Pada permulaan pendudukan militer Jepang di Indonesia, Soekarno berada di Bengkulu sebagai tahanan politik yang diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Soekarno berada di Bengkulu sejak 1938 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1941), tepatnya bulan Mei 1938 (lihat De Indische courant, 31-03-1941). Pada bulan Februari 1942, setelah Palembang diduduki militer Jepang, Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) seperti di Sibolga dan Bengkulu bergerak ke Kota Padang. Soekarno sebagai tahanan politik terpenting, Soekarno dan keluarga turut dievakuasi dan ikut ke Kota Padang.
Rumah kediaman Soekarno (diasingkan) di Bengkulu (1937) |
Di Kota Padang dalam situasi tidak
menentu (akibat serangan militer Jepang), Pemerintah Hindia Belanda mulai
secara bertahap dievakuasi dengan kapal ke Australia. Situasi yang semakin
membuat panik, orang-orang Belanda tidak peduli lagi dengan siapa kecuali
masing-masing ingin menyelamatkan dirinya. Soekarno di Kota Padang dengan
sendirinya terlepas dari ikatan politik dengan Pemerintah Hindia Belanda
(dibiarkan mengurus dirinya dan keluarganya sendiri). Saat situasi chaos
inilah, Soekarno dan keluarga tinggal bersama di rumah Egon Hakim. Kelak
orang Belanda sangat=sangat menyesalinya karena di Bengkoeloe ada kans untuk membunuh
Soekarno (De Telegraaf, 21-03-1966). Dan, sebagaimana akan dideskripsikan
secara panjang lebar di bawah ini, lolosnya Soekarno di Padang menjadi faktor
terpenting berubahnya jalan sejarah Belanda di Indonesia (setelah 350 tahun).
Egon
Hakim adalah anak Dr, Abdul Hakim (Nasution), mantan Wakil Wali Kota (Loco
Burgemeester) Padang (1931-1938) dan anggota senior (Wethouder) dewan kota
(Gemeenteraad) Padang (1938-1942). Soekarno dan Egon Hakim sudah lama saling
kenal. Egon Hakim juga adalah menantu MH Thamrin, mantan Wakil Wali Kota (Loco
Burgemeester) Batavia. Egon
Hakim menempuh pendidikan sekolah menengah (SMA) di Belanda (De Gooi- en
Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924). Egon Onggara Hakim menyusul
Amir Sjarifoeddin. Egon Hakim melanjutkan ke Universiteit Leiden di bidang
hukum dan mendapat gelar Meester (MR) tahun 1933. Egon Hakim pulang ke tanah
air dan lalu kemudian diangkat sebagai pengacara (advocaat en procureur) di
Kantor Raad van Justitie di Kota Padang (De Indische courant, 31-05-1935). Pada
jelang berakhirnya era kolonial, Dr. Abdul Hakim dan Mr. Egon Hakim (ayah dan
anak) adalah dua tokoh paling berpengaruh di Kota Padang. Dr, Abdul Hakim
sebagai anggota senior (Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) dan Egon Hakim
sebagai advokat. Ketika Ir. Soekarno dan keluarga dari Bengkulu di Padang (saat
situasi chaos) tinggal dengan keluarga advokat (Mr. Egon Hakim). Soekarno dan
keluarga hanya aman dan nyaman bersama keluarga Egon Hakim (selain Soekarno dan
Egon Hakim sudah sejak lama saling kenal, posisi Egon Hakim di Padang sangat
kuat, apalagi ayahnya adalah wethouder dan loco-burgemeester).
Soekarno: Hatta dan Parada Harahap Sejak
Era Belanda Sudah Menjalin Kerjasama dengan Jepang
De waarheid, 25-09-1945 |
Setelah
Kota Padang berhasil diduduki militer Jepang, Soekarno mulai memainkan peran
dan masuk dalam lingkaran pemerintah militer Jepang. Lalu pada bulan Maret 1942
pemerintah militer Jepang di Kota Padang membawa Soekarno kepada pemimpin
militer tertinggi Jepang di Sumatra yang berkedudukan di Fort de Koek (lihat De
waarheid, 25-09-1945). Dari Fort de Kock inilah lalu kemudian kerjasama
strategis pimpinan militer Jepang dengan pimpinan politik Indonesia mulai
dirancang.
Pada masa
transisi ini (era Belanda ke pendudukan Jepang), situasi dalam perang,
transportasi antar kota dan antar pulau terhenti. Berbagai alat transportasi
mulai diambilalih militer Jepang. Demikian juga pusat-pusat komunikasi. Oleh
karenanya komunikasi antar para pemimpin Indonesia dibatasi (dikendalikan oleh
militer Jepang). Parada Harahap dan Mohammad Hatta di Batavia. Untuk sekadar
menunjukkan daftar pendek: Abdul Hakim dan Hazairin di Tapanoeli, Abdullah
Lubis dan Adinegoro di Medan, Radjamin di Soerabaja dan Soekarno di Padang
(dari Bengkulu dan kemudian ke Fort de Kock).
Keberadaan
Soekarno di Padang (lalu ke Fort de Kock) diduga kuat sudah diketahui oleh
Parada Harahap dan Mohammad Hatta. Hal ini boleh jadi karena Parada Harahap dan
M. Hatta sudah sejak era Belanda telah menjalin kerjasama dengan Jepang. Pada
bulan November 1933 Parada Harahap memimpin rombongan tujuh orang Indonesia
pertama ke Jepang. Di dalam rombongan ini termasuk M. Hatta yang baru lulus
sarjana di Belanda. Satu lagi tokoh penting dalam rombongan tersebut adalah
Abdullah Lubis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan.
Parada Harahap
sudah sejak lama kenal dengan Abdullah Lubis, Mohammad Hatta, Dr. Abdul Hakim
dan Adinegoro. Parada Harahap memulai karir sebagai editor surat kabat Benih
Mardeka di Medan pada tahun 1918 yang mana salah satu pendirinya Abdullah
Lubis. Ketika Benih Merdeka dibreidel, Parada Harahap pulang kampung dan
mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919 dan Abdul
Lubis bergabung dengan Pewarta Deli di Medan. Pada saat Kongres Sumatranen Bond
di Padang tahun 1919 Parada Harahap mewakili Tapanoeli dan Mohammad Hatta
termasuk tokoh pelajar terkemuka saat itu.
Pembina Kongres adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang, Dr.
Abdul Hakim (ayah Egon Hakim). Setelah hijrah ke Batavia, Parada Harahap
berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai mendirikan surat kabar Bintang Hindia
(1923) dan kemudian Parada Harahap mendirikan lagi surat kabar Bintang Timoer
(1926). Pada saat Djamaloedin pulang studi jurnalistik di Eropa, Parada Harahap
merekrut Djamaloedin untuk menggantikannya sebagai editor Bintang Timoer
(1929). Hal ini karena kesibukan Parada Harahap sebagai sekretaris supra
organisasi kebangsaan PPPKI (Permoefakatan Perhimponena-Perhimponenan
Kebangsaan Indonesia) yang didirikan tahun 1927 yang mana ketuanya didaulat MH
Thamrin (Parada Harahap adalah sekretaris Sumatranen Bond dan MH Thamrin ketua
Kaoem Betawi)). Namun belum setahun, Djamaloedin alias Adinegoro di Bintang
Timoer datang Abdullah Lubis ke Batavia meminta Parada Harahap agar Adinegoro
menjadi editor Pewarta Deli. Sejak 1930 Adinegoro menjadi editor Pewarta Deli.
Sebagai sekretaris PPPKI yang bermarkas di Gang Kenari, Soekarno dari Bandoeng
kerap bertandang menemui Parada Harahap di kantor tersebut. Hubungan Parada
Harahap dan Soekarno sudah lama ada, karena Soekarno kerap pula mengirim
tulisan ke surat kabar Bintang Timoer. Di dalam kantor PPPKI ini hanya ada tiga
foto yang dipampang Parada Harahap yakni Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohammad
Hatta. Parada Harahap adalah orang pertama yang menggadang-gadang Soekarno dan
Hatta (Parada Harahap juga adalah mentor politik praktis Soekarno dan Hatta).
Soekarno
berada di Fort de Kock selama empat bulan (lihat De waarheid, 25-09-1945).
Mengapa begitu lama karena situasi dan kondisi belum kondusif untuk
mengimplementasikan kerjasama Jepang dan Indonesia. Di satu pihak keberadaan
Belanda belum steril dan di pihak lain militer Jepang masih melakukan
konsolidasi di seluruh Indonesia. Pada fase inilah skenario kerjasama
dimantapkan antara militer Jepang dengan para pemimpin Indonesia, antara lain
yang boleh jadi paling utama: Soekarno di Padang dan Fort de Kock, Abdullah
Lubis dan Adinegoro di Medan, Abdul Hakim Harahap dan Hazairin di Tapanoeli,
Parada Harahap dan Mohammad Hatta di Batavia serta Gele Haroen dan Abdul Abbas di Tandjong Karang (Lampong). Lalu kemudian, pada bulan Julu
1942 Soekarno berangkat ke Batavia (lihat De waarheid, 25-09-1945) dan tentu
saja bergabung dengan kawan lama yang sudah lama menunggu yang satu visi dan misi sebagai pejuang revolusioner (non koperatif terhadap Belanda), yakni: Parada Harahap dan
Mohammad Hatta.
De Indische courant, 29-12-1933 |
Kedatangan
Soekarno di Batavia sudah barang tentu membuat Parada Harahap dan Mohammad
Hatta tersenyum, Lalu pemimpin militer Jepang mengangkat Soekarno sebagai
partner utama Jepang ditengah penduduk Indonesia yang disebut Ketua Dewan
Pertimbangan Pusat (Voorzitter van de Centrale Advies Raad) Tjoeo Sangi In.
Atasan Soekarno adalah Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Tertinggi yang
merangkap Kepala Staf Militer) di
Indonesia.
Di daerah dibentuk Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah). Di Sumatra Timur yang berkedudukan di Medan, Adinegoro diagkat sebagai Wakil Shu Sangi Kai. Sementara di Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng diangkat Abdul Hakim Harahap yang membawahi beberapa kabupaten yang mana di Tapanuli Selatan diangkat Hazairin (anggota Sumatranen Bond di Batavia teman main sepakbola Parada Harahap). Dr. Radjamin Nasution, anggota senior (Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) Soerabaya diangkat menjadi Wakil Wali Kota Soerabaya. Dr. Radjamin Nasution adalah orang yang menyambut dan mengevakuasi rombongan Indonesia (Parada Harahap dan Mogammad Hatta dkk) yang baru pulang dari Jepang turun dari kapal Panama Maru di Soerabaja. Rombongan tidak berani ke Batavia (karena sudah heboh) dan Dr. Radjamin juga adalah Ketua Sarikat Pekerja Pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja.
Soekarno melapor kepada kepada Gunseikan, 20 Oktober, 1943 |
Yang
duduk sebagai anggota Tjoeo Sangi In yang diketuai Soekarno antara lain Drs.
Mohammad Hatta, Dr. Abdoel Rasjid Siregar (anggota Volksraad dari dapil
Tapanoeli), Mr. Dr. Husein Djajadiningrat. Ketiga tokoh ini sangat dikenal
Parada Harahap. Dalam pembentukan PPPKI tahun 1927 dilakukan di rumah Husein
Djajadiningrat. Dalam pembentukan PPPKI ini turut hadir Dr. Abdoel Rasjid
Siregar dari Volksraad. Foto: Soekarno, Ketua
Dewan Pertimbangan Pusat (Tjoeo Sangi In) di Djakarta melaporkan tentang
(hasil) keputusan Sidang Dewan pertama kepada Kepala Dewan Militer Jepang
(Gunseikan) pada tanggal 20 Oktober 1943.
Parada Harahap sendiri tidak termasuk dalam anggota dewan yang diketuai Soekano ini, tetapi Parada Harahap (sesuai profesinya dan julukannya The King of Java Press) menjadi pemimpin sentral dari pihak Indonesia di pusat informasi Jepang. Parada Harahap merekrut tiga pemuda seusia untuk bekerja di Radio Militer Jepang di Batavia yang kelak lebih dikenal sebagai Adam Malik (pendiri kantor berita Antara), Mochtar Lubis (pendiri surat kabar Indonesia Raya) dan Sakti Alamsyah Siregar (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandoeng). Sementara Adinegoro menjadi pemimpin media Jepang di Sumatra.
Soekarno dan Mohammad Hatta ke Jepang
Indonesia
hanyalah salah satu wilayah pendudukan Jepang di Asia Pasifik. Sukses Soekarno
memimpin Tjoeo Sangi In dan telah
melaporkan hasil keputusan sidang pada tanggal 20 Oktober 1943 mengindikasikan
Indonesia telah menjadi anggota yang baik dalam Asia Raya (Japanse Groot-Azie).
Karena itu, Kaisar Hirohito merasa perlu mengundang Soekarno untuk berkunjung
ke Jepang. Kunjungan ini lalu dilaksanakan pada bulan November 1943.
Soekarno pidato sebelum jamuan makan siang di Jepang (1843) |
Di
Jepang, Soekarno dianugerahi oleh Kaisar Hirohito bintang de orde van de
Heilige Schat, tweede klasse (lihat Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 12-03-1966). Dalam perkembangan selanjutnya, Jepang menyerah kepada
Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 setelah tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika
Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Lalu pada tanggal 17
Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Sebelum
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Pemerintah Militer Jepang di Indonesia
telah membentuk badan yang disebut Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Maret 1945. Badan ini dibentuk
dengan tugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan
berbagai aspek yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia
merdeka. Badan ini beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Radjiman.
Anggota badan ini termasuk Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Lalu
badan BPUPKI ini tanggal 7 Agustus 1945 dibubarkan dan kemudian membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini terdiri dari 21
orang yang diketuai oleh Soekarno dan wakil Mohammad Hatta. Parada Harahap
boleh jadi merasa dirinya tidak memiliki kapasitas untuk tugas PPKI yang
diantaranya untuk membuat UUD. Parada Harahap membiarkan Soekarno dan wakil
Mohammad Hatta mewakili dirinya. Namun posisinya sebagai wakil dari Tapanoeli
diisi oleh Mr. Abdul Abbas (Siregar). Parada Harahap lengser keprabon, Parada
Harahap pensiun. Kenyataannya Soekarno telah menjadi Presiden dan Mohammad
Hatta menjadi Wakil Presiden. Parada Harahap ingin istirahat.
Lantas muncul
pertanyaan: Apakah para pemimpin Indonesia sudah mengetahui lebih awal bahwa
Indonesia akan menjadi bagian dari pendudukan Jepang di Asia? Faktanya pada
tahun 1933 terjadi kunjungan orang Indonesia ke Jepang yang dipimpin Parada
Harahap yang di dalamnya termasuk M. Hatta. Setelah kunjungan, mengapa dalam
kasus-kasus delik pers yang dialamtkan kepada Parada Harahap sering konsulat
Jepang ikut membantu. Hal lainnya, ketika Soekarno diasingkan ke Ende, Flores
mengapa Soekarno meminta dirinya dipindahkan ke Bengkulu atas biayanya sendiri
dan bukan biaya pemerintah (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig
nieuwsblad, 01-05-1940). Lantas mengapa Soekarno memilih Bengkulu. Apakah ada
kaitannya dengan koleganya yang sama-sama revolusioner yang berhaluan Jepang
seperti Parada Harahap, M. Hatta dan Egon Hakim? Faktanya Soekarno difasilitasi
Egon Hakim di Padang dan Fort de Kock selama proses konsolidasi dengan pemimpin
militer Jepang? Relasi-relasi ini dapat diperluas mengapa Soekarno setelah
berada di Djakarta begitu cepat diterima sebagai pemimpin dewan pribumi yang
mana anggota dewan termasuk M. Hatta dan Parada Harahap intens di bidang
informasi (propaganda). Lalu kemudian Soekarno dan M. Hatta berkunjung ke
Jepang pada bulan November 1943 dan diberi bintang. Selanjutnya dalam hal
persiapan kemerdekaan, pembentukan BPUPKI Soekarno, Hatta dan Parada Harahap
ikut berperan dan terakhir pada pembentukan PPKI yang ditunjuk sebagai Ketua
Soekarno dan Wakil M. Hatta (yang selanjutnya membacakan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Lalu dengan memperhatikan semua relasi-relasi tersebut, pendudukan
Jepang di Indonesia tampaknya dilakukan by design, suatu hal yang sudah
diketahui (secara rahasia) diantara sejumlah pemimpin revolusioner Indonesia
seperti Parada Harahap, Soekarno, M. Hatta, Abdullah Lubis, Adinegoro dan Egon
Hakim.
Parada Harahap
Wafat: Dwitunggal, Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal
Parada
Harahap adalah orang yang paling setia mengawal karir politik Soekarno baik di
kala suka maupun duka sejak 1926 hingga 1942 melalui surat kabarnya Bintang
Timoer dan Tjaja Timoer. Parada Harahap berani mengambil risiko ketika
editor-editor pribumi enggan menyiarkan situasi dan kondisi Soekarno. Parada
Harahap sangat konsisten untuk mengawal Soekarno, karena Soekarno adalah tokoh
muda revolusioner yang diidolakannya sejak lama (sejak 1926). Tentu saja Parada
Harahap banyak juga menulis tentang Mohammad Hatta (sebaliknya Mohammad Hatta
menyebut Parada Harahap dengan sebutan Om Parada).
Parada Harahap: mentor politik praktis Soekarno dan Hatta |
Kesetiaan
Parada Harahap kepada Soekarno dan Hatta tidak pernah putus hingga akhir hayat
Parada Harahap. Jika Soekarno dan Hatta terjadi perselisihan, Parada Harahap
tidak mau tahu (mundur) menjaga jarak. Ini mengindikasikan Parada Harahap tidak
pernah memihak salah satu di antara keduanya. Parada Harahap melihat Soekarno
dan Hatta adalah dwitunggal (Parada Harahap yang menjuluki Dwi Tunggal untuk
Soekarno dan Hatta).
Sejak proklamasi
kemerdekaan RI, Parada Harahap lengser keprabon dan hijrah ke Semarang untuk
meneruskan profesinya di bidang media (percetakan, penerbitan dan surat kabar).
Pada saat Belanda kembali (perang kemerdekaan), Parada Harahap diminta Mohammad
Hatta untuk mengasuh majalah Detik di Bukittinggi sebagai media Indonesia di
pengungsian. Parada Harahap menyanggupinya dan membawa peralatan percetakan
dari Padang Sidempoean dengan mempekerjakan beberapa eks tentara pelajar Padang
Sidempoean, termasuk salah satu AM Hoetasoehoet (pendiri IISIP Lenteng Agung).
Pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Parada Harahap kembali ke Batavia dengan
profesi lama di bidang media. Pada saat terjadi nasionalisasi, Parada Harahap
mengakuisisi surat kabar legendaris, Java Bode (berbahasa Belanda) tahun 1952.
Mengapa? Parada Harahap tampaknya ingin memberitakan Indonesia kepada asing
(Belanda) bagaimana Indonesia selanjutnya: Indonesia merdeka, yang sudah sejak
lama diinginkannnya, sejak Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Merdeka
di Padang Sidempoean tahun 1919. Parada Harahap dengan Java Bode kembali
mengawal Soekarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden.
Dalam kasus
Soekarno dan militer yang terkenal dengan demonstrasi 1952 yang mana kontra
Kolonel Abdul Haris Nasution dengan Soekarno, Parada Harahap tidak memihak dan
malahan mendirikan Akademi Wartawan tahun 1953 dimana dirinya menjadi Dekan.
Parada Harahap mengkombinasikan profesinya antara media dan dunia pendidikan
(jurnalistik). Pendirian akademi ini boleh jadi karena adik-adiknya di Padang,
Egon Hakim mendirikan Sekolah Tinggi Hukum/Pantjasila (1951) dan di Medan,
Abdul Hakim mendirikan Fakultas Kedokteran/Universitas Sumatera Utara (1952).
Lalu
pada tahun 1954 Soekarno dan M. Hatta ingat senior mereka, Parada Harahap. Ini
berhubungan dengan pemerintah membutuhkan acuan pembangunan (semacam buku
repelita). Dengan pertimbangan kapabilitas, Parada Harahap yang sudah menjadi
dekan, kemudian Soekarno dan M. Hatta meminta untuk memimpin sejumlah ahli
studi banding ke 14 negara di Eropa untuk menyusun rencana pembangunan
Indonesia. Hasil studi banding ini ditulis oleh Parada Harahap dan diterbitkan
pada tahun 1956. Buku repelita yang disiapkan Parada Harahap ini merupakan buku
repelita Indonesia pertama.
Namun buku
repelita ini belum sepenuhnya diimplementasikan, para pemimpin di daerah mulai
gerah dan merasa ada ketimpangan antara Jawa dan Sumatra dalam (kebijakan) pembangunan.
Kisruh inilah kemudian yang memicu munculnya PRRI. Saat eskalasi politik di
Sumatra meninggi, Parada Harahap benar-benar ingin pensiun dari segala
aktivitas kehidupan. Perseteruan yang muncul antara Soekarno dan Hatta, Parada
Harahap tidak mau pusing dan ingin benar-benar pensiun. PRRI akhirnya
diproklamirkan awal tahun 1958. Egon Hakim yang dulu menyelamatkan Soekarno di Padang menjabat sebagai Koordinator Keuangan PRRI. Soekarno pertama meminta persetujuan M. Hatta
untuk penyerangan PRRI di Sumatera Barat, M. Hatta terang-terangan menolak.
Lalu keputusan penyerangan ditandatangi sendiri Soekarno. Lalu Soekarno
menyerahkan tugas kepada Abdul Haris Nasution, tetapi Abdul Haris enggan
melakukan sendiri dan menyerahkan perintah itu kepada Ahmad Yani. Akhirnya,
kongsi yang sudah cukup lama antara Soekarno dan Hattta retak dan kemudian
pecah sama sekali. Surat kabar di Djakarta menulis pada kolom pojok:
Dwitunggal, Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal. Tidak lama kemudian setelah
dwirunggal pecah kongsi, Parada Harahap pada tahun 1959 dikabarkan telah
meninggal dunia. Sebelum wafat, Parada Harahap masih sempat menghadiri wisuda
putrinya, Aida Dalkit Harahap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Itulah ending drama tiga para revolusioner Indonesia: Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta. .
Riwayat Singkat
Parada Harahap
Keberadaan
Parada Harahap terdeteksi di Medan pada tahun 1918. Saat itu umurnya sudah
berusia 19 tahun (lahir di Padang Sidempoean 1899). Disebutkan, karir Parada
Harahap dimulai sebagai krani di perkebunan di Sumatra Timur sejak usia 15
tahun. Pada tahun 1917 melaporkan dengan mengirim bukti ke Benih Mardeka di
Medan tentang kekejaman para planter terhadap kuli (terutama kuli dari Djawa).
Laporan ini disarikan editor Benih Mardeka. Pada tahun 1918 surat kabar Soeara
Djawa melansir laporan investigasi Benih Mardeka dalam tiga edisi yang kemudian
menjadi heboh di Djawa. Sejak itu, Parada Harahap dipecat sebagai krani dan
hijrah ke Medan dan melamar sebagai wartawan namun yang disodorkan justru
sebagai editor Benih Mardeka. Parada Harahap menerima tawaran tersebut. Namun
baru enam bulan, Benih Mardeka dibreidel. Saat situasi menganggur itu, Parada
Harahap direkrut pimpinan Pewarta Deli sebagai editor kedua.
Parada Harahap
selama kehadirannya di Medan cukup menyita perhatian warga. Pemuda revolusioner
sudah lahir. Keberaniannya membongkar kekejaman terhadap kuli di perkebunan
(poenali sanctie) membuat Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) tergoncang
terutama di Jawa. Tidak hanya, sebagai editor Benih Mardeka, Parada Harahap
membongkar kasus prostitusi di kalangan elit di Medan yang berpusat di
hotel-hotel yang melibatkan wanita-wanita yang dikirim dan dikendalikan
mucikari di Singapoera. Konsulat Jepang di Medan (konsulat pertama di Jepang)
memberi apresiasi terhadap upaya menyelamatkan muka Jepang (dan harga diri
orang Jepang) dimana di Medan cukup banyak komunitas Jepang (sebagai pebisnis
dan planter). Parada Harahap juga terdeteksi memainkan peran ke dalam seperti
menengahi (mendamaikan) perseteruan antara kelompok Mandailing dan Minangkabau
dalam bidang perdagangan dan meredam munculnya penyebaran kebencian di antara
umat beragama (antara Kristen dan Islam). Di kalangan pemuda (walau Parada
Harahap secara sosial sudah tergolong senior tetapi secara umur masih terbilang
muda) aktif membina sepakbola pribumi. Last but not least: Parada Harahap juga
menggagas pendirian asosiasi wartawan pribumi dengan wartawan Tionghoa di
Medan.
Het nieuws van den dag voor NI, 02-09-1919 |
Parada Harahap
selama di Padang Sidempoean banyak menyorot ketidakadilan pemerintah Belanda
yang korup terhadap rakyat. Parada Harahap tidak hanya menggunakan pena yang
tajam tetapi juga kerap memimpin penduduk berdemonstrasi ke kantor Asisten
Residen di Padang Sidempoean. Dalam berbagai situasi, Parada Harahap belasan
kali dikenakan delik pers dan dimejahijaukan dan beberapa kasus yang berat
harus diadili di Kota Padang tetapi hukuman bui dilakukan di penjara Padang
Sidempoean. Parada Harahap dengan sendirinya sudah matang dalam berbagai segi
di usia muda.
Pada
tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia dan langsung berkolaborasi dengan
Dr. Abdul Rivai menerbitkan (kembali) surat kabar (mingguan) Bintang Hindia.
Kolaborasi ini diduga kuat karena peran Soetan Casajangan (pendiri Indisch
Vereeniging di Belanda tahun 1908) yang menjadi Direktur Normaal School di
Batavia. Soetan Casangan adalah pendiri surat kabar Poestaha yang terbit di
Padang Sidempoea tahun 1915 (saat Soetan Casajangan menjadi guru di Sekolah
Radja di Fort de Kock). Soetan Casajangan dan Dr. Abdul Rivai sudah saling
kenal sejak 1905 di Belanda (saat itu Dr. Abdul Rivai adalah editor Bintang
Hindia). Setelah Bintang Hindia dinyatakan bangkrut tahun 1911, pada tahun 1923
boleh jadi penerbitan ulang Bintang Hindia.
Soetan
Casajangan, alumni sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean 1887. Pada
tahun 1905 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda
untuk mendapatkan akte kepala sekolah (berlisensi Eropa). Di pelabuhan
Amsterdam Soetan Casajangan dijemput Dr. Abdul Rivai (alumni Docter Djawa
School) yang saat itu bekerja sebagai editor Bintang Hindia (pimpinan Dr. A.
Fokker) yang terbit di Amsterdam dan oplahnya sebagian besar di Hindia Belanda.
Dr. Fokker datang ke Batavia dan Padang pada tahun 1903. Saat kunjungan inilah
Fokker merekrut Abdul Rivai dan bermitra dengan Dja Endar Moeda di Padang
sebagai koresponden Bintang Hindia. Pada tahun 1903 saat Fokker dan Abdul Rivai
berangkat ke Belanda, Dja Endar Moeda ikut diajak untuk sekadar berkunjung.
Saat itu Dja Endar Moeda adalah pemilik, pemimpin dan editor surat kabar Pertja
Barat di Padang (sejak 1897). Oleh karenanya, saat Soetan Casajangan tiba di
Amsterdam yang dijemput Abdul Rivai adalah peran Dja Endar Moeda. Sebagaimana
diketahui Dja Endar Moeda adalah mantan guru yang beralih profesi menjadi
jurnalis dan pengusaha media. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni
sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean 1884 yang notabene adalah kakak
kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean.
Karir
Parada Harahap terus meroket sejak 1923. Pada tahun 1925 Parada Harahap
mendirikan kantor berita pribumi (pertama) Alpena dengan wartawan yang
sekaligus merangkap editor WR Supratman. Pada tahun ini Parada Harahap
melakukan perjalanan jurnalistik ke seluruh tempat utama di Sumatra dan
menerbitkannya dalam bentuk buku yang berjudul ‘Dari Pantai ke Pantai’
(termasuk di dalamnya bab tentang Kota Padang dan bab Kota Loeboek Sikaping)
yang diterbitkan tahun 1926. Pada tahun 1926 ini Parada Harahap mendirikan
surat kabar (harian) Bintang Timoer. Surat kabar ini cepat naik tirasnya dan
dalam tempo singkat menjadi tiras paling tinggi di Batavia. Saat-saat inilah
Soekarno kerap mengirim tulusannya ke redaksi Bintang Timoer yang dieditori
oleh Parada Harahap. Tidak hanya itu, Parada Harahap yang sudah menjadi pengusaha
di Batavia dan juga sebagai sekretaris Sumatranen Bond berkolaborasi dengan
pengusaha Betawi MH Thamrin yang sekaligus Ketua Kaoem Betawi mendirikan
asosiasi pengusaha pribumi Batavia (semacam Kadin pada masa ini). Pada tahun
1927, Parada Harahap menggagas dibentuknya supra organisasi kebangsaan yang
disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Pembentukan ini
dilakukan di rumah Husein Djajadiningrat (Boedi Oetomo yang dipimpin Dr.
Soetomo tidak hadir, mungkin Boedi Oetomo sudah menganggap dirinya sebagai
organisasi besar yang tidak perlu dipersatukan). Yang menjadi ketua PPPKI
didaulat MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap sendiri. Dalam pembentukan
supra organisasi PPPKI turut hadir anggota Volksraad, Mangaradja Soangkoepon
(dari dapil Sumatra Timur) dan Dr. Abdul Rasjid (dari dapil Tapanoeli) serta
Soetan Casajangan (Direktur Normaal School). Catatan: Husein Djajadiningrat
adalah sekretaris Indisch Vereeniging di era Soetan Casajangan. Mangaradja
Soangkoepon adalah alumni Belanda anggota Indisch Vereeniging juga di era
Soetan Casajangan. Dr. Abdul Rasjid alumni STOVIA (seangkatan dengan Dr.
Soetomo) yang merupakan adik kandung Mangaradja Soangkoepon. Dengan demikian
saat itu ada empat tokoh pemersatu asal (kelahiran) Padang Sidempoean: Soetan
Casajangan, Mangaradja Soangkoepon, Abdul Rasjid dan Parada Harahap
sendiri, Catatan: Anggota Volksraad dari dapil West Sumatra adalah Loetan Datoek
Rangkajo Maharadjo dan dari Zuid Sumatra Mochtar. Ini berarti dari empat wakil
dari Sumatra di Volksraad, dua orang berasal dari Padang Sidempoean.
Dalam
eskalasi politik yang mulai tumbuh saat itu di Batavia, Parada Harahap adalah
simpul dari berbagasi aspek di kalangan pribumi: karakter revolusiner
(pemberani terhadap asing dan memiliki kasih sayang terhadap sesama bangsanya),
kerjasama (antar organisasi kebangsaan), ketokohan (alumni Belanda dan
Volksraad), informasi (media), sumber daya keuangan (Kadin Batavia) dan
kebangkitan bangsa (meninggalkan barat di Belanda dan menuju timur di Jepang).
Singkat kata: Parada Harahap adalah pemilik portofolio tertinggi dari semua
pemimpin Indonesia yang ada. Kriteria ini tampaknya masuk desk pada top list di
Konsulat Jepang di Batavia.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Dari
semua itu dapat disimpulkan bahwa apa yang paling sangat disesalkan Belanda
pada masa ini adalah terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan kemudian
upaya tiga pemimpin Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang, yakni: Parada
Harahap, Soekarno dan M. Hatta. Dua hal ini telah menjadi sebab utama Belanda
yang telah ratusan tahun menjajah sejak Cornelis de Houtman tiba tahun 1595
hilang lenyap untuk selamanya. Kita bisa bayangkan pada masa ini, Indonesia
yang baru merdeka dari Belanda 72 sudah begitu manisnya, sebaliknya begitu
pahitnya yang Belanda terima setelah 350 tahun menguasainya.
Orang Belanda tunduk kepada Orang Jepang |
Soekarno dari
Ende Flores, Bengkulu hingga Padang dan Fort de Kock
Algemeen Handelsblad, 05-05-1938 |
Soerabaijasch
handelsblad, 06-05-1938 melaporkan Ir.
Soekarno saat transit di Soerabaja. Bersama KPM Steamer Valentijn, Ir Soekarno
bersama istrinya, dua anak angkat dan tiga pelayan tiba, pada hari Selasa siang
(5 Mei) dan keluarga tersebut pada malam hari ini ke Batavia dalam perjalanan
mereka ke Benkoelen. Selama Soekarno berada disini (Soerabaja), Soekarno
mencari dan memesan kamar di kantor
pusat, sementara istri dan orang-orang lain yang besertanya diijinkan untuk
mengunjungi teman-teman dan kerabatnya. Soekarno sendiri tidak ada yang
diizinkan untuk mengunjungi dan berbicara dengannya.
Keberangkatan
Soekarno dari Soerabaja ke Batavia dilaporkan tiga surat kabar. Bataviaasch
nieuwsblad edisi 07-05-1938 Soekarno yang awalnya diberangkatkan dengan kapal
ke Batavia tiba-tiba diubah dengan menggunakan kereta api dan dilakukan pada
malam hari. Saat keberangkatan dari Soerabaja hanya hanya ada orang tua dan
kerabat dekat yang hanya diberikan kesempatan salam perpisahan selama lima
belas menit. De Indische courant edisi 07-05-1938 terdapat informasi bahwa PID
melakukan perubahan dalam rencana perjalanan agar keberangkatan Soekarno bisa
berlangsung diam-diam. Juga
disebut, selain keluarga dan dua petugas yang akan menjaga selama perjalanan ke
Batavia (seorang Eropa dan seorang pribumi) dalam perpisahan ini ada beberapa
yang hadir.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-05-1938 menambahkan bahwa Soekarno pagi ini telah tiba di Batavia. Pada pukul 11 dengan mobil polisi ke Serang dan malam hari dari pelabuhan Merak (dengan kapal) menuju Oosthaven (Telok Betong?). Dari tempat terakhir ini, dengan kereta api menuju tempat tinggal yang ditunjuk di Benkoelen.Soekarno dalam hal ini tentu bukan orang bodoh. Soekarno dan petugas PID yang mengawalnya berbeda level. Soekarno meminta pindah kepada pejabat dengan alasan teknis: membuat peluang bertemu dengan siapa Soekarno menginginkan bertemu. Petugas PID hanya melihat Soekarno bertemu dengan orangtua dan kerabat. Sementara Soekarno sudah barang tentu telah menskenariokan ingin bertemu dengan koleganya. Kolega itu ada di dalam barisan kerabat yang hadir di stasion kereta api Soerabaja. Harus diingat inilah satu-satunya kesempatan bertemu dengan kolega (seperjuangan). Petugas PID memang telah berhasil melakukan perjalanan diam-diam, itu berarti telah sukses mengantisipasi kemungkinan ternjadinya demonstrasi. Singkat kata: Soekarno bukan saja ingin pindah sendiri dari Ende ke Bengkoelen tetapi juga keinginan para koleganya. Permintaan Soekarno untuk pindah ke Bengkoeloe juga didorong oleh MH. Thamrin (mertua Egon Hakim) di Volksraad. MH Thamrin mengatakan bahwa Soekarno menderita di Flores karena malaria, jika Soekarno mati karena serangan malaria tersebut maka Pemerintah akan bertanggungjawab (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1957) [Catatan: surat kabar Java Bode sejak 1952 sudah diakuisisi oleh Parada Harahap]. Upaya menakut-nakuti oleh MH Thamrin ini akhirnya permintaan Soekarno dikabulkan. Perpindahan ini akan memberi manfaat: menjauhkan diri dari area Australia (internasional) ke Sumatra (domestik); mendekatkan diri kepada para koleganya terutama di Sumatra yang besar kemungkinan Jepang akan mendudukinya terlebih dahulu; memiliki kesempatan sepanjang perjalanan bertemu para koleganya. Sebelum perpindahan ini sempat muncul keraguan pejabat tinggi untuk menyetujui perpindahan (De Telegraaf, 21-03-1966). Dan harus diingat bahwa perpindahan itu adalah atas permintaan Soekarno dan atas biaya sendiri. Tegasnya bahwa sangat naif proses perpindahan dari Ende ke Bengkoelen jika dianggap hal sepele dan tidak begitu penting.
Java-bode:, 11-06-1957
Siapa beberapa
orang yang hadir dalam salam perpisahan di stasion kereta Soerabaja tersebut? Hanya ada kemungkinan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin. Bahwa
Dr. Soetomo kecil kemungkinan hadir. Haagsche courant, 30-05-1938 melaporkan
bahwa Dr. Soetomo meninggal dunia hari ini yang diterima dari Aneta yang
dirawat selama sebulan di rumah sakit sipil pusat di Surabaya. Dr. Soetomo
mengambil alih posisi Soekarno mengenai prinsip non-kerjasama. Berdasarkan
berita ini, Dr. Soetomo sudah sakit selama sebulan (sebelum meninggal) dan Dr.
Soetomo dianggap non-koperatif (sebagaimana Soekarno). Dr. Radjamin dianggap
masih mau bekerjasama. Saat itu Radajamin adalah anggota senior (Wethouder)
dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Dr. Radjamin (Nasution) teman sekelas Dr.
Soetomo di STOVIA. Pertemanan Radjamin dan Soetomo sudah bagaikan keluarga. De
Sumatra post, 31-05-1938 menyebut Dr. Soetomo pernah bertugas di Batoebara dan
Loeboek Pakam. Sementara Dr. Radjamin juga pernah bertugas di Medan dan
Belawan. Pendiri PIB (Partai Bangsa Indonesia) adalah Dr. Soetomo yang mana Dr.
Radkamin salah satu pengurus di Soerabaja. PIB kemudian melebur ke Parindra.
Dalam pemakaman Soetomo ini akan datang dari Batavia beberapa perwakilan
gerakan pribumi, termasuk MH Thamrin (Parindra). Dalam pemakaman Soetomo ini,
Dr. Radjamin berpidato atas nama keluarga Dr. Soetomo. Dengan demikian, saat
keberangkatan Soekarno ke Batavia diduga kuat Dr. Radjamin (Nasution) hadir.
Saat pembentukan PPPKI tahun 1927, Dr. Radjamin yang berdinas di Batavia
sebelum dipindahkan ke Soerabaja adalah orang yang diminta Parada Harahap untuk
mendekati dan mengubah status quo Soetomo (Boedi Oetomo) untuk bergabung dengan
PPPKI. Oleh karena itu, melalui Dr, Radjamin pesan politik Soekarno ke
teman-teman seperjuangan sebelum berangkat ke Bengkoeloe. Dalam hubungan ini,
di Telok Betong sudah barang tentu Dr. Radjamin telah menelpon Mr. Gele Haroen,
seorang advokat terkenal di Lampong yang berkantor di Telok Betong tentang rute
perjalanan Soekarno tersebut. Gele Haroen (Nasution) adalah alumni sekolah
tinggi hukum di Leiden (kelak menjadi Residen Lampoeng). Singkat kata: proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkulu adalah kerja gotong royong diantara koleganya yang dikoordinasikan oleh Parada Harahap. Di parlemen (Volksraad), Parada Harahap akan terus berkomunikasi secara intens dengan MH. Thamrin (mertua Egon Hakim) yang juga akan berkoordinasi dengan tiga anggota Volksraad lainnya kelahiran Padang Sidempoean: Mr. Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid dan Mr. Dr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Untuk mengingatkan kembali: MH Thamrin dan Parada Harahap adalah pendiri PPPKI (1927) yang berkantor di Gang Kenari, dimana di kantor tersebut Parada Harahap memajang dua foto juniornya: Soekarno dan M. Hatta.
Controeleur di Bengkoeloe dengan Soekarno (1939) |
Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902 |
De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970 |
Soekarno pertama
menikah dengan putri Tjokroaminoto, Oetari di Soerabaja. Saat Soekarno di
Bandoeng, Soekarno yang tinggal di rumah Sanoesi jatuh cinta dengan putrinya,
Inggit Garnasih. Oetari diceraikan dan Inggit dinikahi. Inggit yang lebih tua
dari Soekarno ikut diasingkan ke Flores dan kemudian ikut ke Bengkoeloe. Saat
Soekarno dipindah ke Padang, cintanya terhadap Fatmawati tidak hilang. Setiba
di Djakarta, Soekarno kemudian menceraikan Inggit tahun 1943. Pada tahun ini
juga tanggal 1 Juni, Soekarno menikah dengan Fatmawati.
Het vrije volk, 19-12-1985 |
Demikianlah
kisah awal Soekarno dari Flores hingga ke Bengkoeloe. Satu hal tanggal berapa
Soekarno tiba di Djakarta dalam De waarheid, 25-09-1945 tidak disebutkan. Hanya
disebut bulan Juli 1942. Surat kabar Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 19-12-1985 menyebutkan setelah dari Padang dan Fort de Kock Soekarno
tiba di Djakarta tanggal 9 Juli 1942. Pada saat ini Mohammad Hatta sudah
beberapa waktu tiba di Batavia setelah dibebaskan dari Bandaneira. Saat Soekarno tiba di Djakarta sudah barang tentu disambut Parada Harahap dan
Mohammad Hatta. Boleh jadi yang mengabari keberangkatan Soekarno ke Djakarta
melalui pelabuhan Teluk Bayur sudah dikabarkan terlebih dahulu oleh Egon Hakim.
Satu hal lagi yang menjadi pertanyaan adalah (tiba-tiba) mengapa Bengkoelen yang dipilih Soekarno sebagai tempat tinggal pengasingan menggantikan Ende, Flores? Pada tahun 1938 Dr, Hazairin asisten dosen di Rehthoogeschool diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Landraad di Padang Sidempoean. Di kampus ini Dr. Husein Djajadiningrat adalah guru besar. Parada Harahap sudah kenal lama Husein Djajadiningrat sedangkan Hazairin saat menulis desertasinya di Rehthoogeschool melakukan penelitian lapangan di Bengkulu (lulus tahun 1936). Parada Harahap tahun 1927 adalah sekretaris Sumatranen Bond juga sudah lama kenal Hazairin, selain asal satu daerah juga Hazairin adalah anggota Sumatranen Bond ketika memulai kuliah Rehthoogeschool dengan Amir Sjarifoeddin. Parada Harahap dan Hazairin kebetulan keduanya adalah ‘gibol’ yang kerap bermain sepakbola dalam satu tim. Oleh karenanya perpindahan Soekarno dari Ende sangat naif jika itu bersifat random dan juga sangat naif jika tempat yang baru dipilih Bengkulu juga bersifat random. Boleh jadi pengenalan Bengkulu tidak hanya atas deskripsi Hazairin dan boleh jadi Soekarno sudah pernah ke Bengkulu? Sebab Soekarno diduga kerap secara diam-diam ke Tapanoeli. Pada tahun 1932 Ir. Soekarno datang ke Tapanoeli dalam rangka pembentukan divisi Partai Nasional Indonesia/NIP (lihat De Sumatra post, 13-05-1932). Kunjungan Soekarno ke Tapanoeli dapat mudah dipahami, karena besar dugaan atas petunjuk dari Parada Harahap. Tentu saja tidak hanya itu, PNI memiliki basis massa di Tapanoeli dan di Sumatra Barat. Sebagaimana diketahui pemimpin PNI di Sumatra Barat adalah Dr. Abdul Hakim (lihat De Sumatra post, 14-01-1922) dan pemimpin PNI di Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim. Sebagaimana diketahui juga bahwa pendiri PNI adalah Dr. Tjipto di Bandoeng. Hubungan antara Abdul Hakim dan Abdul Karim dengan Tjipto Mangoenkosoemo adalah teman sekelas di Docter Djawa School. Untuk sekadar diingat kembali bahwa (sejak awal kebangkitan bangsa/pergerakan politik Indonesia) Parada Harahap di Batavia adalah ‘mentor politik’ dari trio revolusioner muda: Soekarno, M. Hatta dan Amir. Dalam fase ini, pada tanggal 29 Desember 1929 sepulang dari Kongres PPPKI ke 2 di Solo, Soekarno ditangkap. Lalu pada tanggal 18 Juni Soekarno diadili di Pengadilan Landraad di Bandoeng dan kemudian didakwa hukuman empat tahun penjara. Namun, akibat adanya pengurangan hukuman, Soekarno dilepas pada tanggal 31 Desember 1931 (lihat De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Pada hari-hari setelah bebas inilah Soekarno terdeteksi berada di Tapanoeli. Lalu kemudian, pada tanggal 31 Juli 1933, Soekarno ditangkap lagi karena melakukan manuver politik. Kali ini Soekarno tidak diadili namun dengan keputusan Gubernur Jenderal langsung diasingkan ke Ende, Flores (lihat De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Sejak diasingkan di Ende, Soekarno kerap dipojokkan oleh pers pribumi. Sebagaimana Parada Harahap yang terus konsisten mengawal karir politik Soekarno, ketika semua surat kabar memojokkan Soekarno, hanya Parada Harahap yang terang-terangan melalui surat kabar miliknya, Tjaja Timoer yang membela Soekarno. Dalam hubungan ini diduga bahwa Parada Harahap adalah pendukung utama dana politik Soekarno termasuk dukungan dana dalam proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkoeloe (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-05-1940). Oleh karenanya, Soekarno dalam pengasingan (terutama di Bengkoeloe) tidak sendiri alias terasing secara sosial. Soekarno terkawal dengan baik mulai dari Soerabaja oleh Dr. Radjamin Nasution, di Djakarta oleh Parada Harahap dkk, di Telok Betong, Lampoeng oleh Gele Haroen Nasution dan Mr Abdul Abbas (Siregar), di Padang oleh Egon Hakim Nasution dan ayahnya Dr. Abdul Hakim, di Solok oleh Eny Karim dan ayahnya Dr. Abdul Karim (Lubis) dan di Padang Sidempoean oleh Mr. Dr. Hazairin (Harahap) dan tentu saja di Medan oleh Adinegoro dkk. Relasi-relasi inilah secara politis nyaris tidak terungkap saat mana Soekarno mengasingkan diri di Bengkoeloe (bukan diasingkan!), lalu kemudian dipindahkan ke Padang dan terakhir melakukan konsolidasi dengan Jepang di Fort de Kock.
De Sumatra post, 14-01-1922
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar