*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Kerajaan Majapahit tidak hanya sekadar kerajaan besar. Kerajaan Majapahit juga memiliki kemampuan navigasi pelayaran yang luas. Ruang navigasi pelayaran Majapahit paling tidak dapat dibaca pada teks Negarakertagama (1365). Pendahulu kerajaan Majapahit sendiri dalam bidang navigasi pelayaran adalah kerajaan Singhasari (tetangganya). Namun navigasi pelayaran Singhasari hanya sampai sejauh ke pantai timur Sumatra. Navigasi pelayaran Majapahit lebih jauh dan lebih luas lagi.
Lantas bagaimana sejarah navigasi pelayaran Majapahit di Nusantara? Seperti disebut di atas, navigasi pelayaran Majapahit didahului oleh perkembangan navigasi pelayaran di Singhasari. Dalam hal ini apakah Kerajaan Kediri (pendahulu kerajaan Singhasari) memiliki tradisi navigasi pelayaran? Yang jelas kerajaan Mataram kuno yang berada di pedalaman (pulau Jawa bagian tengah) yang fokus pada bidang pertanian, namun sangat tergantung pada perdagangan luar di kota-kota pantai. Lalu bagaimana sejarah pelabuhan Majapahit di pantai timur Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Navigasi Pelayaran Majapahit di Nusantara
Sejarah navigasi pelayaran nusantara sudah eksis sejak zaman kuno. Namun sejak kapan tercatat sulit diktehui secara pasti. Memang situasi dan kondisi nusantara sudah diidentifikasi oleh Ptolomeus sejak abad ke-2. Tidak ada indikasi pelayaran nusantara. Adanya indikasi pelayaran nusantara bersumber dari catatan Tiongkok pada era dinasti Han (tahun 136 M). Disebutkan kaisar Tiongkok menerima utusan raja Yeh Tiao.
Peneliti-peneliti pada era Hindia Belanda, menduga kerajaan Yah Tiao ini adalah kerajaan (di) Sumatra. Interpretasi ini tampaknya bersesuaian dengan identifikasi Ptolomeus bahwa Sumatra bagian utara adalah sentra produksi kamper. Sebagaimana diketahui bahwa sentra produksi kemenyan (hanya) ditemukan di Tanah Batak dengan pelabuhan Baroes. Besar dugaan, alasan perdagangan (kamper) ini yang menyebabkan raja Yeh Tiao mengirim utusan ke Tiongkok untuk memperluas perdagangan. Posisi Sumatra bagian utara semakin jelas pada abad ke-5 yang mana sumber Eropa menyebutkan bahwa produk kamper diimpor dari pelabuhan yang disebut Baroes. Dalam hal ini navigasi pelayaran asing (India, Arab dan Eropa) sudah terhubung ke nusantara di Baroes dan navigasi pelayaran domestik terindikasi dari arus perdagangan Sumatra (kamper) sudah mencapai Tiongkok dengan hub di dekat Yet Shin (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3). Prasasti Muara Kaman (Koetai) abad ke-5 dan prasasti Tugu di Tjilinting tidak mengindikasikan navigasi pelayaran.
Navigasi pelayaran nusantara terinformasikan kembali pada abad ke-7 (lihat prasasti Kedukan Bukit tahun 682 M). Disebutkan raja (Kerajaan Aru) Dapunta Hyang Nayik dari (ibu kota) Binanga dengan pasukan tiba di (hulu) Upang (di pulau Bangka). Misi raja Dapunta Hyang Nayik adalah untuk menabalkan raja Sriwijaya dengan gelar Dapunta Hyang Srinagajaya (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan melepas pasukan Sriwijaya dalam melakukan invasi ke Jawa (lihat prasasti Kota Kapur 686 M). Raja Sriwijaya menambalkan raja baru di Jawa dengan gelar Dapunta Sjeilendra (lihat prasati Sojomerto awal abad ke-8). Dari sinilah mulai diketahui ada indikasi pelayaran dari Sumatra ke Jawa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pelabuhan Majapahit di Muara Sungai Brantas
Dalam sejarah navigasi pelayaran zaman kuno, hingga tahun 1920 tidak ada sedikit pun tercetus nama Sriwijaya. Memori kolektif warga Palembang kosong soal adanya Sriwijaya. Pendapat umum di Hindia Belanda, soal kekaisaran di nusantara selalu menganggap Sumatra berada di belakang Jawa. Penemuan candi Borobudur oleh Raffles tahun 1814 telah menghipnotis orang-orang Belanda bahwa peradaban dan kekaisan agung di zaman kuno hanya ada di Jawa: Madjapahit.
Penemuan candi di Padang Lawas, Tapanoeli tahun 1843 juga tidak digubris. Padahal yang menemukan dan melaporkan pertama kali adalah seorang geolog terkenal Jung Huhn. Meski, lukisan candi Padang Lawas sudah dipublikasikan oleh pelukis terkenal Rosenberg (1857) tetap tidak mendapat perhatian. Konsentrasi orang-orang Belanda hanya tertuju di Jawa (khususnya Borobudur dan Prambanan dan baru kemudian situs Trowulan).
Seorang peneliti Inggris, S. Beal menemukan arah suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang berada. S. Beal adalah Sinoolog yang telah lama melakukan riset di Tiongkok. Kegundahan S. Beal memberanikan diri untuk menyurati lembaga ilmu pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) di Batavia pada tahun 1887. Dalam suratnya, Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang. Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.
Wakil Presiden van den Raad van Indie yang juga anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP Groenevelt menjawab surat dan dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan menganggap hipotesis Beal tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu pengetahuan tertinggi di Batavia tersebut tidak memiliki alasan untuk mengabulkan permintaannya. Sinoolog S. Beal tampaknya gigit jari.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Buddha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie (tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar di Banka dan karena itu mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’. Prasasti ini kelak dikenal sebagai Prasasti Talang Tuo (684 M).
Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir bahwa kita (orang Belanda) kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja. Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti di Batavia untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.
Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920 - 25 Mei 1921), bukanlah seorang peneliti apalagi seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media menyindir mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.
Surat S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan penemuannya (1920). Surat S Beal kembali dibuka,
Uniknya, setelah penemuan Mr LC Westenenk, peneliti-peneliti Belanda tidak hanya memulai langkah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut temuan awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung Huhn tahun 1843 tentang keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan dibicarakan serius. Area percandian di Padang Lawas sangat luas yang berpusat di (kampong) Binanga (pertemuan sungau Batang Pane dengan sungai Baroemoen) dan kampong Pertibie (sungai Batang Pane). Nama-nama Binanga (Minanga); Pane (Panai), Baroemoen (aroe=sungai) dan Pertibie (Pritivi=dunia) diduga kuat berasal dari era Hindoe Boedha (India).
Sinyal dari Sumatra menjadi langkah baru, yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan lagi di Jawa). Pusat kepurbakalaan di Palembang akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah seorang arkeolog bernama FM Schnitger.
NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baroes memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk di Tanah Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.
Keberadaan Sumatra bagian utara sudah dilaporkan oleh Ptolomeus pada abad ke-2 di dalam catatan geografinya sebagai sentra kamper. Ini mengindikasikan bahwa kamper adalah produk zaman kuno asli nusantara yang berasal Sumatra bagian utara yang sudah mencapai Eropa. Dalam perkembangannya diketahui pada literatur Eropa pada abad ke-5 disebutkan bahwa produk kamper diekspor melalui pelabuhan yang disebut Baroes. Sumber-sumber Eropa ini tampaknya bersesuaian yang mana sentra produksi kamper di Sumatra bagian utara dan Baroes adalah pelabuhan besar yang notabene adalah kota Barus yang sekarang (Tapanuli Tengah di pantai barat Sumatra).
Pada tahun 1935, Schnitger, yang dalam hal ini seorang arkeolog, mulai melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14. Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di Palembang ini mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe (dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat.
Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935). Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen (Padang Lawas), dimana mereka berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’.
Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Boedha) Borobudur di Jawa Tengah'. Kesimpulan ini tampaknya bersesuaian dengan dating pada prasasti-prasasti yang ditemukan kemudian.
Seperti disebut di atas, bahwa navigasi pelayaran nusantara terinformasikan (kembali) pada abad ke-7 (lihat prasasti Kedukan Bukit tahun 682 M). Disebutkan raja (Kerajaan Aru) Dapunta Hyang Nayik dari (ibu kota) Binanga dengan pasukan tiba di (hulu) Upang (di pulau Bangka). Misi raja Dapunta Hyang Nayik adalah untuk menabalkan raja Sriwijaya dengan gelar Dapunta Hyang Srinagajaya (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan melepas pasukan Sriwijaya dalam melakukan invasi ke Jawa (lihat prasasti Kota Kapur 686 M). Raja Sriwijaya menabalkan raja baru di Jawa dengan gelar Dapunta Sjeilendra (lihat prasati Sojomerto awal abad ke-8).
Lantas bagaimana semua ini terhubung dalam konteks navigasi pelayaran (perdagangan) hingga dianggap penting sungai Brantas di pantai timur Jawa sebagai bagian dari urat nadi perdagangan nusantara.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar