Kamis, 30 Desember 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (325): Pahlawan Indonesia Tadjuddin Noor, Borneo; Indische Vereeniging di Leiden, Volksraad di Batavia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pahlawan Indonesia lainnya dari Kalimantan Selatan adalah Tadjoeddin Noor lahir di Pegatan. Tadjoeddin Noor adalah salah satu dari dua yang bertma dari pulau Borneo studi ke Belanda. Di Belanda Tadjoeddin Noor bergabung dengan para nasionalis Indonesia yang tergabung dalam Perhimpoenan Indonesia. Tadjoeddin Noor adallah nasionalis sejati Indonesia.

Tadjoeddin Noor (lahir 16 April 1906) adalah seorang politikus dan nasionalis Indonesia. Dia adalah wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sementara antara tahun 1950 dan 1956, dan memimpin legislatif Negara Indonesia Timur (NIT). Noor menjadi pendukung gerakan republik di Indonesia Timur. Ia menjadi senator setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, dan terus aktif dalam politik selama tahun 1950-an sebagai anggota Majelis Konstitusi. Tadjoedin Noor lahir di Pegatan. Ia studi hukum di Universitas Leiden. Setelah lulus dari Leiden, Noor mulai bekerja sebagai pengacara di Banjarmasin. Ia bekerja di sana antara tahun 1936 dan 1939. Mulai Juli 1939 hingga invasi Jepang ke Hindia, ia menjadi anggota Volksraad. Di dalam Volksraad, ia adalah anggota dari fraksi Nasionalis yang dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin. Pada tahun 1941, ia dilaporkan bergabung dengan konspirasi kolom kelima Jepang untuk menyabotase pertahanan Hindia untuk invasi yang akan datang, bersama dengan nasionalis lain seperti Achmad Soebardjo dan Alexander Andries Maramis.,sabotase akhirnya tidak diperlukan. Setelah Jepang menyerah, Noor kembali menjadi pengacara untuk beberapa waktu di Makassar. Setelah Ratulangi dihakimi oleh pasukan Belanda yang kembali, Noor (yang telah ditunjuk oleh kaum nasionalis di Jawa sebagai wakil gubernur republik Sulawesi menjadi pemimpin politik de facto gerakan kemerdekaan Indonesia di Sulawesi. Ia juga ketua Partai Nasional Indonesia di Makassar. Selama Konferensi Denpasar tahun 1946, yang dihadiri Noor, ia dianggap sebagai tokoh kunci dalam memperjuangkan perjuangan nasionalis/republik. Belakangan bulan itu, Noor mencalonkan diri sebagai salah satu dari dua calon kepala negara Negara Indonesia Timur yang baru dibentuk, tetapi kalah tipis dari Tjokorda Gde Raka Soekawati (33–36) setelah tiga putaran pemungutan suara. Setelah kekalahannya, Noor mencalonkan diri sebagai Ketua legislatif negara bagian yang baru, kali ini mengalahkan kapten KNIL Ambon Julius Tahija 40–25. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pahlawan Indonesia Tadjoeddin Noor dari Kalimantan Selatan? Seperti disebut di atas, Tadjoeddin Noor adalah nasional Indonesia sejati. Lalu bagaimana sejarah pahlawan Indonesia Tadjoeddin Noor? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia Tadjoeddin Noor di Borneo: Indische Vereeniging di Belanda hingga Volksraad di Batavia

Tadjoeddin Noor adalah seorang republiken sejati. Lahir  di Pegatan, Borneo, sejarahnya bermula di Djogjakarta. Tadjoeddin Noor lulus sekolah menengah (AMS) di Djogjakarta pada tahun 1926 (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 21-06-1926). Tadjoeddin Noor adalah orang biasa, berperilaku seperti orang kebanyakan, sederhana. Uniknya, setelah lulus AMS di Djogjakarta berangkat studi ke Belanda dengan cara yang tidak biasa.

Saat Tadjoeddin Noor berangkat, hanya abangnya K Adjaib yang tinggal di Bandjarmasin yang mengetahui keberangkatan sang adik dan kemudian memberitahu ke seorang koresponden di Bandjarmasin yang lalu pesan itu dikirim via telegram ke surat kabat De Locomotie di Semarang. Untungnya para redaktur, percaya dan memuatnya (lihat De locomotief, 22-09-1926). Isi suratnya kira-kira sebagai berikut: Tadjoeddin Noer berangkat ke Belanda untuk studi hukum, dia telah memiliki izajah AMS dan merupakan orang Borneo pertama yang mengikuti studi universitas di Belanda.

Tidak ada nama Tadjoeddin Noor di dalam perusahaan pelayaran Belanda. Oleh karena itu tidak ditemukan perjalanannya ke Belanda pada manifesr kapal di surat kabar. Ini juga tidak biasa. Besar dugaan tidak menggunakan kapal jarak jauh tetapi beberapa kali melakukan transit.

Lalu kemudian diketahui Tadjoeddin Noor sudah di Genoa (Italia) dan akan berangkat ke Belanda sebagaimana telegramnya yang dimuat Bataviaasch nieuwsblad, 09-06-1927.  Dalam surat itu ada indikasi Tadjoeddin Noer telah dari Mekkah (besar dugaan haji atau umroh) dan tidak lupa menghimbau para siswa datang ke Belanda untuk studi daripada duduk di atas uang. Redaktur berkomentar bahwa Tadjoeddin Noor adalah orang yang sederhana yang menghargai pengetahuan Eropa yang dilandasi dengan iman yang kuat.        

Tadjoeddin Noor diterima di sekolah hukum di Universiteit te Leiden. Pada tahun 1928 lulus ujian kandidat (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 18-05-1928). Disebutkan di Universiteit te Leiden lulus ujian kandidat Indisch recht, Tadjoeddin Noor di Den Haag.

Oleh karena belum ada siswa dari Borneo yang studi ke Belanda, lalu melalui siapa Tadjoeddin Noor mendapat informasi tentang studi di Belanda? Besar dugaan para seniornya dari AMS Djogjakarta yang telah lebih dahulu studi di Belanda. Para senior ini tergabung dalam organisasi mahasiswa di Belanda, Perhimpoenan Indonesia yang beralamat saat ini Den Haag. Organisasi ini didirikan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Leiden pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging. Soetan Casajangan datang ke Belanda tahun 1905 yang mana saat itu mahasiswa pribumi baru satu orang yakni Raden Kartono (abang RA Kartini). Beberapa minggu setelah di Belanda Soetan Casajangan menulis artikel di majalah Bintang Hindia yang isinya menghimbau siswa di Hindia datang studi di Belanda. Soatan Casajangan juga menambah tip tentang persiapan maupun selama pelayaran serta berbagai unioversitas yang dapat dimasuki di Belanda. Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi sudah ada 20an orang yang dengan situasi dan kondisi itu Soetan Casajangan berinisiatif mendirikan Indische Vereeniging, Pada tahun 1921 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesiasch Vereeniging yang lalu tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah lagi namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia (masih eksis hingga ini hari).

Keberhasilan Tadjoeddin Noor di Belanda telah membuat, sang abang K Adjaib berniat melanjutkan studi hukum di Belanda. Ini dapat dibaca pada surat kabar De locomotief, 14-01-1929. Disebutkan, kami diberitahu bahwa K Adjaib, adjuct coomies di kantor residentie di Bandjermasin, akan pergi ke Belanda pada kuartal pertama tahun ini untuk studi hukum di Leidsche Hogeschool. Dengan demikian ia akan menjadi siswa Borneo kedua di Belanda; yang pertama adik dari K Adjaib yaitu Tadjoeddin Noor sudah beberapa tahun studi di Rechtshoogeschool dan sebentar lagi akan mendapat gelar sarjana hukumnya. K Adjaib sendiri menyelesaikan pendidikan OSVIA di Serang.

K Adjaib diketahui berangkat pada bulan Mei (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-05-1929). Disebutkan kapal ss Tjerimai berangkat dari Batavia tanggal 8 Mei dengan tujuan akhir Rotterdam dimana salah satu penumpang adalah Koemala Adjaib yang akan turun di Singapore. Besar dugaan Koemala Adjaib adalah abang dari Tadjoeddin Noor. Yang diduga akan mengikuti rute yang ditempuh dari Singapore ke Jeddah, lalu dari Jeddah ke Genoa. Sebagaimana diketahui wilayah Arab dan Mesir di bawah yurisdiksi Inggris dimana terdapat pelayaran reguler antara Jeddah dan Singapore dengan kapal-kapal yang lebih kecil (dan tentu saja ongkosnya lebih murah). Kapal-kapal Belanda tidak singgah di Jeddah tetapi di Port Said (terusan Suez, Mesir/Inggris). Dari Genoa biasanya melalui Marseille ke Belanda dengan menggunakan kereta api trans-Eropa. Bagaimana hasil studi K Adjaib ke Belanda tidak terinformasikan. Yang jelas pada tahun 1932 K Adjaib diketahui dalam perjalanan pulang dari Belanda ke tanah air (lihat Algemeen Handelsblad, 07-09-1932). Disebutkan kapal ms Sibajak berangkat dari Rotterdam tanggal; 7 September dengan tujuan akhir Batavia dimana salah satu penumpung dicatat dengan nama Koemala Adjaib Noor, Nama-nama pribumi dalam manifes kapal Sibajak ini adalah Bambang Soeparto. Dalam hal ini K Adjab tidak terasing dalam pelayaran yang memnutuhkan hampir satu bulan lamanya. Kapal Sibajak yang ditumpangi K Adjaib akan tiba di Batavia pada tanggal 5 Oktober (lihat Soerabaijasch handelsblad, 04-10-1932).

Tadjoeddin Noor lulus mendapat gelar sarjana hukum (Mr) tahun 1934 (lihat De standaard, 13-07-1934). Disebutkan di Leiden lulus ujian sarjana hukum Indisch recht Santoso Wijodihardjo dan Tadjoeddin Noor. Beberapa bulan sebelumnya diberitakan lulus ujian doktor (Ph.D) di Universiteit te Leiden, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap' (lihat Algemeen Handelsblad, 09-12-1933). Soetan Goenoeng Moelia adalah doktor Indonesia yang ke-25 (kelak menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua menggantikan Ki Hadjar Dewantara).

Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913 di Univ. Leiden. Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) di luar negeri baru sebanyak 25 orang dan hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga Nasution di Utrecht.  Daftar lengkapanya adalah sebagai berikut: (1) Husein Djajadiningrat (Indologi, 1913); (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (6) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) JA Latumeten (medis, 1924); (8) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (9) R. Soesilo (medis, 1925); (10) HJD Apituley (medis, 1925); (11) Soebroto (hukum, 1925); (12) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (13) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (14) Achmad Mochtar (medis, 1927); (15) Soepomo (hukum, 1927); (16) AB Andu (medis, 1928); (17) T Mansoer (medis, 1928); (18) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (19) MH Soeleiman (medis, 1929); (20) M. Antariksa (medis, 1930); (21) Sjoeib Proehoeman (medis, 1930); (22) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (23) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (24) Ida Loemongga Nasution (medis, 1931); (25) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Jumlah doktor terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling (kabupaten) Padang Sidempoean, Tapanoeli Selatan.

Kapan Mr Tadjoeddin Noor kembali ke tanah air tidak terinformasikan. Seperti keberangkatannya ke Belanda tempo hari pada tahun 1927 tidak terinformasikan, saat kedatangan kembali ke tanah air tidak terinformasikan. Benar apa yang dikomentari oleh surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 09-06-1927 bahwa Tadjoeddin Noor adalah orang yang sederhana yang menghargai pengetahuan Eropa yang dilandasi dengan iman yang kuat. Tadjoeddin Noor baru diketahui sudah berada di tanah air pada tahun 1936 (lihat De koerier, 16-01-1936). Disebutkan di R.v.J (Dewan Kehakiman) Soecabaja telah diangkat pengacara Mr Raden Soupangkat, Mr Mas Muljadi Dwidjodarmo, Mr Tadjoeddin Noor dan Mr Iman Soedjahri.

Pada tahun 1937 K Adjaib diketahui lulus ujian kandidat ekonomi di Rotterdam (lihat Haagsche courant, 22-06-1937). Disebutkan di Nederlannd Handel Hoogeschool te Rotterdam lulus ujian kandidat pada bidang handelswetenschap, Koemala Adjaib Noor. Seperti disebut di atas, K Adjaib berangkat ke Belanda tahun 1929 tetapi kembali pada tahun 1932. Oleh karena saat itu K Adjaib lulusan OSVIA (setingkat MULO) besar dugaan saat itu K Adjaib masih orientasi sambil belajar bahasa Belanda atau mengikuti ujian persaman MULO. Lalu setelah kembali ke tanah air melanjutkan studi ke AMS afdeeling A. Dengan beslit AMS K Adjaib kembali ke Belanda dan diterima di Handelschool Rotterdam pada tahun 1936 (dan kemudian lulus ujian kandidat pada tahun 1937). Lulusan dari sekolah tinggi ekonomi Rotterdam yang terkenal adalah Mohamad Hatta (lulus 1930). Selain K Adjaib, yang sedang mengikuti studi di Handelsschool Rotterdam antara lain Soemitro Djojohadiekoesoemo (masuk 1935, lulusan HBS di PHS Batavia). Seperti kita lihat nanti Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo di universitas yang sama di Rotterdam meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang ekonomi tahun 1943 (lihat Algemeen Handelsblad, 13-03-1943). Soemitro Djojohadikoesomo kini lebih dikenal sebagai ayah dari Prabowo Soebianto.

Pada tahun 1937 Mr Tadjoeddin Noor tunangan (lihat De Indische courant, 21-09-1937). Disebut di dalam iklan tunangan Irene Irsan (Lawang) dengan Mr Tadjoeddin Noor (Badjarmasin). Lawang berada di Malang, Oost Java. Pernikahan baru dilakukan pada tanggal 26 Februari 1938 di Lawang (lihat De Indische courant, 28-02-1938). Dalam berita pernikahan ini disebutkan Mr Tadjoeddin Noor kini sebagai pengacara di Bandjarmasin. Di Banjarmasin Mr Tadjoeddin Noor terpiliha menjadi anggota dewan kota (gemeentearaad) Bandjarmasin (lihat  De Indische courant, 09-08-1938). Disebutkan Mr Tadjoeddin Noor dari partai Parindra.

Partai Parindra (Partai Indonesia Raja) didirikan pada tahun 1935 sebagai bentuk proses fusi Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang dipimpin Dr Soetomo dengan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo (yang didirikan oleh Dr Soetomo dkk tahun 1908). PBI sendiri didirikan di Soerabaja pada tahun 1930 oleh Dr Soetomo, Radjamin Nasoetion dkk yang pada tahun itu mencalonkan Radjamin Nasution sebagai kandidat tunggal dari PBI ke dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Berhasil dan tetap menjadi anggota dewan hingga 1938 dan kemudian diangkat sebagai anggota Volksraad untuk penggati. Dr Soetomo dan Radjamin Nasution pernah sama-sama satu kelas di STOVIA dulu. Saat ini Radjamin Nasution adalah kepala bea dan cukai di Soerabaja. Kelak Radjamin Nasution adalah wali kota pribumi pertama Kota Soerabaja (pada era pendudukan militer Jepang dan pada era RI, 1945). Yang juga termasuk anggota Parindra adalah Parada Harahap dan MH Thamrin. Sebagaimana diketahui Parada Harahap adalah inisiator pendirian federasi organisasi kebangsaan pada tahun 1927 dengan nama PPPKI (Permofakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia). Dalam pembentukan itu ketua terpilih adalah MH Thmarin dan sebagai sekretaris adalah Parada Harahap (Sumatranen Bond). Pada saat pembentukan itu turut dihadiri Dr Soetomo, mantan ketua Indische Vereeniging di Belanda 1921 mewakili Studieclub di Soerabaja dan Ir Soekarno mewakili Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) Bandoeng. Dalam Kongres PPPKI yang diintegrasikan dengan Kongres Pemuda 1928, ketua panitia kongres PPPKI adalah Dr Soetomo.

Dengan modal anggota dewan kota dari Parindra, Mr Tadjoeddin Noor dicalonkan sebagai anggota dewan pusat Volksdraad (lihat De Sumatra post, 17-01-1939). Disebutkan pada putran akhir hanya tinggal dua kandidat untuk satu kursi di dapil Borneo yang bersaing dengan Mohamad Hanafiah. Anggota Volksraad sebelumnya dari dapil Borneo adalah Ir Ir Mohamad Noor (dua periode sejak 1931).Sebelum mengerucut menjadi dua kandidat, Ir Mohamad Noor (incumbent) tergusur. Akhirnya diketahui Mr Tadjoeddin Noor telah berhasil menjadi anggota Volksraad dari dapil Borneo (lihat De Locomotief, 13-07-1939).

Seperti sebelumnya Ir Mohamad Noor tergabung dalam fraksi nasional (pribumi yang berafiliasi konstituen penduduk pribumi secara nasional). Dalam fraksi nasional ini terdapat Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dari dapin Oost Sumatra (periode yang keempat) dan Dr Abdoel Rasjid Siregar (luusan STOVIA) dari dapil Noord Sumatra (Tapanoeli dan Atjeh) untuk periode yang ketiga. Mangaradja Soangkoepon juga berasal dari partai Parindra. Mangaradja Soangkoepon adalah generasi awak Indische Vereeniging yang berangkat studi ke Belanda tahun 1910. Dalam hal ini akan ketemu antara senior dan junior mantan Indische Vereeniging.

Pada saat ini eskalasi politik semakin meningkat antara yang mempertentangkan pihak Belanda dan pihak Indonesia, Pada persidangan bulan Juli terjadi perdebatan yang sangat sengit antara kedua belah pihak dalam pembahasan perubahan undang-undang pertahanan (lihat Deli courant, 13-07-1939). Disebutkan Wirjopranoto menyatakan anggaran pertahanan haruslah dibiayai oleh Belanda sendiri; Mohamad Jamin pribumi bukan sasaarn perlindungan. Mr Tadjoeddin Noor menyatakan daripada menghabiskan anggaran pertahanan lebih baik digunakan untuk yang lebih berguna seperti pemberantasan buta huruf sebab sia-sia biaya untuk pertahanan sementara wilayah Indonesia terbuka dan mudah diagresi asing. Boleh jadi anggota senior dari pribumi Magaradja Soangkoepon sumringah melihat dan mendengar para anggota dewan baru yang masih muda-muda.

Pada berita lain edisi surat kabar ini juga disebutkan bahwa nama fraksi Nasional yang selama ini ada (sejak periode lalu) sudah diubah dengan nama fraksi Nasional Indonesia (ada penambahan nama Indonesia, terkesan lebih kencang). Ini disebutkan sebagai fraksi baru yang boleh jadi pemekaran dari fraksi Nasional. Fraksi baru Nasiuonal Indonesia terdiri dari anggota dewan yang lebih revolusioner yang terdiri hanya empat orang saja, yakni Managaradja Soangkoepon sebagai ketua, Mohamad Jamin sebagai sekretaris dan anggota Dr Abdoel Rasjid Siregar dan Mr Tadjoeddin Noor. Tujuan fraksi baru ini (Nasional Indonesia) adalah untuk mendukung upaya Indonesia merdeka. diselenggarakan secara demokratis. Program lengkap sudah dipersiapkan yang meliputi mendukung pembangunan yang harmonis antara Jawa dan Luar Jawa dengan menghilangkan rasa hormat yang tidak diinginkan antara bagian yang sama-sama berhak. Catatan: Mangaradja Soangkoepon adalah abang dari Dr Abdoel Rasjid Siregar (berasal dari dapil yang berbeda).

Pembentukan fraksi baru di Volksraad dengan nama Nasional Indonesia (yang dibedakan dengan fraksi Nasional) menjadi heboh dan viral di pers pribumi. Apa yang terjadi di Volksraad telah menarik perhatian rakyat banyak. De locomotief, 19-07-1939 mengutip salah satu surat kabar pribumi Pemandangan, sebagai berikut:

‘Menyusul perpecahan kelompok Inheemsche (pribumi) di Volksraad menjadi dua kelompok yaitu Kelompok Nasional yang terdiri dari MH Thamrin, Mochtar, Otto Iskandar di Nata, Soeroso, Soekardjo dan Lapian dan Kelompok Nasionalis Indonesia yang terdiri dari Mohamad Jamin, Abdoel Rasjid, Soangkupan dan Tadjoeddin Noor, Pemandangan (Batavia) mencatat bahwa tidak semua divisi harus berarti divisi, apalagi fragmentasi. Posisi yang diambil oleh kedua kelompok ini sangat beralasan dan logis. Keikutsertaan Thamrin, Soekardjo, Soeroso dan Otto Iskandar di Nata dalam Grup Nasional cukup bisa dijelaskan, karena mereka adalah laki-laki partai. Meskipun ada juga kasus luar biasa! Wiwoho yang merupakan anggota PII bukan merupakan anggota Kelompok Nasional. Soangkupon, Rasyid, Yamin dan Tadjoeddin Noor tidak berpesta, tetapi lebih memilih bersatu dalam kelompok Nasionalis Indonesia daripada dalam Kelompok Nasional. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Pedjambon (gedung Volksraad) tidak bisa disamakan dengan perpecahan, tetapi merupakan peristiwa yang mengandung benih penyucian. Kami sendiri yakin bahwa Thamrin dan Yamin, meski terbagi dalam Volksraad, memiliki kesadaran yang cukup akan perlunya kerja sama di luarnya. Pejuang muda Jamin yang diilhami oleh semangat muda memiliki tugas berat untuk menunjukkan kemampuannya di Volksraad, agar bisa berdiri di samping atau di atas Thamrin. Jika hal ini tercapai, maka keberadaan ‘kelompok’ baru tersebut bukanlah suatu bahaya, melainkan suatu kebahagiaan bagi pergerakan nasional secara keseluruhan. Lagi pula, yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya satu Thamrin, tetapi dalam perjuangannya untuk kemajuan rakyat banyak dibutuhkan setidaknya selusin, seratus, ya, seribu angka, di luar Thamrin’.

Fraksi/kelompok Nasional Indonesia ini menjadi sangat vokal dan melancarkan sejumlah mosi dalam sidang-sidang yang berbeda seperti mosi untuk menghilangkan hukum pidana bagi redaktur surat kabar jika ada artikel atau berita yang terkena delik pidana. Selama ini, setiap delik pers apa pun isi berita artikel yang jadi sasaran tembak KUHP adalah kepala redaktur dan redaktur yang harus diberhentikan pada pada pers Eropa tidak demikian. Masalah amandemen undang-undang anggaran pertahanan terus dihalangi oleh fraksi yang benar-benar Indonesia ini. Sebagaimana waktu terus berjalan hingga akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada pendudukan militer Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.

Lantas bagaimana dengan Koemala Adjaib Noor di Belanda Sejak lulus ujian kandidat tidak terinformasikan. Besar dugaan K Adjaib tetap lancar studi. Pada bulan Mei 1940 Kerajaan Belanda diduduki oleh militer Jerman. Meski keluarga kerajaan dan sejunlah pejabat tinggi melarikan diri ke Inggris tetapi kebijakan pemerintahan militer Jerman terus mendorong semua aktivitas berjalan normal termasuk di lingkungan pendidikan. Oleh karena perkuliahan K Adjaib tidak terputus dan berlanjut hingga lulus. Sebagaimana kita lihat nanti Koemala Adjaib Noor telah bergelar Drs (yang setara dengan Mohamad Hatta). Pada era pengakuan kedaulatan Indonesia, pada Kabinet yang dipimpin oleh Perdanaan Menteri Boerhanoeddin Harahap, junior dari Mangaradja Soangkoepon, Drs Koemala Adjaib Noor diangkat sebagai Menteri Negara bidang perekonomian bersama Abdoel Hakim Harahap sebagai Menteri Negara bidang Pertahanan. Entah kebetulan, nama gelar ayah dari Boerhanoeddin Harahap adalah Soetan Koemala. Ajaib, bukan? Pada saat ini adik K Adjaib Noor adalah Wakil Ketua Parlemen. Dua yang pertama dari Bornoe studi ke Belanda, kini dua nama penting di kancah nasional berasal dari Borneo/Kalimantan. Ajaib, bukan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mr Tadjoeddin Noor: Pendudukan Jepang, Perang Kemerdekaan dan Pengakuan Kedaulatan Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar