*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Nama tempat (nama geografi) dan toponimi adalah dua
hal yang berbeda. Nama geografi adalah nama yang disebut, dicatat dan
dikomunikasi dalam era sejarah yang berbeda. Perbedaan itu karena pengaruh lokal
dan pengaruh asing (Latin India Cina Portugis Belanda Inggris). Pengaruh Belanda
sendiri dapat berbeda antara era VOC dan era Pemerintah Hindia Belanda.
Sementara itu, toponimi adalah surtu pendekatan dalam studi untuk melacak nama
masa lalu yang sesuai dengan nama masa kini karena perngaruh sejarah yang
berbeda di masa lampau. Dalam kontreks inilah kita membicarakan persoalan nama
geografi dalam studi sejarah Indonesia.
Di laman Wikipedia terdapat deskripsi gagasan penamaan suatu tempat (proposal), yang menjabarkan pedoman penamaan untuk lokasi geografis bahasa Indonesia yang prinsip, aturan penamaannya mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau pedoman lain dari Pusat Bahasa dan Badan Informasi Geospasial, Proposal. Untuk pedoman penamaan lokasi/tempat yang saat ini diterapkan di Wikipedia, lihat Pedoman penamaan#Nama geografis. Pedoman tersebut dirasa tidak lengkap dan proposal ini dibuat untuk melengkapinya. Pedoman umum. Nama geografis (toponimi) terdiri dari dua unsur: nama generik dan nama spesifik. Nama generik adalah nama yang menggambarkan bentuk (bentang alam) dari unsur geografis tersebut, seperti pulau, danau, selat, gunung, lembah, dan sebagainya. Nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari unsur geografis dan digunakan sebagai unit pembeda antar unsur geografis. Nama spesifik yang sering digunakan untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya ’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’, atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’, dan lain sebagainya. (selengkapnya ...). Dengan demikian, setiap penamaan suatu unsur geografis di Wikipedia harus lengkap mencakup nama generik dan nama spesifik (tetapi lihat Tambahan 2 di Pedoman 2). Sesuai dengan kaidah pengejaan, baik nama generik maupun nama spesifik diawali dengan huruf kapital, karena keduanya membentuk nama diri. Contoh: Pulau Bali, bukan Bali; Pulau Lombok, bukan Lombok; Selat Karimata, bukan Karimata; dan Lembah Anai, bukan Anai. Nama generik geografis bentang alam perlu dibedakan dari nama generik daerah/tempat (kota, kampung, dusun) atau satuan administratif (provinsi, kecamatan, desa, Kota). Nama daerah/tempat atau satuan administratif dapat memakai nama generik geografis bentang alam sebagai nama spesifik, seperti Bukittinggi, Ciamis, atau Bulukumba. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah persoalan nama-nama geografi dalam studi sejarah? Seperti disebut di atas, studi topnomi sudah lama dilakukan mengingat berbgai faktor sejarah (misalnya era sejarah Eropa) yang mempengaruhi (perubahan) nama suatu tempat (dalam hal ini di Indinesia/Nusantara). Lalu bagaimana sejarah persoalan nama-nama geografi dalam studi sejarah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Persoalan Nama-Nama Geografi dalam Studi Sejarah: Toponimi dan Penulisan Narasi Sejarah
Dalam penelitian sejarah, pendekatan toponimi dilakukan untuk menentukan nama geografi dalam hubungannya pada soatu peristiwa sejarah, terutama sejarah di masa lampau. Semakin jauh ke belakang pendekatan toponimi ini semakin sulit dilakukan, tetapi hanya satu-satunya dianggap pendekatan yang sesuai untuk memastikan nama masa kini dengan catatan tertulis di masa lalu. Misalnya, soal nama-nama yang disebut dalam catatan geografis dan peta-peta Ptolomeus abad ke-2 dan nama-nama tempat yang terdapat dalam catatan Tiongkok dari dinasti ke dinasti. Bahkan nama-nama yang memerlukan pendekatan toponimi termasuk nama-nama yang disebut pada era Portugis.
Pada tahap pertama penentuan nama geografis tersebut adalah apa yang tertulis
di masa lampau, karena berbagai aksara dan ejaan yang digunakan, sehingga
diperlukan pemahaman apakah nama tersebut bersesuaian dengan nama-nama geografis
masa kini. Contoh: pada era Prolomeus diidentifikas nama Tacola di semenanjung
Aurea Chersonesus (yangdiduga pulau Sumatra dan semenanjung Malaya) apakah nama
itu nama Angkola pada masa ini? Pada era Kerajaan Chola (abad ke-11) dicatat
nama Takkolam (di seputar selat Malaka). Lantas apakah nama Takola, Takkolam
dan Angkola menunjukkan nama geografis yang sama? Hal serupa itu juga nama yang
dicatat dalam Dinasti Ming San-bo-tsai dan Poe-lin-pang apakah nama itu nama
geografis di Sumatra Tambusai dan Palembang. Pada tahap kedua, nama-nama yang
dianalisis (termasuk nama yang persis sama) apakah penempatannya sesuai dengan
fakta yang sebebenarnya dengan nama-nama yang sekarang dimana secara geografis
nama itu berada. Contoh: Apakah nama Pou-lin-pang yang diterjemahkan sebagai
Palembang apakah itu menunjukkan kota Palembang yang sekarang ataukah nama Palembang
di wilayah yang lain (yang masih eksis atau tidak eksis lagi). Penempatan nama
itu juga kerap memiliki permasalahan sendiri pada tingkat mikro, misalnya pada
era Portugis sudah disebut nama Jakarta, tetapi dimana posisi GPS nama
kampong/kota itu tidak dapat dipastikan kecuali hanya dapat disimpulkan di
sekitar Mangga Dua yang sekarang. Penentuan nama itu diinterpretasi dengan baik
dan diletakkkan secara benar sangat tergantung keterangan lain yang mendukung.
Oleh karenanya pendekatan yoponimi harus dilakukan secara cermat.
Seperti halnya studi sejarah dengan pendekatan toponimi sebagai suatu pendekastan studi yang sulit diterapkan, hasil yang dilakukan di masa lampau seringkali dianggap mengikat. Celakanya nama itu sudah dihubungkan dengan sejarah-sejarah lainnya. Oleh karenanya hasil studi dengan pendekatan toponimi dianggap menjadi kebenaran matluk (sebagai fakta). Padahal data yang dianalisis dengan pendekatan toponimi kesimpulannya tidak sepenuhnya benar. Para peneliti antar genarasi harus terus terlibat untuk lebih memastikan dan memperbaiki apa yang salah menjadi apa yang benar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Nama Geografi di Indonesia: Pengaruh Asing (Latin India Cina Portugis Belanda Inggris)
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar