Kamis, 08 April 2021

Sejarah Australia (28): Bali dan Lombok di Mata Orang Australia; Dari Doeloe, Orang Australia Ingin Tinggal di Bali dan Lombok

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Australia dalam blog ini Klik Disini 

Orang Eropa sejak tempo doeloe bersedia bersusah payah di wilayah tropis yang panas. Jelas orang Eropa tidak menginginkannya karena mereka tidak bisa sehat di wilayah khatulistiwa. Namun bukan soal sehat atau tidak yang diperjuangkan tetapi keuntungan dalam perdagangan seperti di Indonesia untuk meningkatkan welfare mereka. Namun kini, situasi dan kondisi berubah, ketika orang Eropa dengan tingkat welfare yang tinggi ingin datang ke wilayah tropis untuk menghangatkan badan (selalu dingin). Destinasi-destinasi wisata menjadi tujuan utama seperti Bali dan Lombok. Tentu saja di Australia tidak semua orang kaya, mereka ingin tinggal di Indonesia terutama di Bali dan Lombok untuk membuka usaha. Apakah Australia semakin tidak menjanjikan lagi? Entahlah! Yang jelas mata orang Australia selalu melihat Bali dan Lombok.

Tempo doeloe (pada era Hindia Belanda) tidak pernah ada niat orang Australia menguasai Bali dan Lombok. Orang Australia juga tidak berminat di Papua-Belanda. Orang Australia hanya menginginkan Papua-Jerman (kini Papua Nugini) dan Timor Portugis (kini Timor Leste). Bagaimana dengan Timor-Belanda? Seperti Papua-Belanda, Bali dan Lombok, orang Australia takut atas nasionalisme Papua Belanda, Timor Belanda, Bali dan Lombok. Hal itulah mengapa pengaruh Australia terkesan kuat di Papua Nugini dan Timor Leste. Mengapa demikian? Hanya itu yang bisa diraih oleh Australia. Sebaliknya, orang Indonesia (baca: sejak Hindia Belanda) tidak kehilangan Papua Nugini dan Timor Leste.

Lantas bagaimana sejarah orang Australia melihat Bali dan Lombok? Seperti disebut di atas, orang Australia sejak doeloe tidak menginginkan Bali dan Lombok, tetapi situasi dan kondisinya kini berubah. Orang Australia ingin tinggal di Bali dan Lombok. Lalu apakah ada orang Australia yang menginginkan Bali dan Lombok tempo doeloe? Ada, orang pertamanya adalah JP King. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bali dan Lombok di Mata Orang Australia: Sejak JP King

Sejak James Cook mengunjungi Australia pada tahun 1774, bukunya yang terbit tahun 1879 laris manis di Eropa. Salah satu rekomendasi Cook dalam buku tersebut adalah pantai (timur) Australia dapat dijadikan sebagai koloni Inggris. Sejak itulah orang-orang Inggris mulai ada yang merespon ajakan Cook tersebut untuk berdiam membangun usaha (pertanian). Lalu pelabuhan dimana orang-orang Inggris mendarat disebut pelabuhan Port Jackson (kelak kawasan sekitar pelabuhan ini disebut Sydney).

Pada tahun 1787 satu skuadron militer Inggris dari Madras dipindahkan ke pantai barat Sumatra di Bengkoelen. Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta tentu saja membuat kebijakan drastis itu untuk menjaga kepentingan orang-orang Inggrsi di pantai barat Sumatra, karena pedagang-pedagang Inggris di Maluku kalah bersaing dengan pedagang-pedagang Belanda (VOC). Orang-orang Inggris di Bengkoelen telah mengusahakan pertanian pala dan cengkeh. Sejak kehadiran skuadron Inggris, pedagang-pedagang VOC mulai menyingkir dari pantai barat Sumatra. Orang-orang Inggris terpenting di pantai barat Sumatra adalah William Marsden, Raffles (di Bengkoelen) dan J Brooke (di Tapanoeli).

Tidak lama kemudian di Eropa, Prancis menduduki Belanda. Keluarga kerajaan Belanda melarikan diri ke Inggris. Pada tahun 1795 militer Prancis mengambil alih Batavia (dan seluruh Jawa). Situasi ini menjadi kesempatan bagi militer Inggris yang sudah berada di pantai barat Sumatra untuk menguasai lebih luas Sumatra dan bahkan hingga Borneo, Celebes dan Maluku. Di Maluku, pertahanan VOC cukup kuat di Ternate. Dengan demikian, Prancis dan Inggris telah membagi habis Hindia Timur, kecuali Ternate. Namun dalam perkembangannya Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda (1816).

