Selasa, 07 Januari 2020

Sejarah Jakarta (76): Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini 

Sebagian besar wilayah Jakarta sejak tempo doeloe kerap terjadi banjir hingga ini hari dan terkesan berulang di tempat yang sama. Cara ampuh solusi banjir tempo doeloe adalah kanalisasi. Dalam fase berikutnya muncul lagi banjir, solusi yang dilakukan adalah normalisasi. Namun dalam fase berikutnya banjir tetap terjadi. Lalu muncullah sejumlah gagasan baru.

Setu dan kanal Menteng (Foto udara, 1943)
Pada era Republik Indonesia dua bentuk solusi banjir yang dilakukan adalah pembangunan Waduk Pluit dan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Sebelum kedua situs tersebut dibangun, sudah lebih awal pemerintah melakukan program kanalisasi di wilayah Bekasi dan Tengerang. Wujud program kanalisasi di era Presiden Soekarno itu adalah terbentuknya kanal Kalimalang (Bekasi) dan kanal Pasar Baroe (Tangerang). Kanal Pasar Baroe di Tangerang ini memberi kontribusi positif terbentuknya lahan luas bebas banjir di area dimana kini dibangun bandara Soekarno-Hatta. Sebaliknya kanal Kalimalang lebih banyak menimbulkan masalah, boleh jadi terkait dengan potensi banjir di Bekasi, seperti yang terjadi baru0baru ini. Kanal Pasar Baroe di Tangerang mengikuti hukum alam (semua sungai kecil jatuh ke kanal), sementara kanal Kalimalang di Bekasi melawan hukum alam (kanal yang dibuat melintang menyebabkan aliran alamiah sungai-sungai kecil terkendala).

Pada akhir-akhir ini muncullah suatu gagasan seakan baru tentang solusi banjir dengan istilah naturalisasi (ala Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan). Suatu terminologi yang tidak dikenal sejak era VOC/Belanda. Lantas mengapa tidak dikenal? Sebab yang ada hanya kanalisasi dan normalisasi. Apakah naturalisasi suatu gagasan brilian? Gagasan ini mirip pembangunan setu-setu. Yang dibutuhkan pada masa ini adalah normalisasi pada kanal-kanal dan setu-setu. Mengapa bisa melakukan normalisasi pada waduk Pluit, tetapi lupa melakukan normalisasi pada kanal-kanal dan setu-setu di wilayah hulu? Biaya normalisasi akan lebih murah daripada naturalisasi.

Sejarah Singapura (2): NATUNA, Wilayah Indonesia Sudah Dikenal Sejak Tempo Dulu di Singapura; Apa Dasar Klaim oleh Cina?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Singapura sejak dulu adalah pelabuhan internasional. Para pedagang manca negara seperti Eropa (Inggris, Belanda), Arab, India, Tiongkok dan Jepang di Singapura sudah mengenal Natuna sebagai bagian wilayah Indonesia (baca: Hindia Belanda). Pulau-pulau Natuna ini sangat membantu bagi pelayaran mereka yang melintas di Laut Cina Selatan karena sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai tempat berlindung ketika badai besar terjadi. Lantas mengapa kini, laut (sebelah) utara Natuna diklaim Cina sebagai wilayah tradisionalnya?

Natuna (merah); Spratly (kuning)
Tentu saja klaim Cina terhadap laut (sebelah) utara Natuna baru-baru ini sebagai miliknya membuat para pihak di Indonesia meradang. Para pihak bereaksi dengan klaim Cina tersebut dengan nada patriotisme: NKRI Harga Mati! Apakah reaksi Indonesia tersebut membuat Cina mundur? Kita lihat nanti. Bagi Indonesia melihat perkembangan berikutnya dengan wait en see. Singapoera yang doeloe sebagai kota pelabuhan dan kini menjadi negara berdiri sendiri sudah barang tentu tidak nyaman dengan situasi ini.

Klaim Cina tidak hanya soal laut Natuna. Sebelumnya Cina telah berselisih paham dengan Viernam dan Filipina. Lantas pertanyaannya. Bagaimana Cina membuat klaim pada laut (sebelah) utara Natuna, yang secara spasial berada di antara negara-negara regional di Asia Tenggara (ASEAN)? Apakah Cina tengah coba mengganggu keamanan regional? Itu masalah lain. Tujuan tulisan ini adalah untuk membuktikan Natuna adalah wilayah Indonesia sejak lama. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 06 Januari 2020

Sejarah Jakarta (75): Sejarah Manggarai dan Kanal Barat Sungai Ciliwung; 'Stasion Bukit Duri' Ganti Nama Jadi 'Stasion Manggarai'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini 

Pada masa ini stasion Manggarai berada di kelurahan Manggarai, kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Tetangga kelurahan Manggarai adalah kelurahan Bukit Duri, tempat dimana terdapat dipo. Pada awal pembangunan jalur kereta api di Batavia (1869), dua stasion terakhir adalah stasion Pengangsaan dan stasion paling ujung Boekit Doeri yang. Namun dalam perkembangannya stasion Boekit Doeri disebut stasin Meester Cornelis lalu dibangun stasion baru antara Meester Cornelis dengan Pengangsaan dengan nama stasion Boekit Doeri. Pada saat di stasion  Boekit Doeri dipromosikan dengan mambangun dipo yang besar namanya berganti menjadi stasion Manggarai. Sebaliknya stasion Meester Cornelis di Boekit Doeri dilikuidasi dan hanya dijadikan sebagai dipo pembantu.

Satsion Boekit Doeri di Tanah Rendah (Peta 1914)
Pada tahun 2021 Stasion Manggarai akan menjadi stasion jaraj jauh, sementara stasion Gambir akan digunakan sebagai stasion KRL Commuter. Ini berarti stasion Manggarai akan pertama kali menjadi stasion jarak jauh. Awalnya stasion jarak jauh dari doeloe diposisikan di stasion Kota lalu kemudian digeser ke stasion Gambir. Selama ini KRL Commuter tidak melayani penumpang di stasion Gambir (stasion antara stasion Juanda dan stasion Gondangdia). Apa yang terpenting dari pemusatan baru kereta api jarak jauh di stasion Manggarai adalah sudah adanya layanan kereta bandara. Dengan demikian stasion Manggarai akan terintegrasi dengan tiga layanan: KRL commuter, kereta api bandara dan kereta api jarak jauh. Peta 1914   

Lantas mengapa nama stasion Boekit Doeri di kampong Tanah Rendah di sisi barat sungai Tjiliwong diubah namanya menjadi stasion Manggarai (sementara kampong Manggarai berada di sisi timur sungai Tjiliwong)? Pertanyaan lainnya adalah mengapa dibangun Kanal Barat dan kemudian jalur kereta api ke tanah abang di Tjikini/Menteng digeser ke sisi Kanal Barat? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu masih menarik karena belum pernah ditulis. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.   

Sabtu, 04 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (29): Sejarah Banjir Sedari Doeloe, Pemda Jangan Saling Bertengkar; Pelajari Sejarah Solusi Banjir


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Banjir di Jabodetabek pada tanggal 1 Januaru 2020 telah memicu antar pemerintah daerah (Pemda) saling menuding. Dampak banjir terparah berada di hilir di Jakarta, Bekasi dan Tangerang. Ujung-ujung dari saling tuding tersebut adalah wilayah Bogor yang disudutkan. Tentu saja Pemerintah Daerah Bogor tidak menerima begitu saja. Lantas dimana Pemerintah Pusat?  

Peta (solusi banjir) Jakarta, 1740
Sejarah banjir Jakarta, Bekasi dan Tengerang memiliki pola yang sama dengan sejarah banjir di Semarang, Surabaja, Padang dan kota-kota lainnya yang berada di pesisir pantai. Polanya tetap sejak tempo doeloe hingga ini hari. Banjir besar yang sekarang bukanlah yang terbesar, sejak lampau banjir besar sudah terjadi bahkan ketika kota-kota tersebut belum sepadat sekarang. Banjir dan dampak banjir adalah satu masalah, tetapi solusi penanganan masalah jauh lebih penting. Jika cara ini yang digunakan maka tidak akan saling menuding.

Banjir gede atau banjir bandang bukanlah soal hari ini. Banjir besar sudah sedari doeloe. Jadi jangan katakan banjir yang sekarang adalah banjir terbesar dalam sejarah. Sebab pernyataan serupa ini hanya sekadar menyembunyikan kesalahan perencanaan dalam solusi banjir. Dalam hal ini pemerintah daerah juga jangan dibiarkan bertengkar sendiri. Persoalan banjir antar pemda seharusnya pemerintah provinsi/pusat harus hadir. Ada yang hilang dalam sistem penanganan banjir dewasa ini jika dibandingkan tempo doeloe. Yang hilang tersebut adalah tidak terlihatnya lagi peran pemerintah provinsi/pusat dalam program-program pengendalian banjir sebagaimana dulu dipraktekkan pada era kolonial Belanda. Anda tidak yakin? Mari kita periksa sumber-sumber tempo doeloe bagaimana mereka mengantisipasi dan mengatasi potensi banjir sebelum benar-benar menadi banjir bandang.

