*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
Aceh (Ureuëng Acèh) sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan
sebagian pedalaman Provinsi Aceh. Suku Aceh mempunyai beberapa nama lain yaitu
Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse. Bahasa yang dituturkan
adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia
Barat. Suku Aceh sesungguhnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan
bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama
ialah dalam bahasa.
Bahasa Aceh sebuah bahasa dituturkan masyarakat Aceh terdapat di wilayah pesisir. Bahasa Aceh termasuk rumpun bahasa Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau. Bahasa Aceh tersebar terutama di wilayah pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan mulai dari Manyak Payed, Aceh Tamiang di pesisir timur sampai ke Trumon, Aceh Selatan di pesisir barat. Pesisir Timur Aceh: Kota Sabang. Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur (kecuali di 3 kecamatan, Serba Jadi, Peunaron and Simpang Jernih di mana bahasa Gayo dipakai), Langsa, Aceh Tamiang, di kecamatan Manyak Payed, Pesisir barat Aceh: Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya (kecuali di kecamatan Susoh di mana bahasa Jamee dituturkan), Aceh Selatan (disebut juga bahasa Bakongan; bercampur dengan bahasa Kluet dan bahasa Jamee). (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Aceh di ujung utara pulau Sumatera? Seperti disebut di atas, bahasa Aceh di Aceh, bahasa terjauh di barat Indonesia. Seberapa dekat bahasa Cham, seberapa jauh bahasa Gayo. Lalu bagaimana sejarah bahasa Aceh di ujung utara pulau Sumatera? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Aceh di Ujung Utara Pulau Sumatera; Seberapa Dekat Bahasa Cham, Seberapa Jauh Bahasa Gayo
Bagaimana bahasa Aceh memiliki kedekatan dengan bahasa Champ? Ada ukurannya. Paling tidak menggunakan leksikostatistik. Seberapa banyak kosa kata bahasa Aceh mirip bahasa Cham? Dalam bahasa Aceh kelapa (u) sama dengan u bahasa Champ; cagee (beruang) sama dengan cagau; cicem (burung)=cim atau ciin’; glee (hutan)=glai; hu (nyala)=hu; piyoh (singgah)=piyoh; klep mata (kedip mata)=klek mota; rimung (harimau)=rimong.
Bahasa Aceh dengan bahasa tetangga bagaimana? Tentu saja bahasa Melayu
sungguh sangat banyak. Bahkan jauh lebih banyak dari jumlah kosa kata Cham.
Lalu apakah bahasa Aceh memiliki kedekatan dengan bahasa Champ? Bagaimana
bahasa Aceh dengan bahasa Gayo? Juga bagaimana bahasa Batak yang geografisnya
lebih jauh dengan bahasa Aceh. Ada sejumlah kosa kata elementer bahasa Aceh
mirip dengan bahasa Batak (Swadesh): inong, iku, ulee, babah, ate, mate, tulak,
sira dan tuha plus dilah, pingan, sangkot, reunget, tuot. Lantas mengapa bahasa
Aceh tidak lebih dekat dengan bahasa Gayo? Tentu saja bahasa Betawi tidak lebih
dekat dengan bahasa Sunda.
Kedekatan atau kejauagan bahasa adalah satu hal. Dalam hal ini sejak kapan bahasa Atjeh diinformasikan? Saru yang jelas, seperti dikutip di atas penamaan Aceh sendiri beragam: Aceh, Atjeh, Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Atjien, Atjin, Asji, A-tse dan Atse. Dalam identifikasi pada peta-peta sejak era Portugis hingga era Pemerintah Hindia Belanda juga beragam. Penulisan Atjeh paling tidak sudah muncul tahun 1686 (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 29-10-1686). Pada tahun 1684 (kerajaan) Pagaroejoeng melakukan kontrak dengan VOC di Malaka setelah Thomas Dias ke Pagaroejoeng via suangai Siak. Nama Aceh/Atjeh yang sekarang diduga kuat merujuk pada Belanda. Surat kabar tersebut pada tahun 1672 masih menulis Atjin (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 04-06-1672). Meski demikian nama Atjin sulit tergantikan (hingga era Pemerintah Hindia Belanda).
Dalam teks Negarakertagama (1365) belum dikenal nama Aceh. Nama yang sidah
disebut adalah Lamuri, Samudra, Parllak, Tamihang, Bharat, Baroes, H/Aroe,
(Padang) Lawas, Pane, Mandahiling dan Rokan. Nama Atjeh paling tidak sudah
disebut dalam laporan-laporan Portugis, antara lain Mendes Pinto (1537). Nama Atjeh
semakin dikenal sejak kehadiran pelaut-pelaut Belanda. Frederik de Houtman yang
ditangkap di Atjeh tahun 1599 menyusun kamus bahasa Melayu selama masa tahanan.
Pra-kamus ini disusun Frederik di Madagaskan pada tahun 1596. Selepas tahanan
di Atjeh (1602), Frederik de Houtman menerbitkan kamus bahasa Melayu-Belanda tersebut
di Amsterdam pada tahun 1603 (kamus pertama pelaut-pelaut Belanda selama era
VOC). Pada tahun 1609 Atjeh menyerang Portugis di Deli. Sejak pos perdagangan
Belanda direlokasi dari Amboina ke Batavia (VOC) pada tahun 1619 pelaut Belanda
semakin kuat. Pada tahun 1641 VOC menyerang Portugis dan Malaka dan kemudian
menduduki kota Malaka. Setahun kemudian pada tahun 1642 VOC menyerang Portugis
di kota Kamboja dan mendudukinya (Orang Portugis hanya terrsisa di Makao dan
Timor bagian timur). Pada tahun 1665 VOC mengusir perdagangan Atjeh di pantai
barat Sumatra (Indrapoera-Singkil/Troemon dan tahun 1684 di pantai timur Sumatra
(Siak-Tamiang).
Pada saat Frederik de Houtman di Atjeh (1599-1602), apakah di kota perdagangan Atjeh bahasa yang digunakan bahasa Melayu? Bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca? Lantas, apakah ada hubungan warga Kambodja dengan Atjeh pasca VOC menaklukkan kota Kamboja pada tahun 1642? Satu yang jelas, sejak 1624 VOC renggang dengan Atjeh. Lalu apakah kota Atjeh satu-satunya yang aman bagi orang Kamboja kolaborator Portugis? Satu yang jelas, berapapun yang eksodus dari Kamboja ke Atjeh, bahasa yang digunakan di Atjeh adalah bahasa Melayu. Dalam hal ini pengaruh bahasa Cham minim.
Seperti disebut di atas, kota utama di ujung utara pulau Sumatra sejak dahulu
adalah kota Lambri. Kota ini bahkan sudah eksis sejak abad ke-11 (lihat
prasasti Tanjore, 1030). Dalam prasasti ini juga disebut nama Panai. Dalam
perkembangannya, kerajaan (Islam) yang terbentuk di Lambri kemudian merelokasi
ibu kotanya ke belakang pantai di daerah aliran sungai Krueng (kini pusat kota
Banda Aceh). Lokas baru kerajaan ini sebelumnya adalah suatu pelabuhan (Ateh,
di ateh), yang diduga menjadi salah satu pelabuhan dari kelompok populasi
pedalaman (Gayo?).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Seberapa Dekat Bahasa Cham, Seberapa Jauh Bahasa Gayo: Bahasa Terjauh di Barat Indonesia
Sejak kapan bahasa Atjeh diinformasikan? Pada awal tahun 1850 Dr NH van der Tuuk mempelajari bahasa Batak dan Dr Matthes memperlajari bahasa Boegis/Makassar. Dalam laporan dan surat-surat van der Tuuk tidak ada yang menyinggung (keberadaan) bahasa Atjeh. Fakta bahwa secara geografis wilayah bahasa Atjeh dan wilayah bahasa Batak berdekatan. Apakah ini mengindikasikan bahwa belum pernah ada orang Eropa (literatur) yang menulis tentang bahasa Atjeh?
Kontak pertama Pemerintah Hindia Belanda dimulai pada tahun 1873 seiring
dengan rencana pemerintah mengirim ekspedisi dari pantai barat (di Padang) ke
Atjeh. Disebutkan kekuatan yang tersisa di Atjeh (setelah menurunnya kemakmuran
sejak paruh abad ke-17) tidak dipersatukan oleh bahasa (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-03-1873). Ini mengindikasikan
bahwa di wilayah Atjeh terdapat berbagai bahasa. Boleh jadi yang dimaksud
penulis, selain bahasa Atjeh ada juga bahasa Gayo dan bahasa Alas. Saat ini
Troemon sudah lama bekerjasama dengan Belanda, sejak VOC hingga era Pemerintah
Hindia Belanda (sejak 1848 dimasukkan ke dalam wilayah Residentie Tapanoeli,
province Sumatra’s Westkust). Persiapan ekspedisi ke Atjeh tengah berlangsung (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-03-1873).
Selain angkatan laut (enam kapal), khusus untuk infanteri saja (tidak termasuk
artileri, kavelari dan lainnya) terdiri dari 116 perwira dan 2.637 prajurit
yunior, dari batalyon ke-3 Samarang dan Willem I serta batalion 9, dari
Weltevreden plus korps Barisan dari Madura. Untuk mendukung logistic seribu
orang buangan (300 dari Batavia, 400 dari Samarang dan 300 dari Surabaya)
dengan mandoor yang diperlukan akan bertugas sebagai kuli. Kapal pengangkut logistic
sebanyak enam kapal. Perusahaan G.Kolff & Co di Batavia telah menerbitkan
peta Atjeh.
Wilayah Atjeh adalah satu-satunya wilayah yang tersisa di Hindia Belanda yang masih gelap bagi pemerintah (dan tentu saja public). Saat kontak dengan Atjeh (dalam persiapan ekspedisi pertama) bahkan peta tentang Atjeh baru dibuat. Sudah barang tentu, perihal bahasa di Atjeh lebih gelap lagi.
Seiring dengan ekspedisi ke Atjeh, nun jauh di sana di Belanda, Menteri
Koloni akan mengirimkan pejabat khusus dengan anggaran yang akan dimasukkan
pada tahun 1873 (lihat Algemeen Handelsblad, 07-04-1873). Disebutkan untuk
tugas khusus tersebut, untuk membiasakan diri sebagai selengkap mungkin dengan
orang dan situasi, dengan bahasa dan adat istiadat daerah, dimana ia harus
dapat memperoleh pengaruh moral, Raja telah diminta dan mendapat izin untuk
mempekerjakan pejabat yang sesuai.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar