Kamis, 02 Januari 2020

Sejarah Jakarta (73): Sejarah Tanjung Priok Bukan Dongeng Kali Tiram; Area Marjinal Tidak Bertuan Jadi Pelabuhan Internasional


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Tanjung Priok pada dasarnya belum pernah ditulis. Tulisan-tulisan tentang sejarah Tanjung Priok yang ada selama ini hanyalah kumpulan karangan belaka, entah dari mana sumbernya. Sejarah Tanjung Priok bukanlah dongeng. Sesungguhnya tidak ada celah memasukkan unsur dongeng dalam sejarah Tanjung Priok. Sebagaimana tempat-tempat lainnya di Jakarta, Tanjung Priok berada di tempat yang terang benderang dalam origin sejarah.

Tanjung Priok: Old (Peta 1824) en NOW (Peta satelit)
Sejarah adalah narasi fakta, bukan fiksi. Menulis sejarah itu jelas tidak sulit, tetapi jangan digampangkan. Yang paling sulit dalam hal penulisan sejarah adalah soal bagaimana data (fakta dan keterangan) dikumpulkan. Tidak sampai di situ saja, bagaimana cara menguji (menilai) data yang ada dapat dikatakan akurat (valid). Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah soal pertanggungjawaban sejauh mana data itu tidak dapat dibantah. Dalam bahasa matematis hari ini bukan sejarah tetapi hari kemarin adalah sejarah. Membandingkan hari kemarin dengan setahun lalu, maka nilai sejarah tahun lalu lebih timggi nilainya dibanding hari kemarin. Dengan demikian sejarah bersifat retrospektif. Semakin tua semakin bernilai sejarah, namun yang membedakan sejarah bernilai atau tidak, bukan ditentukan oleh jauh tidaknya origin ke belakang tetapi yang lebih menentukan adalah datanya (apakah bisa menghadirkan bukti). Jika tidak bisa menghadirkan bukti, itu berarti dongeng. Menulis sejarah, kita tidak sedang mendongeng.

Lantas serupa apa sejarah Tanjung Priok? Nah, itu yang menjadi keingintahuan kita. Oleh karena sejarah Tanjung Priok adalah narasi fakta, maka secara teknis sejauh ini sejarah Tanjung Priok belum pernah ditulis. Dalam kerangka itulah kita mulai menulis sejarah Tanjung Priok. Untuk itu marilah kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 30 Desember 2019

Sejarah Jakarta (72): Sejarah Ancol dan Jeremis van Riemsdijk; Benteng Ancol di Sungai Antjol, Akses Baru ke Weltevreden


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Ancol pada masa ini haruslah dibilang sebagai taman impian warga Jakarta ketika akses ke laut begitu sulit didapat. Namun cerita-cerita tentang Ancol yang membuat pengunjung terasa terhenyak ketika berada di Ancol bukan soal wahananya. Yang banyak dibicarakan justru yang aneh-aneh seperti kisah ‘Si Manis Jembatan Ancol’. Namun ada satu hal, tetapi agak jarang dipertanyakan yakni soal mengapa ada benteng kuno di Ancol. Pertanyaan mengapa dan bagaimana benteng itu belum ada yang bisa menjawabnya.

Benteng (fort) Antjol, 1656
Tempat wisata Ancol dibangun sejak era kemerdekaan Indonesia. Konon, sejak kepulangan Presiden dari Amerika Serikat, 1856 gagasan pembangunan Ancol dimulai. Pembangunan Ancol dimaksudkan untuk meniru Disneyland Amerika Serikat, Setelah land clearing, pembangunannya sempat tersendat. Pembangunan tempat rekreasi Ancol baru dilanjutkan dan selesai pada era Presiden Soeharto. Kini, tempat rekreasi Ancol yang disebut Taman Impian Jaya Ancol yang dikelola oleh PT Pembangunan Jaya masih eksis. Namun tidak lagi menjadi impian seperti dulu. Itu semua karena pertanyaan tentang mengapa ada benteng di Ancol belum terjawab.

Lantas seperti apa sejawah awal Ancol? Itu dia yang juga ynag harus diimpikan. Satu sejarah awal terpenting di Ancol adalah keberadaan benteng (fort) Antjol. Berdasarkan catatan sejarah tertulis, benteng ini sudah eksis pada tahun 1656. Suatu benteng yang dibangun untuk basis pertahanan dalam melindungi kota (stad) Batavia. Sejak adanya benteng ini, area Antjol mulai dikembangkan. Salah satu pengembang terkenal di (land) Antjol adalah Jeremias van Riemsdijk (yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC). Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (71): Sejarah Awal Gunung Sahari; Bukan Gunung Sebenarnya, Tempo Dulu Daratan Kering di Tengah Rawa Luas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Di Jakarta ada namanya kawasan Gunung Sahari (di sebelah timur Pasar Baru). Satu yang menarik pada masa ini, tidak ada yang menulis sejarah Gunung Sahari secara lengkap (dari awal sampai akhir). Hanya ditulis sepotong-sepotong dari sejarah panjang Gunung Sahari. Padahal tidak ada sejarah di Jakarta yang bersifat misteri (sulit diketahui). Semua tempat di Jakarta saling terhubung satu sama lain.

Peta 1624 dan Peta 1665
Sesungguhnya tidak sejengkal pun tanah di Jakarta tanpa memiliki sejarah. Semuanya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri namun tidak berdiri sendiri. Antara satu tempat dengan tempat lainnya di Jakarta satu sama lain memiliki keterkaitan dalam proses yang panjang. Oleh karena itu, menulis sejarah suatu tempat di Jakarta tidak bisa melihat keseluruhan tanpa memperhatikan relasinya dengan yang lain. Dalam hubungan ini, jika tidak memperhatikan relasi tersebut maka yang terjadi adalah gagal paham (tidak memberi kontribusi dalam pengetahuan). Analisis relasi dalam merekonstruksi sejarah suatu tempat (dalam hal  ini di Jakarta) menjadi sangat penting. Satu hal yang terpenting dalam menarik relasi tersebut haruslah didukung data sejarah yang valid. Pemahaman terhadap tipologi (scientific) tempat serupa dapat memperkuat pemahaman (seperti tipologi Tangerang dan Bekasi). Dalam penulis sejarah suatu tempat kita tidak bisa secara gegabah menggunakan pendekatan toponimi (yang cenderung bersifat art).

Relasi terdekat Gunung Sahari adalah Pasar Baru (bukan Senen dan juga bukan Kemajoran). Kedekatan sejarah Gunung Sahari, selain Pasar Baru aalah Mangga Dua dan Ancol. Tiga area ini harus dilihat secara simultan dalam memahami sejarah Gunung Sahari. Yang di masa lalu ketiga tempat ini secara alamiah terhubung dengan eksistensi sungai Ciliwung. Dengan pendekatan metodologis ini dimungkinkan untuk merekonstruksi sejarah Gunung Sahari. Untuk menambah pengetahuan kita, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Sabtu, 28 Desember 2019

Sejarah Jakarta (70): Sejarah Gambir, dari Koningsplein hingga Lapangan Merdeka Tugu MONAS; Pasar Gambir Sejak 1904


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Secara teknis, sejarah Gambir dan Pasar Gambir belum pernah ditulis. Padahal, secara teoritis Gambir sudah sejak lama dipersepsikan sebagai pusat Batavia yang tidak tergantikan bahkan hingga ini hari sebagai pusat Jakarta yang notabene juga menjadi pusat Indonesia. Dalam bahasa tata surya, keberadaan Gambir adalah semacam ‘lobang hitam’ yang mampu menyedot perhatian semua rakyat Indonesia. Lantas mengapa sejarah Gambir terabaikan? Nah, itu dia.

Koningsplein (Peta 1860) dan Tugu Monas
Nama Gambir menjadi muncul populer sejak tahun 1904. Ini sehubungan dengan pembukaan festival yang kali pertama diadakan. Festival ini berpusat pada area Pasar Gambir. Festival ini baru menemukan bentuknya pada tahun yang ketiga tahun 1906 sebagai pasar tahunan (jaarmarkt) untuk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1906). Pada era Republik Indonesia tradisi ini tetap diteruskan dengan nama Pekan Raja Djakarta (Djakarta Fair dan selanjutnya disebut PRJ). Festival atau Pasar Gambir dengan nama terakhir PRJ tamat setelah direlokasi ke Kemayoran tahun 1992 dengan nama Jakarta International Expo (JIE).  
.   
Dalam blog ini, penulisan Sejarah Gambir adalah bagian dari keseluruhan Sejarah Jakarta Pusat yang mana pada altikel sebelumnya sudah ditulis sendiri-sendiri tentang sejarah Pasar Senen, sejarah Tanah Abang, sejarah Menteng (plus sejarah kanal Gresik), sejarah Kwitang, sejarah Salemba (Struiswijk), sejarah Kemayoran, sejarah Matraman, sejarah Istana Merdeka, sejarah Sawah Besar (plus sejatah jalan Lautze), sejarah Pacenongan, sejarah Pasar Baru dan sejarah Petojo. Beberapa artikel menunggu editing antara lain sejarah Gunung Sahari, Ancol, Kemayoran, Rawasari dan sejarah Bukit Duri. Untuk segera menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. menambah pengetahuan kita tentang Sejarah Gambir mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 27 Desember 2019

Sejarah Jakarta (69): Sejarah Petojo, Sudah Dikenal Sejak VOC/Belanda; Fort Riswijk, Pabrik Batu Bata, Pabrik Batu Es Terkenal


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Petojo bukanlah nama baru di Jakarta. Nama Petojo bahkan sudah eksis sesjak era VOC/Belanda. Kampong Petodjo terletak tidak jauh dari benteng (fort) Riswijk. Posisi GPS kampong Petodjo berada di sisi barat sungai Krokot (sementara Fort Riswijk berada di sisi timur sungai Krokot). Dua situs tua ini diduga terkait satu sama lain. Situs pertama adalah Fort Riswjik. Kampong Petodjo diduga adalah pemukiman awal pasukan pribumi yang bekerja di Fort Riswijk. Namun nama Petodjo baru populer pada era Pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat industri batu bata.

Javasche courant, 08-12-1838
Pada era VOC/Belanda (1619-1799), pusat industri batu bata berada di utara sawah besar. Lalu lintas utama di area industri batu bata ini kemudian dikenal sebagai Steenbakker Gracht (kanal pembakaran batu bata). Kanal ini tampaknya menjadi moda transportasi air untuk mengangkut batu bata ke kota (stad) Batavia. Kanal ini terhubung dengan sungai Tjiliwong di Mangga Besar. Dalam perkembangannya, di sisi kanal Steenbakker Gracht dibangun jalan darat yang kini dikenal sebagai jalan Tangki Lio.

Pabrik batu bata di Petodjo dikelola oleh pemerintah (lihat Javasche courant, 08-12-1838). Disebutkan, para pekerja yang bekerja di pabrik batu bata di Petodjo dan orang yang bekerja di benteng (fort) Prins Frederik (nama baru Fort Noordwijk) dibiayai oleh pemerintah. Informasi ini mengindikasikan bahwa fort Riswijk tidak difungsikan lagi (tetapi Fort Noordwijk masih difungsikan). Kini, kampong Petodjo menjadi dua kelurahan di kecamatan Gambir, Jakarta Pusat: Petojo Selatan dan Petojo Utara. Untuk menambah pengetahuan kita tentang sejarah Petojo mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Kamis, 26 Desember 2019

Sejarah Jakarta (68): Sejarah Pasar Baru, Kampong Noordwijk Menjadi Wijk Pasar Baroe; Komunitas India di Pasar Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Namanya Pasar Baroe jelas pasar yang baru. Pasar lamanya adalah Pasar Senen. Pertanyaannya mengapa dibangun pasar yang baru di kawasan (area) Noordwijk sementara sudah ada pasar di area Weltevreden (Sebelumnya disebut Pasar Vinke atau Pasar Snees). Jarak antara Pasar Senen dengan Pasar Baroe tidak begitu jauh. Tentu saja ada sebabnya yang menjadi sejarah Pasar Baroe penting diketahui. Pada masa ini Pasar Baroe ini berada di kelurahan Pasar Baru, kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Pasar Baru (Peta 1860)
Pada tahun 1865 Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling (semacam kabupaten): Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg  (lihat Dr. Hollander, 1869). Afdeeling Stad en voorsteden (Batavia dan Weltevreden) terdiri dari area-area Molenvliet; Noordwijk, Rijswijk, Batoe Toelis; Pasar Baroe, Parapattan, Tanah-abang, Weltevreden, Kramat, Struiswijk, Goenoeng Sari, Tanah Njonja. Jumlah penduduk sekitar 63.000 jiwa yang mana diantaranya terdapat sekitar 3.000 Europeanen en 17.000 Chinezen. Pada tahun 1900, Batavia (Afd. Stad en voorsteden: District Batavia dan District Weltevreden) terdiri dari enam onderdistrict, yakni: Manggabesar, Pendjaringan, Tandjong Priok, Gambir, Tanahabang dan Senen (lihat W. J. van Gorkom, 1912). Nama-nama kampong di onderdistrict Manggabesar adalah Klenteng, Kebondjeroek, Patjebokan, Sawah Besar, Djawa, Kroekoet, Petodjo Ilir, Petodjo Sawah, Doeri, Tanah Sreal, Tandjong Kramat, Angke, Djembatan 5 Koelon, Djembatan 5 Wetan, Blandongan dan Pintoe Besie.

Berdasar Sensus 1930 Sawah Besar dikategorikan sebagai kampong sementara Pasar Baroe dikategorikan sebagai wijk [lihat Alphabetisch Register van de Administratieve-(Bestuurs-) en Adatrechtelijk Indeeling van Nederlandsch-Indie. Deel I: Java en Madoera. Door W. F. Schoel. Landsdrukkerij, Batavia, 1931].