Jumat, 03 Januari 2020

Sejarah Jakarta (74): Sejarah Bukit Duri di Benteng Meester Cornelis, Stasion Kereta Jadi Dipo; Apakah Sejak dari Dulu Banjir?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Bukit Duri sesungguhnya tidak hanya soal banjir sungai Ciliwung. Bukit Duri juga tidak pula hanya SMA Negeri 8. Sesungguhnya Bukit Duri bahkan sudah terkenal sejak tempo doeloe. Di Bukit Duri terdapat stasion kereta api mewah yang kini diubah dan lebih dikenal sebagai Dipo Bukit Duri. Tidak hanya itu, di Bukit Duri juga tempo doeloe terdapat sebuah benteng besar yang disebut Fort Meester Cornelis.

Peta 1824
Bukit Duri pada masa ini adalah sebuah kelurahan di kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Pada masa lampau kampong Boekit Doeri bertetangga dengan kampong Malajoe, kampong Bali dan kampong Manggarai. Dengan memperhatikan nama-nama kampong tetangga, apakah kampong Boekit Doeri kampong orang Doeri? Satu lagi, apakah di kampong Boekit Doeri benar-benar terdapat sebuah bukit? Jika iya, tentu tidak akan ada banjir di bukit.

Banyak pertanyaan tentang Bukit Duri. Namun hanya satu soal yang masih tersisa pada masa ini yang belum tuntas dijawab, yakni mengapa sering banjir. Apakah Bukit Duri sejak tempo dulu sudah sering banjir akibat meluapnya sungai Ciliwung? Lantas apakah ada hubungan banjir Bukit Duri dengan benteng Meester Cornelis dan stasion kereta api Mester Cornelis. Untuk menambah pengetahuai, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 02 Januari 2020

Sejarah Jakarta (73): Sejarah Tanjung Priok Bukan Dongeng Kali Tiram; Area Marjinal Tidak Bertuan Jadi Pelabuhan Internasional


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Tanjung Priok pada dasarnya belum pernah ditulis. Tulisan-tulisan tentang sejarah Tanjung Priok yang ada selama ini hanyalah kumpulan karangan belaka, entah dari mana sumbernya. Sejarah Tanjung Priok bukanlah dongeng. Sesungguhnya tidak ada celah memasukkan unsur dongeng dalam sejarah Tanjung Priok. Sebagaimana tempat-tempat lainnya di Jakarta, Tanjung Priok berada di tempat yang terang benderang dalam origin sejarah.

Tanjung Priok: Old (Peta 1824) en NOW (Peta satelit)
Sejarah adalah narasi fakta, bukan fiksi. Menulis sejarah itu jelas tidak sulit, tetapi jangan digampangkan. Yang paling sulit dalam hal penulisan sejarah adalah soal bagaimana data (fakta dan keterangan) dikumpulkan. Tidak sampai di situ saja, bagaimana cara menguji (menilai) data yang ada dapat dikatakan akurat (valid). Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah soal pertanggungjawaban sejauh mana data itu tidak dapat dibantah. Dalam bahasa matematis hari ini bukan sejarah tetapi hari kemarin adalah sejarah. Membandingkan hari kemarin dengan setahun lalu, maka nilai sejarah tahun lalu lebih timggi nilainya dibanding hari kemarin. Dengan demikian sejarah bersifat retrospektif. Semakin tua semakin bernilai sejarah, namun yang membedakan sejarah bernilai atau tidak, bukan ditentukan oleh jauh tidaknya origin ke belakang tetapi yang lebih menentukan adalah datanya (apakah bisa menghadirkan bukti). Jika tidak bisa menghadirkan bukti, itu berarti dongeng. Menulis sejarah, kita tidak sedang mendongeng.

Lantas serupa apa sejarah Tanjung Priok? Nah, itu yang menjadi keingintahuan kita. Oleh karena sejarah Tanjung Priok adalah narasi fakta, maka secara teknis sejauh ini sejarah Tanjung Priok belum pernah ditulis. Dalam kerangka itulah kita mulai menulis sejarah Tanjung Priok. Untuk itu marilah kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.