Universitas Indonesia yang kini berada di Kota Depok sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Sebelum pindah ke Depok, konsentrasi kampus-kampus Universitas Indonesia berada di Salemba, Jakarta. Nama Universitas Indonesia sendiri diperkenalkan pada tahun 1940 dengan nama Universiteit van Indonesie untuk memberi nama dan menyatukan semua lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai tempat menjadi satu universitas dan membentuk fakultas-fakultas. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi itu diantranya STOVIA, sekolah kedokteran yang sebelumnya bernama ‘Dokter Djawa School’.
***
Bagaimana sejarah
universitas terbentuk? Mari kita lacak. Ini bermula dari suatu Keputusan
Kerajaaan Belanda pada tahun 1848 yang intinya bahwa di setiap keresidenan (residentie) atau kabupaten (afdeeling) dalam suatu provinsi
(province) atau perdagangan atau tempat lain yang dianggap perlu harus
diselenggarakan pendidikan dasar (sekolah dasar negeri). Pemerintah Hindia
Belanda menindaklanjuti keputusan tersebut dengan menyelenggarakan kursus
singkat yang diberi nama normaal cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan
guru yang akan ditempatkan di sejumlah sekolah dasar negeri yang akan
didirikan. Dalam perkembangannya, kebutuhan guru dirasakan semakin meningkat
lalu Gubernur Jenderal mengeluarkan Surat Keputusan (Staatsbald) pada tahun 1851 yang intinya untuk membuka dan
mendirikan ‘sekolah pembibitan guru’ (kweekschool).
Pada tahun 1852 sekolah guru bantu (kweekschool) pertama dibuka di Surakarta.
Sementara itu, pemerintah
juga menganggap perlu mendirikan sekolah pembibitan dokter yang disebut kweekschool van inlandsche geneeskundigen.
Kweekschool bidang kesehatan ini lalu diselenggarakan pada Januari 1851 dengan
kapasitas siswa delapan hingga sepuluh siswa. Pendidikan di sekolah kedokteran
yang direncanakan masa studi dua tahun ini (asisten dokter lulusan Belanda)
yang kemudian disebut ‘Dokter Djawa School’ siswa-siswanya berasal dari
sekolah-sekolah dasar negeri yang sudah ada. Pada tahun 1856 pemerintah
akhirnya secara resmi memutuskan menerima siswa-siswa yang berasal dari luar
Djawa. Keputusan ini dibuat karena kenyataannya sejak 1854 sudah ada dua orang
anak Batak dari Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli yang
mengikuti sekolah kedokteran ini dan dianggap telah berhasil.
Perubahan keputusan
pemerintah ini berubah cepat karena anak-anak luar Djawa juga mampu mengikuti
kurikulum yang diberikan di kweekschool
van inlandsche geneeskundigen. Anehnya lagi di Afdeeling Mandheling en Ankola
belum satupun sekolah dasar yang didirikan. Hal ini karena afdeeling Mandheling
en Ankola masih muda dan baru dibentuk tahun 1841. Militer Belanda masuk ke
afdeeling ini tahun 1833 via Natal dalam rangka menggempur Bonjol dari sisi
utara. Setelah Perang Bonjol selesai 1837 pemerintah Hindia Belanda membentuk
afdeeling Mandheling en Ankola dengan ibukota Panjaboengan. Dua siswa dan yang
menjadi alumni ‘Dokter Djawa School’ yang berasal dari Tapanuli merupakan siswa
pertama dari luar Djawa yang diterima di ‘Dokter Djawa School’. Dua anak ini
ternyata kemudian diketahui hanya mengikuti sekolah swadaya yang dibangun
penduduk, Sekolah ini didirikan sebagai inisiatif asisten residen Mandheling en Ankola, A.P. Godon.
Satu anak didik sekolah bentukan AP. Godon
bernama Si Sati (adik kelas Si Asta dan Si Angan) memiliki kemampuan linguistic
yang baik. Setelah lulus Si Sati kemudian mengggantikan peran guru yang ada untuk
mengajar adik-adik kelasnya. Mr. Godon juga merekrut Si Sati menjadi penulis di
kantor Asisten Residen. Ketika, A.P. Godon akan cuti dua tahun ke negeri
Belanda, Si Sati mengusulkan dirinya untuk sekolah guru (kweekschool) ke negeri
Belanda. Permintaan ini diteruskan Godon ke Menteri Pendidikan di Batavia. Di
parlemen, dalam rapat kerja sang menteri yang didampingi Godon ditolak anggota
dewan, tetapi sang menteri meyakinkan anggota dewan bahwa Si Sati telah menjadi
guru sukarela di kampungnya, memiliki kecakapan bahasa Belanda, telah membantu
tugas-tugas pemerintah, di afdeeling Mandheling en Ankola belum satupun guru
pemerintah…dan Afdeeling Mandheling en Ankola sudah mulai surplus kopi.
Akhirnya dengan suara aklamasi anggota dewan menyetujui dan dikabulkan untuk
dibiayai pemerintah hingga tuntas studinya di negeri Belanda. Si Sati bersama
keluarga Godon berangkat dari Batavia ke Negeri Belanda 1857. Singkat cerita,
tahun 1861 studi Si Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar yang kemudian mengubah
namanya Willem Iskander (nama radja Belanda) selesai dan mendapat akte guru
penuh dan kembali ke kampungnya dan berinisiatif mendirikan kweekschool di
Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli (1862). Kwekschool ini
tiga tahun kemudian diakuisisi pemerintah. Willem Iskander adalah pribumi
pertama yang sekolah ke Negeri Belanda.
***
Sekolah guru (kweekschool)
terus berkembang dan jumlahnya semakin banyak serta lokasinya di berbagai
tempat. Setelah Surakarta menyusul didirikan di Bandung, lalu kemudian di
Bukittinggi serta di Tanobato, Mandheling en Ankola. Secara khusus, sosok
Willem Iskander di Kweekschool Tanobato sebagai alumni Eropa mampu memadukan
konsep pendidikan Eropa dengan pelajaran muatan local dengan pemahaman tiga bahasa
sekaligus: bahasa Batak, bahasa Melayu
dan bahasa Belanda. Poeze et al (2008) menyatakan bahwa Kweekschool Tanobato
kala itu adalah satu-satunya sekolah guru yang berjalan dengan baik di Hindia
Belanda. Untuk meningkatkan mutu guru di Hindia Belanda, pemerintah
meminta Willem Iskander untuk membawa sejumlah guru bantu dari berbagai daerah
untuk studi ke negeri Belanda. Willem Iskander sebagai mentor guru-guru muda
juga di negeri Belanda diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi
untuk mendapatkan akte kepala sekolah (hulpacte) yang nantinya akan
diproyeksikan menjadi kepala sekolah di kweekschool Padang Sidempoean (ibukota
Mandheling en Ankola) yang akan dibuka tahun 1879 sebagai pengganti Kweekschool
Tanobato. Willem Iskander dan anak-anak asuhnya berangkat dari Batavia 1875.
Sekali lagi: Willem Iskander adalah pribumi pertama yang berangkat kuliah ke
Negeri Belanda.
'Dokter Djawa School', Batavia, 1902 |
***
Satu-satunya perguruan
tinggi di Hindia Belanda hingga tahun 1902 hanyalah STOVIA. Sekolah kedokteran
ini bermula dari suatu pelatihan yang dimaksudkan untuk melatih sejumlah
pribumi untuk membantu dokter-dokter Belanda dalam penanganan epidemik.
Pelatihan yang dimulai tahun 1851 disebut kweekschool van inlandsche
geneeskundigen. Tempat pelatihan berada di rumah sakit militer di Weltevreden.
Dalam perjalanannnya, sekolah pelatihan ini berubah nama menjadi ‘Dokter Djawa
School’. Setelah 50 tahun pada tahun 1902 ‘Dokter Djawa School’ kemudian
berubah nama menjadi STOVIA. Pada artikel selanjutnya dapat kita ikuti perjalanan
sekolah kedokteran Indonesia ini berubah menjadi Faculteit Geneeskunde,
Universiteit van Indonesie (1940).
(bersambung)
Menarik, baru tahu saya orang Indonesia yang belajar di Belanda Si Sati
BalasHapusmenarik sekali. terimakasih untuk informasi yg dibagi nya pak!
BalasHapus