Di bawah kekuatan Napoleon di Prancis, VOC di Hindia Timur yang semakin melemah lalu dibubarkan pada tahun 1799. Lalu wilayah yurisdiksi VOC diambilalih dan dibentuk Pemerintah Hindia Belanda (di bawah pengaruh Napoleon). Semasih pemerintahan ini hanya terbilang efektif di Jawa pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Pada tahun 1811 Inggris yang terus menguat di Hindia Timur menganeksasi Jawa dan posisi Daendels tamat. Raffles kemudian dari Penang diangkat menjadi Luitenant Gubernur Jenderal di Hindia Timur (Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta). Lala proses politik yang berlangsung di Eropa, kekuasaan Inggris di Hindia Timur pada tahun 1816 diserahkan kembali kepada Belanda dan meneruskan Pemerintah Hindia Belanda. Proses pengalihan ini tentu tidak mudah dan dapat dilakukan segera karena pengaruh Inggris di Hindia Timur sudah mulai terbentuk terutama di Jawa dan Sumatra. Pada akhirnya dapat diselesaikan dalam perundingan di London pada tahun 1824. Salah satu poin penting dari perjanjian yang dibuat (Traktat London 1824) adalah tukar guling antara Malaka (Belanda) dan Bengkoelen (Inggris). Poin penting lainnya penarikan batas yurisdiksi Inggris di Borneo (utara) dan Nieuw Guinea (Papua) minus Timor (Timor Portugis).

Pasca Traktat London 1824, pantai barat Sumatra mulai ditinggalkan oleh orang-orang Inggris. Salah satu pengusaha penting di Padang yang harus meninggalkan pantai barat Sumatra adalah GP King (yang merelokasi usahanya ke Batavia, sebagai orang/pengusaha asing). Bisnis GP King di Batavia (yang masih memiliki koneksi perdagangan di pantai barat Sumatra) masih eksis hingga tahun 1828 (lihat Javasche courant, 17-04-1828). GP King kemudian bergser ke pantai selatan Bali (1834).

Sejak tahun 1833 GP King telah mengubah rute perdagangan bisnisnya Batavia-Pantai Barat Sumatra menjadi Batavia-Pantai Utara Jawa (lihat Javasche courant, 28-07-1829) dan kemudian bergeser ke pantai timur Jawa (lihat Javasche courant, 28-02-1833). Setahun kemudian dari Banjoewangi, GP King membangun basis perdagangan di Koeta (Bali).

GP King dapat dikatakan adalah orang Inggris pertama di Bali. Sebelumnya orang Inggris tidak mudah menjinakkan (pulau) Bali ketika Jawa pada tahun 1811 jatuh ke tangan Inggris. Seperti halnya di Djokjakarta mendapat perlawanan terhadap Inggris, militer Inggris di Bali juga mendapat perlawanan di Bali. Hal itulah mengapa tidak ada pedagang-pedagang Inggrsi yang berminat ke Bali hingga kehadiran GP King pada tahun 1833.

GP King merelokasi bisnisnya dari pantai barat Sumatra ke Batavia cukup jelas dan beralasan. Namun apa gerangan yang kemudian GP King merelokasi bisnisnya dari Batavia ke Bali? Tentu saja ada maksudnya. GP King ingin mendekatkan diri kepada orang-orang Inggris yang sudah mulai semakin banyak di Australia. Sebagaimana diketahui sejak Sydney menjadi kota besar (didirikan tahun 1788), kota-kota baru Inggrsi bermunculan di Australia seperti Brisbane (1824), Perth (1829), Melbourne (1832) dan Adelaide (1836). Tentu saja kota-kota koloni Inggris sudah pula tumbuh dan berkembang di Semenanjung Malaya (Penang, Malaka dan Singapoera). Dalam konteks geopolitik inilah GP King diduga kuat memilih Bali (karena jalur lalu lintas perdagangan Inggris antara Australia (Sydney) dan Semenanjung (Siengapoera) melalui selat Lombok (laut yang memisahkan antara pulau Bali dan pulau Lombok). GP King tampaknya memilih Bali karena ingin menguasai perdagangan di jalur sutra baru Inggris ini.

Di Bali, tampaknya GP King kurang diterima, boleh jadi karena faktor perselisihan para pemimpin Bali dengan militer Inggris di era pendudukan Inggris (1811-1816). GP King kemudian relokasi ke Ampenan (Lombok), kebetulan jalur navigasi pelayaran di Selat Lombok berada di sisi pulau Lombok karena lebih aman (perairan dan angin yang tenang) jika dibandingkan sisi pulau Bali (selain angin juga banyaknya karang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Orang Australia Ingin Tinggal di Bali dan Lombok?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar