*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini
Pada peta-peta kuno (Peta Portugis), ada nama tempat disebut Dampin. Letaknya berada di suatu teluk di ujung selatan pulau Sumatra. Di belakang pantai (pedalaman) dari teluk ini disebut Lampong. Pada era VOC (Daghregister) masih di ujung selatan pulau Sumatra disebut nama tempat Toelang Bawang. Nama-nama tempat ini begitu dekat dengan Banten (di pulau Jawa). Hanya dibatasi oleh selat sempit yang disebut Selat Zunda. Nama Zunda juga dikenal sebagai nama tempat di arah timur kota (pelabuhan) Banten. Kota tersebut kemudian disebut Zunda Kalapa.
Lalu bagaimana sejarah hubungan antara Banten dengan nama-nama tempat di ujung selatan pulau Sumatra? Sudah barang tentu telah ditulis. Namun bagaimana sejarah Dampin kurang terinformasikan. Secara khusus bagaimana sejarah hubungan antara Banten dengan Dampin? Apa pentingnya dipelajari? Pertanyaannya sama pentingnya tentang hubungan Banten dengan Zunda Kalapa. Okelah, kalau begitu. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Dampin dan Lampong
Mencari nama yang mirip dari nama-nama desa atau kecamatan di kabupaten Lampung Selatan dan kabupaten Pesawaran dengan Dampin tidak ada. Boleh jadi nama Dampin di ujung selatan pulau Sumatra tidak lestari alias menghilang. Nama yang mirip Dampin justru ditemukan di India. Nama-nama yang mirip lainnya di India dengan nama-nama geografis di provinsi Lampung antara lain, selain Lampung sendiri (Lampong) adalah Tulang Bawang, Martapura dan dan (danau) Ranau serta Manggala dan Liwa, Dalam hal ini besar dugaan bahwa nama Dampin sudah eksis sejak era Boedha-Hindoe.
Seperti halnya nama Banten diduga merujuk pada nama India (Banta), nama-nama tempat di Banten juga merujuk pada nama-nama India seperti Anyer (Anier) dan Cilegon (Legon), Demikian juga nama-nama Tanara dan Tangerang. Dalam hal ini besar dugaan bahwa wilayah Banten dan wilayah Lampung yang sekarang sudah terhubung sejak era Boedha-Hindoe.
Boleh jadi kini telah menghilang atau hanya sekadar nama kampong kecil di Lampong. Sebab nama Dampin pada akhir era VOC hanya disebut sebuah kampong (dorp) di District Lampong (lihat Adolph Eschels-Kroon dan Gottlob Benedict von Schirach, 1783 ‘Beschryving van het eiland Sumatra. Inzonderheid ten aanzien van deszelfs koophandel’). Disebutkan mereka ‘kita datang kemudian di rawa Lampon, dimana desa (dorp) Dampin berada. Ini adalah bagian dari pulau Sumatra. Ini adalah landfreek (subur) yang luas dan liar, tetapi penduduknya masih barbar.
Saat dikunjungi dua Jerman tersebut pada era VOC, nama Lampong mengindikasikan nama wilayah sedangkan nama Dampin sebagai nama suatu tempat (dorp). Sebagai suatu wilayah rawa, besar dugaan bahwa Dampin berada di muara sungai atau pantai, Dengan demikian pada era Portugis Dampin adalah suatu kota pelabuhan di ujung selatan pulau Sumatra, Dalam hal ini muncul pertanyaan dimana posisi GPS Lampong saat itu.
Dampin sebagai suatu kota pelabuhan sejak era Portugis, tentu saja karena posisinya yang strategis di suatu muara sungai atau pantai dekat muara sungai. Ke kota inilah pedagang-pedagang Portugis dari Malaka untuk berdagang (atau sebaliknya). Sementara itu, pada era Portugis kota pelabuhan Banten belum apa-apa (karena masih sibuk dengan kerajaan Hindoe di hulu sungai Tjiliwong).
Dampin, Malaka dan Banten adalah kota-kota pelabuhan yang berada di pantai. Jauh sebelum terbentuknya kota-kota ini, sudah ada peradaban di pedalaman (Sumatra, Semenanjung dan Jawa). Peradaban ini adalah terbentuknya koloni-koloni yang berasal dari India di zaman kuno yang berinteraksi dengan penduduk asli di pedalaman (terbentuknya kota-kota di pedalaman). Di Jawa tidak ada danau, teapi banyak daratan tinggi yang dikelilingi pegunungan. Sedangkan di Sumatra dan Semenanjung terdapat danau-danau pegunungan. Sehubungan dengan meningkatnya produksi, kota-kota pegunungan ini awalnya membentuk (terbentuk) pelabuhan-pelabuhan yang terhubung dengan danau Ranau (Martapura, Linggau-Lahat), danau Kerintji (Tebo dan Indtrapura), danau Singkarak (Indragiri dan Pauh) dan seterusnya, sementara di Semenanjung danau Tasik Linggiu (Malaya dan Singapura). Orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara menyebut Malaya sebagai Malaka dan kemudian disusul Portugis menyebut Malaka sebagai Malacca. Pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatra bergeser lebih ke hilir karena terbentuknya daratan (proses sedimentasi jangka panjang): Tebo ke Telainapura-Jambi; Lahat ke Palembang; dan Martapura ke Manggala dan Lampong. Pada era Hindoe, pantai-pantai sejatinya berada di Telainapura, Palembang dan Manggala dan Lampong. Kini semua nama tempat ini seakan berada di pedalaman. Dalam hal ini, Dampin diduga kuat adalah kelanjutan dari Lampong dan Lampong adalah kelanjutan dari Martapura. Oleh karena itu posisi GPS Lampong berada diantara Martapura (di pedalaman) dan Dampin (di pantai). Semua nama-nama geografis di atas (termasuk nama sungai seperti Musi dan Hari dan nama gunung, seperti Kerintji dan Dempo) merujuk pada nama India) Lalu pada era Portugis inilah diduga terbetuk pelabuhan (bandar) di Lampong dengan munculnya nama Bandar Lampoeng. Hal yang mirip juga sejaman adalah terbentuknya Banda Atjeh (relokasi dari Lamuri) dan Banjarmasin (relokasi dari Tatas) dekat Martapura. Last but not least: terbentuknya Banten juga mirip (Banten, Serang dan gunung Karang di daerah aliran sungai Karangantoe, kini disebut sungai Cibanten). Satu hal yang penting pada wilayah penduduk asli di pedalaman Jawa (Jawa dan Sunda) dan pedalaman Sumatra (Lampong, Komering, Kerinci, Minangkabai pra Pagaroejoeng, Batak dan Gayo) memiliki aksara yang mirip satu sama lain sebagai warisan dari zaman kuno.
Menurut Mendes Pinto (1547), pedagang-pedagang Demak berdagang ke Malaka. Kerajaan Demak telah menduduki Zunda Kalapa 1527. Ini menyebabkan kerajaan Hindoe di hulu sungai Tjiliwong terkurung, karena semua pintu pelabuhannya telah terkurung dari Cirebon hingga Banten. Mendes Pinto pada tahun 1547 berkunjung ke Banten dan Zunda Kalapa. Besar dugaan pada saat ini pedagang-pedagang Lampong melalui Dampin membawa dagangannya ke Malaka atau ke Banten.
Setelah Banten menguasai sepenuhnya wilayah kerajaan Hindoe di hulu sungai Tjiliwong pada tahun 1579, pelabuhan Banten cepat tumbuh dan berkembang. Tidak hanya Malaka yang bergeser berdagang ke Banten tetapi juga Demak. Banten menjadi hub yang penting di ujung Jawa (dan Atjeh menjadi hub yang penting di ujung Sumatra)., Keduanya jarum kompasnya sama-sama menuju ke barat (India dan Eropa). Kerajaan Hindoe di hulu sungai Tjiliwong tersebut adalah kerajaan Pakwan-Padjadjaran. Pedagang-pedagang Portugis yang berpusat di Malaka tidak hanya berdagang ke Atjeh dan Banten tetapi juga telah lama mengebangkan jalur perdagangannya ke laut Cina, pantai utara Borneo, Mindanao dan terus ke Ternate. Saat-saat inilah kejayaan perdagangan Portugis di Nusantara.
Sampai sejauh ini tidak ada indikasi pedagang-pedagang yang ke Lampong, justru sebaliknya pedagang-pedagang Lamponglah yang membawa dagangan ke Banten. Situasi menjadi cepat berubah ketika muncul kehadiran Belanda sejak 1596.
Seperti disebut di atas, bahwa orang Jerman menemukan nama Damping hanya tinggal sebuah kampong kecil (lihat Adolph Eschels-Kroon dan Gottlob Benedict von Schirach, 1783). Siapa yang penghuninya dalam buku Beknopte beschryving der Oostindische etablissementen (1789) sebagai berikut: Karena di pulau-pulau ini terdapat banyak pelaut yang sering berhentin yang harus waspada dan diawasi seperti yang pernah terjadi pada bulan November 1769 dimana kapal berawak 24 orang di rawa Lampong diserang sebuah kapal perampok Mandarean berawak sekitar 48 orang, kapal ini menempelkan Singa Laut di atas kapal dan membalap semua yang ada di sana.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Toulang Bawang di Pulau Sumatra: Pahang dan Banten
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar