*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
HB Jasin lebih dikenal sebagai kritikus sastra. Sebelum HB Jasin intens dalam genre essais (kritik), sudah ada seorang wanita muda yang sangat aktif dalam urusan kritik (essai) yakni Ida Nasution, namun umurnya tidak panjang. Sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia 1947, dia menghilang selamanya (diduga diculik intel Belanda.NICA). Sejak itu muncul nama HB Jasin yang intens di bidang essai. Sejak inilah julukan itu melekat pada HB Jasin.
Lantas bagaimana sejarah HB Jasin? Seperti disebut di atas, HB Jasin adalah seorang kritikus terkemuka di Indonesia pada jamannya. Tentu saja sejarahnya sudah banyak ditulis. Data sejarahnya cukup banyak kare HB Jasin berumur panjang (wafat 2000). Namun tentu saja masih narasi sejarahnya masih perlu dilengkapi sejauh data baru ditemukan. Lalu bagaimana sejarah HB Jasin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia HB Jasin: Ida Nasution di Batavia hingga Perang Kemerdakaan
Nama HB Jasin kali pertama diberitakan di Medan tahun 1933. HB Jasin lulus ujian masuk di HBS Medan (lihat Deli courant, 08-05-1933). Pada tahun 1934 HB Jasin naik ke kelas dua (lihat Deli courant, 26-05-1934). Pada tahun 1945 HB Jassin naik ke kelas tiga (lihat Deli courant, 29-05-1935). Satu kelas dengan HB Jassin antara lain W Loemban Tobing, Achmad Ramli Nasution dan Bachroem Rangkoeti. Di atas mereka satu tahun (naik ke kelas empat) antara lain Dinar Sihite dan AF Siregar.
Pada tahun 1936HB Jasin naik kelas dari kelas tiga ke kelas empat (lihat De Sumatra post, 30-05-1936). Teman-temanya seperti Bachroem Rangkoeti juga naik kelas. Di atas mereka yang naik ke kelas lima hanya dibagi ke dalam dua afdeeling. Pada afdeeling B (wis. En nat. afd) antara lain terdapat nama AFP Siregar dan A Dinar Sihite. Pada tahun 1937 HB Jassin dan teman-temannya yang disebut di atas naik ke kelas lima (lihat Deli courant, 29-05-1937). Bachroem Rangkoeti di afdeeling A (lit. en ec.. afd); W Loemban Tobing, Achmad Ramli Nasution dan HB Jassin di afdeeling B (wis. en nat. afd).
Hasil ujian akhir di HBS Medan tidak terinformasikan, Besar dugaan HB Jassin menunda atau tinggal kelas,,HB Jassin baru lulus ujian akhir di HBS Medan pada (pertengahan) tahun 1938 (lihat De Sumatra post, 05-06-1939). Data ini berbeda dengan yang dicatat pada (kutipan di atas) di Wikipedia). Lantas apakah HB Jassin lupa mengingat kapan lulus di HBS Medan? Kemana HB Jassin setelah lulus HBS di Medan tahun 1939?
Pada tahun 1934 Ida Nasoetion mendaftar di Koningin Wilhelmina School di Batavia. Bataviaasch nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di KW III School yang mana diantaranya Ida Nasoetion naik kelas dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940 Ida Nasoetion lulus ujian akhir di K. W. III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda.
HB Jassin kira-kira seumuran dengan Ida Nasoetion. HB Jassin setelah lulus ELS diterima di HBS Medan tahun 1933, sedangkan Ida Nasution diterima di KW III Batavia tahun 1934. Mereka sama-sama mengikuti HBS 5 tahun. HB Jasssin lulus HBS Medan tahun 1939 dan Ida Nasution lulus HBS di KW III Batavia tahun 1940. Meski Ida Nasoetion direkomendasikan sekolahnya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Negeri Belanda, tetapi tidak direalisasikan yang boleh jadi karena pertimbangan tertentu, besar dugaan karena sudah mulai adanya perang, Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak di KW III lalu mendaftar dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van Indonesie.
Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena bakatnya di bidang sastra sejak masuk di KW School. Soerabaijasch handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte.
Sementara nona Ida Nasoetion sudah kuliah di fakultas sastra Universiteit Indonesie (naik ke kelas dua) tahun 1941, HB Jassin tidak terinformasikan. Ida Nasoetion masuk fakultas sastra karena sesuai dengan jurusannya di KW III yakni afeeling C. Ida Nasution juga sudah sejak masa pendidikan di KW III sudah aktif menulis. HB Jassin di HBS Medan adalah jurusan IPA (afdeeling-B). Apakah HB Jassin masuk di salah satu fakultas-fakulta IPA?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Ida Nasution, Ketua Perhimpunan Mahasiswa UI 1947: Kritikus Pertama Indonesia
Ida Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan Natuna, Raouw yang membuat orang-orang Belanda di Indonesia mengalami sok.
Satu per satu kilang minyak di Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942 kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion berhenti pula kuliah.
Setelah suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda dan juga ada yang diinternir dan berada di kamp penampungan, maka aktivitas perkuliahan tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar kampus.
Sejak perang (1942) banyak sastrawan-sastrawan muda bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Ini berbeda dengan era Hindia Belanda. Pada era pemerintah pendudukan militer Jepang, para pemuda lebih menggebu untuk meraih kemerdekaan. Semangat ini terasa di dalam jiwa raga para sastrawan muda. Sementara itu, karena Jepang memberikan kebebasan penggunaan bahasa lokal (Bahasa Indonesia), yang di satu sisi para pemuda yang berminat sastra tidak perlu membuang waktu untuk belajar bahasa asing untuk menjadi penyair, penulis prosa dan penulis esai dan sebagainya. Di sisi lain dirasakan adanya rasa bebas dan sedikit chauvinism. Empat diantara para pemuda yang menonjol mewakili entitas sastrawan muda Indonesia adalah Chairil Anwar (penyair), Idroes (prosa), Ida Nasoetion (esai) dan Oesmar Ismail (drama).
Seperti dikutip di atas (Wikipedia), HB Jassin pernah bekerja sukarela di kantor Asisten Residen di Gorontalo selama beberapa waktu, hingga kemudian HB Jassin menerima tawaran Soetan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka tahun 1940.
Keutamaan Ida Nasoetion dalam masa ini karena Ida Nasoetion merupakan satu-satunya sastrawan (muda) yang berlabel mahasiswa. Meski kuliah sastra tidak menentu, bukan hanya senin-kemis tapi cukup lama, Ida Nasoetion tetaplah terdaftar sebagai mahasiswa yang ingin menjadi sarjana sastra.
Dengan didukung tingkat inteligensia yang memadai dan berasal dari sekolah elit berbahasa Belanda di Batavia (KW III) kurikulum yang dibuatnya sendiri tidak terlalu sulit untuk dilaksanakannya. Ida Nasoetion dalam keterbatasan system perkuliahan itu dilihatnya sebagai suatu tantangan. Selain tetap belajar sendiri, Ida Nasoetion juga bekerja keras menulis dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media khususnya majalah-majalah sastra. Namanya semakin menggema di kalangan pegiat sastra, apalagi kemampuannya untuk melakukan kritik sastra dan menyajikan esai yang sudah sempurna (mungkin berkat didikan di KWS). Tidak butuh waktu lama, Ida Nasoetion sudah diakui sebagai kritikus sastra dan penulis esai yang berbakat. Adakalanya Ida Nasoetion menulis namanya sebagai samaran dengan nama Ida Anwar (nama ayahnya Anwar Nasoetion). Namun nama samaran ini juga mengindikasikan satu pemikiran tetapi dilakukan dua orang: Ida Nasoetion dan Chairil Anwar.
Para sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era revolusi—lebih nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Diantara empat tokoh muda yang meonjol saat itu, Ida Nasoetion dan Chairil Anwar kerap bekerjasama.
Chairil Anwar (lahir di Medan, 1922) dan Ida Nasoetion yang sama-sama seusia lebih tajam dan mengena. Chairil Anwar sangat piawai dalam puisi-puisinya yang hampir seluruhnya dalam bahasa Indonesia dan hampir semua majalah Indonesia ada karyanya. Semua puisinya itu kemudian dikumpulkan menjadi satu buku yang berjudul ‘Deroe Tjampoer Deboe’. Ida Nasoetion lebih fokus pada pengembangan kritik dan esai dan artikel-artikelnya dikirimkan ke koran dan terutama majalah baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Belanda, seperti Het Inzicht, Siasat, Sadar, Pembaroean dan Opbouw. Ida Nasoetion juga menerjemahkan beberapa buku bahasa Perancis (Malraux). Di dalam tulisan-tulisan Ida Nasoetion seperti pada ‘Indonesie Culturaal’ kata-kata ‘merdeka’ kerap ditemukan.
Dua sastrawan muda ini kerap berinteraksi dan sama-sama memiliki visi dan misi yang sama: bangkit! Keduanya pernah sama-sama mengasuh rubrik ‘Gelanggang’ dalam majalah Siasat. Kedua sastrawan muda yang masih belia (berusia 20 tahunan) tumbuh dan berkembang baik pada era Jepang maupun setelah Indonesia merdeka. Ketika, Kerajaan Jepang menyerah kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, maka situasi dan kondisi berubah, euforia kemerdekaaan hanya sekejap lalu kembali muncul orang-orang Belanda atas naama NICA. Chairil Anwar dan Ida Nasoetion tetap konsisten dengan penanya: cerdas dan tajam. Perkuliahan Ida Nasoetion yang selama ini tidak berjalan lancar justru menjadi lebih kacau balau lagi. Namun demikian tingkat kematangan Ida Nasoetion semakin sempurna—Ida Nasoetion tumbuh dan berkembang justru di luar ruangan kuliah. Sejak kedatangan kembali Belanda/NICA, perang terus terjadi antara tentara Belanda dan pasukan gerilyawan republik, para sastrawan muda tetap terus berpikir dan bekerja serta menghasilkan karya-karya. Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat).
Ida Nasoetion berada dalam situasi dilemma: di satu pihak jiwa revolusioner sudah memuncak (sisi republik), di pihak lain suksesi militer/Jepang dengan Belanda/NICA akan membuat perkuliahan di Universiteit van Indonesie akan memungkinkan berjalan normal seperti sediakala (awal pendiriannya tahun 1941).
Ketika situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion langsung sumringah, sebab ada kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946).
Saat mana orang-orang Belanda/NICA sudah mulai aktif menata kembali kondisi ke situasi sebelum perang (sebelum pendudukan militer Jepang), orang-orang Belanda melihat potensi sejumlah individu orang Indonesia diantaranya Ida Nasoetion. Oleh karena Ida Nasoetion piawai bahasa Belanda dipromosikan oleh penerbit majalah opbouw (pembangunan) dan cultuural (kebudayaan). Ida Nasoetion direkrut menjadi anggota dewan redaksi Het Inzicht dan Ida Nasoetion juga menjadi anggota staf redaksi majalah Opbouw yang ketuanya seorang guru besar Belanda, Prof Dr RF Beerling (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia 09-05-1947).
Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion (jurusan sastra) bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik melihat celah perjuangan di dari dalam kampus dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut yang berada di bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.
Belum genap satu semester Ida Nasoetion menjabat persiden PMUI, kabar buruk telah datang menimpanya. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-04-1948 melaporkan Ida Nasoetion hilang. Dalam berita itu dinyatakan sebagai berikut: ‘seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasution hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi’.
Sementara itu, koran Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 05-04-1948 memberitakan sebagai berikut: ‘Sejak 23 Maret, seorang mahasiswa Indonesia Ida Nasution menghilang. Pada tanggal itu mereka ke Tjigombong untuk menghabiskan beberapa waktu di danau Tjigombong (kini, danau Lido). Namun, Ida Nasoetion yang akan kembali pada hari yang sama, tetapi hilang entah dimana. Apakah diculik?’
HB Jasin: Menjadi Kritikus Sastra Indonesia Terkenal
Nama HB Jassin cukup lama tidak terinformasikan (sejak 1939). Sejak Ida Nasoetion, yang terpilih sebagai ketua Perhimpoenan Mahasiswa Universitas Indonesia, menghilang (diculik intelijen Belanda?), nama HB Jassin mulai intens terinformasikan. Ini bermula dari iklan majalah Mimbar Indonesia yang dimuat pada surat kabar Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 15-11-1947. Disebutkan dalam edisi perdana majalah terdapat salah satu artikel yang ditulis oleh HB Jassin dengan judul ‘Walujati’. Oleh karena judulnya singkat dan hanya satu kata, apa yang menjadi isinya sulit diinterpretasi. Artikel lainnya ditulis antara lain Dr DS Nauli dan Prof. Soepomo,
Mimbar Indonesia adalah majalah orang-orang Republiken. Pada daftar redaksi terdapat nama-nama Soekardho Wirjopranoto, Prof Mr Dr Soepomo dan Andjar Asmara. Majalah diterbitkan oleh Jajasan Dharma (Penerangan Indonesia( yang diketuai oleh Ir Pangeran Moh. Noor Disebutkan majalah ini terbit dua minggu sekali yang menyajikan bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia. Alamat administrasi di jalam Tjikini 31.
Nama HB Jassin muncul kembali pada majalah Orientale, cultureel maandblad, No 10, Agustus 1948 yang memberi kata pengantar pada beberapa cerpen karya sastrawan generasi muda Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa HB Jasin sudah mendapat tempat diantara orang-orang Belanda peminat sastra. Tentulah HB Jassin diberi tempat untuk mengantarkan cerpen-cepen Indonesia yang dimuat pada Orientale memiliki kapabilitas untuk itu. Hal serupa ini pada tahun sebelumnya Ida Nasoetion direkruet sebagai anggota redaksi majalah Opbouw.
Tampaknya HB Jasin sudah menempati posisi yang sebelumnya dimiliki oleh esais Indonesia terkemuka Ida Nasoetion. Namun sayang satu dari sastrawan muda Indonesia yang sangat potensial telah tiada: Ida Nasoetion (hilang pada Maret 1948 diduga kuat diculik dan dibunuh intel Belanda/NICA). Kehadiran HB Jassin menjadi penerus eksistensi kritik dalam dunia sastra Indonesia (hingga dewasa ini). Sastrawan muda Indonesia yang telah tiada berikutnya adalah Chairil Anwar yang pernah menjadi rekan Ida Nasution dalam mengasuh rubrik sastra Gelanggang pada majalah Siasat.
Ida Nasoetion dapat dikatakan sebagai yang pertama dalam urutan esais Indonesia (kritik) dan Chariril Anwar untuk bidang puisi modern. Dua yang pertama telah tiada.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar