Kamis, 19 Agustus 2021

Sejarah Makassar (32): Bahasa Melayu di Sulawesi; Terbentuknya Bahasa Melayu dan Persebarannya di Kepulauan Nusantara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Pada masa ini di pulau Sulawesi ditemukan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Sasak dan bahasa Bali di Sulawesi Tenggara. Bahasa ini terbentuk karena adanya program transmigrasi. Bukan itu yang dimaksud. Bahasa Melayu sudah sejak lama terbentuk di pulau Sulawesi. Namun bagaimana riwayatnya tidak diketahui secara jelas. Yang jelas bahasa Melayu itu telah bermetamorfosis menjadi bahasa-bahasa lokal seperti bahasa Manado dan sebagainya.

Sejak zaman kuno sudah terbentuk bahasa-bahasa asli di berbagai pulau di nusantara (antara benua Asia dan benua Australia) termasuk pulau-pulau di Filipina. Bahasa-bahasa asli itu masih zaman negritos. Lalu kemudian muncul penduduk pendatang yang bercampur dengan penduduk asli (yang disebut penduduk alifurun) yang mana terbentuk bahasa-bahasa baru apakah sebagai bahasa pendatang yang menggeser bahas asli atau bahasa pendatang yang bercampur dengan bahasa asli yang membentuk bahasa penduduk alifurun (termasuk bahasa Jawa dan bahasa Batak). Pada tahap perkembangan berikuatnya terjadi migrasi diantara penduduk alifurun dan juga masuknya pendatang baru yang melahirkan penduduk masa kini. Pada saat terjadinya migrasi diantara penduduk alifurun ini terbentuk bahasa Melayu sebagai lingua franca sebagai suksesi lingua franca sebelumnya (bahasa Sanskerta). Dimana awal terbentuknya bahasa Melayu masih bersifat misteri (sebab bahasa Melayu/kuno sebagian besar dapat ditrace dalam bahasa Sanskerta).

Lantas bagaimana sejarah penyebaran bahasa Melayu di pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas bahasa Melayu terbentuk dari bahasa Sanskerta (yang berasal dari India selatan). Bahasa Sanskerta sebagai lingua franca awal telah digantikan oleh bahasa Melayu. Dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno inilah bahasa Melayu menyebar di seluruh nusantara yang berdampingan dengan bahasa-bahasa asli. Bagaimana semua itu terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Makassar (31): Pasangkayu dan Bahasa Baras, Benggaulu, Sarudu; Sungai Lariang Terpanjang di Pulau Sulawesi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Di pulau Sulawesi begitu banyak bahasa-bahasa. Secara khusus di provinsi Sulawesi Barat terdapat beberapa bahasa. Uniknya antara satu bahasa dengan bahasa lainnya saling berjauhan (tingkat kekerabatan bahasa yang rendah). Bahasa-bahasa di pantai barat Sulawesi ini adalah bahasa Baras, bahasa Benggaulu, bahasa Mamasa, bahasa Mamuju dan bahasa Mandar.

Bahasa Benggaulu ditemukan di kabupaten Pasangkayu (sebelumnya bernama kabupaten Mamuju Utara). Menurut Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud dalam Seminar Internasional Kebahasaan pada Agustus 2019, disebutkan bahwa kondisi bahasa Benggaulu masih stabil dan digunakan dalam upacara adat. Namun, tradisi bertutur yang kian menurun membuat bahasa ini sudah masuk dalam status terancam. Berdasdarkan analisis bahasa, bahwa bahasa Benggaulu memiliki persentase perbedaan berkisar 88%-90% dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi seperti bahasa Mandar dan bahasa Mamuju. Dalam hal ini banyak leksikon bahasa Benggaulu yang benar-benar berbeda dengan bahasa daerah di provinsi Sulawesi Barat.

Lantas bagaimana sejarah bahasa Benggaulu? Seperti disebut di atas bahasa Benggaulu berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya di Sulawesi Barat. Lantas apakah ada kaitannya perubahan nama kabupaten Mamuju Utara dengan nama baru kabupaten Pasangkayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 18 Agustus 2021

Sejarah Makassar (30): Sejarah Poso, Danau Pegunungan hingga Perairan Teluk Tomini; Watu Mpoga’a dan Bahasa Bare’e Pamona

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Wilayah Poso bukanlah wilayah muda, tetapi wilayah yang sangat tua. Besar dugaan bukti sejarah tua Poso adalah keberadaan (prasasti) Waru Mpoga’a. Secara geografis wilayah Poso berada di antara gunung Pompangeo di timur dan gunung Lindu di barat serta danau Poso di pedalaman dan teluk Tomini di pantai yang dihubungkan oleh sungai Poso. Wilayah jantung pulau Sulawesi ini kini menjadi kabupaten Poso di provinsi Sulawesi Tengah.

Penduduk asli Poso berbahasa Bare’e atau bahasa Pamona. Para ahli linguistik mengidentifikasi bahasa Bare’e dan bahasa Tao terbilang bahasa yang sudah tua di pulau Sulawesi, jauh lebih tua dari bahasa Makassar dan bahasa Bugis. Keberadaan Watu Mpoga’a di wilayah Poso diduga seumur dengan keberadaan prasasti Watu Rerumeran di Minahasa dan prasasti Seko di Luwu.

Lantas bagaimana sejarah Poso? Wilayah Poso tempo doeloe pada era Hindia Belanda termasuk wilayah awal aktivitas zending di Sulawesi bagian tengah (1892). Salah satu ahli bahasa yang mengidentifikasi bahasa Bare’e adalah Adriani. Lalu hal apa lagi yang memjadikan Poso begitu penting? Yang jelas sebelum pusat pemerintahan Sulawesi Tengah di Palu bermula di Poso. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Makassar (29): Seasea, Loinang dan Balantak di Banggai, Sulawesi Tengah; Beda Bahasa dan Tradisi Pemujaan Leluhur

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Wilayah Banggai tempo doeloe terdiri dari daratan (pulau Sulawesi) dan kepulauaan yang dapat dikatakan dua sisi: sisi pulau Sulawesi dan sisi kepulauan Maluku. Wilayah dengan penutur bahasa yang unik ini kini terbagi ke dalam tiga kabupaten: Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut. Tiga bahasa utama adalah bahasa Seasea, bahasa Loinang dan bahasa Balantak. Pada masa lalu di wilayah ini eksis Kerajaan Banggai.

Kerajaan Banggai awalnya hanya meliputi wilayah Banggai kepulauan namun dalam perkembangannya meliputi wilayah Banggai daratan. Kerajaan Banggai merupakan kerajaan yang berbentuk kesultanan pertama di wilayah Sulawesi Tengah. Kerajaan Banggai terkait dengan Kerajaan Ternate. Kerajaan Banggai adalah suatu federasi (bukan bersifat monarki) yang terdiri dari Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean.

Lantas bagaimana sejarah Banggai di semenanjung timur pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas terdapat tiga bahasa utama yakni bahasa Seasea, bahasa Loinang dan bahasa Balantak yang mana tempo doeloe eksis Kerajaan Banggai. Lalu apa keutamaan wilayah semenanjung timur pulau Sulawesi ini tempo doeloe? Mereka memiliki bahasa berbeda dan memiliki tradisi pemujaan leluhur. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 17 Agustus 2021

Sejarah Makassar (28): Suku Kaili Sulawesi Tengah; Rumah Pohon Kaili Da’a, Memasak dengan Bambu, Pemujaan terhadap Leluhur

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Di provinsi Sulawesi Tengah pada masa ini paling tidak diketahui 21 bahasa asli. Selain yang sudah ditulis pada artikel sebelumnya, salah satu dari bahasa asli tersebut adalah bahasa Kaili (bahasa To Kaili). Penutur bahasa Kaili meluas di seluruh provinsi Sulawesi Tengah tetapi umumnya terdapat di kabupaten Donggala, kabupaten Sigi dan Kota Palu serta di seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, gunung Kulawi, dan gunung Raranggonau.

Penutur bahasa Kaili juga terdapat di wilayah pantai timur Sulawesi Tengah yang meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo Una-Una dan kabupaten Poso. Di sekitar teluk Tomini berada di desa Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una. Di kabupaten Poso berada di daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Penutur bahasa Kaili biasa disebut suku Kalili yang terdiri dari banyak sub-suku seperti Rai, Ledo, Ija, Moma, Da'a, Unde, Inde, Tara, Bare'e, Doi, dan Torai. Penutur bahasa Kaili Da’a hingga masa ini memiliki budaya yang khas seperti pembuatan rumah pohon, memasak dengan menggunakan bambu dan pemujaan leluhur.

Lantas bagaimana sejarah penutur bahasa Kaili? Seperti disebut di atas penutur bahasa Kaili sangat beragam dan tersebar di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Satu yang khas diantara para penutur bahasaKaili ini adalah Kaili Da’a yang memiliki budaya pembuatan rumah pohon, memasak dengan menggunakan bambu dan masih adanya pemujaan leluhur. Lalu bagaimana hubungan bahasa Kaili dan bahasa Toraja? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (107):Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (bag-5); Peringatan Kemerdekaan RI. 17 Agustus

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Tanggal 17 Agustus, hari ini diperingati di seluruh Indonesia sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Semua melakukan, kecuali mereka yang anti. Presiden RI Joko Widodo juga ikut memperingatinya. Tentu saja blog ini juga dalam bentuk artikel Sejarah Menjadi Indonesia, Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam peringatan ini Presiden mengawali dengan menyampaikan pidato kenegeraan di Sidang Tahunan MPR RI pada tanggal 16 Agustus 2021. Dalam kesempatan ini Presiden Jokowi hadir dengan mengenakan pakaian adat khas Badui berwarna hitam dengan sendal jepit khas.

 

Presiden Jokowi sebenarnya ingin mengangkat budaya Indonesia dari suku Badui dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ini, tetapi tidak disangka, diberitakan bahwa dihina netizen yang menjadi viral di Twitter. Dugaan hinaan itu disampaikan di akun Twitternya @pawletariat mengomentari pakaian Presiden Jokowi saat tampil di MPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 16 Agustus 2021. "Azzzskskska Jokowi make baju adat Baduy cocot bgt, tinggal bawa madu + jongkok di perempatan," cuit @pawletariat, Senin (16/8), pukul 08:40. Saya sendiri tidak mengeti maksudnya, tetapi di dalam berita itu sontak cuitan @pawletariat dalam hitungan jam diserbu para netizen hingga viral di lini masa Twitter. Warganet ramai-ramai mem-bully dan mengancamnya. "Diciduk aja si bodoh ini biar jera. Udah ngatain presiden, bawa bawa SARA lagi. Biar ngerasain dingin lantai penjara ni orang, " cuit @Shareloc Home dikutip VIVA, Selasa (17/8). Warganet lain juga mengungkapkan hal yang sama. "lo udh nyela presiden + org Baduy, yg tersinggung banyak, Presiden angkat budaya daerah malah dicela....kalo lo emg hormatin suku Baduy ga bakalan lo merendahkan cara pakaian Presiden Jokowi & cara saudara2 kita suku Baduy mencari nafkah," cuit @EMP. Banyaknya warganet menyerangnya, pemilik akun @pawletariat ini memberikan klarifikasi dan permohonan minta maafnya. Meski begitu warganet tetap terus menyerbu kolom. komentar akun @pawletariat ini.

Itulah gaya Presiden Joko Widodo. Seharusnya memang demikian presiden selalu mengangkat budaya Indonesia dari berbagai daerah terutama pada detik-detik peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Nmun seperti dikutip di atas, ada saja orang yang menyikapinya dengan terlalu bodoh. Netizen yang dianggap menghina itu jelas sangat bodoh terbukti ketika dirinya dibully netizen lain lalu segera meminta maaf (apakah dirinya baru menyadari telah membuat kesalahan?). Dalam hal ini di satu sisi Presiden ingin berbuat baik, tetapi di sisi lain ada netizen yang berbuat jahat. Lalu mengapa itu semua terjadi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.