*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
(Dayak) Kadazandusun adalah penduduk asli di daerah Sabah, Borneo, meliputi 27
subsuku: Dusun Liwan, Dusun Lotud, Rungus, Tagahas, Tangara dan lainnya. Penamaan
"Kadazandusun" dilakukan oleh Hoguan Siou Orang Dusun yang bernama
Tun Fuad era 50-an. Nama lama "Orang Dusun" yang dibuat oleh orang
Brunei menjadi nama baru "Kadazan". Dalam perkembangannya menjadi
"Kadazandusun" yang menyatukan dua sub kelompok masyarakat "Kadazan"
dan kelompok "Orang Dusun".
Bahasa Kadazan adalah sebuah dialek bahasa Dayak yang dipetuturkan oleh Suku Dayak Kadazan di Sabah. Bahasa Kadazan hampir menyerupai bahasa Dusun. Suku Kadazan dan Suku Dusun sebenarnya merupakan suku yang berbeda, tetapi berasal dari rumpun yang sama. Bahasa kedua suku ini seakan-akan mirip, cuma dibedakan oleh sedikit perbedaan dalam ejaan dan sebutan. Contohnya, "rumah" disebut sebagai "walai" dalam bahasa Dusun dan "hamin" dalam bahasa Kadazan. Banyak kata lain yang hanya berbeda dari segi ejaan seperti "dua" iaitu "duo" dalam bahasa Dusun dan "duvo" dalam bahasa Kadazan, dan "sembilan" yang disebut "siam" dalam bahasa Dusun, dan "sizam" dalam bahasa Kadazan. Namun, ada kata yang sama seperti "satu" iaitu "iso" dalam kedua bahasa dan "enam" yaitu "onom". (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Kadazan Orang Kadazandusun? Seperti disebut di atas ada bahasa Dusun dan ada pula bahasa Kadazan. Kedua kelompok populasi kini disebut Kadazandusun; Negeri Brunai, Negeri Serawak dan Negeri Sabah di Borneo Utara. Lalu bagaimana sejarah bahasa Kadazan Orang Kadazandusun? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Kadazan Orang Kadazandusun; Negeri Brunai, Negeri Serawak dan Negeri Sabah di Borneo Utara
Bagaimana bahasa Kadazan di Sabah? Untuk memahaminya perlu dipahami sejarah wilayah (negeri) Sabah sendiri. Secara administrasi, wilayah Sabah baru tahun 1963 bergabung dengan Federasi Malaya yang kemudian nama diubah menjadi Federasi Malaysia. Sementara secara geopgrafis wilayah Sabah (juga Brunai dan Serwak) berada di wilayah pulau Kalimantan bagian utara (Borneo Utara). Federasi Malaya berada terpisah jauh di Semenanjung Malaya.
Sebelum tahun 1946 semua wilayah di negara Malaysia berada di bawah
yurisdiksi Inggris dan negara Indonesia di bawah yurisdiksi Belanda. Pendudukan
Jepang (1942-1945) membuat situasi dan kondisi berubah. Pasca Perang Dunia (1945)
pada tahun 1946, Sabah dan wilayah lain di Federasi Malayu diberi status serupa
dengan koloni mahkota. Pada tahun 1948 serikat itu diubah menjadi federasi. Hal
ini terjadi di bawah tekanan gerakan nasionalis di berbagai bidang, yang
menginginkan pemerintahan yang lebih mandiri. Pada tahun 1957, Inggris
memberikan kemerdekaan kepada Malaysia.
Bagaimana dengan Kadazan pada masa lampau? Kadazan adalah nama yang dieja baru. Ejaan lama adalah Kadajan. Kelompok populasi Kadajan adalah kelompok populasi yang berbeda dengan Melayu di wilayah pantai. Nama Kadajan paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1859.
Algemeen Handelsblad, 14-07-1859: ‘Laporan dari Labocan: Setelah
menjalani karir panjang yang penuh ketidakadilan, pangeran Shabandar, yang dulu
bernama pangeran Makota atau Broerai, dibunuh oleh beberapa orang Kadajan dari
Limbang. Dia telah menyusuri sungai bersama sekelompok pengikutnya untuk
mengumpulkan upeti; tetapi karena tidak dapat memperoleh sebanyak yang dia
inginkan, dia menangkap beberapa orang disana. Teman-teman mereka ingin
menyelamatkan mereka dan karena Makota juga menyeret beberapa wanita muda ke
pirogue-nya, namun dia menolak untuk melepaskannya, kerabat mereka menyerang
perampok tersebut dan memukulinya sampai mati dengan tongkat. Sultan
memerintahkan Toemenggoeng mengumpulkan kekuatan untuk menghukum para Kadajan.
Dia segera melakukannya, dan membunuh tujuh atau delapan orang dari suku itu.
Makota adalah orang yang selama beberapa tahun ingin memaafkan Sir James
Brooke. Dia selalu memusuhi dia’.
Kerajaan Brunai yang berada diantara wilayah kelompok populasi asli di belakang pantai sealalu dalam ancaman. Kerjasama kerajaan dengan Inggris dapat menetralisir situasi dan kondisi. Sebagaimana biasanya, ada kecenderungan kerajaan-kerajaan yang didirikan di wilayah pantai mengklaim wilayah pedalaman dan menjadikan wilayahnya di bawah yurisdiksi. Ini tidak hanya di Borneo, juga di wilayah lain seperti di Semaenanjung dan Sumatra. Klaim ini dijadikan kerajaan sebagai dasar dalam pembuatan perjanjian-perjanjian.
De locomotief, 10-12-1884: ‘Dari Borneo Utara. Kini, setelah suku Bisaja
di Limbang berhasil ditenangkan, tampaknya semangat pemberontakan telah bangkit
melawan para pemburu kepala suku Muroet, yang tinggal di sungai Troesan,
Berawang, dan sungai-sungai lainnya, yang semuanya mengalir ke teluk Broenei.
Orang-orang pedalaman ini pertama kali dipanggil oleh para raja untuk mendukung
mereka melawan Bisaja dan Kadajan, tetapi dikirim kembali setelah mereka
mengambil enam kepala suku Kadajan. Jumlah ini tidak cukup sesuai dengan
keinginan mereka dan mereka telah mengirimkan, tanpa diminta, sekitar 30
penduduk Broenei dan 14 penduduk Serawak’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Negeri Brunai, Negeri Serawak dan Negeri Sabah di Borneo Utara: Melayu vs Dayak
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar