Jumat, 02 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (6): Jalan Pos Trans-Java Daendels, Batavia ke Anjer via Tangerang; Banten Tenggelam, Timbul Kota Serang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Ada adagium tempo doeloe: ’Maluku masa lalu, Jawa masa kini, Sumatra masa depan’. Sebelumnya telah berlalu adagium ‘doeloe Moeara, kini Tangerang’. Pada era VOC saat terjadi gunung Salak meletus tahun 1699 kota Banten aman, tapi kota Tangerang hancur diterjang banjir bandang. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, jalan Trans-Java Daendels kota Tangerang maju pesat. Ini sehubungan dibangunnya jembatan baru di atas sungai Tjisadane di Tangerang. Lalu ketika gunung Krakatau meletus tahun 1883, kota tua Banten tenggelam dan muncul kota baru Serang (di sisi jalan Trans-Java Daendels).

Benteng Angke, akses menuju Tangerang (1769)
VOC/Belanda bubar (Oost Indische), lalu Kerajaan Belanda tahun 1800 mengakuisisi dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsche Indie). Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) membuat terobosan dengan tiga program utama dalam pembangunan: (1) membangun jalan utama (jalan pos) yang menghubungkan tempat-tempat utama (hoofdplaats) di seluruh Jawa; (2) mengembangkan pertanian pada basis irigasi; (3) membangun kota-kota pemerintah. Tiga program ini terdapat di Tangerang. Dampaknya: Tangerang melejit, Banten memudar.

Lantas bagaimana dinamika yang terjadi di Tangerang setelah kota Tangerang dijadikan sebagai kota pemerintah(an) dan setelah adanya jalan Trans-Java? Pembangunan pertanian maju pesat yang berpusat di tanah-tanah partikelir. Namun semua itu menimbulkan permasalahan baru dalam bidang sosial, yakni kerawanan sosial. Bagaimana itu semua terkait satu sama lain, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Jalan Trans-Java Daendels

Pemerintah Hindia Belanda telah melibatkan para pemimpin lokal untuk mengerahkan penduduk untuk membangun jalan baru, meningkatkan jalan yang sudah ada. Pembangunan jalan tersebut dibuat undang-undangnya yang meliputi rute dari Batavia ke Buitenzorg. Lalu dari Buitenzorg ke Soerabaja (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Peningkatan jalan ini termasuk jalan dari Batavia menuju Anjer (Banten) melalui Tangerang. Untuk pembangunan jembatan pemerintah melakukan outsourcing yang dilakukan oleh perorangan (swasta). Pejabat pemerintah di Tangerang adalah Schout (setingkat controleur). Schout Tangerang saat dimulai pembangunan jalan tersebut adalah JF Carels.

Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810
Usul tersebut tampaknya berasal dari para pemilik land di Buitenzorg yang meminta kepada pemerintah untuk perbaikan jalan. Para pemilik land (landheer) merasakan sulitnya mengangkut kopi dari Buitenzorg ke Batavia yang menyebabkan biaya angkut menjadi lebih mahal dan keuntungan yang diperoleh menjadi nol. Akibatnya kontribusi para pemilik land kepada pemerintah juga menjadi hilang sementara biaya administrasi terhadap kepemilikan tanah harus disetor kepada pemerintah. Usul ini lalu direspon pemerintah dan Gubernur Jenderal menetapkan undang-indang (beslit) untuk memastikannya.

Bataviasche koloniale courant, 06-04-1810
Sementara itu Majoor JC Scbultxe, Direktur Genie dari Departemen Batavia sehubungan dengan undang-undang tersebut menyatakan akan mengupayakan peningkatan dan pemeliharaan jalan ke Buitenzorg, jalan-jalan ke Tjikauw dan Tangerang yang mana sebagian sudah dilakukan dan sebagian masih akan dibangun serta promosi jalan baru (lihat Bataviasche koloniale courant, 02-03-1810). Setelah rute Batavia-Tangerang selesai, Schout JF Carels akan dipindahkan ke Tjikao sebagai Opziener (lihat Bataviasche koloniale courant, 16-03-1810). Boleh jadi pemindahan JF Carels ini sehubungan dengan realisasi pembangunan jalan ke Tjikao (kini Subang).

Seperti untuk tempat lainnya, Gubernur Jenderal Daendels menawarkan kepada publik untuk membangun dan memperbaiki jembatan tol di atas sungai Angke, jalan yang menuju Tangerang (lihat Bataviasche koloniale courant, 06-04-1810). Pembangun dan perbaikan ini juga termasuk jembatan-jembatan kecil lainnya sepanjang jalan menuju Tangerang. Dengan realisasi jembatan di atas sungai Angke ini maka antara Batavia dengan Tangerang terhubung yang memungkinkan terjadinya lalu lintas pedati, gerobak, kereta dan sebagainya.

Bataviasche courant, 26-04-1817
Tidak lama setelah program jalan dan jembatan Gubernur Jenderal Daendels ini kekuasaan beralih kepada Inggris. Oleh karenanya program jalan dan jembatan ini yang menikmati pertama adalah pemerintah pendudukan Inggris. Pasar Tangerang diketahui telah dimiliki oleh J Ekenholm (lihat Java government gazette, 22-10-1814). Juga diketahui bahwa pemilik land Tangerang en Grending dimiliki oleh J Ekenholm (lihat Bataviasche courant, 07-12-1816). Disebutkan bahwa J Ekenholm menjual land Tangerang en Grending termasuk pasar Tangerang. Boleh jadi ini karena kekuasaan Inggris pada tahun 1816 telah kembali ke Belanda. J Ekenholm adalah seorang Inggris. Dua land ini sebelumnya dimiliki oleh keluarga (alm) Cornelis Vincent van Mook, pewaris kota Tangerang.

Pada saat dimulainya kembali Pemerintah Hindia Belanda, satu keputusan penting dibuat untuk menata perdagangan yang salah satunya adalah penetapan tarif angkutan pedati dengan dua kerbau (lihat Bataviasche courant, 26-04-1817). Dalam penetapan tarif dari Batavia terjauh ke Banten dan Tjikao (kini Subang) yang sebesar f8. Tarif angkutan ke Buitenzorg sebesar f4. Ke Depok dan Tjimanggies sebesar f2. Untuk tarif angkutan dari Batavia ke Tangerang sebesar Tangerang f1 3/5. Tarif angkutan terpendek adalah ke Meester Cornelis sebesar f4/5. Gambaran tarif ini mencerminkan jarak dan faktor kesulitan di jalan.

Bataviasche courant, 21-12-1816
Keputusan lain dari Pemerintah Hindia Belanda (yang telah menggatikan pemerintah pendudukan Inggris) adalah lelang kepada penawar harga tertinggi sejumlah properti (pemerintah) yang disewakan kepada publik (lihat Bataviasche courant, 21-12-1816). Properti tersebut antara lain Visch Markt (pasar ikan) di Batavia, Tollbrug di Pesing dan Sluis di Tangerang. Sluis ini adalah pintu tol sungai dari Batavia ke Sungai Tjisadane melalui kanal Mookervaart. Keputusan lainnya dari pemerintah adalah pengenaan pajak sebesar lima persen dari pendapatan pasar, termasuk pasar Tangerang, pasar baroe Grinding, pasar Djengot dan pasar Tjiassem (lihat  Bataviasche courant, 19-07-1817). Sebagaimana diketahui pasar-pasar umumnya dimiliki oleh swasta dari pemilik land dimana pasar berada.   

Salah satu yang memanfaatkan era baru lalu lintas perdagangan di Batavia dan Tangerang ini adalah Francois Bonnet, seorang tentara profesional Prancis yang menjadi pedagang. Francois Bonnet mengakuisisi logement di Tangerang. Logement adalah penginapan yang menyediakan instal kuda (bagi pemilik kereta kuda). Logement ini diduga adalah satu-satunya di (kota) Tangerang. Sebagai perbandingan logement pertama di Buitenzorg adalah Logement Buitenzrog (kini menjadi kantor wali kota Bogor). Di Jogja logement pertama adalah Logement Malioboro (kini menjadi gedung DPRD). Dimana letak logement Tangerang ini?

Francois Bonnet menjual losmennya di Tangerang (lihat Bataviasche courant, 26-04-1827). Boleh jadi ini karena Bonnet telah diangkat pemerintah sebagai petugas di Kommies (setara camat sekarang) di Tanara (lihat Bataviasche courant, 25-08-1827). Dengan demikian Bonnet telah beralih profesi lagi dari pedagang menjadi pejabat pemerintah. Ketika terjadi Perang Bondjol, pada tahun 1833 Bonnet diangkat sebagai Asisten Residen di Afdeeling Mandailing, Tapanoeli. Bonnet dibantu oleh seorang komandan militer Twee Luitenant infantry, Elsborg. Saat militer yang dikomandoi Luitenan Colnel AV Michiels dari Padang mengepung Bondjol, Asisten Residen Bonnet yang berkedudukan di Kotanopan, memimpin pasukan Mandailing untuk membantu militer di Mandailing. Selama ini penduduk Mandailing menjadi sasaran invasi pasukan Banjol. Bonjol berhasil dilumpuhkan tahun 1837. Francois Bonnet dikabarkan meninggal pada bulan November 1838 (lihat Javasche courant, 24-11-1838). Disebutkan bahwa setelah penderitaan hidup berkepanjangan, sekarang  almarhum, Francois Bonne telah tiada, petugas yang bertanggung jawab sebagai otoritas sipil di Afdeeling Mandheling, Sumatra’s Noordwestkust, yang sebagian besar untuk berdinas bergabung seragam kepentingan Gouvernements. Dia seorang mantan militer, yang bersedia menjadi kepala Mandheling dalam membantu pribumi, yang tidak akan lebih baik tanpa dia. Dia pergi dan semuanya akan dikorbankan untuk afdeeling, menjadi petugas terbesar gagah berani kami, sementara ia digunakan sebagai otoritas Tapanolie pasca perlawanan.

Jual beli lahan juga semakin marak. Salah satu diantaranya adalah land Tollok Naga di sisi timur sungai Tangerang (lihat Bataviasche courant, 04-04-1818). Disebutkan land Telok Naga dilelang oleh kantor lelang di Batavia. Land Telok Naga ini adalah sebagian lahan alang-alang dan sebagian yang lain adalah semak dan hutan. Lahan ini sebelumnya dimiliki oleh seorang Tionghoa bernam Intim (yang juga pemilik land Odjoeng Crawang dan land yang berada di sisi barat sungai Tjiliwong.

Pada tahun 1821 kembali Pemerintah menawarkan ke publik untuk perbaikan jembatan tol Angke, sepanjang jelan ke Tangerang, termasuk jembatan-jembatan kecil lainnya (lihat Bataviasche courant, 17-02-1821).

Banten Tenggelam, Timbul Kota Serang

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

2 komentar:

  1. dimana letak logment tangerang Pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tepat berada di fort Tangerang Bung Sigit. Saya lupa di artikel no berapa saya pernah menulisnya

      Hapus