*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Kecamatan Beji dibentuk tahun 1981 sehubungan Kecamatan
Depok dipromosikan menjadi Kota Administrasi Depok. Pada tahun 1999 Kota
Administrasi Depok Ketika statusnya ditingkatkan menjadi Kota Depok. Bersamaan
dengan pemekaran sejumlah kecamatan di Depok tahun 2007, Kelurahan Beji juga
dimekarkan. Kini Kecamatan Beji terdiri dari enam kelurahan, yakni: Beji, Beji
Timur, Kemiri Muka, Pondok Cina, Kukusan dan Tanah Baru.
Nama Kampong Bedji
tempo doeloe kini menjadi nama Kecamatan Beji di Kota Depok. Posisi ‘gps’
Kampong Bedji tempo doeloe kini tepat berada di sisi selatan Universitas
Indonesia yang dipisahkan oleh jalan tol Cijago (Cinere-Jagorawi). Kampong
Bedji tempo doeloe bersama-sama Kampong Pondok Tjina dan Kampong Pondok Kemirie
dibentuk menjadi Landerein Pondok Tjina.
Peta 1724 (VOC) |
Bagaimana sejarah Beji
di Depok, dari sebuah nama kampong tempo doeloe hingga menjadi nama sebuah
kecamatan pada masa ini sangat minim informasinya. Sehubungan dengan wilayah
Beji sebagai bagian pusat kota Depok dan namanya semakin terkenal, sudah
waktunya sejarah Beji disusun. Namun itu tidak mudah karena data tentang Beji
tidak sebanyak data sejarah Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong. Meski
demikian upaya pengumpulan data tetap perlu dilakukan. Mari kita telusuri.
Peta tertua yang ditemukan bertarih 1724, tetapi tidak
teridentifikasi nama Beji. Yang teridentifikasi adalah nama Pondoa Sina (Pondok
Tjina), Cameri (Kemiri), Montpang (Mampang) dan Depacki (Depok). Dalam
ekspedisi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeek tahun 1703 melalui rute sisi barat sungai Tjiliwong
sudah mengedentifikasi nama Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong. Ekspedisi
pertama ke hulu sungai Tjiliwong dilakukan tahun 1687 yang dipimpin oleh Sersan
Pieter Scipio melalui sisi timur sungai Tjiliwong. Hasil dua ekspedisi ini
besar kemungkinan menjadi sumber pembuatan Peta 1724. Orang Eropa pertama
membuka lahan di hulu sungai Tjiliwong adalah Sersan St. Martin membuka lahan
di Pondok Terong dan Tjinirie (Cinere) sebelum tahun 1694. Boleh jadi dua
lokasi ini menurut ahli geologi yang terbilang subur dan mudah diusahakan. Lalu
kemudian menyusul Cornelis Chastelein di Sringsing (Lenteng Agung) tahun 1695 dan
setahun kemudian di Depok.
Beji Bagian Land Pondok Tjina
Nama Bedji muncul
kali pertama di surat kabar pada tahun 1816 (Java government gazette, 25-05-1816).
Disebutkan dalam beberapa iklan yang mana lahan dijual di Pondok Tjina, Pondok Kemirie,
Bedji, Kali Bata, Tana Baroe. Iklan penjualan lahan kembali muncul dalam surat
kabar Bataviasche courant, 14-12-1816. Disebutkan sebidang lahan yang terdiri
dari padang ilalang dan hutan yang dikenal sebagai Pondok Tjina, Pondok Kemirie
dan Beedjie yang berbatasan di timur Groote Rivier (sungai Tjiliwong), di barat
sungai Kalie Bata, di selatan Land Depok dan di utara Land Serengseng. Hubungi
N. Jansen.
Pemerintahan Hindia Belanda digantikan Inggris tahun
1811. Pada bulan Agustus 1814 terjadi proses politik di Eropa yang mana Inggris
harus menyerahkan Hindia ke Belanda. Penyerahan itu efektif berlangsung bulan
Agustus 1816. Pada masa peralihan ini, surat kabar Java government gazette
adalah surat kabar berbahasa Inggris digantikan oleh Bataviasche courant surat
kabar berbahasa Belanda.
Dari informasi
tersebut, lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji di bawah
satu kepemilikan. Batas-batasnya cukup jelas yakni antara sungai Tjiliwong dan
sungai Kali Bata yang mana di selatan berbatasan dengan Land Depok (persis Jalan
Arif Rahman Hakim dan Jalan STM yang sekarang) dan di utara Land Serengseng
(batas Depok-DKI Jakarta yang sekarang). Lahan yang luas tersebut pada masa ini
termasuk Universitas Indonesia, Margo City, Detos, D Mall dan Pesona Kayangan).
Batas-batas tiga kampung tersebut sulit diketahui. Titik
pusat perkampungan adalah sebagai berikut: Berdasarkan informasi terawal
Kampong Pndok Tjina berada di sebelah Margo City yang sekarang dekat dengan
sungai Tjiliwong (Laporan Abraham van Riebeek tahun 1703 dan Peta 1724). Namun
jika dibandingkan dengan Peta 1854 Kampong Pondok Tjina telah direlokasi ke suatu
tempat yang kemudian berubah nama menjadi Kampong Bodjong (sekitar stasion UI
yang sekarang). Hal ini karena di kampong Pondok Tjina yang lama (dekat sungai)
telah dibangun Landhuis (Pondok Tjina). Titik Kampong Kemiri juga berada dekat
sungai sekitar Pesona Kayangan yang sekarang. Untuk lokasi pasar disebut Pasar
Kemirie Moeka berada di Pasar Kemiri yang sekarang (belankang D Mall). Lantas
dimana titik pusat Kampong Bedji? Tidak ada informasi yang jelas. Namun bisa
diduga berada di sekitar Gedung Rektorat UI yang sekarang, Hal ini didasarkan
jalan setapak yang merupakan jalan akses dari Landhuis Pondok Tjina, dari arah
sungai yang memotong jalan poros Serengseng-Depok (jalan Margonda sekarang)
menuju stasion Pondok Cina yang sekarang berbelok ke selatan melalui Rektorat
UI dan kemudian ke arah barat menuju Land Sawangan.
Dalam
perkembangannya, lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji
disebut Land Pondok Tjina. Ini mengacu pada tempat utama (hoofdplaat) pemilik
lahan yang berpusat di Lanhuis Pondok Tjina.
Pembangunan Irigasi
Lahan di Pondok
Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji pada dasarnya bukan lahan yang subur, melainkan
lahan beruba padang ilalang yang luas yang di sana-sini terdapat semak-semak
dan hutan. Hal ini karena di tiga lahan ini sulit mendapatkan air. Hanya lahan
Kemiri yang sedikit mendapat air yang bersumber dari hulu sungai Kali Bata
(sekitar Situ Besar, dekat stasion Depok Baru yang sekarang). Limpahan air dari
Land Depok tidak mengalir ke Kemiri dan Pondok Tjina karena berbelok ke arah
yang lebih rendah di ke Depok Plaza/Pesona Depok yang sekarang.
Lahan-lahan produktif (subur dan memiliki sumber air)
secara historis sejak era Cornelis Chastelein dan St. Martin hanya lahan-lahan
yang terdapat di Depok (menjadi Land Depok); di Pondok Terong (menjadi Land
Pondok Terong en Ratoedjaja, kemudian disebut Land Tjitajam) dan di Tjinere (menjadi
Land Tjinere). Oleh karena itu lahan di tiga wilayah ini lebih awal berkembang
sebagai daerah pertanian (landrein). Lahan-lahan yang berada di Pondok Tjina
(termasuk Pondok Kemiri dan Bedji) belakang berkembang. Lahan yang paling
terakhir dikembangkan adalah lahan-lahan di Sawangan (menjadi Land Sawangan).
Lahan-lahan di Depok seiring dengan perluasan lahan
pertanian di Depok sejatinya kekurangan air di musim kemarau. Cornelis
Chastelein telah berinisiatif untuk meningkatkan debit air untuk kebutuhan
lahan Depok dengan ‘membangun’ Situ Pitara. Limpahan air dari Land Tjitajam
(Pondok Terong/Ratoedjaja) yang sebelumnya jatuh ke sungai Krekot ditampung
dengan membuat tanggul besar yang kemudian membentuk danau Situ Pitara (dekat
stasion Depok Lama yang sekarang). Sejak itu Land Depok tidak pernah kekurangan
air sekalipun terjadi musim kemarau. Lahan-lahan di Land Depok ini diwariskan
kepada tenaga kerjanya. Land Depok menjadi maju sendiri dan sudah makmur sejak
era VOC.
Pada era VOC, dua kanal
irigasi sudah dibangun di hulu sungai Tjiliwong. Kanal pertama adalah membuat
kanal dengan membendung sungai Tjipakantjilan di Bondongan, Bogor (nama yang
diduga asal nama Bondongan, Bogor). Air yang jatuh ke sungai Tjisadane dibendung
dan dialihkan melalui kanal buatan menuju Kedong Badak melalui kanal dalam yang
kini berada di bawah Jembatan Merah di Bogor. Sumber air baru ini mampu
mengairi lahan pertanian baru di Tjilieboet. Kanal kedua adalah membuat kanal
baru di sisi timur sungai Tjiliwong dengan membuat bendungan sungai di
Katoelampa. Kanal ini diteruskan hingga Tjiloewar dan Tjibinong. Dalam
perkembangannya kanal ini diperkuat dengan menyodet sungai Tjikeas. Kanal sisi
timur Tjiliwong ini hingga menuju Tjililitan dan Soenter.
Pada permulaan era Pemerintahan Hindia Belanda, era
Daendels (1808-1811) mulai dirancang pengembangan lebih lanjut kanal-kanal di
hulu sungai Tjiliwong. Pengembangan kanal tersebut adalah memperbesar debit air
di Tjiloewar dan Kedong Badak. Untuk pengembangan lebih lanjut kanal sungai
Tjipakantjilan di Bogor diperbesar dengan membendung sungai Tjisadane (nama
yang diduga asal nama Empang, Bogor). Gagasan ini baru mulai direalisasikan
pada tahun 1834. Air dari bendungan (empang) ini kemudian diintegrasikan dengan
kanal menuju Kedong Badak. Kanal yang diperkuat ini diharapkan akan mampu
mencapai Depok. Kanal-kanal irigasi yang berada di sisi barat sungai Tjiliwong ini
secara keseluruhan selesai tahun 1872. Ppekerjaan paling berat adalah membangun
tanggul di Bamboe Koening di wilayah Bodjonggede (kanal berada di atas jalan).
Lahan-lahan di
Serengseng dan Tandjong Barat meulai dikembangkan sehubungan dengan pembangunan
(pembendungan) Situ Babakan di Serengseng. Air dari situ yang melimpah ini
dialirkan dengan membuat kanal menuju Lenteng Agoeng (bawah stasion Lenteng
Agung yang sekarang) dan Tandjong Barat (Oost Tandjong). Situ Babakan ini juga
telah mendapat tambahan air dari Situ Pitara setelah sebelunya dibangun kanal
dari Situ Pitara menuju ke barat (sekitar rumah sakit Bhkati Yuda yang
sekarang) berbelok menuju Land Tanah Baroe (lalu sebagian menuju Situ Babakan).
Sejauh ini lahan-lahan di Bedji masih mengandalkan air dari sumber sungai Kali
Bata.
Kanal yang airnya bersumber dari Empang, Bogor ini tidak
hanya memperkuat debit air di Land Tjitajam dan Land Depok tetapi juga hingga
Land Sawangan dan Land Tjinere. Saat inilah sisten pengairan lahan di Land
Pondok Tjina (lahan-lahan Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji) memiliki
kecukupan air (bahkan pada musim kemarau). Kanal yang semakin besar di Land
Tjitajam (sungai Kalibaroe di Pondok Terong dan Ratoedjaja) telah meningkatkan
volume air di Situ Pitara. Dari situasi inilah kemudian air Situ Pitara
dialirkan ke lahan-lahan di Bedji, Pondok Kemirie dan Pondok Tjina dengan
membangun kanal baru melalui Terminal Depok yang sekarang hingga menuju stasion
Pondok Cina dan stasion UI yang sekarang.
Pada tahun 1854 akibat
curah hujan yang ekstrim bendungan Situ Pitara jebol, tanggul penahan air yang
terletak di belakang Carefour, Jalan Dewi Sartika yang sekarang. Banjir bandang
ini menyebabkan wilayah lio (sumber dan pabrik batu bata) di hilir tenggelam. Situ
Piatara buatan Cornelis Chastelein tamat. Tenggelamnya wilayah lio ini
terbentuk danau Situ Besar (dekat stasion Depok Baru). Wilayah lio dan Situ
Besar inilah muara sungai Kali Bata. Situ Pitara kemudian dibangun kembali
demgan desain dan struktur yang baru. Ini sehubungan dengan selesainya kanal
baru (Kali Baroe, Tjitajam) yang bersumber dari Empang, Bogor. Pembangunan
kembali Situ Pitara bersamaan dengan pembangunan Situ Tjitajam (dekat stasion
Citayam yang sekarang) dan Situ Besar. Seperti halnya Situ Besar sebagai sumber
sungai Kali Bata, Situ Tjitajam juga sebagai sumber (hulu) sungai Kali Krekot.
Satu hal lagi, semakin tingginya debit air di Situ Pitara, kanal via Tanah
Baroe juga ditingkatkan yang pada gilirannya juga meninggikan volume air di
Situ Babakan (bendungan Situ Babakan juga ditingkatkan agar debit air lebih
mampu mengairi lahan di Lenteng Agung, Tandjong Barat dan bahkan Pasar Minggoe).
Itulah sejarah mengapa lahan-lahan kering (padang
ilalang) di Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji lambat laun menjadi lahan
yang subur (persawahan) dan memiliki pengairan yang permanen (sepanjang tahun).
Sejak adanya kanal irigasi ini, wilayah Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji
mulai diperhitungkan sebagai areal pertanian yang potensial di sisi barat
sungai Tjiliwong.
Sebelum lupa, kanal
irigasi dari Land Depok menuju Pondok Tjina dipecah di sekitar Universitas
Gunadarma yang sekarang. Kanal ke utara menuju Kampong Bodjong/Kampong Pondok
Tjina (sekitar Kober), ke timur menuju sekitar wilayah RSU Bunda yang sekarang;
dan ke barat menuju kampus UI yang sekarang (pada gilirannya ke Situ Babakan).
Sehubungan dengan senmakin padatnya penduduk, hanya menyisakan kanal yang ke
arah barat di UI yang sekarang..
Situs Bedji
Nama Bedji sulit diketahui sejak kapan muncul. Paling
tidak nama Bedji sudah terdeteksi pada tahun 1816 sebagai sebuah kampung yang
berdekatan dengan Kampong Pondok Tjina dan Kampong Pondok Kemirie. Tiga nama
kampung ini tidak jauh dari Land Depok dan Land Srengseng. Cornelis Chastelein
di Land Depok sudah diketahui sejak 1696.
Nama Depok dan nama
Bedji pada era itu adalah dua nama yang umum ditemukan di berbagai tempat. Nama
Depok juga terdapat di Chirebon dan Djogjakarta. Demikian juga, nama Bedji
ditemukan di Midden Java dan Djogjakarta. Nama Bedji juga ditemukan di Banten.
Kampong Bedji di dekat Tjilegon di Banten adalah pusat pendidikan Islam dengan
pimpinannya yang terkenal Hadjie Wasid.
Nama Kampong Depok sudah pasti telah eksis jauh sebelum
Cornelis Chastelein membuka lahan pertanian (landrein). Meski nama Bedji
dikenal belakangan, namun nama Bedji diduga kuat muncul satu era dengan
munculnya nama Depok. Akan tetapi sejak kapan nama Depok dan nama Bedji muncul
sulit diketahui.
Nama Depok dan nama
Bedji diduga bukan nama lokal (atau nama-nama yang muncul pada era Hindu). Nama
Depok atau nama Bedji diduga terkait dengan penyebaran agama Islam di wilayah
Soenda (Pakuan-Padjadjaran). Islamisasi di Tatar Soenda (Pakuan-Padjadjaran)
terjadi pada akhir pemerintahan Praboe Siliwangi (di awal era Portugis di
Malaka 1505-1539). Dua abad kemudian Cornelis Chastelein di Depok (1696).
Nama Bedji ada yang menghubungkan dengan situs Bedji. Di
Kampong Bedji ini disebutkan terdapat sejumlah sumur. Konon disebutkan jumlah
sumur tersebut sebanyak tujuh buah (di lokasi yang berbeda-beda). Namun kapan
sumur-sumur tersebut dibuat tidak diketahui secara jelas.
Sejak masa lampau,
diduga wilayah Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji adalah wilayah kering yang
dipenuhi oleh pada alang-alang yang luas. Hanya di beberapa titik ditemukan
areal semak dan areal hutan. Pada areal-areal hutan inilah muncul tempat
pemukiman. Dalam hal ini areal hutan tidak hanya banyak pohon pelindung
(dibanding padang alang-alang) juga sangat strategis untuk pertahanan. Pada
tempat pemukiman di areal hutan inilah diduga menjadi sebab munculnya
sumur-sumur penampungan air (reservoir) yang menjadi sumber air untuk berbagai
keperluan (terutama di musim kemarau).
Lahan padang alang-alang di Pondok Tjina, Pondok Kemiri
dan Bedji baru diolah menjadi lahan pertanian yang subur pada era pembangunan
kanal air (1850-1870). Era ini sudah sangat jauh jika dibandingkan pada era
awal pembuatan sumur-sumur. Bagaimana sumur-sumur ini bisa bertahan cukup lama?
Hal ini karena berada di dalam areal hutan. Pembangunan kanal-kanal irigasi dan
pengembangan lahan pertanian (seperti persawahan dan kebun) tidak mengusik
keberadaan hutan yang dengan sendirinya tidak mengusik keberadaan sumur-sumur
tua tersebut. Sumur-sumur tua tersebut masih ditemukan pada masa ini.
Kejadian-Kejadian di
Bedji
Bedji tidak seterkenal Pondok Tjina. Sejak 1874 nama
Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam semakin terkenal. Hal ini karena pembangunan
rel kereta api Batavia-Buitenzorg menetapkan stasion pemberhentian berada di
Tjitajam, Depok dan Pondok Tjina. Tiga nama tempat ini menjadi penanda navigasi
yang penting untuk turun naik barang dan penumpang.
Tjitajam, Depok dan
Pondok Tjina menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Tuga tempat ini tidak hanya
pusat landerein tempat dimana landhuis berada, juga semakin banyak orang di
Batavia yang membangun rumah, terutama di Pondok Tjina dan Depok. Toko-toko
juga bermunculan di seputar tiga stasion ini. Pasar Tjitajam dengan adanya
stasion membuat transaksi semakin kencang.
Semakin populernya tiga kampong yang menjadi tempat
stasion dan telah menunjukkan ciri-ciri urban, sebaliknya nama-nama kampong
seperti Pondok Kemiri, Bedji, Tanah Baroe, Mampang, Ratoejaya dan lainya semakin
tenggelam karena tetap berciri rural. Kampong Bedji sendiri tidak jauh dari
(stasion) Pondok Tjina, namun karena bersifat rural, namanya kurang populer,
apalagi lahan-lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji
disatukan dengan nama tunggal sebagai Land Pondok Tjina.
Situasi dan kondisi ini
yang kemudian menyebabkan Bedji kurang dikenal secara luas dan jarang
diberitakan. Namun demikian nama Bedji diberitakan masih muncul secara acak. Yang
jelas nama Bedji tetap masih eksis, sebagai nama kampong lama.
Seperti kampong-kampong lainnya yang mengusahakan
pertanian (sawah dan kebun), Kampong Bedji juga mengusahakan ternak besar.
Lahan-lahan padang rumput yang tidak berpengairan menjadi padang penggembalaan ternak.
Di Afdeeling Buitenzorg, Kampong Bedji dan Kampong Lio termasuk kampong yang
memiliki populasi ternak yang banuak (Bataviaasch handelsblad, 22-06-1882).
Besar dugaan dua kampong ini menjadi pemasok daging dan susu di sekitar Depok
dan Pondok Tjina. Pada awal tahun 1990an peternak sapi masih banyak ditemukan
di seputar kampus Universitas Indonesia.
Pada era VOC, sebelum
ada bendungan Situ Babakan dan kanal irigasi, Land Tandjong Barat sangat
terkenal dengan peternakannya. Peternakan ini mahkan memiliki sapi sebanyak
5000 untuk produksi susu. Peternakan Tandjong Barat bahkan disebut sebagai
Frisia di timur, Setelah pengairan di Tandjong Barat tersedia peternakan ini
menghilang (diduga karena pemilik meninggal dunia). Apakah para penduduk di kampong
Bedji dan kampong-kampongh lainnya telah belajar memelihara sapi dari Tandjong
Barat? Pada tahun 1930 pemerintah Afdeeling Meester Cornelis membayar
konpensasi yang besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Tandjong
Barat dan Pasar Minggoe dengan cara mengakuisisi Situ Pitara. Lahan-lahan di
Tandjong Barat selalu kekeringan di musim kemarau karena sumber air dari Situ
Babakan tidak mencukupi. Debit air dari Kali Baroe Ratoedjaja ditutup menuju
Situ Pitara dan alirannya langsung ke kanal Tanah Baroe lalu masuk ke Situ Babakan.
Dengan cara menutup Situ Pitara maka volume air Situ Babakan semakin tinggi dan
debit air menuju ke Tnadjong Barat dan lahan-lahan di hilirnya sepanjang tahun
menjadi stabil. Situ Pitara yamat untuk selamanya.
Berita-berita tentang Kampong Bedji memang sangat jarang muncul
di surat kabar. Beberapa berita yang muncul dari Kampong Bedji justru bukan
berita bagus, yang muncul adalah berita buruk. Bad news is good news.
Suatu kejadian yang
pernah diberitakan adalah dua pemuda di Kampong Bedji sama-sama mengincar
seorang gadis. Kedua pemuda ini akhirnya berselisih dan terjadi perkelahian.
Salah satu menjadi korban parah yang harus segera dibawah ke rumah sakit Rood
Kruis di Buitenzorg (kini RS PMI di Bogor). Tidak diketahui apakah selamat atau
tidak. Kejadian lainnya adalah seorang laki-laki bermur 50 tahun mendekati
sebuah rumah yang dihuni seorang perempuan yang suaminya baru saja keluar
rumah. Saat sang laki-laki tersebut mulai menggoda sang perempuan tiba-tiba
sang suami kembali ke rumah. Mengetahui kejadian tersebut kedua laki-laki itu terjadi
perkelahian hebat. Sang laki-laki penggoda yang berlumuran darah segera
diangkut ke rumah sakit di Buintenzorg tetapi meninggal sebelum sampai ke
tujuan. Satu lagi berita yang berhasil ditemukan adalah seorang anak laki-laki
ditanduk seekor sapi marah. Sang anak tersangkut di ujung tanduk sapi ketika
sapi tersebut diburu. Tidak jelas apakah sapi sang anak tersebut tersangkut
pakaiannya atau tubuhnya.
Itulah sejarah Bedji dari masa ke masa. Kampong tempoe
doeloe yang tetap eksis meski tidak sepopuler Pondok Tjina.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Saya ingin tau sumber peta yg 1724 itu ? Terimakasih
BalasHapusLihat buku Francois Valentijn, 1726
HapusSelamat belajar sejarah