Jumat, 09 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (13): Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Pantai Timur Kalimantan, Laut Sulawesi; Indonesia versus Malaysia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini

Pulau Sipadan dan pulau Ligitan berada di laut Sulawesi yang posisi GPSnya terletak di pantai timur pulau Kalimantan, Dua pulau ini secara geografis diantara Indonesia dan Malaysia yang pernah disengketakan. Bagaimana hasil sengketa tersebuit di Mahkaah Internasional di Den Haag (Belanda) adalah satu hal. Hal yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sejarah dua pulau tersebut.

Pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang letaknya terpencil di tengah lautan yang tidak berpenghuni (tetap) di masa lampau dianggap biasa-biasa saja dan tidak ada masalah. Berbeda dengan pulau Palmas (Miangas) yang telah berpenghuni yang sempat dklaim Amerika Serikat (Filipina) tahun 1898 tetapi klaim Hindia Belanda (Indonesia) dimenangkan. Begitu kecil dua pulau ini dan tidak berpenghuni pula menjadi kurang mendapat perhatian. Pada tahun 1967 dala hal perbatasan negara kedua negara sama-sama memasukkan dua pulau ini ke dalam peta masing-masing. Ketika pengusaha Malaysia merintis jalan ke pulau-pulau terpencil ini untuk tujuan wisata tahun 1991 baru menimbulkan masalah (bagi Indonesia). Saat itu wisatawan Belanda terus meningkat ke Malaysia. Singkat cerita dua negara pada akhirnya sepakat persoalannya tahun 1996 dibawa ke Mahkamah Internasional. Dengan berbagai argumen yang menguntungkan Malaysia dan argumen yang belum meyakinkan Indonesia badan hukum internasional itu memutuskan klaim dua pulau tersebut dimenangkan oleh Malaysia (31 Mei 1997). Uniknya seiring dengan hal perbatasan 1967 dibentuk IGGI, suatu badan di Belanda yang ingin membantu Indonesia. Tidak lama setelah dua pulau ini dinyatakan dua belah pihak status-quo, pada tahun 1992 IGGI dibreidel Indonesia. Apakah pemerintah Belanda telah bermain di balik sengketa ini?

Lantas apakah ada sejarah pulau Sipadan dan pulau Ligitan? Nah, itu dia! Yang jelas dua pulau ini pernah dipersengkatan. Lalu apa pentingnya sejarah pulau Sipadan dan pulau Ligitan? Tentu saja karena pernah disengketakan maka penting meninjau sejarahnya. Semakin penting sejarahnya karena dua pulau ini tidak jauh dari pulau Sebatik di provinsi Kalimantan Utara. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Riwayat Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Secara teknis pulau Sipadan dan pulau Ligitan masuk wilayah yurisdiksi Indonesia. Hal ini jika garis lurus yang membagi wilayah pulau Sebatik ditarik sesuai lintan maka pulau Sipadan dan pulau Ligitan jatuh di selatan garis (wilayah Indonesia). Hal itulah tempo doeloe diklaim pemerintah Indonesia sebagai wilayah Indonesia. Namun secara geografis pulau Ligitan dan pulau Sipadan lebih dekat ke daratan wilayah Sabah (Malaysia).

Okelah, pulau Ligitan secara geografis lebih dekat dengan Sabah, tetapi pulau Sipadan sejatinya berada di wilayah perairan Indonesia (mengacu pada garis lurus (lintan) dari batas wilayah di pulau Sebatik. Namun persoalannya menjadi lain ketika Mahkamah Internanasional memenangkan klaim Malaysia terhadap kedua pulau tersebut. Lantas apakah pertimbangan Mahkamah Internasional bersifat jujur, transparan dan adil?

Dalam penentuan batas wilayah di lautan tidak selalu berdasarkan teoritis dan teknis. Namun juga didasarkan karena fakta secara tradisonal (historis) sejak dihuni oleh penduduk yang menjadi bagian dari wilayah negara tertentu. Akan tetapi pulau Sipadan dan pulau Ligitan tidak memiliki penduduk ketika perbedaan persepsi muncul. Oleh karena itu tidak dapat ditrace ke masa lampau. Lantas apakah ada kesepakatan (perjanjian) yang dibuat pada masa lampau?

Satu kesepakatan (perjanjian) yang ada di masa lampau adalah antara Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris yang membagi wilayah pulau Sebatik menjadi dua bagian yang mana area di selatan garis adalah wilayah Pemerintah Hindia Belanda dan sebelah utara wilayah yurisdiksi Inggris. Lalu apakah ada kesepakatan tentang pulai Sipadan dan pulau Ligitan dibuat ketika pembagian wilayah pulau Sebatik. Garis lurus sesuai lintang secara defavto masuk wilayah Hindia Belanda.

Perbedaan persepsi yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam klaim pulau Ligitan dan pulau Sipadan dijadikan kedua belah pihak menjadi status-qua (deadlock). Sekali lagi dalam status quo ini terjadi lagi perbedaan persepsi. Pihak Indonesia mengasumsikan bahwa situasi status quo adalah tidak boleh ada intervensi dan tidak boleh ada perubahan apapun selama status quo. Namun Malaysia mengasumsikan bahwa pembangunan dapat diteruskan (karena Malaysia sudah memulai pembangunan di pulau yang menjadi pangkal perkara perbedaan persepsi awal menjadi situasi dan kondisi harus status quo). Ketika Indonesia protes Malaysia mengabaikannya (karena yang dipersepsikan Malaysia berbeda dengan yang dipersepsikan Indonesia). Apakah dalam situasi status quoa ini, Malaysia bersifat jujur?

Seperti disebutkan dalam argumentasi Mahkamah Internasional bahwa salah satu alasan yang memperkuat kemenangan Malaysia 1997, karena Malaysia sudah membangun dan memanfaatkan pulau. Lantas mengapa argumen ini sesuai dengan langkah yang dilakukan Malaysia pada saat status quo diberlakukan di pulau Sipadan dan pulau Ligitan? Lalu apakah Mahkamah Internasional dalam mepertimbangkan keputusa bersifat jujur dan adil? Apakah ada Inggris di belakang keputusan ini? Juga adakah Belanda bermain di belakang keputusan ini? Setidaknya Belanda ikut menyajikan fakta dan data yang sebenarnya. Sebagaimana diketahui sejak 1992 Indonesia bertengkar dengan Belanda soal IGGI dimana Indonesia menolak IGGI karena Indonesia merasa digurui (didikte) Belanda.

Jujur atau tidak jujur, adil atau tidak adil, Indonesia negara hukum patuh terhadap hukum internasional (keputusan Mahkaah Internasional). Kemenangan Malaysia diakui dan kekalahan dapat diterima Indonesia. Bukan karena pulau-pulau Indonesia masih sangat banyak lagi, tetapi hanya semata-mata kepatuhan hukum, yang mana hukum seharusnya dibuat jujur dan adil. Sejak diputuskan Mahkamah Internasional, Indonesia tidak lagi bertanggungjawab dan peduli terhadap dua pulau Sipadan dan Ligitan.

Pada masa ini luas pulau Sipadan hanyalah 10,4 Ha dan luas pulau Ligitan 7,4 Ha. Indonesia tidak banyak kehilangan. Dengan diputuskannnya soal pulau Sipadan dan pulau Ligitaan maka Indonesia dengan pulau Sipadan dan pulau Ligitas putus sudah. Lantas apakah Malaysia akan tenang selamanya dengan selesainya perkara pulau Sipadan dan pulau Ligitan dengan Indonesia? Bagaimana dengan Filipina?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Filipina Klaim Sabah

Pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang pernah disengketakan antara Indonesia dan Malaysia telah dimasukkan ke wilayah Sabah. Lantas bagaimana sejarah Sabah? Tentu saja masih menarik untuk diperhatikan. Bukan karena pulau Sipdan dan pulau Ligitan sudah lepas dari Indonesia tetapi karena belakangan ini wilayah Sabah yang sudah lama menjadi bagian (federasi) Malaysia digugat Filipina karena merasa memiliki hak sepenuhnya atas Sabah. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Pada Peta 1877 wilayah Sabah yang sekarang adalah kerajaan Soeloe. Kerajaan Soeloe ini membawahi kerajaan Mangidari dan kerajaan Maloedoe. Tiga kerajaan atas nama kerajaan Soeloe kini menjadi bagian dari wilayah Sabah (Federasi Malaysia). Wilayah kerajaan Soeloe ini termasuk gugus pulau-pulau yang sambung menyambung hingga pulau Mindanao. Oleh karena kerajaan Soeloe begitu besar dan luas, maka dunia internasional mengidentifikasi laut di depan daratan Soeloe (kini Sabah) sebagai Laut Soeloe. Kerajaan Soeloe adalah satu diantara tiga wilayah besar di pantai utara Borneo (dua yang lainnya Broenai dan Serawak. Dalam Peta 1877 ini wilayah kerajaan Soeloe berada di luar batas Hindia Belanda dan di luar batas wilayah yurisdiksi Inggris. Wilayah kerajaan Soeloe di pulau Borneo adalah wilayah yang terpisah secara mandiri (masuk wilayah yurisdiksi Spanyol?).

Ketika Filipina masih di bawah yurisdiksi Spanyol, pemahaman Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda tentang sebagian wilayah Borneo Utara (Soeloe) batas antara Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda tetap eksis seperti sebelumnya (Peta 1877) tetapi batas Inggris dengan Soeloe telah dihapus (lihat Peta 1894).

Dalam Peta 1894 ini wilayah Borneo Utara telah dibagi dua besar yakni wilayah kerajaan Broenei dan wilayah yurisdiksi Inggris. Wilayah kerajaan Bornei  berbatasan langsung dengan wilayah Pemerintah Hindia Belanda. Dengan kata lain wilayah yurisdiksi Inggris yang terbagi dua yaknu di barat Broenei dan di  timur Broenei di atasnya diidentifikasi sebagai British Noord Borneo. Tidak ada lagi identifikasi nama kerajaan Soeloe. Apakah eksistensi kerajaan Soeloe dihapus?

Pada tahun 1898 sesuai perjanjian antara Spanyol dan Amerika Serikat wilayah Filipina berada di bawah yurisdiksi Amerika Serikat. Dalam hal ini berakhir sudah Spanyol di Asia Tenggara. Tiga kekuatan besar di kawasan komposisinya terdiri dari Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Pada wilayah Borneo Utara seperti pada Peta 1902 dibagi dua wilayah: Bagian wilayah di timur batas Broenei diidentifikasi sebagai Gouverment van Britisch Noord Borneo.

Nama Soeloe tidak pernah muncul lagi. Di wilayah Gouverment van Britisch Noord Borneo (Peta 1902) sudah terbentuk pemerintahan yang terbagai ke dalam beberapa wilayah administrasi seperti Den provincie, Keffel provincie, Alcock provincie dan wilayah eks Soeloe diidentifikasi sebagai Oostkust Residentie dengan ibu kota di Sandakan. Sementara itu batas wilayah kerajaan Broenei di sebelah barat dihapus yang secara keseluruhan disebut wilayah Sarawak yang di dalammnya terdapat (kerajaan) Broenei. Ini seakan-akan di sebelah batas timur Broenei adalah Inggris dan di sebalah barat Sarawak-Broenei. Pada Peta 1914 kerajaan Broenei hanya diidentifikasi suatu wilayah kecil (antara sungai Baram dan sungai Limbang) yang tidak menyentuh perbatasan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian di wilayah Borneo Utara sudah secara regas dibedakan wilayah Sarawak, Broenei dan Gouvt, British Noord Borneo.

Pada tahun 1935 Amerika Serikat mengurangi intensitasnya di Filipina dengan memberi status kepada Filipina sebagai persemakmuran di bawah Amerika Serikat. Lalu pada tahun 1941 Jepang melakukan invasi ke Asia Tenggara. Pada tahun 1944 Amerika Serikat mengeluarkan peta Borneo Utara (Peta 1944). Dalam peta ini diidentfikasi batas-batas wilayah (yurisdiksi Belanda, Inggris dan Amerika Serikat).

Dalam peta ini wilayah eks Soeloe tetap didientifikasi sebagai British North Borneo. Batas antara Inggris dengan persemakmuran Amerika Serikat (Filipina: Palawan Province dan Sulu Province) berada di perairan. Ini berarti antara Amerika Serikat dan Inggris serta Belanda saling memahami batas-batas wilayah. Dalam hal ini Amerika Serikat pada masa itu mewakili Filipina, Inggris mewakili Malaysia dan Belanda mewakili Indonesia.

Batas-batas yang terdapat pada peta (army) Amerika Serikat (1944) mencerminkan batas-batas wilayah di kawasan pada masa ini. Jika batas-batas wilayah yang sekarang diikuti sesungguhnya merujuk pada batas-batas yang sudah terbentuk pada era kolonial (katakanlah dalam hal ini Peta 1944). Dalam Peta ini juga diidentifikasi garis laut (2o 30 o E).

Lantas mengapa muncil klaim, Indonesia mengklaim pulau Sipadan dan pulau Ligitan dan Filipinan mengklaim sebagian wilayah Sabah (eks Soeloe)? Tentu saja peta-peta tidak bisa menjawab persoalan yang ada. Sebab selain dokumen peta juga masih ada dokumen-dokumen lain seperti teks kesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mungkin ditemukan dalam peta.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar