*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Dalam Sensus 1930 penduduk (province( Atjeh dibedakan dalam tiga kategori: Orang Atjeh (Atjeher), Orang Alas (Alasser) dan Gayo (Gajo’s). Khusus untuk kelompok Orang Atjeh di dalamnya termasuk orang pulau (kepulauan Simeloer dan kepulauan Banjak), orang Singkil (Singkeler) dan orang Tamiang (Tamianger). Pengelompokkan ini didasarkan pada kesamaan bahasa yang digunakan sehari-hari. Penyelenggaraan Sensus Penduduk 1930 dapat dikatakan sebagai kegiatan sensus terbaik di era Hindia Belanda.
Okelah, sensus penduduk adalah satu hal. Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah soal sejarah bahasa-bahasa yang ada di provinsi Aceh. Bahasa Atjeh seperti halnya pada sensus tahun 1930 dan sensus penduduk yang terakhir populasi terbesar di provinsi Atjeh adalah Orang Aceh. Lantas bagaimana sejarah bahasa Aceh sendiri? Tentu saja sudah ada yang menulis. Lalu bagaimana asal-usulnya dibedakan dengan bahasa Gayo dan bahasa Alas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bahasa Atjeh
Sejarah bahasa merujuk pada sejarah terbentuknya bahasa (tertentu). Pemahaman terhafap aspek linguistik tidak cukup untuk mempelajari sejarah bahasa. Aspek-aspek lainnya, yang juga menjadi faktor terbentuknya bahasa juga harus diperhatikan.Setiap orang atau setiap keluarga atau setiap kelompok membawa bahasanya sendiri dan bersifat diturunkan. Namun ketika setiap orang atau kelompok berada di suatu tempat tertentu (uuumnya di kota pelabuhan) dapat terbentuknya suatu bahasa (baru) sebagai proses linguistik jangka panjang. Dalam hal inilah banyak faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya bahasa (baru) yang dapat dibedakan dengan bahasa-bahasa asal.
Bahasa lama (asal) dan bahasa baru (tujuan) berbeda karena banyak faktor pengaruh seperti yang disebut di atas. Namun adakalanya bahasa asal masih bisa diidentifikasi pada bahasa baru. Bahasa asal adalah bahasa yang lebih dulu eksis di tempat tertentu tersebut sebagai bahasa penduduk asli (tanpa melihat banyak tidaknya populasi asli). Bahasa asli di tempat tersebut bisa punah karena dominasi unsur-unsur bahasa asing (yang datang). Sudah barang tentu di pusat Kota Banda Aceh yang sekarang sudah ada penduduk asali yang sudah eksis sebelum warga kota (kerajaan atau kesultanan Atjeh) di pantai muara sungai relokasi ke pedalaman. Bahasa pengantar di kota-kota pantai yang melting pot sebagai hub perdagangan adalah bahasa Melayu sebagai lingua franca. Selama bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca tetap tumbuh dan berkembang sesuai dengan semakin banyaknya unsur-unsur bahasa baru dari asing. Dimana bahasa Melayu bermula tentu saja sangat naif dikatakan di wilayah Semenanjung dan Riau yang sekarang. Hal itu karena kita tidak mengetahui dimana berada kota—kota perdagangan awal pada zaman kuno. Bisa jadi di pantai barat Sumatra atau di pantai utara Jawa dan mungkin di pantai Tiongkok (dimana populasi penduduk sangat banyak belakang pantai di pedalaman). Wilayah Semenanjung dan Riau adalah wilayah tujuan para migran dari berbagai tempat, Hal itu mengapa sangat masif di wilayah tersebut digunakan lingua franca. Pengidentifikasian lingua franca tersebut sebagai bahasa Melayu adalah satu hal, sedangkan dimana lingua franca itu bermula adalah hal lain. Bahasa Melayu sebagai lingua franca inilah menjadi bahasa pengantar (perdagangan) di kota Atjeh yang lama (muara sungai). Dalam perspektif lingua farnca (bahasa Melayu) ini terbentuk bahasa baru (bahasa Atjeh) yang terbentuk dari banyak bahasa yakni bahasa asli di pusat kota Banda Aceh yang sekarang, bahasa Melayu (lingua franca) dan warga pendatang kota Atjeh yang membawa bahasanya sendiri-sendiri. Lantas apa bahasa asli di kota Atjeh yang baru (sebelum terbentuknya bahasa Atjeh),
Kota Atjeh, kota Pedir, kota Daya, kota Pasai adalah kota-kota pelabuhan yang terbentuk baru di pantai-pantai. Kota Pasai adalah kota Lhoksukon yang sekarang, sementara kota Lhokseumawe adala kota yang terbentuk baru di pantai baru (pulau). Seperti halnya kota Pasai (Lhoksukon), kota Pedir tetap ditempatnya sementara terbentuk kota baru di Segli (pantai baru). Kota Daya awalnya di teluk (di pedalaman) relokasi ke hilir (pantai pulau yang terbentuk di teluk). Untuk kota Atjeh awalnya di pantai di muara sungai kemudian relokasi ke pedalaman (pantai lama) di pusat Kota Banda Aceh yang sekarang.
Dalam sensus penduduk 1930 para ahli (budaya, bahasa dan geografi) di provinsi Atjeh mengelompokkan ke dalam tiga kelompok grup (bahasa): Atjeh, Gayo dan Alas. Seperti yang disebut di atas kelompok grup ini, boleh jadi atas dasar persamaan bahasa dan budaya’, kelompok grup Atjeh termasuk pulau-pulau, Singkil dan Tamiang. Semuara yang tergabung dala kelompok grup ini (Atjeh) secara geografis berada di pantai atau lebih dekat ke pantai dibandingkan dua kelompok grup yang lain (Gayo dan Alas) di pedalaman. Lalu muncul pertanyaan. Apakah penduduk asli di tempat dimana warga (kerajaan, kesultanan) Atjeh relokasi ke pedalaman adalah penduduk (asli) Gayo? Dalam hubungan ini dapat digunakan teori dan metologi linguistik untuk menjelaskan, apakah ada persamaan bahasa esensial (bahasa dasar) diantara bahasa Gayo dan bahasa Atjeh. Bahasa dasar (kata-kata esensial dalam kehidupan zaman kuno) yang dapat digunakan dapat berbeda pada geografi yang berbeda (bersifat relatif). Sebagai misal menurut ahli geografi Belanda jaman lampau bahasa esensial adalah kosa kata yang hidup dala masyarakat yang bersifat keseharian seperti padi atau beras berbeda antara bahasa Melayu dan bahasa Batak (eme). Juga kosa kata yang digunakan dapat sebutan untuk ibu dan ayah serta kosa kata yang bersifat religi (ritual) kelahiran, perkawinan dan kematian. Misalnya: ama dan ine bahasa Gayo di dalam bahasa Batak amang dan inang. Dalam bahasa Aceh ama adalah abu atau abi. Namun ada persamaan diantara ketiganya: mati (mate) dan hati (ate)
Bahasa Atjeh yang berada di pantai atau lebih dekat ke pantai hampir mirip dengan bahasa-bahasa yang digunakan di kota-kota pantai lainnya terutama di pantai timur Atjeh, namun secara umum terkesan ada persamaan yang kuat dengan bahasa Melayu (lingua franca). Hal itu secara historis adalah lingua franca dalam perdagangan kuno. Meski hanya sedikit bahasa Gayo dalam bahasa Atjeh namun dari kosa kata yang esensial mengindikasikan ada hubungan (interaksi) pantai (pendatang) dan pedalaman (penduduk asli). Pengaruh yang kuat bahasa Atjeh ke pedalaman juga menggambarkan meluasnya penggunaan bahasa Atjeh ke pedalaman (namun tidak mengeliminasi seluruh pengguna bahasa asli).
Pola terbentuknya bahasa Atjeh di Atjeh kurang lebih sama dengan pola yang umum di kota-kota pantai di wilayah lain Sumatra, Jawa, Borneo, Celebes dan Maluku. Pengaruh bahasa lingua farnca (yang kemudian disebut bahasa Melayu) sangat kuat seperti bahasa Betawi (Sunda), bahasa Padang (Minangkabau), bahasa Tapanuli (Batak), bahasa Banjar (Dayak), bahasa Manado (Minahasa) dan bahasa Ambon (Hitu). Meski demikian, eksistensi bahasa asli penduduk asli tetap terjaga karena populasi cukup banyak dan ruang kehidupannya di pedalaman masih sangat luas. Hal ini berbeda dengan di Semenanjung Malaya. Penduduk asli di Semenanjung Malaya meski terpisah dengan orang pendatang (Orang Melayu dari pantai barat dan pantai timur), mereka dari segi ruang gerak sangat terbatas karena wilayah semenanjung yang sempit. Hal itulah mengapa penduduk asli Semenanjung Malaya tidak berhasil mengembangkan sosial budaya mereka ke tingkat yang lebih tinggi, paling tidak dapat mengejar peradaban Melayu yang terus berkembang. Dalam hal ini siapa penduduk asli di wilayah Atjeh? Seperti di Sumatra Utara adalah Orang Batak, di Sumatra Tengah adalah Orang Kerinci dan di Sumatra Selatan adalah Orang Komering dan Orang Lampong, maka di wilayah Atjeh adalah Orang Gayo dan Orang Alas. Tidak seperti orang asli di Semenanjung Malaya, orang-orang asli di (pulau) Sumatra ini, yang didukung sumberdaya alam yang kaya terus mengembangkan peradaban mereka sejak era Boedha Hindoe seperti seni dan ilmu pengetahuan seperti sastra, teknik pertanian dan bahkan siste sosialnya. Hal ini dapat berkembang karena mereka mudah berkomunikasi karena sudah memiliki sistem aksara sendiri. Orang-orang asli dari selatan Sumatra hingga utara Sumatra memiliki sistem aksara yang mirip satu sama lain. Hal itulah mengapa orang-orang asli Sumatra masih eksis dalam bahasa mereka masing-masing. Salah satu pengaruh bahsa Melayu yang kuat terjadi pada Orang Kato yang berada di dataran rendah (di Deli) sudah sepenuhnya menggunakan bahasa Melayu (Melayunisasi) sementara Orang Karo di pedalaman masih tetap eksis dengan bahasa Karo. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa tidak ditemukan lagi pengguna aksara bahkan bahasa (dari era Hindoe) antara wilayah Kerinci (Orang Kerinci) dan wilayah Tapanoeli (Orang Batak), besar dugaan pengaruh bahasa Melayu begitu kuat pada penduduk asli (di wilayah antara Agam dan Solok) sehingga bahasa dan aksara asli tereliminasi oleh bahasa Melayu, bahasa yang kini dikenal sebagai bahasa Minangkabau (mirip bahasa Melayu, tetapi unsur-unsur dari bahasa aslinya masih bisa diidentifikasi) seperti awalan ‘ber’ (di Komering adalah ‘bar’, di Minangkabau adalah ‘ma’ dan di Tanah Batak adalah ‘mar’) atau kosa kata esensial seperti panggilan untuk ibu (di Komering adalah ‘umak’, di Minangkabau adalah ‘amak’, di Mandailing dan Angkola adalah ‘umak’ dan di Toba adalah ‘omak’. Seperti disebut di atas bahasa asli di Agam telah teeliminasi (punah) oleh bahasa Melayu, maka boleh jadi dalam perkembangannya nanti bahasa Gayo dapat tereliminasi (punah) oleh bahasa Atjeh seperti halnya di Britania Raya, bahsa Wales punah oleh bahasa Inggris.
Bahasa Atjeh yang berakar pada bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Banjar dan bahasa Betawi sangat colorfull (berbeda dengan bahasa Melayu di Riau). Hal ini karena kota Atjeh dan kota Jacatra (sebelum Batavia) dan juga di Amboina sudah menjadi pelabuhan perdagangan yang ramai sejak era Portugis. Pengaruh baru dari bahasa asing pada bahasa Melayu lebih mudah terserap jika dibandingkan di Riau. Tentu saja pengaruh bahasa lokal (dari penduduk asli) di tiga kota pelabuhan ini ikut memberi kontribusi seperti bahasa Gayo di Atjeh, bahasa Soenda di Jacatra dan bahasa Hitu dan Saparua di Amboina.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Ragam Bahasa di Aceh
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar