Minggu, 20 Desember 2020

Sejarah Aceh (11): Sejarah Gunung Leuser Gayo Lues Negeri Diatas Awan, Kini Taman Nasional; Pinus Sipirok dan Pinus Kerinci

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Sejarah gunung Leuser di kabupaten Gayo Lues, sudah barang tentu jarang ditulis. Hal itulah mengapa artikel ini ditulis. Gunung Leuser adalah gunung tertinggi di provinsi Aceh. Dalam navigasi pelayaran kuno, gunung yang kemudian disebut Leuser ini menjadi salah satu penanda navigasi yang penting. Oleh karena gunung ini jauh di pedalaman, kebradaan penduduk yang berada di lereng gunung (dataran tinggi) tidak terinformasikan. Warga penduduk dan pedagang di kota-kota pantai hanya mengetahui ada aliran perdagangan. Barang industri ke pedalaman dan barang alamiah ke kota-kota pelabuhan seperti hasil hutan, hasil tambang dan gading serta produk hewan lainnya seperti kulit.

Nama gunung Leuser dan nama wilayah Gayo Lues adalah dua nama yang menyatu ibarat koin dengan dua sisi. Wilayah Gayo Lues yang berada di daratan tinggi bagian utara pedalaman Sumatra (Atjeh) pada masa kini dijuluki sebagai Negeri Di Atas Awan. Dari wilayah inilah berhulu sungai-sungai besar di Aceh seperti sungai Alas (Simpang Kiri) melalui Koeta Tjane dan sungai Tamiang (Simpang Kanan). Salah satu vegetasi yang unik dari wilayah Gayo adalah pinus. Sebagaimana diketahui pohon pinus pertama kali ditemukan Jung Huhn di Sumatra berada di Sipirok (Tapanoeli) pada tahun 1842. Oleh karena itu pinus Sipirok dinamai secara botani dengan nama Pinus Merkusi (sesuai nama Gubernur Jenderal yang menugaskan Jung Huhn ekspedisi ke Tapanoeli). Uniknya ternyata pinus hanya ditemukan di tiga tempat: Sipirok, Kerintji (Djambi) dan Gayo (Atjeh). Beda pinus Sipirok dengan dua habitat yang lain, di Sipirok batang pinus bertajuk lurus (seperti cemara) sedangkan di Kerintji dan Gayo tidak lurus. Apakah tiga wilayah ini telah terhubung sejak zaman kuno, pinus Sipirok menyebar ke selatan hingga Kerintji dan ke utara hingga Gayo?

Lantas bagaimana sejarah gunung Leuser? Yang jelas gunung Ophir di Pasaman diukur ketinggiannya oleh seorang pendaki Jerman pada tahun 1839. Gunung Ophir adalah gunung pertama di Sumatra yang didaki. Namun gunung Leuser tidak hanya soal ketinggian tetapi banyak aspek lain yang menjadi terkait seperti penduduk asli Gayo Lues yang memiliki keterkaitan dengan penduduk asli Batak dan penduduk asli Kerintji. Tiga wilayah penduduk asli ini uniknya sama-sama memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Bagaimana gunung Leuser dan Gayo (Lues) terhubung dengan Batak dan Kerintji? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Gunung Leuser: Pinus dan Orang Oetan

Gunung Leuser, dilihat pada peta satelit, terdapat wujud kawah-kawah. Ini menandakan gunung Leuser di masa lampau pernah aktif. Dampak letusan gunung Leuser inilah yang menyebabkan kawasan Gayo Lues menjadi subur. Tentu saja bahan-bahan vulkanik tidak hanya memberikan humus yang tinggi pada tanah tetapi juga di kawasan yang lebih jauh tersimpan di lapisan tanah kandungan mineral nilai tinggi seperti emas. Itulah sepintas tentang riwayat gunung Leuser. Saudara dekat gunung Leuser yang kini masik aktif adalah gunung Sinabung (di Tanah Karo).

Menurut hasil pengukuran ketinggian gunung Leuser pada masa kini adalah 3.466 meter dari permukaan laut. Jaraknya ke lau di pantai barat Sumatra tidak terlalu jauh. Nama Leuser mungkin bukan nama Jerman (Leijser atau Leuser) tetapi mungkin nama tempatan. Pada Peta 1883, nama gunung Leuser ini diidentifikasi dengan nama gunung Sinobong di Gajoelanden yang tidak jauh dengan nama tempat Laboehan Hadji di pantai. Nama Sinobong tampaknya tidak unik, karena di Bataklanden juga ada nama gunung Sinaboeng (tetangga gunung Sibajak) dan nama tempat di pulau Simeulue, Sinabang. Si-Nobong, Si Naboeng, Si-Nabang dan Si-Bajak sama-sama menggunakan awalan Si. Bagaimana nama gunung Sinobong menjadi gunung Leuser kita lihat nanti.

Gunung Leuser sesunguhnya bukanlah gunung yang sulit didaki. Gunung-gunung yang sulit didaki antara lain gunung Ophir, gunung Salak dan gunung Gede. Gunung Leuser dalam Perang Atjeh (1879-1904) sudah beberapa kali dikunjungi oleh patroli militer dari pantai selatan di Meulaboh. Namun pengukuran geografi gunung Leuser baru dimulai pada tahun 1936 (lihat De locomotief, 23-06-1936). Disebutkan pekerjaan triangulasi akan dilakukan di bawah arahan Clements, seorang topografer Hindia Belanda yang terkenal. Untuk semua pekerjaan pengintaian yang berat.

AO Clements sebelumnya sudah menjelajahi seluruh pengunungan timur Atjeh. Dalam ekspedisi Clements ini rute yang diambil untuk mencapai puncak gunung Leuser dari arah utara dan tidak membutuhkan perlindungan militer. Salah satu misi Clements seperti yang telah dinyatakan, seorang ahli botani Dr van Steenis, akan mencari jejak-jejak tumbuhan Alpen di gunung itu sebagaimana telah ditemukan di India. Hasil ekspedisi gunung Leuser ini dipublikasikan pada tahun 1937 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1937). Dari laporan ini diketahui bahwa pemimpin ekspedisi ini adalah Dr. CGGJ van Steenis, ahli botani di herbarium dan museum untuk botani di Buitenzorg. Dalam ekspedisi ini juga turut dari badan topografi Luitenant Cox dan Luitenant Scheepens. Ekspedisi dari Meulaboh hingga mencapai puncak selama enam hari.

Setelah ekspedisi Clement ini, kawasan gunung Leuser kemudian ditetapkan sebagai cagar alam tahun 1937 dengan luasan 4.365 Km2. Disebutkan vegetasi di kawasan gunung Leuser ini mirip dengan kawasan pegunungan Himalaya di India. Para anggota ekspedisi terutama Dr. CGGJ van Steenis bertanya-tanya mengapa bisa, sebab jarak yang jauh yang tidak mungkin terbawa oleh angin dan burung atau hewan lain.

Pertanyaan Dr. CGGJ van Steenis juga menjadi pertanyaan baru dalam artikel ini. Okelah, mari kita bantu van Steenis dengan mengajukan pertanyaan dan hipotesis sebagai berikut: Dalam laporan tersebut di kawasan tersebut ditemukan hubungan antara beberapa spesies tanaman yang mirip di Himalaya. Di Hindia Belanda hanya ada dua nama geografi menggunakan nama Himalaya yakni di Semenanjung Malaya (yang merujuk pada nama gunung Malaya dekat kota Malaka, sedangkan yang satu lagi berada di Mandailing Angkola (Tapanuli) nama suatu gunung Malea (baca: Malaya). Nama Malea ini diduga lebih awal dari Malaya di Semenanjung. Sebab di dekat gunung Malea terdapat candi Simangambat di Siabu yang diduga eksis pada abad ke-8 (seusia Borobudur). Hal yang penting lainnya di Angkola terdapat orang utan sebagaima ditemukan di kawasan Leuser dan masih di Angkola juga ditemukan pinus di Sipirok. Sebagaimana diketahui orang utan hanya ditemukan di Borneo, Angkola dan Gayo, sedangkan pinus saat itu hanya ditemukan di Kerinci, Angkola Sipirok dan Gayo yang mana penduduk di tiga wilayah ini sejak lampau memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Nah, hipotesisnya adalah India terhubung dengan Angkola dan Angkola terhubung hingga Kerinci dan hingga Gayo di masa lampau zaman kuno melalui darat. Demikian, selamat belajar sejarah kuno. Sebagaimana situs candi Simangambat dan situs percandian di Padang Lawas (Angkola Padang Lawas) yang dibangun abad ke-11 masih eksis hingga ini hari. Hipoetsis tambahan adalah ada hubungan antara candi Muara Takus (kini, Riau) dengan orang Kerintji. Hipotesis lainnya orang utan Sumatra dibawa ke Borneo pada era Kerajaan Angkola atau pada era Kerajaan Aroe..

Lantas bagaimana dengan nama gunung Leuser? Seperti disebut di atas pada peta-peta awal diidentifikasi nama gunung Sinobong. Identifikasi itu sebenarnya tidak salah, dalam laporan ekspedisi, ternyata ada puncak lain dari kawasan Leuser yang disebut gunung Sinobong dengan ketiggian 2.500 M. Sedangkan puncak gunung Leuser dalam ekspedisi ini dicatat setinggi 3.314 M. Puncak gunung lainnya adalah Goh Lemboek (3.014 M). Dnau kawah yang terdapat di ketinggian dikelilingi oleh tebing dengan tiga puncak (Leuser, Lemboek dan Leuser) yang diberi nama Laut Tiga Sagi.

Siapa diantara anggota ekspedisi tersebut yang pertama mencapai puncak Leuser. Ada dua tim pendahulu yang berangkat yang masing-masing dipimpin oleh Luitenant Scheepens dan kepala pemandu lokal bernama Amang Mina (amang dalam bahasa Batak adalah ayah). Awalnya Luitenant Scheepens ngotot dari arah yang berbeda dengan yang dianjurkan oleh Amang Mina. Lalu mereka bertaruk siapa yang duluan. Hasilnya Amang Mina jauh lebih duluan tiba dari Luitenant Scheepens. Jadi, yang pertama mencapai puncak Leuser (yang tertinggi) adalah Amang Mina (bukan orang Eropa).

Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa nama gunung Leuser (orang Gajoe mengejanya dengan Losir) bukanlah nama Gayo. Pada atlas-atlas dicatat dengan nama Leuser, Loser, Loesch Loezeh dan Loser. Lalu siapa yang memberi nama puncak gunung Leuser? Jika kembali ke hipotesis di atas, nama Leuser tau Losir diduga sudah ada sejak zaman kuno. Catatan lain juga mengindikasikan untuk mencapai puncak Leuser harus ke puncak Sinobong  lebih dahulu dan kemudian turun 200 meter sebelum mendaki puncak Leuser.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gayo Lues Negari Di Atas Awan: Koeta Tjane dan Taman Nasional

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

3 komentar: