*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini
Wilayah (provinsi) Ternate dalam perspektif sejarah haruslah dilihat dari dua sisi. Dari sisi selatan di Amboina dan dari sisi barat di Manado. Dalam hal inilah Ternate dan wilayahnya memiliki posisi strategis. Amboina adalah pusat atau origin darimana Belanda-VOC berkuasa dan Manado adalah wilayah perluasan dan pengebangan baru. Wilayah provinsi Ternate meliputi wilayah yang sangat luas, begitu luasnya perairan, mulai dari teluk Tomini, Semenanjung Celebes hingga Sangihe-Talaud, kerap menjadi sasaran penyerangan dan perampokan. Para bajak laut juga ikut berperan.
Lantas bagaimana sejarah penyerangan dan perampokan di wilayah (kesultanan) Ternate yang mencakup wilayah teluk Tomini, semenanjung Celebes hingga kepulauan Sangihe-Talaud? Catatan ini tampaknya kurang mendapat perhatian dan kurang terinforasikan. Padahal aspek ini adalah bagian sejarah masa lampau, sejarah yang menyertai kerajaan-kerajaan terkooptasi dan terbentuknya kerjasama dengan orang asing yang pada akhirnya terbentuk cabang-cabang pemerintah mereka. Bagaimana itu semua bermula? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Penyerangan dan Bajak Laut di Teluk Poso-Tomini, Perairan Manado Sangihe-Talaud
Penyerangan dan perampokan di daratan dan di lautan sama-sama ancaman yang menakutkan. Praktek penyerangan yang disertai perampokan dilakukan baik karena alasan politik (permusuhan) maupun atas dasar ekonomi (keserakahan). Jika ada perlawanan dari pihak yang diserang menyebabkan perang. Implikasinya pihak yang kalah adakalanya dirampok dan wilayahnya dikuasai. Namun jika dasar penyerangan adalah perampokan maka wilayah yang dipilih adalah kelompok penduduk yang lemah dan terpencil atau kapal yang berada di perairan yang tingkat pengamanannya kurang. Dua hal inilah yang kerap terjadi dan kejadiannya masih berlangsung hingga awal Pemerintah Hindia Belanda.
Siapa yang menyerang dan diserang jika motifnya politik cukup jelas. Biasayanya antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya atau antara satu kampong dengan kampong lainnya. Namun jika motif penyerangan adalah ekonomi, sulit mengidentifikasi siapa yang melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal yang jelas pemiliknya dan wilayah-wilayah yang jelas siapa pemiliknya atau di bawah otoritas siapa. Perompakan dan perampokan di laut (perairan) para pelakunya cenderung mobile dimana sarangnya berada. Kelompok perompak atau perampok ini bisa lintas negara. Jika kelompok perompak dan perampok tersebut lintas wilayah para perompak dan perampok cenderung menghilangkan identitas. Bahasa yang digunakan tidak bisa dijadikan untuk menuntut atau menuduh suatu wilayah pengguna bahasa, karena pimpinan perompak atau perampok dapat menggunakan orang-orang yang berasal dari daerah lain atau bahkan bekerjasama dengan para perompak dan perampok lintas negara. Area perompakan dan perampokan kapal-kapal umumnya berada di jalur ekonomi yang ramai lalu lintas pelayaran, seperti seputar selatan Lombok dan Bali, selat Soenda, seputar Manado, perairan Sabah, kepulauan Natoena dan perairan Bangka-Belitoeng.
Pemerintah Hindia Belanda sangat berkepentingan untuk memberantas kelompok-kelompok perompak dan perampok ini. Tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan wilayah tetapi juga untuk memperlancar arus perdagangan yang dengan sendirinya menguntungkan Pemerintah Hindia Belanda. Wilayah Hindia Belanda yang begitu luas dan adanya upaya pembentukan cabang-cabang pemerintahan di wilayah terpencil tetapi potensial menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda terus menambah armada laut dan meningkatkan intensitas patroli (laut).
Lain halnya dengan penyerangan dan perampokan di daratan. Jika terjadi kasus, Pemerintah Hindia Belanda cenderung wait en see. Kasus penyerangan dan perampokan di daratan lebih mudah diidentifikasi dan sifatnya terbatas (tidak mobile). Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda cenderung menunggu karena sifatnya politik (antar wilayah atau antar kerajaan yang bertetangga). Pemerintah Hindia Belanda baru ikut campur jika salah satu pihak (biasanya yang lebih lemah) meminta kerjasama atau perlindungan keamanan. Kesepakatan dalam bentuk perjanjian (plakat) menjadi dasar legitimasi Pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah atau melakukan tindakan ofensif. Namun ada kalanya, Pemerintah Hindia Belanda adakalanya mempertimbangkan sisi kemanusian melindungi yang lemah meski sudah mengikat kontrak (perjanjian) dengan yang kuat. Pasal yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda adalah pasal yang dilanggar dalam menjaga perdamaian dan keadilan yang selalu disertakan dalam isi perjanjian.
Laporan-laporan Pemerintah Hindia Belanda dipublikasikan secara reguler di berbagai surat kabar yang berisi tentang hasil patroli kapal-kapal pemerintah di berbagai wilayah. Salah satu laporan tersebut diumumkan pada tahun 1860 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1860). Laporan ini terbilang lengkap karena beragam kasusnya dan juga terkait dengan pengamanan wilayah di sekitar wilayah pengamanan laut yang berpusat di Ternate.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1860:‘…orang-orang yang telah dibebaskan dari tangan bajak laut, telah jatuh dalam kekuasaan mereka setidaknya selama tiga tahun, suatu keadaan yang disamping bukti-bukti lain, menuntut pengurangan pembajakan di Hindia Belanda, sebisa mungkin tindakan yang mengakibatkan relokasi bajak laut ke pulau tetangga Patta dan ke pulau Tawi-Tawi, darimana banyak armada kapal ke berbagai arah mencari mangsa, termasuk di sepanjang pantai barat laut Kalimantan, dari Tandjong Oengsang ke Abeloedu, serta di selatan kepulauan Tandjong Oengsaug telah mendirikan beberapa pemukiman bajak laut Ilano dan Soloksche. Selain itu, Mangindanao tetap menjadi sarang predator yang tidak dapat diperbaiki meskipun ada upaya orang Spanyol untuk membasmi para perampok disana. kejahatan dengan demikian telah pindah ke tingkat tertentu dan masih jauh dari diberantas. Untuk saat ini tidak ada laporan pembajakan yang secara resmi dilaporkan tentang bajak laut terkenal di pantai utara Flóres. Selama bulan Juni 1859, perairan di sekitar pulau Banka dikuasai oleh dua perampok besar, yang tidak hanya meropak beberapa kapal tetapi bahkan mendarat di beberapa titik daratan pulau Banka dengan keberanian yang tidak biasa untuk menjarah. Kapal yang dikirim melawan mereka datang terlambat untuk menghukum mereka karena tidak menerima pesan tepat waktu. Para perampok ini tidak memenjarakan, tapi hanya berusaha menyita barang. Diduga mereka ini relokasi dari pulau Singkep yang termasuk dalam kepulauan Lingga, Sangat sulit untuk mengikuti perampok ini, karena mereka cenderungan menyembunyikan identitas dan ketika ada pemerikasaan di lautan mereka cenderung membawa surat-surat resmi. Hanya jika tertangkap basah baru dapat diperlakukan sebagai perampok. Tidak ada yang terdengar kabar sejak kapal Nieuw Zealauud Baru yang dirampok di perairan Moluksche yang telah membunuh para tawanan mereka. Pada tahun 1859 tidak ada operasi terpisah yang dilakukan oleh kapal perang ZM Zeemagt melawan perampok karena keamanan yang lebih besar, daripada yang terjadi sebelumnya, di kepulauan Hindia tidak memberikan alasan untuk melakukannya. Perairan Menado, bagaimanapun selalu dilintasi oleh kapal ini. Mungkin pergerakan kapal uap yang terus-menerus untuk ekspedisi Bone juga menghalangi para perompak. Pangeran Mamadjoe di Celebes dan Rada Taroena di kepulauan Sangir telah diberi kesempatan untuk kembali ke Makassar dan Menado tanpa diminta kepada orang-orang yang melarikan diri dari Solok. Para perompak menggambar di peta mereka tempat-tempat dimana mereka akan merompak kapal uap dan oleh karena itu sebagai peringatan bahwa tidak disarankan untuk muncul atau melewati jalur yang ditandai tersebut.
Dalam laporan yang dipublikasikan pada tahun 1860 ini terindikasi bahwa area potensial untuk perampokan terdapat di banyak tempat. Salah satu yang penting dalam kasus perompakan ini para perampok juga menyandera, seperti pangeran dari Mamoedjo dan radja Taroena (pulau Sangihe) yang diduga sebagai taruhan jika perampok tertangkap basah. Pangeran dan radja ini diduga kuat kapal-kapal mereka yang membawa mata dagangan ke Makassar dan Manado telah ditampok di perjalanan. Para perampok juga menggunakan siasat dengan menekan radja-radja tertentu untuk membuat surat jalan yang di perairan mereka seolah-olah melakukan pelayaran resmi. Seperti disebutkan kelompok perompaknya ini jumlahnya besar dan memiliki kapal-kapal diduga perompak trans-nasional gabungan perompak dalam dan luar negeri (Hindia Belanda).
Dari mana asal perompak di lautan ini dalam berbagai catatan pada berbagai era berasal dari berbagai daerah seperti kepulaua Riau, pulau Celebes, kepulauan Soenda, Mindanao dan sebagainya. Dalam catatan yang lebih tua ditemukan dalam laporan-laporan Portugis seperti Barbosa/Tome Pires yang menyatakan bahwa kerajaan Aroe (di Sumatra) memiliki banyak orang Mandarin (Tiongkok) yang disisi luar kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat Malaka.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bajak Laut Sejak Era VOC
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar