*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Apa itu Indrokilo? Tempo doeloe adakalanya
dieja Endrokilo. Ap aitu Indrokilo? Nama tempat, tidak hanya di Pasuruan dekat
Malang. Juga ada di wilayah lain. Indrokilo di Pasuruan menjadi tempat
pertapaan, dimana juga terdapat candi dan arca-arca yang lokasinya di Prigen di
lereng gunung Ringgit. Apa keutamaannya? Kerap dikunjungi wisatawan
Eropa/Belanda. Bagaimana dengan orang pribumi?
Cerita Pertapaan Indrokilo, Peninggalan Majapahit di Lereng Ringgit. Radar Bromo. 26 March 2022. Kabupaten Pasuruan dikenal memiliki banyak candi. Salah satunya di Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen. Tepatnya di pertapaan Indrokilo yang dipercaya menjadi tempat bertapa para dewa dan penggawa. Indrokilo selama ini lebih dikenal sebagai tempat pertapaan. Tidak heran, tempat ini jadi jujukan warga yang ingin tirakat Lokasinya di lahan Perhutani. Berada di lereng Gunung Ringgit dengan ketinggian 1.424 meter di atas permukaan air laut (dpl). Masuk Dusun Talungnongko, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen. Dengan lokasi itu, hawa di Indrokilo selalu sejuk. Pagi dan siang hari suhunya sekitar 21-25 derajat Celsius. Sementara malam hari lebih dingin lagi, 17-19 derajat Celsius. Tidak sekadar tempat pertapaan. Sejumlah candi bisa ditemui di Indrokilo. Ada Candi Satrio Panggung, Mintorogo, Celeng Srenggi, Mundi Sari, Panji Saputra, dan Dewi Suprobowati. Juga terdapat banyak arca di sana. Termasuk petilasan Batu Kursi yang konon merupakan tempat Presiden RI Pertama Soekarno bertapa. “Kami dan warga sekitar menyebutnya Pertapaan Indrokilo. Satu kawasan di dalamnya banyak terdapat candi, petilasan dan juga arca,” ungkap Rasid, juru pelihara sekaligus ketua Pokdarwis Panji Laras Dayurejo. Indrokilo sendiri dipercaya tempat para dewa dan punggawa-punggawanya untuk bertapa. Mengheningkan cipta, menghadap Ilahi. (https://radarbromo.jawapos.com/)
Lantas bagaimana sejarah Indrokilo di Prigen, kabupaten Pasuruan dekat (kabupaten) Malang? Seperti disebut di atas Indrokilo adalah nama tempat, nama kampong, tetapi di Pasuruan cukup dikenal bahkan hingga ini hari. Ada yang menyebut, suatu (tempat) pertapaan, peninggalan Majapahit di lereng gunung Ringgit. Lalu bagaimana sejarah Indrokilo di Prigen, kabupaten Pasuruan dekat (kabupaten) Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Indrokilo di Prigen Pasuruan Dekat Malang; Pertapaan, Peninggalan Majapahit di Lereng Gunung Ringgit
Penemuan Indrokilo sebenarnya tidak sengaja. Tentu saja penduduk setempat sudah sejak lama mengenal tempat itu. Namun menjadi penting, Ketika seorang pelancong berencana untuk mendaki gunung Arjoena pada tahun 1830, warga yang menemaninya ikut naik memandu ke puncak Arjuno melalui Indrokilo. Sejak inilah tempat Indrokilo mulai dikenal secara luas. Apa yang ada di Indrokilo? Dapat dibaca dalam tulisan palancong tersebut yang dimuat surat kabar yang terbit di Batavia ((lihat Javasche courant, 05-02-1831).
Meski orang-orang Eropa/Belanda sudah melakukan perdagangan dari Pasoeroean
hingga Malang pada decade terakhir masa VOC, tetapi penemuan benda-benda
purbakala di wilayah Pasoeroean/Malang baru diketahui awal Pemerintah Hindia
Belanda. Penemu pertama adalah N Engelhard, yang pada tahun 1803 menjadi Inspektur
Pribumi, yakni situs candi Singosari. Pada masa pendudukan Inggris (1811-1816)
penemuan situs-situs kuno di khususnya di Malang semakin banyak. Bahkan Raffles
sendri telah mendokumentasikannya (lihat The History of Java, 1818). Pada Peta
1817 di wilayah Malang sudah ditandai sejumlah candi, termasuk reruntuhan candi
di selatan kampong Pakis (kelak area candi itu disebut Toempang). Sejak pejabat pemerintah setingkat Asisten Residen
ditempatkan di Malang tahun 1817 semakin lengkap deskripsi candi-candi yang ada
dan benda-benda kuno yang ditemukan. Namun sejauh ini tidak ada laporan yang
mengindikasikan Indrokilo hingga seorang pelancong Eropa/Belanda menulis apa
yang diperhatikannya di Indrokilo.
Untuk melakukan pendakian tersebut mereka berangkat dari Pasoeroean pada tanggal 21 Oktober 1830 dengan kereta hingga ke perkebunan milik Alkmaar di jalan menuju Malang dan kemudian dilanjutkan dengan naik kuda hingga tiba di desa Kotjor. Pada pukul 4 sore tiba di desa Daijoe (masuk afdeeling Bangil), suatu desa yang cukup besar dan banyak ditanam kopi. Pada pagi hari pukul 7 mereka meninggalkan desa Daijoe. Di dekat Endrokilo atau puncaknya, kami pukul 10 menemukan gerbang yang dijaga dua orang.
Mereka menaiki beberapa anak tangga sampai di gerbang kedua, dimana lagi-lagi dua penjaga berdiri. Naik lagi tiba di gerbang ketiga seperti yang juga ada penjaga seperti sebelumnya. Gerbang keempat juga memiliki dua penjaga; tetapi sebelum gerbang kelima, menemukan situs di sebelah kiri, dan di kanan dua situs, dan di belakangnya dua penjaga. Memasuki gerbang, melihat di dataran di latar belakang sebuah kuil besar yang hancur, dengan beberapa patung kecil, semuanya tersebar di atasnya, berdiri sendiri-sendiri atau di atas potongan batu atau di relung, saat menaiki kuil itu sendiri dengan tangga dimana kami dapat memanjat bangunan yang sebagian besar runtuh. Patung di gapura kelima yang terawat dengan merepresentasikan Mentorogo, memiliki dua bidadari dalam posisi memohon, sedangkan yang lainnya merepresentasikan bidadari (Widedaries). Disamping gerbang keempat ada dua batu besar, tempat Mentorogo biasa melewatkan hari, duduk di sisi timur batu di pagi hari, dan di di barat di malam hari untuk menyaksikan matahari. Di sekeliling candi terdapat 60 buah bejana batu besar berisi air sebanyak 36 buah, serta 53 buah arca kecil yang sulit dibedakan sosoknya, namun ada yang tampak seperti pembantu, dan ada pula yang berpakaian pandita. Mentorogo sendiri memiliki sorban di kepalanya, dan keseluruhannya terbuat dari batu biasa seperti yang ditemukan di Singo Sarie. Pendapo yang dulu berdiri di pintu gerbang pertama dan kedua, sudah hancur seluruhnya, dan hanya diketahui pondasinya saja; tanaman bernama Andong Andong tumbuh dimana-mana disana. Semuanya sudah sangat tua, dalam keadaan hancur dimakan waktu. Tempat ini konon dtetap dirawat sebagai tempat pertapaan oleh salah satu leluhur pangeran.
Malam harinya kami datang kembali ke Daijoe. Pada tanggal 23 Oktober kami berangkat ke Modjo setelah mengunjungi Soemoor Gemoeling, yang menjadi hulu sungai Jonpienang. Pagi tanggal 24 kami melanjutkan pendakian dan pada pukul 12 berada di Tompowono. Di Kawasan banyak bamboo kami menemukan pondok. Pada tanggal 25 kami pagi memulai perjalanan, setelah melewati punggung gunung Poernoek Lemboe. Setelah istirahat jam 10 kami melewati area yang disebut Tjomoro Sewoe pukul 1. Orang Jawa yang menemani kami sudah mulai tidak sabar dan ingin kembali; tetapi Patih menyemangati mereka, dan dengan langkah lambat kami melanjutkan perjalanan kami, yang jalannya menjadi semakin sempit lalu tiba-tiba kami menemukan lembah yang mengerikan dan menuruninya dengan merangkak karena ditumbuhi lumut. Dinginnya meningkat dengan hebat, dan sebelum kami mencapai puncak, suhunya mencapai 38 derajat pada jam 3 sore dan pada jam 4 sore mencapai puncak Arjoeno yang sempit, suhunya 36 derajat. Kami melihat dengan mata Gunung Lawoe, sementara Tengger, Kawie, Keloed, Kembaar, Endrokilo sendiri tampak seperti bukit di depan kami, dan satu yang kami lihat di sisi lain adalah Welirang yang tampak asap naik. Gunung Smeroe masih di atas kami awan berlalu. dan segera dia kembali diselimuti kabut tebal, sehingga kami tidak bisa melihat apa-apa lagi. Dengan kesedihan kami kemudian melihat diri kami dikelilingi seolah-olah lautan luas, dimana hanya udara dan air yang dapat dibedakan. Titik kecil tampaknya memperlambat kami sendirian di dataran itu, dan perasaan yang selalu sunyi menyergapku.
Kami kemudian turun dengan jalur lain dan menemukan lapangan luas yang
disebut Pesanggarahan Arjoeno yang tempat kami harus bermalam. Dalam perjalan
pulan sempat kami dihadang harimau di Poenoek Lemboe. Pada pukula 6 sore kami
kembali di Tompowono. Singkatnya kami sampai di Modjo dan menginap, Pada
tanggal 27 kami melanjutkan pwerjalanan ke Malang tiba pukul 1 malan (sudah memasuki
tanggal 28).
Dari laporan ekspedisi ke puncak Arjoeno ini ada dua hal yang menjadi penting dalam hal ini. Pertama, tempat pertapaan Indrokilo adalah tempat yang kali pertama terinformasikan. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa si penulis mentebut ada penjaga pada setipa gerbang? Kedua, gunung Arjoeno untuk kali pertama didaki oleh orang Eropa. Lalu bagaimana dengan gunung-gunung tinggi lainnya di sekitar seperti Kawi dan Semeru?
Hingga sejauh ini pendakian gunung tinggi di Jawa hingga ke puncak yang
dilakukan oleh Eropa/Belanda belum banyak. Yang pertama didaki pertama pada era
VOC adalah gunung Salak. Lalu kemudian gunung Pangrango dan gunung Gede. Pada
tahu 1820 Resident Nahujs di Soerakarta mendaki hungga puncak gunung Merapi. Beberapa
tahun kemudian gunung Lawoe baru sampai ke candi Petok (di atas cabdi Suko).
Lalu kemudian, seperti disebut di atas gunung Arjoeno. Di Sumatra sendiri,
pendakian gunung tinggi hingga ke puncak baru dilakukan pada tahun 1838 di
gunung Pasaman (gunung Ophir) oleh dua pendaki professional dari Jerman.
Selanjutnya di Jawa, pendakian gunung hingga ke puncak banyak dilakukan oleh Ir
Jung Huhn.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pertapaan, Peninggalan Majapahit di Lereng Gunung Ringgit: Dimana Lagi?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar