Sabtu, 27 Oktober 2018

Sejarah Kota Depok (48): Sejarah Beji di Depok; Nama Kampong Tempo Doeloe, Kini Nama Kecamatan Dimana UI Berada


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Nama Kampong Bedji tempo doeloe kini menjadi nama Kecamatan Beji di Kota Depok. Posisi ‘gps’ Kampong Bedji tempo doeloe kini tepat berada di sisi selatan Universitas Indonesia yang dipisahkan oleh jalan tol Cijago (Cinere-Jagorawi). Kampong Bedji tempo doeloe bersama-sama Kampong Pondok Tjina dan Kampong Pondok Kemirie dibentuk menjadi Landerein Pondok Tjina.

Peta 1724 (VOC)
Kecamatan Beji dibentuk tahun 1981 sehubungan Kecamatan Depok dipromosikan menjadi Kota Administrasi Depok. Pada tahun 1999 Kota Administrasi Depok Ketika statusnya ditingkatkan menjadi Kota Depok. Bersamaan dengan pemekaran sejumlah kecamatan di Depok tahun 2007, Kelurahan Beji juga dimekarkan. Kini Kecamatan Beji terdiri dari enam kelurahan, yakni: Beji, Beji Timur, Kemiri Muka, Pondok Cina, Kukusan dan Tanah Baru.

Bagaimana sejarah Beji di Depok, dari sebuah nama kampong tempo doeloe hingga menjadi nama sebuah kecamatan pada masa ini sangat minim informasinya. Sehubungan dengan wilayah Beji sebagai bagian pusat kota Depok dan namanya semakin terkenal, sudah waktunya sejarah Beji disusun. Namun itu tidak mudah karena data tentang Beji tidak sebanyak data sejarah Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong. Meski demikian upaya pengumpulan data tetap perlu dilakukan. Mari kita telusuri.

Peta tertua yang ditemukan bertarih 1724, tetapi tidak teridentifikasi nama Beji. Yang teridentifikasi adalah nama Pondoa Sina (Pondok Tjina), Cameri (Kemiri), Montpang (Mampang) dan Depacki (Depok). Dalam ekspedisi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeek tahun 1703 melalui rute sisi barat sungai Tjiliwong sudah mengedentifikasi nama Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong. Ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong dilakukan tahun 1687 yang dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio melalui sisi timur sungai Tjiliwong. Hasil dua ekspedisi ini besar kemungkinan menjadi sumber pembuatan Peta 1724. Orang Eropa pertama membuka lahan di hulu sungai Tjiliwong adalah Sersan St. Martin membuka lahan di Pondok Terong dan Tjinirie (Cinere) sebelum tahun 1694. Boleh jadi dua lokasi ini menurut ahli geologi yang terbilang subur dan mudah diusahakan. Lalu kemudian menyusul Cornelis Chastelein di Sringsing (Lenteng Agung) tahun 1695 dan setahun kemudian di Depok.

Beji Bagian Land Pondok Tjina

Nama Bedji muncul kali pertama di surat kabar pada tahun 1816 (Java government gazette, 25-05-1816). Disebutkan dalam beberapa iklan yang mana lahan dijual di Pondok Tjina, Pondok Kemirie, Bedji, Kali Bata, Tana Baroe. Iklan penjualan lahan kembali muncul dalam surat kabar Bataviasche courant, 14-12-1816. Disebutkan sebidang lahan yang terdiri dari padang ilalang dan hutan yang dikenal sebagai Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Beedjie yang berbatasan di timur Groote Rivier (sungai Tjiliwong), di barat sungai Kalie Bata, di selatan Land Depok dan di utara Land Serengseng. Hubungi N. Jansen.

Pemerintahan Hindia Belanda digantikan Inggris tahun 1811. Pada bulan Agustus 1814 terjadi proses politik di Eropa yang mana Inggris harus menyerahkan Hindia ke Belanda. Penyerahan itu efektif berlangsung bulan Agustus 1816. Pada masa peralihan ini, surat kabar Java government gazette adalah surat kabar berbahasa Inggris digantikan oleh Bataviasche courant surat kabar berbahasa Belanda.    

Dari informasi tersebut, lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji di bawah satu kepemilikan. Batas-batasnya cukup jelas yakni antara sungai Tjiliwong dan sungai Kali Bata yang mana di selatan berbatasan dengan Land Depok (persis Jalan Arif Rahman Hakim dan Jalan STM yang sekarang) dan di utara Land Serengseng (batas Depok-DKI Jakarta yang sekarang). Lahan yang luas tersebut pada masa ini termasuk Universitas Indonesia, Margo City, Detos, D Mall dan Pesona Kayangan).

Batas-batas tiga kampung tersebut sulit diketahui. Titik pusat perkampungan adalah sebagai berikut: Berdasarkan informasi terawal Kampong Pndok Tjina berada di sebelah Margo City yang sekarang dekat dengan sungai Tjiliwong (Laporan Abraham van Riebeek tahun 1703 dan Peta 1724). Namun jika dibandingkan dengan Peta 1854 Kampong Pondok Tjina telah direlokasi ke suatu tempat yang kemudian berubah nama menjadi Kampong Bodjong (sekitar stasion UI yang sekarang). Hal ini karena di kampong Pondok Tjina yang lama (dekat sungai) telah dibangun Landhuis (Pondok Tjina). Titik Kampong Kemiri juga berada dekat sungai sekitar Pesona Kayangan yang sekarang. Untuk lokasi pasar disebut Pasar Kemirie Moeka berada di Pasar Kemiri yang sekarang (belankang D Mall). Lantas dimana titik pusat Kampong Bedji? Tidak ada informasi yang jelas. Namun bisa diduga berada di sekitar Gedung Rektorat UI yang sekarang, Hal ini didasarkan jalan setapak yang merupakan jalan akses dari Landhuis Pondok Tjina, dari arah sungai yang memotong jalan poros Serengseng-Depok (jalan Margonda sekarang) menuju stasion Pondok Cina yang sekarang berbelok ke selatan melalui Rektorat UI dan kemudian ke arah barat menuju Land Sawangan.

Dalam perkembangannya, lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji disebut Land Pondok Tjina. Ini mengacu pada tempat utama (hoofdplaat) pemilik lahan yang berpusat di Lanhuis Pondok Tjina.

Pembangunan Irigasi

Lahan di Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji pada dasarnya bukan lahan yang subur, melainkan lahan beruba padang ilalang yang luas yang di sana-sini terdapat semak-semak dan hutan. Hal ini karena di tiga lahan ini sulit mendapatkan air. Hanya lahan Kemiri yang sedikit mendapat air yang bersumber dari hulu sungai Kali Bata (sekitar Situ Besar, dekat stasion Depok Baru yang sekarang). Limpahan air dari Land Depok tidak mengalir ke Kemiri dan Pondok Tjina karena berbelok ke arah yang lebih rendah di ke Depok Plaza/Pesona Depok yang sekarang.

Lahan-lahan produktif (subur dan memiliki sumber air) secara historis sejak era Cornelis Chastelein dan St. Martin hanya lahan-lahan yang terdapat di Depok (menjadi Land Depok); di Pondok Terong (menjadi Land Pondok Terong en Ratoedjaja, kemudian disebut Land Tjitajam) dan di Tjinere (menjadi Land Tjinere). Oleh karena itu lahan di tiga wilayah ini lebih awal berkembang sebagai daerah pertanian (landrein). Lahan-lahan yang berada di Pondok Tjina (termasuk Pondok Kemiri dan Bedji) belakang berkembang. Lahan yang paling terakhir dikembangkan adalah lahan-lahan di Sawangan (menjadi Land Sawangan).
  
Lahan-lahan di Depok seiring dengan perluasan lahan pertanian di Depok sejatinya kekurangan air di musim kemarau. Cornelis Chastelein telah berinisiatif untuk meningkatkan debit air untuk kebutuhan lahan Depok dengan ‘membangun’ Situ Pitara. Limpahan air dari Land Tjitajam (Pondok Terong/Ratoedjaja) yang sebelumnya jatuh ke sungai Krekot ditampung dengan membuat tanggul besar yang kemudian membentuk danau Situ Pitara (dekat stasion Depok Lama yang sekarang). Sejak itu Land Depok tidak pernah kekurangan air sekalipun terjadi musim kemarau. Lahan-lahan di Land Depok ini diwariskan kepada tenaga kerjanya. Land Depok menjadi maju sendiri dan sudah makmur sejak era VOC.

Pada era VOC, dua kanal irigasi sudah dibangun di hulu sungai Tjiliwong. Kanal pertama adalah membuat kanal dengan membendung sungai Tjipakantjilan di Bondongan, Bogor (nama yang diduga asal nama Bondongan, Bogor). Air yang jatuh ke sungai Tjisadane dibendung dan dialihkan melalui kanal buatan menuju Kedong Badak melalui kanal dalam yang kini berada di bawah Jembatan Merah di Bogor. Sumber air baru ini mampu mengairi lahan pertanian baru di Tjilieboet. Kanal kedua adalah membuat kanal baru di sisi timur sungai Tjiliwong dengan membuat bendungan sungai di Katoelampa. Kanal ini diteruskan hingga Tjiloewar dan Tjibinong. Dalam perkembangannya kanal ini diperkuat dengan menyodet sungai Tjikeas. Kanal sisi timur Tjiliwong ini hingga menuju Tjililitan dan Soenter.

Pada permulaan era Pemerintahan Hindia Belanda, era Daendels (1808-1811) mulai dirancang pengembangan lebih lanjut kanal-kanal di hulu sungai Tjiliwong. Pengembangan kanal tersebut adalah memperbesar debit air di Tjiloewar dan Kedong Badak. Untuk pengembangan lebih lanjut kanal sungai Tjipakantjilan di Bogor diperbesar dengan membendung sungai Tjisadane (nama yang diduga asal nama Empang, Bogor). Gagasan ini baru mulai direalisasikan pada tahun 1834. Air dari bendungan (empang) ini kemudian diintegrasikan dengan kanal menuju Kedong Badak. Kanal yang diperkuat ini diharapkan akan mampu mencapai Depok. Kanal-kanal irigasi yang berada di sisi barat sungai Tjiliwong ini secara keseluruhan selesai tahun 1872. Ppekerjaan paling berat adalah membangun tanggul di Bamboe Koening di wilayah Bodjonggede (kanal berada di atas jalan).

Lahan-lahan di Serengseng dan Tandjong Barat meulai dikembangkan sehubungan dengan pembangunan (pembendungan) Situ Babakan di Serengseng. Air dari situ yang melimpah ini dialirkan dengan membuat kanal menuju Lenteng Agoeng (bawah stasion Lenteng Agung yang sekarang) dan Tandjong Barat (Oost Tandjong). Situ Babakan ini juga telah mendapat tambahan air dari Situ Pitara setelah sebelunya dibangun kanal dari Situ Pitara menuju ke barat (sekitar rumah sakit Bhkati Yuda yang sekarang) berbelok menuju Land Tanah Baroe (lalu sebagian menuju Situ Babakan). Sejauh ini lahan-lahan di Bedji masih mengandalkan air dari sumber sungai Kali Bata.

Kanal yang airnya bersumber dari Empang, Bogor ini tidak hanya memperkuat debit air di Land Tjitajam dan Land Depok tetapi juga hingga Land Sawangan dan Land Tjinere. Saat inilah sisten pengairan lahan di Land Pondok Tjina (lahan-lahan Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji) memiliki kecukupan air (bahkan pada musim kemarau). Kanal yang semakin besar di Land Tjitajam (sungai Kalibaroe di Pondok Terong dan Ratoedjaja) telah meningkatkan volume air di Situ Pitara. Dari situasi inilah kemudian air Situ Pitara dialirkan ke lahan-lahan di Bedji, Pondok Kemirie dan Pondok Tjina dengan membangun kanal baru melalui Terminal Depok yang sekarang hingga menuju stasion Pondok Cina dan stasion UI yang sekarang.

Pada tahun 1854 akibat curah hujan yang ekstrim bendungan Situ Pitara jebol, tanggul penahan air yang terletak di belakang Carefour, Jalan Dewi Sartika yang sekarang. Banjir bandang ini menyebabkan wilayah lio (sumber dan pabrik batu bata) di hilir tenggelam. Situ Piatara buatan Cornelis Chastelein tamat. Tenggelamnya wilayah lio ini terbentuk danau Situ Besar (dekat stasion Depok Baru). Wilayah lio dan Situ Besar inilah muara sungai Kali Bata. Situ Pitara kemudian dibangun kembali demgan desain dan struktur yang baru. Ini sehubungan dengan selesainya kanal baru (Kali Baroe, Tjitajam) yang bersumber dari Empang, Bogor. Pembangunan kembali Situ Pitara bersamaan dengan pembangunan Situ Tjitajam (dekat stasion Citayam yang sekarang) dan Situ Besar. Seperti halnya Situ Besar sebagai sumber sungai Kali Bata, Situ Tjitajam juga sebagai sumber (hulu) sungai Kali Krekot. Satu hal lagi, semakin tingginya debit air di Situ Pitara, kanal via Tanah Baroe juga ditingkatkan yang pada gilirannya juga meninggikan volume air di Situ Babakan (bendungan Situ Babakan juga ditingkatkan agar debit air lebih mampu mengairi lahan di Lenteng Agung, Tandjong Barat dan bahkan Pasar Minggoe).

Itulah sejarah mengapa lahan-lahan kering (padang ilalang) di Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji lambat laun menjadi lahan yang subur (persawahan) dan memiliki pengairan yang permanen (sepanjang tahun). Sejak adanya kanal irigasi ini, wilayah Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji mulai diperhitungkan sebagai areal pertanian yang potensial di sisi barat sungai Tjiliwong.

Sebelum lupa, kanal irigasi dari Land Depok menuju Pondok Tjina dipecah di sekitar Universitas Gunadarma yang sekarang. Kanal ke utara menuju Kampong Bodjong/Kampong Pondok Tjina (sekitar Kober), ke timur menuju sekitar wilayah RSU Bunda yang sekarang; dan ke barat menuju kampus UI yang sekarang (pada gilirannya ke Situ Babakan). Sehubungan dengan senmakin padatnya penduduk, hanya menyisakan kanal yang ke arah barat di UI yang sekarang..

Situs Bedji

Nama Bedji sulit diketahui sejak kapan muncul. Paling tidak nama Bedji sudah terdeteksi pada tahun 1816 sebagai sebuah kampung yang berdekatan dengan Kampong Pondok Tjina dan Kampong Pondok Kemirie. Tiga nama kampung ini tidak jauh dari Land Depok dan Land Srengseng. Cornelis Chastelein di Land Depok sudah diketahui sejak 1696.

Nama Depok dan nama Bedji pada era itu adalah dua nama yang umum ditemukan di berbagai tempat. Nama Depok juga terdapat di Chirebon dan Djogjakarta. Demikian juga, nama Bedji ditemukan di Midden Java dan Djogjakarta. Nama Bedji juga ditemukan di Banten. Kampong Bedji di dekat Tjilegon di Banten adalah pusat pendidikan Islam dengan pimpinannya yang terkenal Hadjie Wasid.

Nama Kampong Depok sudah pasti telah eksis jauh sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan pertanian (landrein). Meski nama Bedji dikenal belakangan, namun nama Bedji diduga kuat muncul satu era dengan munculnya nama Depok. Akan tetapi sejak kapan nama Depok dan nama Bedji muncul sulit diketahui.

Nama Depok dan nama Bedji diduga bukan nama lokal (atau nama-nama yang muncul pada era Hindu). Nama Depok atau nama Bedji diduga terkait dengan penyebaran agama Islam di wilayah Soenda (Pakuan-Padjadjaran). Islamisasi di Tatar Soenda (Pakuan-Padjadjaran) terjadi pada akhir pemerintahan Praboe Siliwangi (di awal era Portugis di Malaka 1505-1539). Dua abad kemudian Cornelis Chastelein di Depok (1696).

Nama Bedji ada yang menghubungkan dengan situs Bedji. Di Kampong Bedji ini disebutkan terdapat sejumlah sumur. Konon disebutkan jumlah sumur tersebut sebanyak tujuh buah (di lokasi yang berbeda-beda). Namun kapan sumur-sumur tersebut dibuat tidak diketahui secara jelas.

Sejak masa lampau, diduga wilayah Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji adalah wilayah kering yang dipenuhi oleh pada alang-alang yang luas. Hanya di beberapa titik ditemukan areal semak dan areal hutan. Pada areal-areal hutan inilah muncul tempat pemukiman. Dalam hal ini areal hutan tidak hanya banyak pohon pelindung (dibanding padang alang-alang) juga sangat strategis untuk pertahanan. Pada tempat pemukiman di areal hutan inilah diduga menjadi sebab munculnya sumur-sumur penampungan air (reservoir) yang menjadi sumber air untuk berbagai keperluan (terutama di musim kemarau).

Lahan padang alang-alang di Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji baru diolah menjadi lahan pertanian yang subur pada era pembangunan kanal air (1850-1870). Era ini sudah sangat jauh jika dibandingkan pada era awal pembuatan sumur-sumur. Bagaimana sumur-sumur ini bisa bertahan cukup lama? Hal ini karena berada di dalam areal hutan. Pembangunan kanal-kanal irigasi dan pengembangan lahan pertanian (seperti persawahan dan kebun) tidak mengusik keberadaan hutan yang dengan sendirinya tidak mengusik keberadaan sumur-sumur tua tersebut. Sumur-sumur tua tersebut masih ditemukan pada masa ini.

Kejadian-Kejadian di Bedji  

Bedji tidak seterkenal Pondok Tjina. Sejak 1874 nama Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam semakin terkenal. Hal ini karena pembangunan rel kereta api Batavia-Buitenzorg menetapkan stasion pemberhentian berada di Tjitajam, Depok dan Pondok Tjina. Tiga nama tempat ini menjadi penanda navigasi yang penting untuk turun naik barang dan penumpang.

Tjitajam, Depok dan Pondok Tjina menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Tuga tempat ini tidak hanya pusat landerein tempat dimana landhuis berada, juga semakin banyak orang di Batavia yang membangun rumah, terutama di Pondok Tjina dan Depok. Toko-toko juga bermunculan di seputar tiga stasion ini. Pasar Tjitajam dengan adanya stasion membuat transaksi semakin kencang.

Semakin populernya tiga kampong yang menjadi tempat stasion dan telah menunjukkan ciri-ciri urban, sebaliknya nama-nama kampong seperti Pondok Kemiri, Bedji, Tanah Baroe, Mampang, Ratoejaya dan lainya semakin tenggelam karena tetap berciri rural. Kampong Bedji sendiri tidak jauh dari (stasion) Pondok Tjina, namun karena bersifat rural, namanya kurang populer, apalagi lahan-lahan yang berada di Pondok Tjina, Pondok Kemiri dan Bedji disatukan dengan nama tunggal sebagai Land Pondok Tjina.

Situasi dan kondisi ini yang kemudian menyebabkan Bedji kurang dikenal secara luas dan jarang diberitakan. Namun demikian nama Bedji diberitakan masih muncul secara acak. Yang jelas nama Bedji tetap masih eksis, sebagai nama kampong  lama.   

Seperti kampong-kampong lainnya yang mengusahakan pertanian (sawah dan kebun), Kampong Bedji juga mengusahakan ternak besar. Lahan-lahan padang rumput yang tidak berpengairan menjadi padang penggembalaan ternak. Di Afdeeling Buitenzorg, Kampong Bedji dan Kampong Lio termasuk kampong yang memiliki populasi ternak yang banuak (Bataviaasch handelsblad, 22-06-1882). Besar dugaan dua kampong ini menjadi pemasok daging dan susu di sekitar Depok dan Pondok Tjina. Pada awal tahun 1990an peternak sapi masih banyak ditemukan di seputar kampus Universitas Indonesia.

Pada era VOC, sebelum ada bendungan Situ Babakan dan kanal irigasi, Land Tandjong Barat sangat terkenal dengan peternakannya. Peternakan ini mahkan memiliki sapi sebanyak 5000 untuk produksi susu. Peternakan Tandjong Barat bahkan disebut sebagai Frisia di timur, Setelah pengairan di Tandjong Barat tersedia peternakan ini menghilang (diduga karena pemilik meninggal dunia). Apakah para penduduk di kampong Bedji dan kampong-kampongh lainnya telah belajar memelihara sapi dari Tandjong Barat? Pada tahun 1930 pemerintah Afdeeling Meester Cornelis membayar konpensasi yang besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Tandjong Barat dan Pasar Minggoe dengan cara mengakuisisi Situ Pitara. Lahan-lahan di Tandjong Barat selalu kekeringan di musim kemarau karena sumber air dari Situ Babakan tidak mencukupi. Debit air dari Kali Baroe Ratoedjaja ditutup menuju Situ Pitara dan alirannya langsung ke kanal Tanah Baroe lalu masuk ke Situ Babakan. Dengan cara menutup Situ Pitara maka volume air Situ Babakan semakin tinggi dan debit air menuju ke Tnadjong Barat dan lahan-lahan di hilirnya sepanjang tahun menjadi stabil. Situ Pitara yamat untuk selamanya.    

Berita-berita tentang Kampong Bedji memang sangat jarang muncul di surat kabar. Beberapa berita yang muncul dari Kampong Bedji justru bukan berita bagus, yang muncul adalah berita buruk. Bad news is good news.

Suatu kejadian yang pernah diberitakan adalah dua pemuda di Kampong Bedji sama-sama mengincar seorang gadis. Kedua pemuda ini akhirnya berselisih dan terjadi perkelahian. Salah satu menjadi korban parah yang harus segera dibawah ke rumah sakit Rood Kruis di Buitenzorg (kini RS PMI di Bogor). Tidak diketahui apakah selamat atau tidak. Kejadian lainnya adalah seorang laki-laki bermur 50 tahun mendekati sebuah rumah yang dihuni seorang perempuan yang suaminya baru saja keluar rumah. Saat sang laki-laki tersebut mulai menggoda sang perempuan tiba-tiba sang suami kembali ke rumah. Mengetahui kejadian tersebut kedua laki-laki itu terjadi perkelahian hebat. Sang laki-laki penggoda yang berlumuran darah segera diangkut ke rumah sakit di Buintenzorg tetapi meninggal sebelum sampai ke tujuan. Satu lagi berita yang berhasil ditemukan adalah seorang anak laki-laki ditanduk seekor sapi marah. Sang anak tersangkut di ujung tanduk sapi ketika sapi tersebut diburu. Tidak jelas apakah sapi sang anak tersebut tersangkut pakaiannya atau tubuhnya.    

Itulah sejarah Bedji dari masa ke masa. Kampong tempoe doeloe yang tetap eksis meski tidak sepopuler Pondok Tjina.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

  1. Saya ingin tau sumber peta yg 1724 itu ? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lihat buku Francois Valentijn, 1726
      Selamat belajar sejarah

      Hapus