Selasa, 12 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (708): Ganti Nama Jalan Taman Gedung, Siapa Berhak? Bukan Siapa Pahlawan Tapi Siapa Berkuasa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Gaduh penggantian nama jalan sebanyak 22 buah dan nama gedung di (provinsi) Jakarta. Mengapa gaduh? Semua telah berbicara, tidak hanya Gubernur DKI Jakarta, warga, para ahli sejarah, politisi dan juga Ketua DPRD DKI Jakarta. Dalam hal ini tidak ada penggantian nama taman. Bagi warga penggantian nama jalan merasa dirugikan. Bagi ahli sejarah dan politis terkesan ada pro kontra, terlalu mendadak dan tidak adanya relevansi. Yang jelas menurut sejarah penamaan jalan dan taman sejak era Pemerintah Hindia Belanda penggantian nama itu bukan siapa yang menjadi pahlawan tetapi siapa yang berkuasa.


Pada masa ini era Republik Indonesia yang berkuasa di (wilayah) DKI Jakarta adalah pemerintah esksekutif (dipimpin oleh Gubernur) dan pemerintah legislatif (dipimpin ketua DPRD). Sayangnya dua pihak yang berkuasa (yang memiliki kuasa) di DKI Jakarta tiba-tiba Gubernur melaksanakan penggaatian plang nama jalan dengan nama-nama baru, tetapi Ketua DPRD merasa tidak pernah dilibatkan, Lho, koq! Sejarah awal pembentukan nama jalan dan taman di berbagai kota pada era Pemerintah Hindia Belanda, termasuk Batavia (kini Jakarta) dilakukan berdasarkan hukum formal berdasarkan keputusan bersama antara dewan kota (gemeenteraad) dengan Residen/Asisten Residen atau Wali Kota (Burgemeester). Pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia (1950) penggantian nama kota Batavia menjadi Djakarta dan Buitenzoeg menjadi Bogor) diputuskan pemerintah pusat (Presiden/Menteri) dan untuk nama jalan dan taman diputuskan oleh Walikota dan dewan. Yang jelas sejauh itu ada mekanismenya. Apakah masa in pemberian nama baru atau penggantian nama jalan tidak ada mekanismernya lagi? Siapa yang berkuasa atas siapa yang berkuasa?

Lantas bagaimana sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak? Seperti disebut di atas, yang berhak memberi nama baru dan penggantian nama jalan dan taman adalah yang berkuasa. Bukan siapa pahlawan tetapi siapa yang berkuasa. Lalu bagaimana sejarah sejarah penggantian nama jalan, taman (dan nama gedung) serta siapa yang berhak?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (707): Alam Dayak Pulau Kalimantan;Taprobana Borneo Kalimantan dan Ibu Kota Negara Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada alam Minangkabau di Sumatra, ada pula alam Melayu di semenanjung Malaya. Alam Minangkabau hanya diartikan sebatas wilayah atas (darat) dan wilayah rantau (pantai/muara sungai). Alam Melayu di Semenanjung, akhir-akhir ini diartikan sebagai Alam Nusantara dari Madagaskar hingga Maori termasuk Sumatra, Jawa, nusa tenggara dan Papua yang oleh karenanya disebut serumpun (meski berbeda-beda ras) dan candi Borobudur dan situs gunung Padang sebagai kekayaan peradaban (alam) Melayu. Tentu saja ada yang bereaksi dan menolak klaim itu. Bagaimana dengan alam Dayak? Tidak dikaitkan dalam hubungan politis tetapi lebih pada hubungan manusia (Dayak) dengan alam (tanah air) itu sendiri.


Suku Dayak adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami pedalaman pulau Kalimantan. Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan). Ada 3 suku pokok atau 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, dan Tidung. Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi 3 suku pokok yaitu: suku Dayak Indonesia (268 sub etnik/sub suku di Indonesia), Suku Melayu, dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak & non Melayu). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun antara lain: rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan: "Barito Raya" (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk Suku Dayak Paser. "Dayak Darat" (13 bahasa), termasuk bahasa Rejang di Bengkulu. "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung. "Sulawesi" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka. "Dayak Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan]] (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku tersendiri yang berdiri mandiri ataupun suku Melayu itu sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Melayu Berau, Suku Melayu Sambas, dan Suku Melayu Kedayan.(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Alam Dayak Pulau Kalimantan? Seperti disebut di atas, pulau Kalimantan adalah pulau dimana pendudukan asli Daya bermula dan berkembang hingga terbentuknya (kaum) Melayu. Pulau Kalimantan sendirii menjadi penting karena memiliki sejarah yang panjang sejak nama pulau Taprobana, Borneo, Kalimantan hingga Ibu Kota Negara Nusantara di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Alam Dayak Pulau Kalimantan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 11 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (706): Orang India di Malaysia - Orang India di Medan; Apa yang Berbeda dan Apa yang Sama


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Di Indonesia banyak keturunan India tetapi di Medan ada komunitas (kampong) India sendiri. Di Malaysia banyak ditemukan komunitas India di berbagai kota. Orang keturunan India umumnya berbahasa Indonesia (hanya sedikit yang bisa berbahasa India seperti Tamil). Di Malaysia umumnya orang India bisa berbahasa India Tamil (ada juga yang tidak bisa berbahasa Melayu, karena bisa berbahasa Inggris dalam berkomunikasi). Orang India di Malaysia berbahasa India dengan aksen India, tetapi di Medan dan juga di seluruh Indonesia, orang India berbahasa Bahasa Indonesia dengan akses Indonesia. Orang India di Medan tidak hanya Hindu, ada juga yang beragama Islam.


Kampung Madras (dahulu disebut Kampung Keling) adalah nama bagi sebuah kawasan seluas sekitar 10 hektare di Kota Medan, Indonesia yang pernah mempunyai komunitas India yang besar. Kawasan ini terletak di sekitar kecamatan Medan Polonia dan Medan Petisah. Di kawasan ini terdapat kuil Hindu yang tertua di Medan, Kuil Sri Mariamman dan kelenteng terbesar di Medan, Vihara Gunung Timur; juga Masjid Jami dan Masjid Ghaudiyah yang dibangun oleh Muslim India. Selain itu, di Kampung Madras juga terdapat Perguruan Nasional Khalsa yang dikelola Yayasan Pendidikan Sikh Medan, dulu pernah terkenal karena merupakan satu-satunya sekolah dengan pelajaran dalam bahasa Inggris di Medan. Kawasan tersebut awalnya dipanggil "Patisah", namun kemudian terjadi perubahan nama menjadi "Kampung Madras" guna mencerminkan tanah asal para warga keturunan India yang berdiam di sana. Nama "Kampung Madras" menggantikan nama "kampung keling" yang dianggap berkonotasi negatif dikarenakan sering digunakan sebagai julukan ras (racial slur) dan ejekan yang merendahkan. Meskipun hingga tahun 1950-an kawasan ini masih dihuni oleh warga keturunan India dalam jumlah yang besar, sejak saat itu jumlah tersebut telah berkurang karena keadaan ekonomi yang sulit sehingga membuat mereka harus pindah ke kawasan lain. Kampung Madras kini bahkan lebih banyak dihuni oleh warga keturunan Tionghoa daripada India bersama dengan Little India, Penang. Gapura Little India Medan di Kampung Madras diresmikan pada tanggal 27 Oktober 2018 oleh Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, ditandai dengan penandatanganan prasasti, pengguntingan pita, dan pelepasan balon. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Orang India di Malaysia dan Orang India di Medan, apa yang berbeda dan apa pula yang sama? Seperti disebut di atas, orang India di Medan umumnya berbahasa Bahasa Indonesia sedangkan orang India di Malaysia umumnya berbahasa India. Lalu bagaimana sejarah Orang India di Malaysia dan Orang India di Medan, apa yang berbeda dan apa pula yang sama? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (705): Bahasa Ibu vs Bahasa Nasional;Malaysia Berbahasa Inggris, Melayu Tidak Bisa Bahasa Melayu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Soal bahasa dan berbahasa di (negara) Malaysia sungguh rumit. Berbeda dengan di Indonesia, dimana Bahasa Indonesia bahasa nasional (bahasa antar suku/bangsa), bahasa daerah dilestarikan dan bahasa Indonesia dianjurkan, di Malaysia bahasa nasional adalah bahasa Melayu, tetapi orang condong berbahasa Inggris diantara suku/bangsa. Namun dipermasahkan jika orang Cina dan orang India tidak bisa berbahasa Melayu. Ternyata tidak hanya itu, disebut orang Melayu tidak bisa berbahasa Melayu (mereka adalah pribumi tetapi bukan suku Melayu; tetapi orang Melayu menganggap semua pribumi adalah Melayu). Hal semacam itu tidak dipermasahkan di Indonesia jika ada orang pribumi yang hanya bisa berbahasa daerah (tidak bisa berbahasa Indonesia).


Orang Jawa di Tapanuli bisa berbahasa Batak tetaplah orang Jawa. Saya orang Batak bisa berbahasa Sunda, tetapi rekan orang Sunda tetap menganggap saya orang Batak. Di Malaysia orang Minangkabau, orang Bugis atau launya bisa berbahasa Melayu dianggap orang Melayu, tetapi baru dianggap benar-benar orang Melayu jika beragama Islam (yang tidak beragama Islam tidak disebut orang Melayu). Orang Iban di Malaysia bukan orang Melayu, banyak diantara orang Iban tidak beragama Islam, tetapi harus berbahasa nasional Malaysia, bahasa Melayu. Demikian juga orang Cina dan orang India di Malaysua yang berbahasa resmi bahasa Melayu, faktanya dalam bahasa dan berbahasa sehari-hari berbahasa Mandarin dan bahasa Tamil. Diantara suku/bangsa di Malaysia jika berkimunikasi merasa lebih nyaman berbahasa Inggris. Sungguh rumit dan memusingkan.

Lantas bagaimana sejarah bahasa ibu vs bahasa nasional yang mana orang Malaysia sendiri cenderung berbahasa Inggris dan mengapa ada Melayu yidak bisa berbahasa Melayu dipersoalkan? Seperti disebut di atas, bahasa dan bderbahasa di Malaysia sangat rumit dan selalu memiliki masalah hingga ini hari. Lalu bagaimana sejarah bahasa ibu vs bahasa nasional yang mana orang Malaysia sendiri cenderung berbahasa Inggris dan mengapa ada Melayu yidak bisa berbahasa Melayu dipersoalkan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 10 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (704): Kemiripan Warna Budaya Tanda Hubungan Budaya? Igorot di Filipina, Etnik Batak di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Penyebaran populasi manusia adakalanya terkesan misteri, lebih-lebih jika persebaran itu terjadi di masa lampau. Catatan sejarah orang Jawa di Suriname cukup tersedia yang berasal dari sumber era Hindia Belanda. Bagaimana dengan era sebelum kehadiran orang Eropa. Semakin jauh ke masa lampau semakin samar. Namun apakah data masa kini dapat dijadikan untuk proksi memahami masa lalu? Dalam hal ini apakah ada relasi sejarah antara etnik Igorot di Luzon, Filipina dan etnik Batak di Sumatra, Indonesia? MO Parlindingan (1964) menyatakan ada kemiripan ernik Batak dengan Igorot dan Toraja.


The indigenous peoples of the Cordillera Mountain Range of northern Luzon, Philippines are often referred to using the exonym Igorot people, or more recently, as the Cordilleran peoples. There are nine main ethnolinguistic groups whose domains are in the Cordillera Mountain Range, altogether numbering about 1.5 million people in the early 21st century. Their languages belong to the northern Luzon subgroup of Philippine languages, which in turn belongs to the Austronesian (Malayo-Polynesian) family. These ethnic groups keep or have kept until recently their traditional religion and way of life. Some live in the tropical forests of the foothills, but most live in rugged grassland and pine forest zones higher up. From the root word golot, which means "mountain," Igolot means "people from the mountains", a reference to any of various ethnic groups in the mountains of northern Luzon. During the Spanish colonial era, the term was variously recorded as Igolot, Ygolot, and Igorrote, compliant to Spanish orthography. The endonyms Ifugao or Ipugaw (also meaning "mountain people") are used more frequently by the Igorots themselves, as igorot is viewed by some as slightly pejorative, except by the Ibaloys. The Spanish borrowed the term Ifugao from the lowland Gaddang and Ibanag groups. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kemiripan warna budaya tanda hubungan budaya? Apakah ada hubungan sejarah etnik Igorot di Filipina dan etnik Batak di Sumatra? Seperti disebut di atas, hubungan bangsa (etnik) antara satu tempat dengan tempat lain ada data yang tersedia. Akan  tetapi ada juga yang sulit diperoleh, dalam hal ini digunakan data masa kini. Lalu bagaimana sejarah kemiripan warna budaya tanda hubungan budaya dan apakah ada hubungan sejarah etnik Igorot di Filipina dan etnik Batak di Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.\

Sejarah Menjadi Indonesia (703): Warna Khas Budaya Etnik, Merah Putih Hitam Kuning; Ragam Budaya - Warna Bendera


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Warna khas budaya adalah elemen budaya yang diwariskan. Namun sangat sulit mengetahui sejak kapan plihan warna muncul pada budaya etnik tertentu. Warna budaya ini tidak hanya muncul dalam ragam budaya (seperti seni) juga menjadi lambang warna kerajaan dan (kombinasdi) warna yang digunakan dalam bendera. Bagaimana dengan warna bendera Indonesia sendiri?

Tiga warna Melayu. Tiga warna yang memaparkan warna hijau, kuning dan merah, merupakan kombinasi warna yang biasanya terdapat dalam pelbagai reka bentuk simbol yang digunakan oleh sesetengah organisasi utama untuk melambangkan orang-orang Melayu. Tiga warna ini diperoleh daripada tiga nilai penting Kemelayuan; Islam, Majlis Raja-Raja dan Etnik Melayu. Hijau adalah warna tradisional Islam, iman yang menjadi bahagian penting budaya Melayu. Warna kuning adalah warna diraja yang biasanya dikaitkan dengan sultan-sultan Melayu, dan digunakan untuk menegaskan kesetiaan orang Melayu kepada Raja-raja mereka. Warna ketiga, merah, adalah warna tradisional dalam budaya Melayu, digunakan untuk menunjukkan keberanian, kepahlawanan dan kesetiaan. Warna merah jambu yang dikatakan merah kesumba merah yang sama dengan kain merah dan biasanya dikaitkan dengan darah, adalah warna eksistensi orang Melayu dan merupakan warna yang paling sering disebut dalam kesusasteraan. Di seberang Selat Melaka, iaitu di provinsi Riau dan Kepulauan Riau yang mempunyai ikatan sejarah dan kebudayaan yang kental dengan kawasan Semenanjung, warna-warna ini memegang falsafah yang sama dengan saudara Melayu mereka di Tanah Besar Asia. Dikenali dan diwarnakan sebagai Kuning Keemasan, Hijau Lumut dan Merah Darah Burung, warna-warna ini digunakan secara meluas sebagai simbol adat dan perayaan di kota-kota dan desa wilayah-wilayah tersebut, 3 warna ini juga turut menjadi pilihan utama pasangan pengantin Melayu di daerah-daerah berkenaan bagi meraikan majlis pernikahan mereka.(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah warna budaya etnik di nusantara? Seperti disebut di atas, warna budaya umumnya diwarisikan dalam berbagai ragam budaya seperti seni dan bahkan plihan warna bendera. Namun warna khas budaya sulit diketahui sejak kapan bermula. Lalu bagaimana sejarah warna khas budaya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.