Senin, 02 Maret 2020

Sejarah Jakarta (105): Sejarah Tambora, Tempo Doeloe Kampong Orang Tambora; Apakah Orang Tambora Punah Sejak 1815?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Kampong Tambora adalah salah satu kampong tua di Batavia. Nama kampong Tambora kini menjadi nama kelurahan dan nama kecamatan di wilayah Jakarta Barat. Kampong Tambora adalah kampong orang yang berasal dari Tambora di pulau Sumbawa. Nama kampong Tambora paling tidak sudah diidentifikasi pada Peta 1890. Kampong Tambora adalah kampong terkenal tempo doeloe karena itu nama Tambora dijadikan nama

Kampong Tambora (Peta 1740 dan Peta 1890)
Pada tahun 1815 gunung Tambora meletus. Letusan gunung Tambora di Bima terdengar sangat kuat di Makassar, 5 April 1815. Letusan ini juga terdengar hingga ke (pulau) Bangka. Jauhnya bunyi letusan mengindikasikan dahsyatnya letusan gunung Tambora. Dari Makassar, komandan militer Inggris mengirim suatu ekspedisi segera ke selatan untuk meninjaunya yang dipimpin oleh perwira militer sebagaimana diberitakan Java government gazette edisi 20-05-1815. Pada tanggal 22, kapal Dispatch yang tengah berlayar dari Amboina tiba di lokasi yang tidak jauh dari letusan gunung Tambora. Petugas mengalami kesulitan besar dalam pendaratan di teluk, yang mana seluruh teluk dipenuhi batu-batu apung, arang dan gelondongan kayu. Rumah-rumah tertimbun oleh abu. Komandan ekspedisi dari Makassar tersebut adalah Capt. Eatwell dengan kapalnya Benares (lihat De Curaçaosche courant, 05-04-1816). Menurut laporan ekspedisi tidak ada makhluk hidup termasuk penduduk yang selamat di sekitar gunung Tambora. Lantas apakah orang Tambora telah punah?

Bagaimana sejarah Tambora dan orang-orang Tambora di Jakarta? Jauh sebelum gunung Tambora meletus (1815) orang-orang Tambora sudah ada yang berada di Batavia. Mereka ini adalah bagian dari pasukan pribumi pendukung militer VOC. Mereka inilah yang membangun perkampongan Tambora. Lantas apakah orang Tambora yang selamat dari letusan gunung Tambora telah dievakuasi ke perkampongan Tambora di Batavia? Orang Tambora yang berada di Batavia ini dapat dikatakan sebagai The Last Mochican. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 01 Maret 2020

Sejarah Jakarta (104): Sejarah Luar Batang di Luar Batang; Kampong Tua Sejak 1847, Nama Aslinya Kampong (Hutan) Borong


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Kampong Luar Batang adalah kampong tua di Jakarta. Disebutkan kampong ini awalnya bernama kampong Borrong dan berubah menjadi nama kampong Loear Batang (lihat Javasche courant, 20-10-1847). Pada masa ini kampong Luar Batang termasuk wilayah kelurahan Penjaringan. Kelurahan Penjaringan bertetangga dengan keluarahan Pluit di kecamatan Penjaringan, wilayah Jakarta Utara. Pada masa ini kampong Luar Batang terkenal karena terdapat masjid tua yang juga diberi nama Masjid Luar Batang.

Kampong Loear Batang (Peta 1826) pada masa kini
Kampong Luar Batang berada di luar batang. Dalam hal ini, tempo doeloe, batang (boom) adalah tembok/batas pelabuhan Soeda Kalapa. Nama kampong ini sebelumnya bernama kampong Borrong. Kampong ini diduga adalah perkampongan orang-orang Makassar. Dalam bahasa Makassar ‘borong’ adalah hutan. Pada masa ini nama Borong dikenal sebagai nama kelurahan di kecamatan Manggal, Kota Makassar. Pada Peta 1826 kawasan dimana kini kampong Luar Batang (cf/ kampong Borrong) diidentifikasi sebagai area hutan rawa-rawa (kreupelbosch or swamp).

Lantas bagaimana sejarah kampong Luar Batang di Penjaringan? Sejauh ini sejarah Luar Batang ditulis seadanya saja. Sebagai bagian dari penulisan sejarah Jakarta, sejarah kampong Luar Batang menjadi penting untuk ditulis. Paling tidak di (kampong) Luar Batang terdapat satu masjid lama yakni Masjid Luar Batang. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (42): Teori Baru Ekonomi Alip Ba Ta Khas Musik Indonesia; Biarkanlah Tangan Tidak Kelihatan Bekerja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Fenomena Alip Ba Ta bukanlah sekadar fenomena fingerstyle Alip Ba Ta, Fenomena Alip Ba adalah fenomena pasar (market) di era dunia baru (Youtube). Suatu dunia baru kita (Ourtube) yang terbentuk dari kemajuan teknologi informasi. Alip Bat Ta dalam hal ini hanyalah seorang pelaku pasar layaknya supplier (fungsi supply). Kita sebagai follower Alip Ba Ta menjadi consumer (fungsi demand). Dalam mekanisme pasar, yang diatur oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand), Alip Ba Ta menawarkan suatu jenis product yang disebut musik fingerstyle. Setiap orang dapat bereaksi terhadap produk tersebut dalam industri musik fingerstyle.

Teori Ekonomi Alip Ba Ta
Produk keluaran Alip Ba Ta telah mendapat tempat di pasar global (Ourtube). Produk keluaran Alip Ba Ta tidak hanya dikenal di pasar domestik tetapi juga di pasar manca negara (internasional). Produk keluaran Alip Ba Ta ibarat merek MU atau Real Madrid, setiap orang dapat melihat penampilan klub dalam bertanding dan dapat menonton kembali (misalnya lewat Youtube). Produk keluaran Alip Ba Ta berbeda dengan merek Samsung atau Apple, karena tidak semua orang dapat memilikinya (to consume). Produk keluaran Alip Ba Ta lebih lentur, lebih mudah diperoleh setiap orang (to consume) tanpa harus membayar dalam bentuk money. Meski demikian, transaksi di dalam dunia baru (Youtube) dapat mengkreasi uang melalui perhitungan yang disebut views, subscribe dan comment. Dalam hal ini market dunia baru memiliki dua persyaratan: syarat perlu (supply demand of product) dan syarat cukup (kapitalisasi moneter).

Fenomena Alip Ba Ta adalah satu kasus (khas) ekonomi di dalam dunia baru Ourtube. Manariknya, product fingerstyle Alip Ba Ta, sebagai pendatang baru dalam pasar baru telah menyita perhatian publik (terbentuknya turunan produk seperti video reaction) yang dapat diangap sebagai munculnya bentuk pasar yang baru (namun tetap terkait dengan produk utama: fingerstyle guitar Alip Ba Ta). Lantas seperti apa memahaminya? Lalu bagaimana menyikapinya? Mari kita analisis fenomena Alip Ba Ta.

Sabtu, 29 Februari 2020

Sejarah Jakarta (103): Sejarah Pluit, dari Land Fluyt hingga Waduk Pluit; Sisi Timur Sungai dari Fort Angke hingga Post de Fluyt


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Area (wilayah) Pluit awalnya adalah rawa-rawa yang sangat luas. Seperti apa peta geografis wilayah Pluit tempo doeloe sangat berbeda dengan peta masa kini (googlemap). Waduk Pluit yang sekarang tempo doeloe adalah muara sungai Grogol. Waduk Pluit yang sekarang, posisi GPSnya tempo doeloe berada di sisi timur sungai Angke. Wilayah antara sungai Angke dan sungai Grogol tersebut tepat berada area Pluit.

Pluit (Peta 1740)
Pasca serangan Mataram ke Batavia (1628) kota (stad) Batavia diperkuat dengan sejumlah benteng (fort). Salah satu benteng yang dibangun (sekitar 1650an) adalah fort Angke (di sisi timur sungai Angke). Untuk menghubungkan kota Batavia dan fort Angke dubangun kanal. Pada tahun 1684 kanal dibangun dari fort Tangerang ke fort Angke (selesai 1687). Dengan demikian antara Batavia dan Tangeran jarak dan waktu tempuh dengan transportasi air lebih pendek (Kanal ini kini dikenal sebagai sungai di sisi utara jalan Daan Mogot). Dalam perkembangannya dari fort Angke di sisi timur sungai Angke ke arah laut dibangun kanal baru. Pada ujung kanal baru ini pasca tragedi kerusuhan 1740 dibangun post militer (disebut Post de Fluyt, yang menjadi asal-usul nama Pluit). Untuk menghubungkan kota Batavia dan post Fluyt dibangun kanal baru. Antara kanal baru inilah posisi GPS waduk Pluit yang sekarang.

Lantas bagaimana sejarah Pluit? Sejauh ini sejarah Pluit belum pernah ditulis. Sebagai bagian dari penulisan sejarah Jakarta, sejarah Pluit menjadi penting untuk ditulis. Paling tidak di (kawasan) Pluit terdapat dua situs penting yakni Post Pluyt dan Waduk Pluit. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 28 Februari 2020

Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada (sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali Malang (membuang anggaran dua kali).

Kanal Kali Malang dibangun pada tahun 1860an. Kanal ini dibangun sejatinya bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya, Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi’.

Kanal Kali Malang adalah satu hal. Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut. Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal, tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi. Normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada.

Kamis, 27 Februari 2020

Sejarah Jakarta (101): Sejarah Pesing dan Hubungan Baik Batavia dan Pecking; Kanal Mookervaart Antara Tangerang dan Angke


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pesing adalah suatu area (kawasan). Salah satu situs penting terkenal di Pesing adalah stasion Pesing. Nama Pesing sendiri adalahnama  suatu kawasan yang sangat tua. Begitu tua sehingga sejarahnya tidak ada yang menulisnya. Pusing, bukan? Tapi kita tidak perlu khawatir, karena data sejarah Pesing sangat melimpah. Masalahnya adalah belum ada yang menulisnya. Karena itulah kita mulai menulisnya.

Peta 1724
Dari berbagai tulisan tentang sejarah Pesing yang dapat dibaca di internet disebutkan asal-usul dengan beragam versi. Padahal sejarah Pesing sejatinya hanya satu versi, yakni versi berdasarkan data sejarah. Dalam hal nama Pesing adalah baru. Jika suatu tempat masih baru maka asal-usulnya dapat mudah diketahui. Yang sulit adalah nama-nama kuno (baca: sebelum era VOC/Belanda). Dalam satu versi nama Pesing berasal dari bahasa Soenda, peusing yakni trenggiling. Versi lainnya Pesing berasal dari bau kencing yakni pesing. Menurut Ridwan Saidi lainnya lagi bahwa Pesing berasal dari nama pohon pesing, padahal menurut kamus botani era kolonial Belanda tidak ditemukan nama tanaman pesing (lihat Nieuw plantkundig woordenboek voor Nederlandsch Indie, 1909). Tiga versi itu tampaknya mengarang-ngarang dan menggunakan metodologi toponimi. Namun toponimi bukanlah metodologi sejarah. Oleh karena itu asal-usul nama Pesing tiga versi itu sangat naif.

Sebelum muncul nama Pesing, nama tempat terkenal adalah benteng (fort) Angke. Benteng Angke di satu sisi telah terhubung dengan Batavia. Dalam perkembangan waktu, (fort) Tangerang dihubungkan oleh kanal yang kemudian disebut kanal Mookervaart (kini lebih dikenal kali di sisi jalan Daan Mogot). Area sekitar benteng Angke inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pesing. Land di area Pesing ini pernah dimiliki oleh Nie Hokong. Untuk lebih menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.