Jumat, 27 November 2020

Sejarah Riau (17): Orang Riau di Afrika Selatan, Bagaimana Bisa? Kata Ahli Sejarah Tempo Doeloe, Semuanya Ada Permulaan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini

Keberadaan orang Riau di Afrika Selatan dilaporkan oleh J Greshoff dalam tulisannya berjudul Maleis Leven in Zuid-Aftika (lihat Amigoe di Curacao, 09-01-1945). Laporan ini, seperti disebutnya, Greshoff sudah beberapa kali berkunjung ke Afrika Selatan. Tentu saja keberadaan orang Riau di Afrika Selatan menarik, karena selama ini tidak terinformasikan.

Beberapa bulan yang lalu, komunitas orang Padang di Afrika Selatan mengirimkan suatu bentuk prasasti kepada saya untuk membuat interpretasinya. Disebutkan di dalam prasasti itu bahwa ada tiga Orang Kaija (pemimpin lokal) yang berasal dari pantai barat Sumatra diasingkan ke Afrika Selatan pada tahun 1667. Saya telah memberi pendapat kepada mereka di Afrika Selatan bahwa tiga tokoh itu menjadi penyebar agama Islam pertama di Afrika Selatan, jauh sebelum kehadiran Sjech Jousouf dari Makassar. Lantas bagaimana orang dari Riau? Pada era yang jauh lebih awal saya juga menemukan dalam catatan Frederik de Houtman pada tahun 1596 yang membuat perbandingan bahasa Malagasi dengan bahasa Melayu di pulau Madagaskar. Frederik de Hourman adalah adik Cornelis de Houtman yang menjadi ahli bahasa dalam pelayaran Belanda pertama tersebut. Dengan modal kamus bahasa Melayu yang dikumpulkan di Madagaskar ini tiga kapal yang dipimpin Cornelis de Houtman berlayar ke Hindia. Besar dugaan orang yang berbahasa Melaya mulai eksis di Madagaskan pada era Portugis atau pada era sebelumnya orang-orang Moor (pendahulu orang Portugis).

Sejarah pada masa lampau, pada masa kini adakalanya tidak terduga. Nah, itu tadi bagaimana J Greshoff menginformasikan bahwa sudah ada orang Riau di jaman lampau di Afrika Selatan. Selama ini semua berpikir bahwwa hanya Sjeich Jousouf van Makassar yang memulainya. Okelah, itu satu hal. Hal yang lebih penting adalah apakah orang Riau benar-benar sudah sampai ke Afrika Selatan pada masa lampau? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Malaka dan Orang Riau

Pada tahun 1643 VOC-Belanda di masa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen dengan dukungan orang Bali menyerang Portugis dan kemudian menduduki kota pelabuhan Malaka. Lantas apa masalahnya bagi orang Riau? Orang Riau yang sudah nyaman dengan Portugis selama lebih dari satu abad tentu saja tidak senang dengan keberadaan Belanda di Malaka. Orang-orang Riau adalah pedagang penghubung antara Maluku dan Malaka. Hubungan orang Riau dengan Malaka menjadi terputus (sebagian bertahan di Gowa). Sejak inilah diduga menjadi pangkal perkara munculnya perselisihan antara VOC Belanda dan orang-orang Riau.

Pada tahun 1645 van Diemen meninggal dan kemudian digantikan oleh Cornelis van der Lijn. Namun sosok van der Lijn tidak sekokoh van Diemen. Meski demikian Lijn cukup lama memimpin hingga tahun 1650 mengundurkan diri karena sudah tua dan sakit yang digantikan oleh Carel Reyniersz. Gangguan yang selama ini muncul di selat Malaka diselesaikan oleh Reyniersz. Hal ini karena tahun 1649 Pemerintah VOC mengirim korps pasukan Eropa ke Makasser untuk memberikan bantuan dalam pertempuran. Pada tahun 1650 kekuatan VOC di Makasser telah berhasil memenankannya dan kembali ke Batavia. Pada tahun 1652 Reyniersz menyelesaikan benteng Kasteel Batavia. Namun tahun berikutnya Reyniersz meninggal dunia.

J Greshoff dalam tulisannya (1945) menyebut orang-orang Riau tiba di Afrika Selatan pada tahun 1652. Lalu angin apa yang menyebabkan orang Riau diasingkan ke Afrika Selatan? Satu-satunya jawaban ini adalah pertempuran di Makassar pada tahun 1649 yang dimenangkan oleh VOC pada tahun 1650. Hanya pertempuran Makassar ini yang terjadi di sekitar tahun 1652.

Pangkal perkara hubungan VOC (Batavia) dengan Makassar (Gowa) bermula sebagai berikut: Gubernur Jenderal Anthony van Diemen mengangkat seorang pedagang (koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur (landvoogden). N van Vliet terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh kepala pedagang (opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk. Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga 1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di Makassar ditadakan. Seperti disebut di atas, Malaka berhasil ditaklukkan pada tahun 1643 dan kemudian pada tahun 1649 perang dilancarkan di Makassar yang ditingkatkan dengan pasukan Eropa dan berhasil dimenangkan pada tahun 1650., Setelah inilah pada tahun 1651 fungsi gubernur di Makassar diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz. Ruijs.

Siapa sebenarnya yang menjadi lawan VOC berperang di Makassar? Bukan dengan kerajaan Gowa (yang beribukota di Sombaopoe), akan tetapi dengan orang-orang Portugis dan partnernya orang Melayu yang didukung oleh kerajaan Gowa. Saat ini kekuatan Portugis berpusat di Ternate. Hubungan perdagangan antara Ternate dan Makassar saat ini sangat intens.

Pada tahun 1655 Ruijs digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur, Abraham Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia. Posisi di Makassar kemudian nanti dipindahkan ke Bima. Garis pertahanan VOC dari Batavia, Bali, Bima, Banda dan Amboina, setelah kemenangan di Makasar pada tahun 1650 (terhadap Portugis dan Melayu), VOC mulau mengusir Portugis di Tidore dengan bekerjasama dengan Ternate. Akhirnya Portugis terusir dari Tidore tahun 1657 dan Portugis tamat.

Pada bulan Desember 1660 Aroe Palakka melarikan diri ke Boethon karena dianggap Kerajaan Gowa (Makassar) melakukan pemberontakan di Bone. Boethon yang berada di bawah perlindungan Ternate (yang telah bekerjasama dengan VOC) berseberangan dengan Makassar.

Pasukan Bone atas nama Makassar mengejar Aroe Palakka hingga ke Boethon. Lalu Boethon meminta Aroe Patodjo (dan Aroe Palakka) ke Batavia. Sekitar satu bulan kemudian Aroe Palakka dengan keluarganya bergabung dengan warga Ambonsch yang bersekutu dengan orang-orang VOC. Aroe Palakka tinggal di Angke (bersama dengan orang-orang Bugis).

VOC bersama Ternate berhasil mengusir Spanyol dari Semenanjung Celebes dan kemudian VOC mendirikan benteng di Manado pada tahun 1661. Pada situasi ini, posisi Kerjaan-Kesultanan Gowa dalam posisi terjepit (dari semua penjuru). Namun Kesultanan Gowa sudah terlanjur menjadi kesultanan besar dengan pusar perdagangan yang banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa.

Pada tahun 1661 hubungan timbal balik antara Batavia (VOC) dengan Bima semakin intens setelah ditempatkan viceroy (Gubernur-Residen) di Bima (lihat Daghregister 12 September 1661). Hasil pembicaraan antara Residen VOC dengan radja Bima (koning van Bima) dicatat dalam Daghregister pada tanggal 4 Oktober 1661. Dalam hal ini, Bima menjadi tempat terpenting kedua VOC di timur (selain Amboina). Di Bima sudah ditempatkan gubernur dan residen VOC.

Dengan posisi VOC yang semakin kuat yang didukung oleh banyak pihak, mulai membuat perhitungan dengan Gowa (Makassar) karena Gowa dianggap masih terhutang atas kematian N van Vliet yang terbunuh pada tahun 1638 di Makassar. Pemerintah VOC juga membuat perhitungan dengan Kesultanan Atjeh karena Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh pada tahun 1601.  Laksamana Cornelis Speelman mempersiapak serangan ke Gowa. Namun sebelum itu Pemerintah VOC ingin menyelesaikan terlebih dahulu pantai barat Sumatra dimana Atjeh bercokol.

Pada tahun 1666, Abraham Verspreet memimpin sebuah ekspedisi kedua di Sumatra’s Westkust. Abraham Verspreet bertindak sebagai Komisaris (civiel) merangkap komandan (militair) untuk menumpas pelawanan Paoeh di muara sungai Batang Araoe yang beberapa bulan sebelumnya telah memberi perlawanan kepada ekspedisi Belanda pertama dibawah pimpinan Jacob Grujs. Abraham Verspreet membawahi pasukan ‘multi nasional’ yang dibawa dari Batavia pada bulan Agustus 1666 yang terdiri dari 300 orang Belanda dan 100 orang Ambon dibawah komando Kapitein Jonker. Aroe Palakka yang posisi pelarian dari Celebes dan sedang menganggur di Batavia menawarkan pasukannya 250 orang untuk bergabung dengan ekspedisi di bawah komando Poolman ke Sumatra’s Westkust. Dengan demikian ekspedisi ke Sumatra’s Westkust ini di bawah komisaris Abraham Verspreet dan komandan militer Majoor Poolman memiliki kekuatan yang berjumlah 1.000 orang. Tawaran Aroe Palaka ini diterima pemerintah untuk menguji Aroe Palaka sendiri.

Pasukan VOC di pantai barat Sumatra berhasil mengusir Atjeh. Aroe Palakka telah melayani dengan baik dalam ekspedisi dan telah kembali ke Batavia 3 November 1666 dengan banyak penghormatan. Persahabatan Poolman dan Aroe Palakka semakin intens dan menjadi sahabat.

Namun tidak lama kemudian, delapan belas hari setelah di Batavia, Aroe Palakka berangkat dengan salah satu kapal yang menuju Makassar untuk bergabung dengan Laksmana Speelman yang akan mengeksekusi Gowa-Tallo yang telah melanggar perjanjian (contract). Armada Speelman sendiri telah meninggalkan Batavia pada tanggal 24 September 1666 dan berlayar terlebih dahulu ke Boethon.

Laksamana Speelman dari Ternate dan Boethon tiba pada tanggal 10 Desember 1666. Sehari sebelumnya, Aroe Palakka telah menangkap beberapa orang Badjau subyek Gowa, di pulau Tanakeke. Penangkapan ini mengindikasikan benar-benar perang sudah dimulai sebelum diumumkan. Kesultanan Gowa hanya tinggal sendiri. Hanya tinggal selangkah lagi Aroe Palaka akan menjadi Sultan (membalas dendam terhadap Gowa).

Bukti yang ditunjukkan Aroe Palakka dengan pasukannya di Sumatra’s Westkust menjadi pasword untuk bergabung dengan pasukan Speelman yang akan menghukum Goa-Tallo. Cornelis Speelman memang membutuhkan sekutu baru untuk bisa mengalahkan kekuatan Goa-Tallo. Rekomendasi Poolman memperkuaat penerimaan Speelman terhadap Aroe Palakka. Sementara itu, Speelman tidak menyukai pangeran Makassar karena telah melakukan banyak pelanggaran teritorial (menyerang kapal-kapal VOC dan mengganggu pegawai-pegawai VOC) dan segera melakukan serangan dengan menaikkan bendera merah. Armada Speelman berlayar ke Boethon setelah mengetahui pasukan Makassar ingin menyerang Boethon karena telah membantu Aroe Palakka. Boeton tertolong karena armada Speelman berada tiba pada tepat waktu.  Pada tanggal 1 Januari 1667 dengan meningkatnya ekskalasi suhu perang, 5.000 Bonéerér, Soppengers dan Boeginer lainnya merapat kepada Aroe Palakka (yang datang dari Batavia). Pasukan lawan yang tersisa menyerah pada tanggal 3 Januari.

Setelah ‘pertempuran’ Speelman dan Gowa-Tallo di Boethon, Aroe Palakka ‘ngepos’ di Boethon. Sementara Speelman melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk tujuan tertentu. Aroe Palakka mendapat pesan dari Spoelman untuk mengutus pasukan untuk membebaskan Boné, Soppeng dan Adjatappareng melawan Gowa. Namun semua pasukan di Bone dihabisi oleh Makassar, tetapi Soppeng dan Adjatappareng terhindar karena pasukan Speelman yang sudah kembali mendekat.

Speelman sendiri kembali ke Boeton pada bulan Juni 1667 yang didampingi oleh Soelthan Ternate, Mandarsjah, serta pasukan pembantu dari Ternate, Tidore dan Batjan. Setelah membuat kontrak dengan Boethon, Speelman pada bulan Juni itu ke Makassar yang diikuti semua pasukan yang berafiliasi dengan Speelman dari Maluku, pasukan Aroe Palakka dan ditambah 1.000 pasukan dari Boethon. Total, Speelman di Makassar membawahi 11.000 pasukan dan siap melawan Goa-Tallo (lihat Sejarah Bone pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 16-08-1905).

Akhirnya kerajaan Gowa berhasil ditaklukkan VOC. Benteng Somba Opu yang juga merupakan ibukota (Stad) Somba Opu pasca penaklukan telah dihancurkan. Hal ini didasarkan pada perjanjian Bongaya (16 November 1667). Perjanjian ini terdiri dari 30 pasal (artikel). Pada Art.10 dinyatakan bahwa seluruh benteng di garis pantai Makassar harus dihancurkan (Barombong, Panekoke, Grise, Marisso, Borrebos). Hanya benteng Somboepo [Sombaopoe] yang tetap ada bagi Raja. Sedangkan Art.11 menyatakan bahwa benteng Udjoeng Pandang diserahkan kepada VOC dalam keadaan baik, bersama perkampungan dan lahan di sekitarnya.

 

Setelah kerajaan Gowa tiada, pemerintah VOC kembali memperkuat hubungan (komunikasi) dengan kerajaan/kesultanan Bima. Perjanjian (contract) baru antara pemerintah VOC dan kerajaan Bima diperbarui tangga 13 November 1669 sebagaimana dicatat dalam Daghregister.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Afrikans di Cape Town

Pada tahun 1899 Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang, yang menjabat sebagai editor surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat marah kepada orang Belanda dan orang pribumi yang mengumpulkan dana di seluruh Hindia Belanda untuk membantu dalam kasus transvaal (bantuan orang-orang kepada golongan putih de Boer di Afrika Selatan). Satu keberatan Dja Endar Moeda karena di Hindia Belanda sendiri pribumi dilanda kemiskinan yang justru memerlukan bantuan. Perang opini ini terjadi pada bulan Desember 1899 yang dimuat pada surat kabar Sumatra-courant yang terbit di Padang.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-12-1899 (pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa yang telah diketahui yang disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di Afrika). Ketika semua orang terdengar simpati di Belanda dan kepentingan chariti ordonante. Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca, kata-kata yang sangat tepat berikutnya: .... bawah Transvalomanie untuk  menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang datang dalam jumlah banyak untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti cinta tanpa pengetahuan adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan. Sampai saat ini (9 November) hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara telah terkumpul jumlah f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan f220.000. Ayo ke sana, ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis terjadi) yang itu sangat besar buat disini. Bagaimana terpuji itu, bantuan untuk diberikan penghasilan sementara disini terancam, disini miskin dan juga terlihat di sekitar. Yang susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat kami tinggal masih begitu banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering. Panti Asuhan dan pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap di tempat. The Transvaal didukung oleh seluruh dunia beradab Hindia bahkan ibu pertiwi. Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar Moeda, Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang pasti tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal. Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini melaporkan dalam koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka makan wooiden dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek moyang atau mengejek dala rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana perlu untuk memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.

Siapa yang memusuhi golongan putih de Boer di Afrika Selatan tersebut? Mereka itu adalah orang-orang Afrika Selatan yang disebut Afrikaans. Orang Afrikaans ini adalah ras campuran antara orang-orang Hindia (baca: Nusantara) dengan penduduk asli dan antara orang-orang Hindia dengan orang kulit putih (Indo).

Apa yang disebut J Greshoff dalam tulisannya (1945) bahwa orang-orang Riau tiba di Afrika Selatan pada tahun 1652 ada benarnya. Lalu kemudian pada tanggal 24 Januari 1667 tiga Orang Kaija dari pantai barat Sumatra diberangkatkan dari Batavia untuk diasingkan ke Kaapland (Afrika Selatan). Sementara itu perang Gowa baru berakhir dengan perjanjian pada bulan November 1667. Sech Joesoef sendiri (asal Makassar) baru tiba di Afrika Selatan pada tahun 1694.

Pengasingan orang-orang Hindia ke Afrika Selatan ditutup pada tahun 1767. Ini berari orang-orang Hindia berada di Afrika Selatan dala kurun waktu lebih dari satu abad. Keturunan mereka inilah yang kemudian pada tahun 1899 memusuhi orang-orang kulit putih (Belanda) di Afrika Selatan. Dja Endar Moeda paham siapa yang dibantu dengan penggalangan dana nasional dan siapa yang akan menjadi lawannya di Afrika Selatan. Dja Endar Moeda sendiri pada tahun 1892 setelah pensiun jadi guru berangkat haji ke Mekkah. Pada tahun 1895 kembali ke Hindia dan mendirikan sekolah swasta di Padang dan kemudian menjadi editor Pertja Barat pada tahun 1897. Tentu saja Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda banyak bertemu dengan orang-orang Afrikaan yang menunaikan haji ke Mekkah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar