*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pahlawan-pahlawan Indonesia sangat banyak yang berasal dari pemimpin lokal seperti Radja, Soeltan dan Bupati. Mereka terdapat di seluruh Indonesia (baca: nusantara) sejak era Hindia Timur (VOC/Belanda). Para pemimpin lokal ini ada yang bekerja sama dengan para pejabat (VOC/Belanda) dan ada juga yang non-cooperative yang bahkan melancarkan perlawanan di pusat-pusat (perdagangan) VOC/Belanda. Tentu saja ada sejumlah pemimpin lokal yang melakukan perlawanan harus diasingkan ke Ceilon dan Afrika Selatan. Fraksi-fraksi pemimpin lokal ini juga masih terjadi pada era Pemerintah Hindia Belanda.
Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia yang berasal dari pemimpin lokal? Seperti disebut di atas, pahlawan Indonesia yang berasal dari pemimpin lokal banyak yang telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Lalu bagaimana para pemimpin lokal ini berjuang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan-Pahlawan Indonesia Pemimpin Lokal; Radja, Soeltan dan Bupati
Awal kehadiran Belanda di nusantara (baca: Hindia Timur) saat ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597). Pelaut-pelaut Belanda setelah berhasil mencapai pulau Enggano kemudian menemukan jalan dan tiba di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596. Kehadiran mereka, dimana banyak kapal Portugis berlabuh, di pelabuhan Banten telah menimbulkan keributan sehingga mereka terusir. Pelaut-pelaut Beland akemudian melanjutkan pelayaran sepanjang pantai utara Jawa menuju Maluku, namun terkendala di di laut Bali karena salah satu kapal mereka rusak. Akhirnya pelayaran diputuskan balik ke Belanda dengan mengitari pulau Lambok. Di selatan selat Lombok kapal mereka yang rusak harus dibakar dan tenggelamkan di tengah laut. Dengan dua kapal mereka berlabuh di pantai timur Bali (kini Padang Bai). Mereka diterima Radja Bali. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan pelayaran pulang (dengan mengitari Bali dan exit di selat Bali dan selatan Jawa terus ke Afrika Selatan). Di Bali ada dua pelaut/pedagang yang ditinggalkan.
Ini mengindikasikan di Hindia Timur,
pelaut/pedagang Beland ditolak di Banten tetapi diterima di Bali. Lain lagi
dengan pengalaman pertama pelaut/pedagang Portugis. Pelaut Portugis dengan
alasan tertentu menyerang pelabuhan Malaka dan mendudukinya pada tahun 1511.
Pelaut Portugis dari Malaka melakukan kontak dagang dengan Tiongkok di muara
sungai Canton. Namun kali ini pelaut Portugis yang salah tingkah di sutau pulau
di muara sungai mendapat perlawanan sepadan sehingga pelaut.pedagang Portugis
terus tahun 1519. Sejak itu strategi pelaut/pedagang Portugis berubah dan
dilakukan dengan damai. Sukses pertama setelah kegagalan di Canton berhasil
bekerjasama di pelabuhan Broenai (Borneo utara. Pelaut/pedagang Portugis cepat
paham di Hindia Timur dan melakukan banyak kontak dengan penduduk dan pemimpin
lokal di berbagai pelabuhan termasuk di Amboina, Banten, Atjeh dan sebagainya. Dengan
strategi baru itu, pelaut/pedagang Portugis lebih damai dan lebih membumi
(mereka berbaur dan kawin dengan penduduk pribumi). Kedamaian pelaut/pedagang
Eropa ini terus terjaga hingga kehadiran pendatang baru Belanda yang lebih
ganas, seperti yang terjadi kemudian, tidak hanya menyerang dan mengusir
Poretugis di setiap pelabuhan, juga kerap melakukan tindakan agresif terhadap
penduduk dan pemimpin lokal, hingga mereka berhasil di Maluku.
Saat dua kapal tersisa Cornelis de Houtman dalam perjalanan pulang ke Belanda, satu ekspedisi berikutnya yang dipimpin Oliver Nort sedang mendekati Hindia Timur. Entah mengapa Oliver Nort tidak diterima di (pelabuhan) Atjeh dan kemudian bergerak ke selatan (menghindari Malaka dimana Portugis berada) menemukan jalan ke pelabuhan Borneo (1600). Lagi-lagi Oliver Nort tidak diterima dan diusir sehingga Oliver Nort harus kembali ke Balanda dengan terlebih dahulu ke Bali (dan membawa dua pedagang yang ditinggalkan Cornelis de Houtman. Saat Oliver Nort dalam pelayaran pulang, ekspedisi berikutnya yang dipimpin (kembali) Cornelis de Houtman tidak langsung ke Banten tetapi menuju Atjeh (1601). Di pelabuhan ini, lagi-lagu pelaut.pedagang Belanda bermasalah sehingga terjai perang. Dalam perang ini Cornelis de Houtman terbunuh dan Frederik de Houtman ditahan (adik Cornelis de Houtman). Pada ekspedisi berikutnya atas nama Radja Belanda dilakukan negosiasi di Atjeh yang akhirnya Frederik de Houtman dibebaskan tahun 1602 (dan tiba kembali di Belanda tahun 1603). Sejak itu semakin banyak eskpedisi Belanda yang berdatangan.
Pada tahun 1604 satu ekspedisi Belanda dikirim ke Hindia Timur yang dibekali dengan persenjataan lengkap di bawah seorang Laksamana (van Hagen). Setelah tiba di Bali (dimana pelaut/pedagang Belanda diterima), ekpedisi ini melanjutkan pelayaran ke Maluku. Di Amboina van Hagen langsung menyerang benteng Portugis (Fort Victoria) dan mendudukinya. Sejak inilah pelaut/pedagang Belanda sedikt lega karena sudah memiliki basis perdagangan yang tetap. Pelaut/pedagang Portugis ke utara di Ternate (yang juga bersaing dengan Spanyol yang sudah memiliki basis tetap di Filipina). Untuk meratakan jalan antara Bali dan Amboina, pelaut Belanda kembali menyerang pos /benteng Portugis di (pulau) Solor pada tahun 1612 (pelaut/pedagang Portugis bergeser ke Koepang. Lagi-lagi pelaut Portugis menyerang di Koepang hingga akirnya pelaut/pedagang Portugis bergeser ke timur pulau Timor (di Dilli, Timor Leste yang sekarang).
Pelabuhan Soenda Kalapa yang terletak di muara sungai Tjiliwong, sejak masa lampu adalah satu pelabuhan Kerajaan Pakuan Padjadjaran yang berpusat di hulu sungai Tjiliwong. Pada era Portugis, Demak dan Tjirebon memperkuat pelabuhan Banten yang kemudian menjadi kekuatan sendiri yang menjadi pemicu serangan ke pedalaman (Pakuan Padjadjaran). Tamat sudah kerajaan Hindoe Pakuan Padjadjaran. Gerakan yang sama juga di pedalaman Jawa di bagian timur dimana Demak menghancurkan sisa-sisa Majapahit (Hindoe) yang kemudian terbentuk Mataram (baru). Hubungan yang era antara Demak dengan Tjirebon dan Banten, maka ketika Banten menguat setelah (aneksisasi di pedalaman) kerajaan Demak menempatkan konsulatnya di Soenda Kalapa ketika kerajaan Jacarta terbentuk di muara sungai Tjiliwong. Dalam hal ini, wilayah muara Tjiliwong secara defacto di bawah otoritas Tjirebon dan Banten, tetapi secara dejure Demak yang lebih berkuasa. Kerajaan Jacarta yang juga tempo doeloe termasuk pos perdagangan Portugis inilah kemudian yang diincar oleh pelaut/pedagang Belanda (pada saat ini Demak/Japara di pnatai utara sudah memudar, sementara di pedalaman mulai menguat Mataram).
Kerajaan Jacarta yang berada di wilayah grey area (antara Banten dan Tjirebon), awalnya pelaut/pedagang Belanda mencoba untuk menjalin kerjasama, namun tampaknya ajakan itu kurang diperhatikan (boleh jadi karena ada tekanan dari Banten atau sebaliknya Jacarta merasa masih kuat lebih-lebih adanya dukungan Banten dalam menghadapi Belanda di pulau Onrust. Namun Jacarta salah perhitungan, bahwa selama ini pelaut/pedagang Belanda sudah cukup kuat di Maluku dan memiliki wilayah perdagangan yang aman di Bali dan Nusa Tenggara. Kekuatan pelaut/pedagang Belanda juga kini telah semakin karena di Belanda sudah terbentuk holding yang kuat sebagai pendukung utama. Holding ini kemudian dikenal sebagai De Hereen XVII (yang menjadi investor inti dalam pembentukan maskapai perdagangan Belanda di Hindia Timur (VOC).
Sejak kehadiran Jan Pieterszoon Coen (1619) di pulau Onrust sebagai representatif De Heeren XVII, maka serangan terhadap kerajaan Jacarta dimulai, meski mendapat perlawanan tetapi akhirnya dapat ditaklukkan. Sejak inilah Coen mulai membangun pos perdaganagn di sisi timur muara sungai berupa benteng yang kemudian diperluas menjadi kastil yang disebut Casteel Batavia. Sejak ini pulau kastil ini semakin diperkuat seiring relokasi pusat perdagangan pelaut/pedagang Belanda dari Amboina ke Batavia. Akibatnya, untuk sementara Banten dan Mataram tidak dapat berbuat banyak.
Dalam posisi VOC semakin kuat di Batavia, diplomasi pedagang Belanda (VOC) di Banten terus digalang. Yang jelas pengaruh Portugis di Banten mulai memudar karena sering terjadi bentrok antara pelaut-palut Belanda dan Portugis di luar pelabuhan Banten di pantai utara Jawa. Portugis hanya fokus di Malaka, Kamboja, Broenai dan Makao (plus Timor). Dalam situasi dan kondisi inilah Mataram merasa VOC/Belanda yang dianggap menghalangi kemajuan Mataram dan merasa perlu VOC di Batavia dientaskan. Mataram di bawah pipinan Soeltan Agoeng (yang juga didukung Banten) pada tahun 1628 menyerang Batavia. Tidak berhasil, meski di kedua belah pihak banyak korban dan kerugian.
Mataram sendiri tidak hanya memiliki masalah di barat dengan VOC di Batavia, Mataram juga memiliki masalah tersendiri di timur dimana sisa Hindoe di bagian timur Jawa seperti di Banjoewangi ingin dijaga Bali dengan cara menyerang Mataram dengan meminta bantuan Belanda (VOC). Untuk mengatasi agitasi Bali itu dapat diatasi Jepara dari laut dan Mataram dari pedalaman. Akibatnya terjadi deHindunisasi dan terjadi Islamisasi. Sementara permintaan Bali (tahun 1630an) tidak dapat segera dipenuhi VOC/Belanda, dan harus ditunda karena VOC/Belanda sendiri sedang memiliki masalah di Makassar (kerajaan Gowa). Janji Belanda/VOC paling tidak Bali dapat dipertahankan dengan bantuan militer VOC. Sebaliknya untuk memperkuat VOC terhadap masalah di Makassar bantuan Bali diperlukan. Masalah VOC di Makassaar bermula dari terbunuhnya seorang pedagang VOC di Makassar. Soal ternuhnya pedagang itu, bagi VOC hanyalah syarat perlu )sebagai pemicu) dan syarat cukupnya adalah VOC ingin melumpuhkan Gowa yang tengah naik daun agar jalur perdagangan antara Batavia dan Maluku lancar. Kerajaan Gowa dalam hal ini tengah diincar VOC. Hal itulah permintaan Bali dikesampingkan dulu. Namun mengalahkan Gowa tidaklah mudah, karena Gowa saat terbilang yang terkuat di nusantara. Untuk sementara pos perdagangan Belanda di Makassar direlokasi ke Bima.
Belanda/VOC telah menganggap ancaman Mataram sudah mulai menurun karena energi Mataram juga terkurasi di timur Jawa. Belanda/VOC yang menunda masalah Makassar/Gowa mulai mengalihkan perhatian untuk menguasai perdagangan di utara khatulistiwa. Sasaran pertama adalah mengincar Portugis yang berpusat di Malaka.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Para Pemimpin Lokal Sejak Era VOC/Belanda: Cooperative dan Non-cooperative
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar