*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Kita tidak tengah membicarakan drama (sinetron) Saat Memberi Saat Menerima, tetapi kita sedang memmpelajari fakta dan data sejarah. Fakta bahwa Reoublik kita ini, pernah mengalami sekarat, ketika pemimpin negeri ditawan Belanda (NICA) yang menyebabkan dibentuk pemerintahan darurat di daerah terpencil yang berhutan belantara. Sebaliknya ada wilayah Indonesia yang dengan angkuhnya membelakangi para Republiken yang berjuang di medan perang (melawan KNIL/Belanda) dan bahagia dipelukan negara penjajah. Ironis memang. Tapi begitulah fakta dan data sejarah yang ada. Ibarat judul sinetron Saat Memberi Saat Menerima.
Lantas bagaimana sejarah era Federalis versus Republiken? Seperti disebut di atas, pembentukan negara federal adalah pemisahan wilayah dari negara Republik Indonesia yang mana negara federalis didukung Belanda. Dalam hal ini para pemimpin di sisa Republik Indonesia (Republiken) terus berjuang untuk mempersatukan bangsa (NKRI). Lalu bagaimana sejarah era Federalis versus Republiken? Yang jelas penduduk Indonesia terbelah dua menjadi pendukung negara federal (Federalis) dan pendukung negara kesatuan (Republiken). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Era Federalis versus Republiken: Asal Usul Terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT)
Gagasan negara federal bermula di Makassar. Gagasan itu semakin mengerucut pada Konferensi Malino yang diadakan pada pertengan bulan Juni 1946. Lantas mengapa tidak bermula di Batavia? Hal itu karena di Bataavia, Sekutu/Inggris masih bekerja, sebagai pusat Sekutu/Inggris untuk melaksanakan pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang. Sementara itu, di wilayah Batavia sendiri masih belum benar-benar belum aman bagi Belanda/NICA jika pun ingin membentuk pemerintahan federal. Demikian juga mengapa tidak bermula di Medan atau kota-kota besar lainnya. Munculnya gagasan negara federal di Makassar karena adanya faktor Nadjamoeddin Daeng Malewa dan para eks interniran Eropa/Belanda di Makassar.
Setelah Kerajaan Jepang menyerah kepada Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1945, semua militer Jepang di seluruh Asia-Pasifik harus menunggu langkah lebih lanjut (wait en see). Tidak boleh melakukan aktivitas apa pun, berdiam diri di markas tetapi dapat mempertahankan diri jika diserang. Saat situasi inilah setelah negosiasi pimpinan Sekutu/Inggris di Singapoera bernegosiasi dengan Pemerintahan Republik Indonesia pasukan Sekutu/Inggris memasuki wilayah Indonesia. Untuk wilayah Indonesia bagian timur didelegasikan yang dibantu oleh pasukan Australia. Pada tanggal 4 September kamp interniran Eropa/Belanda di Makassar dibuka dan para tahanan khususnya orang Belanda bernafas lega.
Setelah para interniran Eropa/Belanda dibebaskan di Makassar pada tanggal 4 September 1945 (oleh pasukan Inggris/Australia), tentulah para interniran itu mati langkah dan tidak bisa bergerak kemana-mana karena mereka tidak memiliki apapun di tempat lain bahkan di negerinya sendiri di Belanda. Mereka hanya punya aset di wilayah Sulawesi Selatan khususnya di Makassar. Hal itu para eks interniran ini terikat dengan sendirinya dengan kota Makassar.
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, mulai dibentuk Pemerintah Republik Indonesia di Djakarta. Presiden adalah Ir Soekarno dan Wakil Presiden adalah Drs Moahamad Hatta. Lalu kemudian diangkat para gubernur di delapan wilayah (provinsi). Gubernur provinsi Sulawesi adalah Dr Sam Rarulangi dengan kedudukan di Makassar (ibu kota provinsi). Hal yang sama di Maluku (Ambon), Borneo (Bandjarmasin) dan Soenda Ketjil di Denpasar. Para Gubernur ini mengawali pekerjaan dengan membentuk dewan (gabungan para pemimpin daerah dan tokoh setempat). Ketua dewan yang terbentuk adalah Nadjamoeddin Daeng Malewa di Sulawesi Selatan yang berkedudukan di Makassar.
Para eks interniran Eropa/Belanda dengan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi mulai berinisiatif membangun dirinya sendiri dengan membentuk sendiri Komite Ekonomi. Lalu komite inilah yang berkonsultasi dengan Dewan yang sudah terbentuk (yang dipimpin oleh Nadjamoeddin Daeng Melewa). Para eks interniran ini kemudian segera memimpin di bidang ekonomi di Makassar, karena mereka telah mengambil/menduduki kembali aset-aset mereka (sebelum era pendudukan militer Jepang). Kerjasama antara orang-orang Eropa/Belanda dengan orang-orang Indonesia di Makassar terus dipupuk dan diupayakan. Namun dalam hal ini posisi Nadjamoeddin Daeng Malewa yang dapat dikatakan orang yang memiliki portofolio tertinggi di Makassar dalam dilema.
Beberapa minggu setelah kerjasa ma yang terbentuk di Makassar, pasukan pendudukan pertama dan detasemen NICA mendarat di Makassar. Prosesnya berjalan lancar, tidak seperti di Jawa dan Sumatra yang disambut dengan perang. Mengapa berjalan lancar? Tentulah tidak hanya karena sudah ada bentuk kerjsama yang telah dirintis, tetapi ada konspirasi bahwa antara para eks interniran Eropa/Belanda di Makassar dengan Korps NICA di Batavia, untuk menjadikan Makassar sebagai pusat pembentukan negara-negara federal di Borneo dan Indonesia Timur. Dalam hal ini diduga, setelah ada pasukan NICA di Makassar, kartu As dipegang oleh para eks interniran yang telah membentuk Komite Ekonomi. Kartu As ini diduga kartu yang bisa mematikan langkah Nadjamoeddin Daeng Malewa yakni Nadjamoeddin Daeng Malewa dapat dituntut karena melakukan kesalahan besar pada era pendudukan militer Jepang. Hal serupa ini terjadi/dialami oleh pemimpin daerah di Batavia pada era pendudukan militer Jepanng.
Pemerintan Hindia Belanda/NICA mulai menekan Nadjamoeddin Daeng Malewa. Tampaknya Nadjamoeddin Daeng Malewa berada diantara dua pilihan yang sulit: bekerjasama dengan Belanda/NICA atau dituntut (karena perbuatan melanggar hukum pada era pendudukan militer Jepang)? Tentu saja Nadjamoeddin Daeng Malewa memilih kerjasama, tetapi pihak Belanda/NICA memiliki rencana besar yakni pembentukan negara federal. Nadjamoeddin Daeng Malewa mulai dieksploitasi untuk tujuan rencana tersebut. Nadjamoeddin Daeng Malewa kini berbalik 180 derajat, yang awalnya pro Republik (Indonesia) menjadi membelakangi Republik Indonesia.
Kota Makassar adalah kota paling besar di Indonesia Timur. Kota terpenting di Indonesia Timur. Kota yang akan dijadikan sebagai ibu kota Negara Indonesia Timur (NIT). Satu tokoh terpenting di kota Makassar sejak era pendudukan militer Jepang adalah Nadjamoeddin Daeng Malewa. Kesalahannya di masa sebelumnya menjadi umpan besar bagi Belanda/NICA yang dipimpin oleh HJ van Mook untuk mengkreasi layanan politik baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Posisi Nadjamoeddin Daeng Malewa yang kuat, kedalam dapat mempengaruhi para pemimpin lokal, dan memberi sinyal kerjasama yang kaut dengan Belanda/NICA dan kemampuan pribadinya dapat mempengaruhi opini publik di dunia internasional. Tulisan Nadjamoeddin yang dimuat pada majalah Economisch Weekblad menjelang konferensi Malino yang dilansir oleh surat kabar yang terbit di Soerabaja Nieuwe courant, 19-06-1946 dengan judul Economische aspecten van de Groote Oost en Borneo terkesan sedikit terburu-buru (terlalu pagi) jika dibandingkan situasi dan kondisi secara nasional. Ini adalah suatu kampanye Belanda/NICA melalui nama Nadjamoeddin Daeng Malrwa. Dalam artikelnya, disebutkan menurut Nadjamoeddin Daeng Malewa bahwa ‘dalam diri kita dan khususnya di Indonesia yang berpikir secara sadar di Sulawesi Selatan dan di tempat lain, lebih dari yang dipikirkan banyak orang, dorongan untuk merdeka. Namun, yang sangat kami tolak adalah kekacauan, yang tentunya tidak cocok dengan orang Bugis dan Makassar yang mengakar dalam adatnya. Berjuang untuk kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri, bekerja sama dengan Belanda adalah keinginan dan keinginan sebagian besar orang’. Posisi NDM dan isi artikelnya akan menjadi amunisi yang strategis menjelang konferensi Malino. Selanjutnya pada konferensi Malino isi artikelnya dibawakan kembali dengan sloy waktu khusus bagi NDM selama satu jam berbicara, durasi waktu paling besar diantara para peserta,
Taktik Belanda/NICA mengeksploitasi NDM berhasil yang puncaknya pada konferensi Malino dan akan dilanjurkan berikutnya konferensi Denpasar. Meski demikian, pada waaktunya akan terlihat NDM akan dibuang, karena dua tokoh lain yang dipromosikan adalah Sukowati dari Bali dan Sultan Hamid II dari Pontianak. Dapat dikatakan tiga tokoh ini adalah tokoh kunci dalam rencana besar pembentukan negara-negara federal.
Dua tokoh terakhir ini segera berangkat ke Belanda dan NDM diarahkan untuk urusan dalam negeri. Urusan dalam negeri yang pertama adalah penyelenggaraan konferensi Denpasar untuk internal Sulawesi, Maluku dan Soenda Ketjil yang dihubungkan dalam pembentukan dan pengesahan Negara Indonesia Timur. Soekowati akan dinominasikan sebagai pemimpin NIT sebagai presiden dan NDM akan ditunjuk untuk membentuk kabinet (hal yang sama untuk Soeltan Hamid II dalam urusan di Borneo).
Segera setelah konferensi Denpasar, dapat diduga koran-koran di Belanda akan menggarisbawahi pernyataan-pernyataan Nadjamoeddin Daeng Malewa selama konferensi (temasuk konferensi sebelumnya di Malino). Yang jelas pernyataan NDM telah dikutip untuk menunjukkan opini keseluruhan para peserta konferensi Denpasar.
Surat kabat paling berpengaruh di Belanda, Algemeen Handelsblad, 21-12-1946 memberi judul yang diinginkan oleh orang-orang Belanda/NICA yakni "Orang Indonesia Mengulurkan Tangan untuk Menerima Orang Belanda". Judul ini akan sesuai waktu dengan penyelenggaraan perundingan :Linggarjati di Jawa (soal gencatan senjata dan perluasan wilayah otoritas Belanda/NICA).
Dalam konferensi Denpasar secara bulat presiden adalah Soekowati dan NDM ditunjuk untuk membentuk kabinet NIT. Urusan besar yang pertama Belanda/NICA selesai sudah. Seperti kita lihat nanti, NDM akan menyadari apa yang telah dilakukannya, yang boleh jadi bertentangan dengan nuraninya dengan keinginan murni para pemimpin lainnya dan penduduk Silawesi Selatan (termasuk di Makassar). Eksploitasi Belanda/NICA terhadap NDM sukses, tinggal sisa NDM yang akan dibuang atau dikubur dalam-dalam.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Federalis versus Republiken: Saat Memberi dan Saat Menerima
Sadar tidak sadar, Nadjamoeddin Daeng Malewa telah memberikan segala yang terbaik untuk kepentingan Belanda/NICA. Pemberian itu sangat begitu berarti bagi Belanda/NICA terutama pada fase-fase awal orang-orang Belanda kembali bercokol di bumi Indonesia yang telah diproklamasikan kemderdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketika NDM mulai dibuang di wilayah Negara Indonesia Timur, kenyataan pahit terus dialami oleh para Republiken terutama di Jawa dan Sumatra. Saat para Republiken menerima kenyataan pahir dari waktu ke waktu, yang dimulai dengan aksis polisional yang pertama, efek domino keberhasilan pembentukan Negara Indonesia Timur mulai terasa di sebagian wilayah Jawa dan Sumatra (yang telah dikuasai Belanda/NICA).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar