*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Perang kemerdekaan Indonesia adalah satu hal,
pemindahan ibu kota negara adalah hal lain lagi. Semua bermula ketika kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam penetapan statute
negara dan penentuan (para kepala) pemerintahan disebutkan ibu kota berada di
Djakarta dan pemimpin pemerintahan tertinggi RI adalah Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohamad Hatta. Lengkap sudah negaras Republik Indonesia. Namun
tidak lama kemudian terjadi peristiwa demi peristiwa yang pada akhirnya ibu
kota pemerintahan dipindahkan ke Jogjakarta. Mengapa? Apakah situasinya
darurat?
Mengapa Ibu Kota Indonesia Pernah Dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta? Kompas.com - 22/02/2022. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bangsa penjajah masih berusaha mengambil alih kedaulatan Indonesia. Hal itu memberi dampak pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta 4 April 1946 karena situasi keamanan di Jakarta semakin memburuk. Setibanya di Indonesia, pasukan Sekutu melakukan razia dan penangkapan pada para pejuang kemerdekaan. Bahkan, juga terjadi upaya penculikan dan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dan para pejabat tinggi. Kondisi di Jakarta yang tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan surat 2 Januari 1946. Isi dari surat itu adalah apabila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali. Dalam sidang kabinet tertutup, tawaran tersebut didiskusikan oleh Soekarno bersama kawan-kawannya, Presiden Soekarno setuju memindah ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada 3 Januari 1946, Presiden Soekarno melakukan evakuasi, mengingat saat itu Jakarta diawasi ketat NICA, maka salah satunya jalan untuk bisa melakukan proses evakuasi adalah lewat kereta api. Pada 3 Januari 1946 tengah malam, gerbong kereta api C. 2809 buatan Jerman yang melintas dimatikan lampunya. Harapannya, Sekutu atau NICA akan mengira kereta api tersebut hanyalah kereta biasa yang sedang melintas menuju Stasiun Manggarai. Soekarno menyusup ke dalam gerbong. Pada 4 Januari 1946 pagi buta, kereta api membawa Soekarno dan rombongan ke Yogyakarta. Setiba di Stasiun Tugu, Soekarno dijemput Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, dan pejabat tinggi negara lainnya. Pada 4 Januari 1946, ibu kota Indonesia dipindahkan secara diam-diam dari Jakarta ke Yogyakarta. Sampai 1948, Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia, sebelum akhirnya Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, seluruh pemimpin Indonesia ditangkap dan diasingkan, akibatnya, pemerintah RI terpaksa membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat. Ibu kota Indonesia kembali lagi ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 dan baru dipindahkan kembali ke Jakarta pada 17 Agustus 1950 (https://www.kompas.com/)
Lantas bagaimana sejarah perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949? Seperti di berbagai tempat di Indonesia ibu kota (pemerintahan daerah) dipindahkan ke kota lain, demikian yang terjadi dengan ibu kota yang pada akhirnya dipindahkan dari Djakarta. Pemindahan itu mengapa ibu kota negara ke Jogjakarta, bukan ke Soerakarta? Lalu bagaimana sejarah perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949; Mengapa Ibu Kota Negara Dipindah ke Jogjakarta, Bukan ke Soerakarta?
Perang kemerdekaan Indonesia bermula tidak dalam menghadapi Sekutu/Inggris dan NICA/Belanda yang membonceng di belakang, akan tetapi ‘perang’ terhadap meiliter Jepang untuk mendapatkan senjata (lihat Het parool, 08-10-1945). Disebutkan situasi di Jawa berubah serius pada hari Kamis akibat bentrokan di Batavia, Soerabaja, Poerwakarta dan kota-kota lain antara pihak Jepang dan nasionalis Indonesia di satu pihak dan pihak pro-Belanda yang anti-nasionalis di pihak lain.
Disebutkan lebih lanjut di Batavia, delapan orang tewas dalam bentrokan
antara Jepang dan Indonesia setelah penjarahan yang terjadi selama tiga hari
terakhir. Laporan dari Surabaya masih simpang siur. Menurut sebuah laporan,
melihat semakin kehilangan kendali, Jepang memanggil para pemimpin nasionalis
untuk rapat di markas Kempeitai (polisi rahasia). Ketika nasionalis tiba,
Jepang melepaskan tembakan. Ini adalah sinyal pemberontakan dimana 100 orang
dilaporkan tewas. Laporan lain juga berbicara tentang pertempuran di
Poerwakarta. Orang Jepang akan memutuskan jalur kereta api. Penguasa Sekutu/Inggris
di Batavia mengingatkan Kolonel Miamato, perwira penghubung di markas besar
Sekutu/Inggris, bahwa Jepang masih bertanggung jawab memelihara hukum dan
ketertiban di daerah-daerah yang telah diambil alih Sekutu/Inggris. Pasukan
Inggris dan Inggris-India mengambil alih seluruh administrasi Batavia pada hari
Jumat. Stasiun radio Batavia digerebek oleh orang Indonesia, yang merusak dua
pemancar yang tidak dapat diperbaiki, sementara membawa pergi beberapa pemancar
lainnya.
Sejak kapan perang kemerdekaan dimulai belum diketahui. Akan tetapi yang jelas perang kemrdekaan semakin intens di berbagai tempat, tidak hanya tergadap Jepang juga terhadap Sekutu/Inggris (lihat De nieuwe Nederlander, 12-10-1945). Disebutkan seorang perwira Inggris dan India Inggris dari divisi dua puluh tiga ditembak mati kemarin sore di barat daya Batavia. Hal ini menyebabkan pertempuran dari rumah ke rumah yang berlangsung dari pukul dua siang hingga malam hari. Ini adalah tindakan permusuhan pertama terhadap Inggris. Kedua mayat itu dimutilasi. Sementara seorang perwira Hindia Belanda, yang mengendarai Jeep di Batavia dibujuk lalu disergap dan dibunuh disana. Semakin banyak orang Eropa dan Indo yang hilang selama dua puluh empat jam terakhir.
Disebutkan lebih lanjut menurut surat kabar Merdeka, dalam pertempuran
sengit yang terjadi pada malam tanggal 6/7 Oktober antara polisi rahasia Jepang
dan penduduk Yogyakarta, pihak Indonesia kehilangan 18 orang tewas dan 42 orang
luka-luka. Menurut surat kabar itu, semua orang Jepang di Yogyakarta kini telah
ditangkap oleh orang Indonesia. Jerman bersembunyi di Surabaya? Menurut laporan
terpercaya dari sumber Belanda, banyak anggota angkatan laut Jerman berada di
dalam dan sekitar Surabaya dengan pas palsu. Menurut ANP-Aneta dapat dipastikan
terjadi perpecahan di kalangan kaum nasionalis. Sekelompok nasionalis penting
telah berpisah dari gerakan Soekarno.
Di selatan Batavia di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945 terjadi peristiwa berdarah yang tidak diinginkan. Peristiwa ini baru diberitakan ke publik tanggal 16 Oktober 1945. Sementara itu di surat kabar dilaporkan bahwa pada tanggal 15 Oktober 1945 di Buitenzorg, 45 km di selatan Batavia tanpa insiden diduduki oleh pasukan Inggris. Sementara itu orang-orang Belanda sudah berada di belakang Sekutu/Inggris.
Telex, 16-10-1945: ‘Di Depok (antara Batavia dan Buitenzorg) kelompok
bersenjata nasionalis melakukan
penggerebekan, warga cukup banyak terbunuh, rumah dirusak dan semua isinya
telah diambil. Orang-orang Depokker telah
meninggalkan desa. Kapal Australia telah berlayar dari Australia membawa
sebanyak 687 tahanan politik (yang dipindahkan dari Digoel) menuju Indonesia
(Tandjong Priok). Kemarin sore terjadi pertempuran di Zuid Batavia di mana dua
hari lalu pasukan Inggris telah mengambil kontrol di lapangan terbang Tjililitjan (kini Halim). Tentara kontingen Nederland
telah dikirim kesana untuk memperkuat’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Mengapa Ibu Kota Negara Dipindah ke Jogjakarta, Bukan ke Soerakarta? Mengapa Pemindahan Dari Jogjakarta ke Bukittinggi Disebut Status Darurat?
Pasukan Inggris yang semakin masuk ke pedalaman untuk pembebasan para interniran serta pelucutan dan evakuasi militer Jepang, orang-orang Belanda di bawah bendera NICA yang telah mulai konsolidasi telah terlibat perang dengan para pejuang dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pertempuran itu sudah sangat masif di wilayag Djakarta dan sekitar. Meski demikian, pemerintah, Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri (Kabinet Sjahrir) tetap bekerja mengikuti situasi dan kondisi yang ada. Namun dalam perkembangannya, melihat kekacauan keamanan yang dapat mengancam para pejabat pemerintah, Komite Nasional di Djokjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir relokasi dari Djakarta (lihat Friesch dagblad, 11-12-1945). Disebutkan Pengurus ‘Komite Nasional’ di Djokjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir untuk segera merelokasi pusat pemerintahan dan pengurus pusat nasional di Djakarta ke suatu tempat di Jawa Tengah, agar dapat bekerja lebih tenang. Berita ini mengindikasikan awal mengapa ibu kota Republik Indonesia dari D-jakarta ke Djok-jakarta. Sebelumnya, pertemuan Komite Nasional Indonesia Pusat wilayah Djogjakarta diadakan pada tanggal 8 Desember 1945. Dalam pertemuaan ini sebuah mosi disahkan yang berisi pertimbangan bahwa agar ibukota RI dipindahkan mengingat sebagian besar KNIP berada di luar Djakarta. Mosi ini akan disampaikan kepada Soekarno, Soetan Sjahrir dan KNIP melalui telegram (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 11-12-1945).
Tentulah
Soekarno dan Sjahrir yang memimpin kabinet berpikir untuk memindahkan ibu kota
atau pemerintahan pindah dari Djakarta. Namun demikian, yang sudah dilakukan
sebelumnya adalah pusat pertahanan dan keamanan secara defacto sudah sejak lama
dipusatkan di Djojakarta (seiring dengan pembentukan Akademi Militer Indonesia
di Jogjakarta). Menteri Pertahanan dan Keamanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap
sudah sejak beberapa waktu bekerja dengan kepala staf Letnan Jendeal Oerip
Soemohardjo yang dipusatkan di Djokjakarta. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
sebagai Menteri Penerangan sejak kabinet Presiden Soekarno, karena kekosongan
Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkapnya hingga Komite Nasional di
Djogjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir relokasi dari Djakarta. Saat pertama Oerip bekerja di Djogjakarta
atas permintaan Menteri Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yakni untuk melatih
sejumlah sarjana sebagai bagian militer untuk tugas khusus dengan pangkat
Luitenan Kolonel (Overste). Mereka yang telah lulus dan berpangkat Overste itu antara
lain adalah Mr. Kasman, Dr. Ibnoe Soetowo, Mr. Arifin Harahap, Ir. Mangaradja
Onggang Parlindungan, Dr. Irsan Radjamin Nasution, Dr Willer Hoetagalung dan Dr
Eri Soedewo. Hal itulah mengapa ada sarjana di dalam jajaran militer Indonesia
yang baru terbentuk. Dalam hal ini Mr Amir Sjarifoeddin Harahap bertindak
sebagai Panglima dan Letjen Oerip sebagai Kepala Staf (tentu saja saat itu nama
Soerdirman dan Nasution belum populer, karena mereka berdua hanya dikenal
sebagai para komandan dari badan-badan keamanan rakyat/BKR). Mereka yang
sarjana inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Indonesia (TNI) dimana kemudian
Tentara Indonesia digabung dengan BKR. Dalam hal ini Tentara Indonesia yang
diorganisasikan oleh Letjen Oerip berpusat di Djogjakarta. Dalam konteks ini
pula, karena situasi dan kondisi yang mulai tidak aman di Djakarta muncul
permintaan dari Djokjakarta.
Pasca peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa serdadu Inggris/India dari Djakarta ke Semarang yang mendarat darurat di Tjakoeng tanggal 23 November dan kermudian semua serdadu Inggris dibunuh para pejuang, situasi di Djakarta dan sekitar semakin panas. Inggris marah besar dan pasukan NICA semakin banyak di wilayah Djakarta dan sekitar. Situasi dan kondisi inilah yang diduga terus dipantau komite nasional di Djogjakarta. Lebih-lebih HJJ van Mook (Letnan Gubernur Jenderal NICA) sudah mendarat di Djakarta yang telah meminta bertemu dengan Soekarno. Boleh jadi muncul kekhawatiran di Djogja Soekarno dan Sjahriri meladeni negosiasi van Mook yang bisa merugikan Indonesia.
Sementara
Djogjakarta meminta pemerintahan (Soekarno dan Sjahrir) relokasi ke Jawa
Tengah/Djogjakarta, sementara dari Sumatra di Medan muncul pernyataan dukungan
bahwa pemerintah dan rakyat Sumatra berada di belakang Soekarno dan Sjahrir
sepenuhnya, tanpa mengikuti keinginan kebijakan kami sendiri. Sumatra Utara
menginginkan Indonesia utuh dan kemerdekaan penuh Indonesia. Disebutkan lebih
lanjut setiap tindakan yang ditujukan terhadap Jawa dianggap oleh orang
Sumatera sebagai melawan dirinya sendiri. Selanjutnya diketahui permintaan van
Mook itu tidak digubris oleh Soekarno.
Diduga atas desakan dari Djogjakarta dan dukungan Sumatra, Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sjahrir lalu melakukan kunjungan dinas ke Jawa Tengah (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 17-12-1945). Disebutkan Ir. Soekarno melakukan perjalanan melalui Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemani Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan/Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk berunding dengan para pemimpin lokal Indonesia dan dengan demikian memulihkan ketertiban. Diketahui bahwa Ir. Sukarno memiliki otoritas yang besar dalam Gerakan Pemuda Indonesia. Rombongan juga akan mengunjungi antara lain Djogjakarta, pusat Gerakan Nasionalis. Menurut Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-12-1945 rombongan ini berangkat hari Minggu (tiga hari lalu) untuk perjalanan lima hari ke Djokja dan Solo. Rombongan ini didampingi oleh Jaksa Agung Mr Kasman Singodimedjo, yang dianggap bahwa ia adalah salah satu tokoh terkemuka pembentukan tentara Indonesia, yang markasnya berlokasi di Djokja.
Dalam
kunjungan Presiden Soekarno ke Djokjakarta juga turut pejabat lainnya termasuk
Mohamad Hatta dan Menteri Kesehatan Putuhena dan Jaksa Agung Overste Mr. Kasman
Singodimedjo, salah satu tokoh terkemuka dalam pembentukan tentara Indonesia (lihat
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-12-1945).
Disebutkan dalam kunjungan ke Djogja ini dibicarakan upaya penggabungan Tentara
Indonesia dan TKR dan juga pemindahan markas TKR (di Bandoeng) ke Djokja.
Sebagaimana diketahui, di Bandoeng komandan TKR adalah Abdoel Haris Nasution
sedangkan Soedirman sebagai kamandan TKR di Poerwokerto. Isu pemindahan ibu
kota sendiri bermula setelah adanya pertemuan Komite
Nasional Indonesia Pusat wilayah Djogjakarta pada tanggal 8 Desember 1945.
Dalam pertemuaan ini sebuah mosi disahkan yang berisi pertimbangan bahwa agar
ibukota RI dipindahkan mengingat sebagian besar KNIP berada di luar Djakarta.
Mosi ini akan disampaikan kepada Soekarno, Soetan Sjahrir dan KNIP melalui
telegram (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 11-12-1945). Isi telegram tersebut sebagai berikut: ‘Komite Wilayah Yogyakarta,
komite nasional mendesak pengalihan segera Pemerintah Pusat dan KNIP ke satu
tempat di Jawa Tengah agar dapat bekerja lebih tenang’.
Selanjutnya diputuskan Presiden, Wakil; Presiden dan sejumlah menteri berangkat ke Jogjakarta dengan menggunakan keretapi dari stasion Manggarai. Namun ada beberapa Menteri yang berada di Djakarta. Keberangkatan rombongan ke Jogjakarta tanggal 4 Januari 1946 itu terbilang biasa-biasa saja, bukan seperti yang dinarasikan pada masa ini seakan berangkat dengan cara mengendap-endap di malam hari. Satu yang pasti Perdana Menteri Soetan Sjahriri masih berkantor di Djakarta. Pindahnya ibukota RI ke Djogjakarta, paling tidak kehadiran tiga pertama pemimpin RI (Soekarno, Hatta dan Amir) sebagaimana dilaporkan Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 merupakan amanat KNIP. Keputusan ini diperkuat dari informasi yang disiarkan (kantor berita) AP bertanggal 7 Januari di Batavia yang dilansir Het nieuws: algemeen dagblad, 07-01-1946 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta pindah ke Yogyakarta di Jawa Tengah setelah Pemerintah Indonesia diminta (KNIP) untuk mendirikan kantor di luar ibukota dengan mengingat situasi di Batavia, sebab secara umum, situasi di Jawa relatif tenang. Jika memperhatikan kunjungan Soekarno dan rombongan ke Jogja yang didampingi oleh Mr. Kasman, perpindahan ibukota ke Jogjakarta secara defacto bersifat alamiah karena di Djogka sudah dibentuk tentara Indonesia (cikal TNI). Hal itu juga menjadi pertimbangan KNIP memutuskan agar pemerintahan dipindahkan ke Djogjakarta
Namun dalam
perkembangannya, perpindahan ibukota ke Djogjakarta telah menimbulkan
kesenjangan diantara para pemimpin sebagaimana dilaporkan surat kabar Merdeka
12 Januari yang dilansir surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad,
15-01-1946. Disebutkan ada indikasi baru terdapat kesenjangan yang semakin
besar antara para pemimpin di Djogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir) dan di
Batavia (Sjahrir dan Menteri lainnya). Para pihak menduga Belanda/NICA ingin menggunakan Sjahrlr untuk kepercayaannya. Rumor
ini juga muncul dari Jogja sebagaimana dikutip surat kabar yang menyatakan:
‘Radio Djokja menuduh markas besar (hoofdkwartier) Indonesia di Batavia menutup
matanya atas infiltrasi pihak Belanda (Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-11-1945).
Dalam perkembangannya Perdana Menteri Sjahrir berangkat ke Djogjakarta. Surat kabar De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 28-01-1946 mengutip (kantor berita) Aneta sebagai berikut: ‘Sjahrir kembali di Batavia hari ini dari perjalanan ke Djogjakarta. Dia berunding disana dengan Sukarno dan para pemimpin republik lainnya (Hatta dan Amir). Sjahrir didampingi oleh sejumlah koresponden dalam perjalanannya ke Djogjakarta. Namun tidak ada orang Belanda, karena permintaan mereka untuk bergabung ditolak’. Dari kunjungan ini disebutkan Sjahrir bahwa dia mewakili Indonesia berunding dengan van Mook. Saat pertemuan di Jogjakarta yang turut dihadiri Hatta dan Amir, Soekarno dalam kondisi sakit menderita bronkitis (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 30-01-1946).
Seperti
kita lihat nanti, baru pada bulan Mei 1946 Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (yang
dibantu oleh Zoelkifli Lubis dan Soeltan Djogja) membentuk panita organisasi tentara
yang diketuai oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia
diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang
dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur
kemiliteran dengan pembagian sejumlah divisi. Dalam pengumuman ini juga Kolonel Soedirman
dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara
personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat
Nieuwe courant, 29-05-1946).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar