vulan vaisakha dapunta hiyam nayik di samvau mangalap siddhayatra di saptami suklapaksa vulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana tamvan mamava yam vala dua laksa dangan kosa duaratus cara di samvau danan jalan sarivu tluratus sapulu dua vañakña datam di mata jap mukha upam sukhacitta di pañcami suklapaksa vulan... Asadha laghu mudita datam marvuat vanua ... srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala!’ yang diartikan sebagai berikut: ‘Selamat! Tahun Saka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waisakha [April] Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil siddhayatra. Pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha [Mei] Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga untuk membawa bala tentara 20.000 dengan perbekalan 200 peti di sampan dengan diiringi sebanyak 1312 orang berjalan kaki datang ke hulu Upang dengan sukacita. Pada 15 hari pertama bulan Asadha [Juni] dengan lega gembira datang membuat benua... srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala!

Pada teks prasasti Kedukan Bukit disebutkan nama Minana dapat diartikan sebagai Binanga. Dalam daftar nama-nama geografi pada era Hindia Belanda, nama yang paling mirip dengan nama Minana adalah Binanga (tidak ditemukan nama Minanga). Raja Kerajaan Aru yang berpusat di Binanga dalam teks adalah Dapunta Hyang. Sedangkan penerima raja Dapunta Hyang dari Binanga adalah Sriwijaya di Hulu Upang. Nama Hulu Upang diduga kuat kini berada di Bangka (lokasi Sriwijaya sebelum ke Palembang).

Dalam teks itu (raja) Dapunta Hiyang mengawali perjalanan awal (sungai) April sebelum memulai pelayaran (perairan pantai) dari Minana (awal Mei). Lalu sebulan kemudian (pertengahan Juni) tiba di tempat tujuan di Hulu (sungai) Upang tepat dimana Raya Sriwijaya berada. Tujuannya adalah untuk meresmikan Sriwijaya. Minana dalam hal ini besar dugaan adalah kota pelabuhan dari Kerajaan Aru (sungai Barumun). Seperti disebut di atas, teks yang digunakan Sanskerta (pra Melayu Kuno, Jawa Kuno) terdapat kosa kata yang khas seperti awalan ‘mar’ pada ‘marlapas’ dan bilangan ‘sapulu dua’ yang diartikan belasan (12) secara histo-linguistik hanya ditemukan pada Bahasa Batak (hingga ini hari). Dengan demikian, tiga kata dalam teks prasasti Kedukan Bukit (Minana, marlapas dan sapulu dua) terhubung dengan nama tempat di daerah aliran sungai Baroemoen. Catatan tambahan: Aroe dalam bahasa India Selatan (Ceylon) adalah air, jadi Kerajaan Aroe adalah Kerajaan Sungai. Nama sungai B-aroe-moen diduga merujuk pada arti sungai (aru). Raja Dapunta Hiyang membawa sendirio tentaranya sebanyak 20.000 oran. Hanya kerajaan yang kaya yang mampu memiliki kemampuan membiayai pasukan sebanyak itu. Kerajaan Aru adalah kerajaan kaya penghasil kamper dan kemenyan.

Nama Binwangan dalam prasasti Laguna (900 M) dan nama Minana dalam prasasti Kedukan Bukit (682) sangat mirip satu sama lain dengan nama Binanga di sungai Barumun, Padang Lawas masa kini. Binanga adalah pelabuhan yang juga ibu kota Kerajaan Aru di masa lampau (pada masa kini di sekitar Binanga terdapat banyak candi-candi era Hindoe Boedha). Jika kita hubungkan dengan pernyataan Mendes Pinto (1537) bahwa Kerajaan Aru terhubung dengan Luzon (Filipina). Hal itulah juga sebab mengapa nama-nama geografis di teluk Manila banyak yang mirip dengan nama-nama geografi di wilayah eks Kerajaan Aru (kini Tapanuli Bagian Selatan). Bukankah ada etnik di pulau Palawan yang mengaku sebagai etnik Batak, etnik yang mirip dengan etnik Aeta di teluk Manila. Lantas, apa arti prasasti Laguna pada masa kini?  Suatu penanda navigasi yang menghubungkan sejarah zaman kuno antara kecamatan Binanga, kabupaten Padang Lawas, provinsi Sumatra Utara, Indonesia dengan Laguna di Metro Manila, Filipina. Dalam hal ini kita tidak perlu berbicara siapa yang pertama mendirikan kerajaan di wiilayan (metro) Manila yang sekarang.

Yang jelas bahwa pada abad ke-7 (682M) dan abad ke-10 (900 M) Kerajaan Majapahit belum ada. Yang ada adalah Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Majapahit baru terbentuk setelah tahun 1298 M. Tentu saja belum ada kerajaan di Minangkabau Kerajaan Pagaroejoeng yang baru terbentuk pada era Adityawarman (meninggal 1375M). Kerajaan Aru masih eksis hingga era Belanda, paling tidak nama Kerajaan Aru masih diidentifikasi pada Peta 1818. Pada tahun1821 Kerajaan Pagarioejoeng dilikuidasi Pemerintah Hindia Belanda. Jauh sebelum muncul Kerajaan Sriwijaya, sudah terbentuk Kerajaan Aru (Kerajaan Panai) dengan pelabuhan di Barus. Literatur Eropa  abad ke-5 menyebut Baruis adalah pelabuhan ekspor kamper (kapur barus). Catatan tertua Ptolomeus pada abad ke-2 menyebuat bagian utara Sumatra adalah penghasil kamper yang banyak. Kerajaan Aru dalam hal ini dapat dikatakan kerajaan sepanjang masa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar