Sabtu, 23 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (189): Peta Blok Minyak di Sumatera Utara, Seberapa Luas? Pangkalan Brandan, Kilang Tertua Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada tambang minyak di (provinsi) Sumatera Utara? Tidak begitu dikenal. Yang lebih dikenal secara umum adalah di Sumatra Selatan, Riau dan Aceh. Tentu saja tidak salah. Meski ada tambang minyak di Sumatra, itu terkesan lebih dekat ke Aceh di wilayah (kabupaten) Langkat. Lantas apakah ada ladang-ladang minyak di Sumatra Utara selain di Langkat? Nah, itu dia. Yang jelas pada masa ini disebutkan di wilayah (kabupaten) Labuhan Bartu  memiliki potensi minyak.

Satu hal yang penting tentang pertambangan minyak di (provinsi) Sumatra adalah pertambangan minyak di Langkat dengan kilang berada di Pangkalan Brandan. Minyak Langkat terbilang produksi pertama di Indonesia yang mulai produksi pada tahun 1892 era Hindia Belanda. lima tahun sebelum Blok Cepu (Blora, Jawa Tengah) menghasilkan. Kilang minyak Pangkalan Brandan bahkan sudah mengekspor ke (pulau) Jawa pafda tahun 1897, Namun persoalannya kawasan minyak Sumatra Utara selama ini hanya dikenal di (kabupaten) Langkat. Lantas bagaimana dengan di wilayah (kabupaten) Labuhan Batu? Lalu apakah masih adakah wilayah (blok) potensial lainnya di Sumatra Utara?

Kawasan dimana terdapat (blok) minyak umumnya terhubung dengan daerah aliran sungai (DAS) besar. Blok Cepu terhubung dengan daerah aliran sungai Bengawan Solo. Kawasan minyak (blok) Langkat terhubung dengan daerah aliran sungai Wampu. Dalam hal ini wilayah minyak (blok) Labuhan Batu di daerah aliran sungai Barumun. Okelah kalau begitu. Lalu bagaimana sejarah sebaran (peta) minyak di Sumatra Utara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai-Sungai Besar di Sumatra Utara: Peta Minyak Sumatera Utara Seberapa Luas?

Tidak ada ladang minyak di wilayah (kabupaten) Asahan? Yang sudah jelas sejak tempo doeloe pada era Hindia Belanda di (kabupaten) ditemukan Langkat. Dan, pada dekade terakhir ini di (kabupaten) Labuhan Batu ditemukan potensi minyak. Tempat pengeboran yang dilakukan dalam eksplorasi berada di desa Aek Hite Toras, kecamatan Merbau, kabupaten Labuhan Batu.

Tidak diketahui apakah di kabupaten Asahan terdapat potensi minyak. Namun, entah bagaimana, para stakeholder minyak bumi di Jakarta menyebut ladang minyak di kabupaten Labuhan Batu dengan nama Blok Kisaran. Padahal di kabupaten Asahan yang beribukota Kisaran belum pernah diketahui adanya potensi minyak. Nama Blok Kisaran kadung sudah mengapung kemana-mana, bahkan di dunia pertambangan internasional. Tentulah itu menjadi persoalan tersendiri. Sebab akan membingungkan posisi GPS dan pemahaman umum. Yang membuat lebih runyam lagi adalah Blok Kisaran, orang akan membayangkan berada daerah aliran sungai Asahan, nyatanya berada di daerah aliran sungai Barumun. Itu sama dengan mengatakan Blok Bangil untuk menamai Blok Cepu. Apa jadinya kalau Blok Peureulak dialamatkan pada Blok Langkat?

Sungai Wampu adalah sungai besar di Langkat. Itulah yang menjadi pangkal perkara adanya potensi minyak ditemukan di Langkat (kini desa Telaga Said, kecamatan Sei Lepan). Bagaimana bisa? Pertanyaan yang sama, adanya potensi minyak di Labuhan Batu karena faktor sungai besar juga, sungai Barumun. Makin membingungkan, bukan?. Yang jelas, sungai Asahan yang berhulu di danau Toba dan bermuara di Kisaran (kini muara di Tanjung Balai) bukanlah sungai besar. Okelah, kalau membingungkan, itu yang akan dideskripsikan. Yang jelas, blok-blok minyak di Indonesia, seperti Blok Cepu, Blok Mahakam dan Blok Rokan, ada hubungannya dengan sungai-sungai besar (sejak zaman kuno).

Sungai besar membawa bahan fosil dari pedalaman berupa sampah tumbuhan atau bahan lumpur tercampur arus air. Sampah-sampah tanaman ini bisa jadi karena aktivitas manusia dalam pembakaran hutan atau bisa juga karena dampak letusan gunung berapi. Lumpur-lumpur juga bisa terbawa karena erosi atau debu vulkanik. Bahan-bahan padat ini di sekitar muara mengendap di kawasan tangkapan air yang dalam jangka panjang terjadi proses sedimentasi yang akhirnya terbentuk daratan di atas permukaan perairan/laut. Proses terbentuknya daratan ini di muara-muara sungai bergeser secara bertahap hingga ke arah laut. Endapan bahan fosil yang sudah berumur tua sejak zaman kuno yang berada di dalam tanah menjadi faktor pembentukan minyak/gas. Hal itulah mengapa ladang minyak/gas yang ditemukan di Langkat dan Labuhan Batu berada jauh di belakang pantai di daratan (pedalaman). Endapan muda yang berada dekat garis pantai biasanya terbentuk batubara dan gambut.

Sungai Wampu berhulu di pegunungan di kawasan Taman Nasional Leuser melalui kabupaten Karo. Sungai Wampu dan sungai Tamiang di utara dan sungai-sungai diantaranya secara bersama-sama membentuk kawasan tangkapan air dimana bahan-bahan padat dan lumpur yang terbawa dari pedalaman mengendap (sedimentasi). Teluk yang awalnya sangat luas menjadi daratan (sisa teluk hanya menjadi Teluk Ara dimana terdapat pulau Sembilan). Adanya gunung api yang aktif sejak masa lampau seperti gunung Sinabung juga menjadi faktor penting percepatan proses terbentuknya endapan di muara-muara sungai di sekitar dua sungai besar tersebut secara berahap (yang menyebabkan garis pantai terus bergeser).

Sebagai contoh, teluk kecil dimana bertemu sungai Deli dan sungai Belawan/Hamparan Perak masih jelas dipetakan pada era VOC/Belanda. Namun dalam perkembangannya di tengah teluk muncul pulau kecil yang lambat laun membengkak (ada faktor pemacu aktivitas manusia di hulu dimana terdapat Kerajaan Deli/Deli Tua). Pulau tersebut disebut Pulau Sicanang. Pulau Sicanang yang berawal dari pulau kecil yang terbentuk dari proses sedimentasi kini telah menyatu dengan daratan (menutupi seluruh teluk. Sungai Deli dan sungai Belawan kemudian mecari jalan sendiri menuju laut. Hal serupa dengan pulau Sembilan pada era VOC/Belanda masih tampak kecil sekarang sudah jauh lebih besar dan jarak ke daratan/pantai makin dekat karena pantai juga bergerak maju. Untuk proses sedimentasi yang luas berada di muara sungai Barumun yang di zaman kuno jauh di pedalaman di Binanga (di suatu teluk pertemuan sungai Barumun dan sungai Batang Pane) yang kemudian akibat terjadinya proses sedimentasi, hingga dua sungai ini menyatu (sebagaimana diketahui terdapat Kerajaan Aru yang situsnya kini berupa candi-candi di Padang Lawas), Sungai yang menyatu ini ke hilir dengan membawa nama sungai Barumun yang awalnya bermuara di Kota Pinang dan terus bergeser hingga ke Labuhan Bilik yang sekarang. Sebelum mencapai Labuhan Bilik yang sekarang, sungai Barumun telah menyatu dengan beberapa sungai yang lebih kecil seperti sungai Kanan dan sungai Bila. Sungai besar Barumun dan sungai Asahan di utara membentuk kawasan tangkapan air yang menjadi kawasan proses sedimentasi berlansung cepat (seperti sungai Barumun dan sungai Asahan mencari jalan sendiri ke laut, demikian juga sungai Kualu).

Pergeseran garis pantai sangat masif di wilayah pantai timur Sumatra (relatif terhadap pantai barat Sumatra yang juga dipengaruhi arus laut yang kuat dari Samiudra Hindia). Sebagaimana secara topografi, pulau Sumatra pada zaman kuno sangat ramping dari utara (Aceh) hingga selatan (Lampung). Semakin besar aktivitas manusia (plus aktivitas gunung api) di pedalaman (di pegunungan) kecepatan pergeseran garis pantai berbeda. Pergeseran yang sangat besar terjadi wilayah tengah dan selatan lebih jikan dibandingkan di utara seperti Langkat/Deli dan Aceh.

Ladang-ladang minyak yang jauh berada di belakang pantai yang sangat luas terdapat di wilayah Sumatra Selatan, Jambi dan Riau. Dalam hal ini proses sedimentasi dari bahan fosil yang menjadi minyak/gas, maka semakin luas terbentuk endapan/daratan semakin luas kawasan yang terbentuk ladang-ladang minyak Hal itulah mengapa ladang-ladang minyak/gas di Langkat dan Aceh tidak seluas di selatan. Kini, di wilayah Sumatra Utara ditemukan lagi ladang minyak di kabupaten Labuhan Batu. Dengan asumsi bahwa telah terjadi sedimentasi (yang mengandung bahan fosil)  di sepanjang pantai timur Sumatra, dengan perbedaan pergeseran garis pantai, boleh jadi di Sumatra Utara tidak hanya di Langkat dan Labuhan terdapat potensi minyak/gas, tetapi juga di Asahan, Batubara, Serdang dan Deli. Apakah tidak pernah berpikir di dalam tanah di Kota Medan yang sekarang terdapat sumber minyak?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pangkalan Brandan di Langkat: Kilang Minyak Tertua di Indonesia

Tidak diketahui secara jelas sejak kapan di Langkat ditemukan sumber minyak. Yang jelas pada tahun 1879 dibentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda di Afdeeling Langkat en Tamian dengan menempatkan seorang controelur di Tandjoeng Peora. Sejak inilah diduga muncul tawaran dari Raja Langkat en Tamiang di Tandjoengpoera sumber minyak di Langkat untuk dikelola.

Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintah di pantai timur Sumatra pada tahun 1863. Controleur ditempatkan di Laboehan (Deli). Pada tahun 1865 Nienhuys mulai membuka kebun di Laboehan. Cukup berhasil. Sementara di wilayah Langkat belum terbentuk pemerintahan, tetapi Raja Langkat en Tamiang Pangeran Indra Diradja Amir telah mengikat kontrak dengan pemerintah. Pada tahun 1875 dibentuk onderafdeeling Medan dengan menempatkan controleur di Medan, sementara di Laboehan statusnya ditingkatkan menjasi Asisten Resident. Pada tahun 1879 di Medan ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan di Laboehan hanya ditempatkan setingkat controelur (tukar tempat). Pada tahun inilah di (afdeeling) Langkat en Tamiang dibentuk cabang pemerintahan dengan menempatkan seorang controelur di Tandjoengpoera (tempat kedudukan raja).. Di Langkat sendiri sudah ada perkebunan yang dibuka (dimiliki oleh Sumatra Tabak Mij. Langkat).

Setahun setelah pembentukan cabang pemerintahan di Langkat, en Tamiang, seorang pengusaha bernama Zeydel mendapat konsesi tambang minyak dari Raja (lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-05-1880). Disebutkan di Langkat, di di Sumatra’s Oostkust, seorang bernama Zeydel, telah mendapat (hak) konsesi dari pangeran Langkat, untuk mendirikan perusahaan minyak, wilayah tersebut memiliki deposit yang kaya yang tidak perlu mengebor, satu sumur yang akan diusahakan g akan menghasilkan 800 liter sehari.

Keberadaan tambang-tambang di berbagai tempat di Hindia Belanda sudah sejak lama diketahui, namun dalam pengusahaanya selalu terhambat (lihat Het Zuid Afrikaansche tijdschrift, 1880). Majalah ini juga menyebutkan konsesi yang diperoleh Zeydel telah diuji di Batavia memiliki kualitas yang baik. Disebutkan hak konsesi itu akan berlangsung selama 75 tahun.

Siapa Zeijdel tidak begitu jelas. Yang jelas adalah laporan industri pertambangan untuk kuartal ke-2 tahun 1880 di Hindia Belanda diumumkan ke publik (lihat Algemeen Handelsblad, 15-10-1880). Disebutkan Hoofdbureau en Chemisch Laboratorium melaporkan minyak dari Langkat yang terletak di anak sungai Pangkalan-Papan yang diserahkan oleh AJ Zijlker setelah diteliti (diuji) memiliki karakteristik sebagai berikut: […]. Besar dugaan Zeijdel adalah investor, sedangkan AJ Zijlker adalah insinyur pertambangannya.

Diantara karakteristik yang diuji di laboratorium pemerintaha  Hindia Belanda di Batavia itu antara lain; Berat jenis minyak coklat-kuning adalah 0,825 pada suhu 28°C; minyak mulai mendidih antara 130° dan 140 °C; Dengan prosedur tertentu, dengan berat minyak 52.9 persen minyak lampu memiliki kualitas yang sangat baik. Saat dibakar, dalam kondisi yang sama, ia mengeluarkan cahaya yang lebih terang daripada minyak bumi Amerika.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar