*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Ada sebanyak 27 pahlawan Indonesia yang telah ditabalkan sebagai Pahlawan nasional berasal dari (provinsi) Jawa Timur, salah satu diantaranya Mr Moehammad Mangoendiprodjo. Pada akhir karirnya, Mr Moehammad Mangoendiprodjo menjabat sebagai Residen Lampung. Moehammad Mangoendiprodjo mengawali karir sebagai pegawai pemerintah di wilayah Jawa Timur pada era Pemerintah Hindia Belanda.
Lantas bagaimana sejarah Mr Moehammad Mangoendiprodjo? Seperti disebut di atas, Moehammad Mangoendiprodjo mewakali karir sebagai pegawai pemerintah pada era Pemerintah Hindia Belanda dan pada masa perang ikut berjuang yang kemudian sebagai perwira tinggi TNI diangkat menjadi Residen Lampung. Lantas bagaimana sejarah Moehammad Mangoendiprodjo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Nasional Mr Moehammad Mangoendiprodjo Asal Jawa Timur
Kerajaan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945 menyerah kepada Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Beberapa hari kemudian di Djakarta kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terus bekerja. Pada tanggal 18 Agustus UUD diselesaikan dan dipilih Presiden (Ir Soekarno) Wakil Presiden (Drs Mohamad Hatta). Keesokan harinyanya membahas susunan kabinet pembagian wilayah Republik Indonesia (dimana pulau Sumatra sebagai satu provinsi). Salah satu dari tiga anggota PPKI asal Sumatra ditunjuk sebagai Gubernur Sumatra, Mr T Mohamad Hasan. Dua yang lain adalah Dr Mohamad Amir dan Mr Abdoel Abbas Siregar.
Tiga anggota PPKI asal Sumatra berangkat ke Medan (sebagai ibu kota provinsi). Mr Abdoel Abbas Siregar bertugas untuk membentuk badan konstituante di tiga wilayah yang dibentuk (Utara di Medan, Tengah di Padang dan Selatan di Palembang) yang secara keseluruhan terdiri dari delam residentie. Dalam perkembangannya Mr Abdoel Abbas Siregar diangkat sebagai Residen untuk residentie Lampoeng. Wilayah Lampong sudah dikenalnya sejak era Pemerintah Hindia Belanda karena setelah lulus sarjana hukum di Rechthoogeschool bekerja sebagai advocaat di Lampoeng.
Namun dalam perkembanganya kembali Belanda/NICA yang berada di belakang Sekutu Inggris. Perang terjadi di Medan yang pada akhirnya ibu kota dipindahkan dari Medan ke Pematang Siantar. Untuk mendukung pemerintah di pengungsian, Residen Lampong Mr Abdoel Abbas Siregar dipindahkan sebagai Residen Sumatra Timur yang juga mengungsi ke Pematang Siantar.
Seperti di berbagai kota dan wilayah penduduk Indonesia terbelah ada yang bekerjasama dengan Belanda/NICA dan ada yang tetap Republiken dimana para pemimpin dan pemerintahannya mengungsi ke luar kota termasuk di Djakarta, Medan, Soerabaja dan Teloek Betoeng (Lampung), Di Lampong muncul kelompok tertentu yang mengatasnamakan hasil kongres rakyat dan melakukan kudeta dan menggantikannnya dengan yang lain Badril Munir. Residen baru yang diangkat tersebut ternyata tidak kapabel lalu digantikan oleh Rukito Wiryoharjo. Mr. Abdul Abbas kemudian ditarik ke pusat dan kemudian dikirim ke Sumatra Utara menjadi Residen Sumatra Timur yang lalu kemudian mengungsi ke Pematang Siantar. Sementara di Lampung, Residen Rukito tidak bersedia mengungsi tetapi sebaliknya berkolaborasi dengan Belanda. Lalu tokoh-tokoh Lampung di pengungsian mengangkat Gele Harun Nasoetion menjadi Residen Lampung di pengungsian. Mr. Abdul Abbas dan Mr. Gele Harun yang pernah sama-sama advocaat di Lampong pada era Hindia Belanda kini, sama-sama menjadi Residen di pengungsian, berjuang melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Di Soerabaja juga para pemimpin Republik Indonesia terus berjuang dan kemudian mengungsi ke Modjokerto. Gubernur Jawa Timur RMT Ario Soerjo (mantan Bupati Magetan pada era Hindia Belanda dan mantan Residen Bodjonegoro pada era pendudukan Jepang) dan Wali Kota Soerabaja Radjamin Nasoetion (mantan anggota dewan kota senior Soerabaja pada era Hindia Belanda dan mantan wali kota Soerabaja pada era pendudukan Jepang) juga ikut mengungsi ke Modjokerto. Oleh karena terus terdesak oleh Belanda/NICA Gubernur Soerjo dan Wali Kota Nasoetion pindah ke Djombang dan akhirnya Toeloengagoeng.
Tentara Indonesia yang sudah terbentu (TRI kemudian menjadi TNI) terus berjuang di front melawan tentara Belanda/NICA (KNIL). Pada bulan Mei 1946 di ibukota RI di pengungisan (Jogjakarta) tentara Indonesia direorganisasi oleh Menteri Pertahanan Mr Amirsjarifoeddin Harahap yang dibantu oleh Soeltan Djogja (sebagai kepala daerah) dan Kolonel Zulkifli Lubis (kepala intelijen). Struktur baru ini diumumkan oleh Menteri Pertahanan dimana Kolonel Soedirman dipromosikan sebagai panglima tertinggi dengan pangkat jenderal (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Dalam struktur baru sebagai Kepala Staf diangkat Oerip Soemohardjo dengan pangkat Letnan Jenderal. Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi. Untuk kamandan wilayah (teritorial) seluruh Jawa dibagi ke dalam tujuh divisi. Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 (Siliwangi) dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-6 (Brawijaya) Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf. Beberapa perwira tinggi di wilayah Brawijaya antara lain Overste Dr Irsan Radjamin (bidang kesehatan; anak wali kota Soerabaja) dan Overste Ir Mo Parlindoengan (bidang persenjataan) serta Overste (Letnan Kolonel) Mohamad Mangoendiprodjo.
Akhirnya perang harus berakhir (gencatan senjata) dan dilanjutkan perundingan ke Konferensi KMB di Den Haag. Hasil perundingan, Kerajaan Belanda mengakuai kedaulatan Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari gabungan Negara Republik Indonesia dengan negara-negara federal. Pengakuan ini berlaku sejak 27 Desember 1949. Sisa wilayah RI saat itu di Jawa hanya tinggal wilayah Jogjakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah dan sebagian wilayah Jawa Timur yang berdekatan dengan ibu kota RI di Jogjakarta seperti Bagelan, Kediri, Ponorogo, Djombang dan Toeloengagoeng. Seementara di Sumatra dua negera federal terbentuk (Negara Sumatra Timur dan Negara Sumatra Selatan). Sedangkan sisanya sebagian diduduki Belanda/NICA dan sebagian dikuasai RI seperti pedalaman Tapanoeli, pedalaman Lampoeng serta pedalaman Sumatra Barat.
Seiring dengan pembentukan tentara RIS (APRIS) yang terdiri dari TNI dan KNIL maka sebagian mantan pejuang (TNI) tidak tertampung di APRIS. Apalagi sebagian dari KNIL yang pribumi telah banyak yang di-TNI-kan. Sejumlah perwira ditempatkan pada jabatan strategis seperti Dr Ibnoe Soetowo menjadi direktur Pertamina di Tjepoe, Ir AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai direktur Pabrik Sendjata dan Mesioe (PSM) di Bandoeng (kini PINDAD), Dr Irsan Radjamin sebagai kepala direktorat kesehatan Divisi Brawijaya di Soerabaja dan Mohamad Masngoenprodjo sebagai Bupati Ponorogo (wilayah gerilya TNI selama perang kemerdekaan). Sedangkan di Lampoeng, Residen Mr Gele Haroen di pengungsian kembali ke kota dengan tetap menjabat sebagai Residen Lampoeng.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Residen Lampung dari Masa ke Masa: Mr Abdoel Abbas Siregar hingga Mr Moehammad Mangoendiprodjo
Pada era pemerintahan RIS yang menjadi Presiden adalah Ir Soekarno, sedangkan pemimpin pemerintahan RIS adalah Perdana Menteri Mohamad Hatta. Sedangkan sisa wilayah Republik Indonesia yang beribukota Jogjakarta diangkat Mr Assaat sebagai Presiden RI dan yang memimpin pemerintahan RI adalah Perdana Menteri Dr Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Dalam hal ini meski sudah terbentuk Negara RIS, negara RI masih eksis (sebagaimana yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945).
Abdoel Hakim Harahap pada era perang adalah Residen Tapanoeli yang mengungsi dari satu tempat ke tempat lain di wilayah pedalaman Tapanoeli. Hal ini karena kota-kota sudah diduduki Belanda/NICA. Pada saat gencatan senjata, Abdoel Hakim Harahap ditunjuk sebagai penasehat delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag. Posisinya sebagai Residen Tapanoeli digantikan oleh Mr Abdoel Abbas Siregar. Sepulang dari KMB, Abdoel Hakim Harahap tidak kembali ke Tapanoeli tetapi ke ibukota RI di Jogjakarta seiring dengan pembentukan pemerintahan RIS yang beribukota di Djakarta (dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta). Abdoel Hakim Harahap kemudian diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri RI.
Di Ponorogo (wilayah RI), bupati Mohamad Mengoendiprodjo sangat sibuk karena banyak hal yang harus direhabilitasi dan direkonstruksi karena kerusakan akibat perang. Pada bulan Maret Presiden Mohamad Assat melakukan kunjungan dinas ke wilayah Ponorogo dan sekitar untuk menyambangi penduduk yang sangat menderita akibat perang (lihat Nieuwe courant, 22-03-1950). Disebutkan Presiden Assaat berkunjung ke kabupaten Ponorogo yang disambut oleh bupati Ponorogo Mohamad [Mangoendiprodjo] mantan Majoor Jenderal TNI.
Dari berita ini diketahui yang telah pensiun dari tentara (TNI) telah menadapat kenaikan pangkat dengan pangkat terakhir Mjoor Jenderal. Dalam berita ini disebutkan bahwa si sekitar Ponorogo, dimana biasanya banyak perampokan (selama perang) kini menjadi sangat aman karena kebijakan bupati Ponorogo yang tegas namun bijaksana. Dalam hal ini boleh jadi Mohammad Mangoendiprodjo yang perwira tinggi diperlukan di wilayah untuk menormalkan kembali keamanan sehingga ditunjuk pemerintah untuk menjabat sebagai bupati (karena pada era Hindia Belanda sudah menjadi pejabat). Dengan jabatan sipil sebagai bupati maka sebagai militer harus pensiun dini.
Namun dalam perkembangannya situasi cepat berubah. Sejumlah negara federal membubarkan diri sehingga Presiden RIS Soekarno membubarkan RIS pada saat peringatan hari kemederkaan tanggal 17 Agustus 1945 yang kemuduan keeseokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1959 diproklamasikan NKRI (kembalinya ke negara kesatuan RI). Hal itu dengan sendirinya pemerintaha RI di Jogjakarta membubarkan diri karena Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta telah menempati kembali jabatannya di RI. Sejak ini para Republiken (dari pengungsian) mulai mengisi banyak posisi terutama di wilayah-wilayah eks federal.
Sementara itu di Soerabaja diangkat Gubernur Jawa Timur yakni Milono (RI) untuk menggantikan Samadikun (RIS). Untuk Wali Kota Soerabaja diangkat Doel Arnowo. Sedangkan Radjamin Nasoetion yang kembali dari pengungsian menjabat sebagai Ketua DPRD Soerabaja. Tentu saja Bupati Mohamad Mangoendiprodjo tetap pada posisinya sebagai bupati Ponorogo,
Bupati Mohamad Mangoendiprodjo di Ponorogo semakin sibuk pula. Hal ini karena Presiden Soekarno menikah (lagi) dengan Hartini pada tanggal 28 Agustus 1954. Rumah orang tua Hartini (Murawi) beralamat di djalan Bintoro Katong No 61, Kertosari, Ponorogo (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 05-10-1954). Semua menjadi gempar di Ponorogo, lebih-lebih bupati Mohamad Mangoendiprodjo akan menjadi sering membuat persiapan jika Presiden Soekarno atau ibu negara berkunjung ke Ponorogo.
Di Lampoeng, Residen Mr Gele Haroen Nasoetion juga sangat sibuk. Pada saat Gubernur Sumatra Selatan Winarno Danuatmodjo (seorang Republiken) sepulang dinas dari Djakarta melalu Lampoeng dan naik kereta api ke Palembang. Di Lampoeng Mr Gele Haroen (seorang Republiken) menyambutnya dengan tangan terbuka (lihat Indische courant voor Nederland, 02-02-1955). Disebutkan dalam penyambutan ini Residen Gele Haroen didamping oleh Bupati Lampung Selatan Zainal Abidin. Sebulan kemudian diberitakan Indische courant voor Nederland, 23-03-1955 ‘Residen Lampong, Gele Haroen menyatakan setelah kunjungannya ke pusat-pusat transmigran di Lampung Utara dan Lampung Tengah, bahwa dia puas dengan kemajuan yang dibuat oleh para transmigran yang dipindahkan ke Lampong pada tahun 1951 dan 1952. Saat ini terdapat 500 keluarga transmigran, terdiri dari 2.500 jiwa, di kawasan transmigrasi Pradja. Saat dibuka pada Agustus 1952, hanya ada 200 keluarga’.
Pada tahun 1955 Kabinet Ali Sastroamidjojo mengundukan diri. Kabinet baru dengan Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap menempatkan Menteri Dalam Negeri dari partai NU. PNI menjadi oposisi. Korban pertama dari permainan politik di pusat memakan korban. Dua posisi jabatan starategis menjadi korban yakni Wali Kota Seamrang dan Residen Lampoeng dimutasi (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 15-10-1955). Siapa penggantinya tidak diinformasikan.
Dalam perkembangannya terjadi eskalasi politik di Sumatra pada akhir tahun 1956. Letnan Kolonel Achmad Husein membentuk dewan Banteng. Kemudian di Medan dibentuk Dewan Gajah (Kolonel M Simbolon) dan di Palembang dibentuk dewan Garuda (Letnan Kolonel Barlian). Dewan Banteng di Sumatra Tengah menyingkirkan pemerintah pusat. Gubernur Ruslan Muljohardjo dikenakan tahanan rumah di Bukittinggi (lihat Indische courant voor Nederland, 30-01-1957).
Untuk menjaga situasi dan kondisi di Lampoeng agar tidak terpengaruh eskalasi politik dari dewan Garuda pemerintah pusat mencari pemimpin Lampung yang sesuai. Pemerintah pusat kemudian mempromosikan mantan bupati Ponorogo Mohamad Mangoendiprodjo. Dengan demikian Mohamad Mangoendiprodjo mendapat kenaikan jabatan dari bupati menjadi Residen. Figur Mohamad Mangoendiprodjo diperlukan di Lampoeng karena mantan tentara. Presiden Soekarno melakukan kunjungan sehari ke Lampong (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 20-03-1957). Presiden di Lampong disambut oleh Residen Mohamad Mangoendiprodjo dan Komandan Resimen VI Letnan Kolonel Worang. Untuk komandan Sumatra telah diangkat Majoor Jenderal Mokoginta. Pada bulan Juni Letnan Kolonel Barlian dan Residen Lampoeng soal masalah transmigrasi (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1957).
Mokoginta dan Worang adalah pengalaman kedua bagi mereka. Sebelumnya pada pemberontakan Kapten Andi Azis di Makassar, pasukan Andi Azis memblokade rumah Letnan Kolonel Mokoginta (panglima Indonesia Timur). Pada saat datang Major Worang dengan membawa satu batalion dari Jawa dihadang pasukan Andi Azis di pelabuhan. Saat itu KASAD Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion berhasil menjinakkan Kapten (eks KNIL) Andi Azis dengan persuasif memintanya datang ke Jakarta untuk melapor dan kemudian ditangkap.
Dalam mengatasi situasi di Sumatra, Panglima Jenderal Abdoel Haris Nasoetion, selain memperkuat posisi di Lampong dimana Mokoginta dan Worang dengan Residen Perang Mohamad Mangoendiprodjo, mempromosikan Kepala Staf TT-II/BB Letkol Jamin Ginting sebagai Pangdam TT-II/BB. Ini dengan sendirinya Kolonel Simbolon digantikan. Lalu kemudian Letnan Kolonel Barlin adapat diatasi di Palembang. Tinggal di Sumatra Tengah yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
Dalam perkembangannya setelah diproklamirkan PRRI di Sumatra Tengah, Presiden Soekarno membuat keputusan perang. Presiden Soekarno memerintahkan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion. Lalu Mabes TNI mengangkat KASAD Letnan Jenderal Achmad Yani sebagai Komandan Operasi. Saat serangan dimulai, ketika inspeksi dilakukan Jenderal Jenderal Abdoel Haris Nasoetion di Pekanbaru menemukan semua wilayah Sumatra Tengah sudah terkepung, tetapi kemudian Jenderal Nasoetion memerintahkan Yani untuk membuka koridor utara (wilayah Tapanoeli Selatan, kampong halaman Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sendiri), Boleh jadi Achmad Yani bertanya-tanya mengapa? Serangan dimulai yang dimulai dari pantai barat melalui laut dan udara. Dengan semakin derasnya serangan, maka banyak pula para pemimpin dan perwira PRRI yang melarikan diri melalui koridor utara. Saat inilah pasukan TT-II/BB di bawah Letnan Kolonel Jamin Ginting menangkapi satu persatu dan menjebloskannya ke penjara. Mungkin sehabis perang, Letnan Jenderal Achmad Yani baru menyadari taktik Jenderal Abdoel Haris Nasoetion membuka koridor utara (tujuan berhasil dengan korban minimal). Ya, itulah Raja Perang Gerilya banyak taktiknya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar