*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Apa hubungan (kota) Soerakarta dengan Abdoel
Haris Nasoetion? Jelas berbeda dengan Parada Harahap dan Mr Amir Sjarifoeddin
Harahap yang cukup kenal dengan Soerakarta pada era Pemerintah Hindia Belanda.
Yang kenal dengan Soerabaja semasa adalah Radjamin Nasoetion. Hubungan Abdoel
Haris Nasoetion dengan Soerakarta baru dimulai pada saat perang kemerdekaan
Indonesia (1945-1949). Jika dulu Parada Harahap adalah The King Java Press,
Abdoel Haris Nasoetion pada era perang kemerdekaan Indonesia adalah Panglima
Jawa.
Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Abdul Haris Nasution (3 Desember 1918 – 6 September 2000) adalah seorang jenderal dan politikus Indonesia. Ia menjadi anggota KNIL, tetapi setelah invasi Jepang bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia mendaftar di angkatan bersenjata Indonesia yang masih muda, dan bertempur selama Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1946, ia diangkat menjadi komandan Divisi Siliwangi, unit gerilya yang beroperasi di Jawa Barat. Setelah revolusi nasional berakhir, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Abdul Haris Nasution sendiri dilahirkan di Desa Hutapungkut, Mandailing dari keluarga Batak Muslim. Ayahnya seorang pedagang, yang religius dan anggota organisasi Sarekat Islam. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar di Sekolah Raja Bukittinggi. Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, dimana dia melanjutkan mengajar. Pada tahun 1940, pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, dia dikirim ke Akademi Militer Bandung. Pada bulan September 1940 dia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi perwira KNIL. Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia, Nasution di Surabaya, ditempatkan untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Abdoel Haris
Nasoetion dan Soerakarta? Seperti disebut di atas, Abdoel Haris Nasoetion baru
lebih intens mengenal Soerakarta pada era perang kemerdekaan Indonesia. Pada
masa ini Abdoel Haris Nasoetion sebagai Panglima Jawa dan kerap berkunjung ke
Soerakarta. Lalu bagaimana sejarah Abdoel Haris Nasoetion dan Soerakarta? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Abdoel Haris Nasoetion dan Soerakarta; Kota Solo dan Panglima Jawa Era Perang Kemerdekaan Indonesia
Pada bulan Maret 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan tentang reorganisasi TNI (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-03-1948). Disebutkan dalam surat keputusan ini organisasi TNI dibagi menjadi dua: (a) Staf Umum TNI di Kementerian Pertahanan; (b) Markas Besar Angkatan Darat dimana Komodor Soeriadarma dan Kolonel Simatoepang masing-masing sebagai Kepala dan Wakil Kepala Staf Umum Pertahanan. yang memimpin pasukan bergerak masing-masing adalah Jenderal Soedirman (Panglima Tertinggi) dan Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (Panglima Jawa). Reorganisasi ini dibuat setelah pasukan (divisi) Siliwangi tiba di Jogjakata/Jawa bagian tengah yang mana rombongan terakhir tiba di Yogyakarta pada 12 Februari 1948.
Nama Abdoel Haris Nasoetion mulai menonjol awal tahun 1946. Ini bermula
masa seputar Bandoeng Lauta api (lihat Het Parool, 25-03-1946). Disebutkan
komandan divisi di Bandoeng adalah Kolonel Abdoel Haris Nasoetion. Sebelumnya, Menteri
Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dari Jogjakarta bergegas ke Bandung dengan
naik kereta api dan mendiskusikannya dengan (Panglima Divisi III/Siliwangi)
Kolonel Abdul Haris Nasution. Pada bulan Mei dilakukan reorganisasi TRI (lihat Nieuwe
courant, 29-05-1946). Panglima Jenderal Soedirman, dengan kepala staf Letnan
Jenderal Oerip. Dalam reorganisaasi ini sebagai Kepala Organisasi adalah
Kolonel TB Simatoepang. Ada tujuh divisi, yang mana divisi-1 dipimpin Mayor
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dengan kepala staf Letnan Kolonel Sakari.
Sebagaimana diketahui secara
defacto ibu kota Republik Indonesia telah dipindahkan dari Djakarta ke
Jogjakarta pada tanggal 3 Januari 1946 (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946). Secara bertahap semua kementerian
relokasi ke Jogjakarta. Rombongan terakhir
Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Djakarta ke Jogjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan
terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan
ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari
Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe
courant, 17-10-1946).
Sejak pemerintahan (eksekutif) semuanya di
Yogjakarta dan demikian juga dengan dewan (KNIP) di Yogjakarta, lalu dalam perkembangannya
di Yogyakarta terbentuk organisasi pemuda yang diberi nama Angkatan Moeda
Pembangoenan Repoeblik Indonesia/AMPRI (lihat Algemeen Indisch dagblad, 14-01-1947).
Lalu kemudian organisasi pemuda ini melakukan kongres di Soerakarta. Dalam
kongres ini terpilih sebagai ketua adalah Alimoedin Nasoetion (lihat Nieuwe
courant, 18-01-1947). Tidak lama kemudian di Yogjakarta diantara mahasiswa yang
beragama Islam membentuk organisasi sendiri pada tanggal 5 Februari 1947 yang
diberi nama Himpoenan Mahasiswa Islam (HMI). Dalam pembentukan HMI ini terpilih
sebagai ketua Lafran Pane (adik Sanoesi dan Armijn Pane). Sementara itu di
Batavia, ketika situasi perkuliahan di Universiteit van Indonesie sudah mulai
kondusif, Ida Nasoetion dari jurusan sastra bersama G. Harahap dari jurusan
jurnalistik menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa pribumi yang diberi nama
Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20
November 1947. Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa
Indonesia (cikal bakal Dewan Mahasiswa).
Dalam perkembangannya, hasil perundingan Renville semasa Perdana Menteri
Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (Perjanjian Renville 8 Desember 1947-17 Januari
1948) tidak memuaskan lalu Mr Amir yang menjadi PM sejak 23 Januari 1948 mengundurkan
diri 23 Januari 1948. Untuk memenuhi isi perjanjian pada masa PM Mohamad Hatta,
pemerintah
membentuk panitia hijrah Pasukan Siliwangi (Keputusan Presiden No.4 tahun 1948 tanggal 2 Februari 1948) untuk memperlancar pelaksanaan
hijrah. Susunan panitia hijrah yang
dibentuk adalah sebagai berikut: Ketua, Arudji Kartawinata (Kementrian
Pertahanan); Wakil Ketua I: Jendral Mayor
Ir. Sakirman (TNI bag. Mayarakat); Wakil
Ketua II : Moh.Siraj (Kementrian Dalam Negeri); Ketua Sekertaris : Overste Dr. W Hutagalung
(Kementrian Pertahanan); dan Wakil
Ketua Sekertaris: Mayor Haryono (Anggota Panitia Istimewa). Lalu pasukan Siliwangi
secara beratahap dipindahkan ke Jogjakarta melalui berbagai moda (kapal laut dari
Cirebon ke Rembang, kereta api di Soekaboemi, Padalarang dan Poerwakarta menuju
Tasikmalaya selanjutnya ke Yogjakarta plus jalan darat dengan truk). Lalu
kemudian pasukan ditempatkan dengan konsentrasi di tiga tempat: Yogtakarta,
Soerakarta (Tasikmadoe, Delangoe, Sragen) dan Magelang.
Sebagian pasukan Siliwangi juga
ditempatkan di Madiun, dan beberapa Detasemen ditempatkan di Cepu, Pati dan
Bojonegoro.
Kehadiran pasukan Siliwangi di Yogyakarta dan Soerakarta bukan tanpa tantangan. Diantara pasukan Indonesia juga ada friksi yang muncul di Soerakarta dimana pasukan Siliwangi kurang mendapat respek. Meski demikian, pasukan Siliwangi, yang untung dipimpin oleh seorang Batak Abdoel Haris Nasoetion dapat menyelesaikannya dengan bijaksana.
Lantas
bagaimana dengan situasi dan kondisi di Batavia dan Bandoeng di wilayah Belanda?
Yang jelas di sekitar Bandoeng masih ada sisa pasukan Siliwangi yang
ditempatkan (secara rahasia). Sementara di Batavia, mungkin
anda membayangkan bahwa Pemerintah Indonesia seteril dari
Djakarta setelah semua kementerian RI hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta. Akan
tetapi kenyataannya tidak demikian. Sebab meski Batavia/Djakarta sudah dikuasai
Belanda/NICA tetapi para Republiken (penduduk Indonesia yang tetap setia RI)
masih banyak yang bertempat tinggal di Djakarta. Untuk itu fungsi penghubung
antara Belanda dan Republik Indonesia, Sekretariat Delegasi Republik
(Indonesia) tetap dipertahankan di Djakarta. Dalam hal ini Kepala Kantor Sekretariat
untuk Djokja (perwakilan Belanda/NICA) adalah Setiadjit (pro Belanda) dan di
Batavia sebagai perwakilan Pemerintah Republik Indonesia diangkat Mr. Arifin
Harahap (lihat Nieuwe courant, 27-04-1948). Kepala Kantor Sekretariat ini pada
masa kini boleh jadi semacam Kedutaan Besar (Kedubes). Kantor kedubes inilah di Djakarta yang mewakili pemerintah RI di Djogjakarta dan juga
kedubes ini yang menangani perosalan-persoalan yang dihadapi para Republike
yang tetap tinggal di Djakarta/Batavia. Catatan: Mr Arifin
Harahap, adalah adik Mr Amir Sjarifoeddin Harahap, dengan pangkat Overste (Letnan
Kolonel). Mr Arifin Harahap salah satu lulusan pertama Akademi Militer
Indonesia di Jogjakarta yang dipimpin Oriep Soemohardjo pada tahun 1945.
Pada bulan April 1948 Perdana Menteri Mohamad Hatta dan Major Generaal Abdoel Haris Nasoetion melakukan kunjuangan dinas ke wilayah-wilayah Republik di Sumatra (lihat Nieuwe courant, 12-04-1948). Sepulang dari Sumatra dengan pesawat KLM dari Boekittinggi tiba di Batavia yang keduanya disambut oleh penasehat Letnan Gubernur Jenderal HJ van Mook. Di Batavia, Mohammad Hatta akan bertemu dengan HJ van Mook. Pertemuan akan berlangsung pada hari Sabtu di gedung markas republik di Batavia di Pegangsaan Oost, area rumah tempat tinggal Soekarmo, Soetan Sjahrir, A. Gani, dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Di Batavia, Perdana Menteri Hatta disambut oleh banyak tokoh republik, termasuk Mr Roem, Mr Sastroamidjojo, Ir Laoh dan Dr Leimena. Percakapan antara Dr. Van Mook dan Mohamad Hatta berlangsung Sabtu malam dari jam 9-10 malam. Di akhir percakapan, tidak ada pernyataan yang dapat dibuat tentang sifat dari apa yang dikatakan. Mohamad Hatta menyatakan pertemuan berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, namun enggan berkomentar lebih lanjut.
Beberapa waktu sebelumnya tersiar berita di Batavia bahwa Ida Nasoetion, ketua PMUI dinyatakan hilang (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948). Disebutkan sejak tanggal 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?’. Ada kemungkinan Ida Nasoetion diculik dan dibunuh intel Belanda, karena selama ini, Ida Nasoetion seorang kritikus sastra sering bersuara lantang tentang kemerdekaan di berbagai tulisan di surat kabar dan majalah.
Dalam kunjungan ke Sumatra, dalam struktur TNI Mayor Jenderal Abdoeol Haris Nasoetion adalah Panglima Jawa yang mendampingi Perdana Menteri Mohamad Hatta. Siapa yang menjadi Panglima Sumatra tidak ada. Pangkat tertinggi para komandan di Sumatra adalah kolonel seperti Kolonel Hidayat dan Kolonel Simbolon. Sudah barang tentu Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion berkoordinasi dengan para komandan di Sumatra atas nama Panglima Tertinggi Jenderal Soerdirman. Sementara itu, sebagaimana disebutkan di atas, sebelum hijrah ke Yogjakarta, masih ada sebagian pasukan Siliwangi yang ditinggalkan di Jawa bagian barat. Pasukan Siliwangi yang menyamar di Jawa bagian barat masih terus bekerja.
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 24-07-1948:
‘Pasukan Siliwangi membuat Jawa Barat tidak aman. PAKRI harus menyiapkan
Buitenzorgse dan Preanger untuk plebisit. Pada
artikel kami sebelumnya tentang teror di Jawa Barat kami menyebutkan beberapa
organisasi yang berunsur subversif dan menunjukkan bahwa organisasi tersebut
terkait dengan Djokja. Kami telah mencatat bahwa teror yang dilakukan oleh
jaringan ini di Jawa Barat dilancarkan dengan segala cara yang tersedia dan
bahwa para penyebar terror ini juga tidak segan-segan mencapai tujuan mereka
melalui pembunuhan. Yang sangat penting dalam hal ini adalah program aksi
Partai Kesatoean Republik Indonesia, disingkat PAKRI. Partai ini dibentuk oleh Batalion
ke-22 Brigade Goentoer, bagian dari divisi TNI Siliwangi yang terkenal kejam.
Batalyon ini tidak mengungsi ke Djogja ketika TNI harus evakuasi dari garis van
Mook, tetapi tetap tinggal untuk melanjutkan perjuangan di Buitenzorg dan di
Prianger "dalam sipil", sebagai sebuah partai. mencapai 'hasil' dalam
waktu setengah tahun. Salah satu hasil dalam waktu enam bulan itu penduduk
daerah dimana PAKRI melakukan aksinya harus siap untuk diadakan plebisit.
Secara umum, PAKEI menginginkan pendirian negara kesatuan Indonesia dan dalam
hubungan itu segala upaya harus dilakukan untuk mempengaruhi Negara Djawa Barat
(Negara Pasoendan) yang melakukan pengkhianatan dan tidak menginginkan negara
kesatuan Indonesia dengan bentuk pemerintahan republik. Pada 31 Mei, Komandan
Batalyon 22, Kapten TNI Soegih Arto, ditangkap. Pada kesempatan itu banyak
sekali materi dokumen yang diperoleh, yang menunjukkan bahwa para anggota
organisasi telah dididik dengan sangat baik. Mereka menemukan
pernyataan-pernyataan mengenai situasi pos-pos militer, daftar kolaborator
"musuh", daftar sasaran sabotase dan penyusupan, dan yang tak kalah
pentingnya, pedoman perang gerilya. Bahwa organisasi ini juga bekerja di bawah
pengawasan ketat perwira berpangkat tinggi antara lain terlihat dari instruksi
Panglima Kodam Siliwangi, Nasoetion, yang menghimbau para anggota untuk
berperang, diduga instruksi ini dibagikan setelah penandatanganan gencatan
senjata dalam Perjanjian Renville. Tidak bertanggal dan diketahui bahwa
surat-surat yang memuat isi perjanjian Benville biasanya bertanggal sebelum
perjanjian, atau surat itu tidak bertanggal. terlibat langsung dalam serangan
granat tangan yang terjadi pada bulan Desember tahun lalu di kota Buitenzorg’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kota Solo dan Panglima Jawa Era Perang Kemerdekaan Indonesia: Abdoel Haris Nasoetion dan Soedirman
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar