*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Jauh sebelum pejuang-pejuang Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda mengusung kemerdekaan Indonesia, orang-orang Belanda sendiri sudah ada yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia (baca: Hindia). Pejuang itu umumnya adalah orang Indo-Belanda (orang Belanda lahir di Hindia). Kita harus ingat kembali nama-nama Indo-Belanda, EFE Douwes Dekker (kelahiran Pasoeroean) dan HJ van Mook (kelahiran Semarang). Jauh sebelum mereka sudah ada antara lain RA Eekhout di Soekaboemi.
Lantas bagaimana sejarah orang-orang Indo berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Seperti disebut di atas, jauh sebelum pejuang Indonesia sudah ada orang Indo yang berjuang untuk kemerdekaan Hindia. Lalu bagaimana sejarah orang-orang Indo berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Perjuangan Kemerdekaan Hindia; Orang Indo Ingin Pisah Belanda
Tidak ada orang Belanda membela orang Indonesia (baca: pribumi) hingga muncul Edward Douwes Dekker (1842-1843). Edward Douwes Dekker mengadvokasi dan membela penduduk di Angkola Mandailing. Mengapa? Nah. Itu dia. Perjuangan Edward Douwes Dekker alias Multatuli ini kemudian diteruskan oleh keponakannya EFE Douwes Dekker alias Dr Setia Budi.
Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di (Afdeeling) Angkola Mandailing pada tahun 1840. Namun situasi cepat berubah, Pemerintah Hindia Belanda mengadopsi Koffiestelsel di Jawa di wilayah Angkola Mandailing. Para pemimpin lokal dan penduduk melakukan pemberontakan. Mulai banyak korban, pemuda Edward Douwes Dekker yang belum lama diangkat sebagai Controleur tahun 1842 dan ditempatkan di (afdeeling) Natal tidak tahan melihat keadaan. Edward Douwee Dekker mengadvokasi penduduk Angkola Mandailing yang mulai eksodus dari Angkola Mandailing dan menghindar ke Natal. Gubernur Sumatra’s Westkust Kolonel AV Michiels menganggap Edward Douwes Dekker telah menyimpang, membela penduduk dan mengkritisi otoritas pemerintah. Yang eksodus ke Semenanjung tidak kembali lagi. Yang eksodus ke Natal, sebagian mengikuti jejak ke Semenanjung (hal itulah mengapa kini banyak populasi orang asal Angkola Mandailing di Malaysia khususnya di Selangor). Akibat perbuatannya, Edward dicipot dari jabatan Controleur tahun 1843 dan dilakukan tahanan kota di Padang selama satu tahun).
Edward Douwes Dekker dapat dikatakan orang Belanda pertama yang berhati mulia kepada penduduk pribumi. Sebagian kisah novel Edward Douwes Dekker berjudual Max Havelaar (rerbit tahun 1860) berdasarkan pengalaman advokasi terhadap penduduk Angkola Mandailing di Natal, Edward Douwes Dekker menjalankan suara hatinya, bukan menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda, tetapi menentang pejabat yang korup (menindas penduduk demi motif keuntungan kolonial).
Pada tahun 1881 Reneke Adriaan Eekhout Jr seorang perwira kelahiran Batavia mengundurkan diri angkatan laut (lihat Algemeen Handelsblad, 14-03-1881). Pada tahun ini RA Eekhout membuka perkebunan di Baros, Soekaboemi. Apakah ketertarikan RA Eekhout bekerja sebagai swasta menjadi alasan dirinya mengundurkan diri dari angkatan laut? Tampaknya tidak, tetapi lebih pada rasa cinta tanah air (sebagai Indo yang lahir di Hindia Belanda). RA Eekhout bersama dengan teman-temannya di bidang pertanian mulai menkritisi peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama yang terkait dengan pengabaian hak-hak para planter (lihat De locomotief, 17-09-1883). Dalam perkembangannya, abang RA Eekhout juga diketahui GW Eekhout telah mengundurkan diri sebagai pejabat tinggi di Batavia. GW Eekhout kemudian membuka lahan di Djampang Tengah (dekat Baror). Mengapa GW Eekhout mengundurkan diri sebagai pejabat? Kasusnya sama dengan adiknya RA Eekhout yang mengundurkan diri dari angkatan laut. GW Eekhout tidak puas dengan kebijakan dan para pejabat pemerintah yang cenderung korup. GW Eekhout juga lahir di Batavia.
Pada tahun 1887 muncul satu petisi dari 726 landeigenaars, administrateurs, fabrikanten, handelaars en particulieren yang menginginkan pemisahan tanah air (moederland) dan koloni dan membentuk pemerintahan sendiri dengan dasar yang kira-kira sama dengan yang menjadi dasar organisasi negara India, eks koloni Inggris (lihat Algemeen Handelsblad, 30-06-1887). Dalam daftar orang yang menandatangani petisi ini termasuk GW Eekhout dan RA Eekhout. Dalam daftar ini juga termasuk Dr. L Weissm dokter swasta di Soekaboemi. Boleh jadi karena kaitan tersebut dua bersaudara ini kerap menyampaikan kritik melalui media.
Seperti halnya Edward Douwes Dekker di Natal (1842-1843) yang membela penduduk Angkola Mandailing, petisi 1887 yang dilancarkan oleh orang-orang Indo merupakan yang pertama perlawanan terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan secara kolektif.
Dalam perkembangannya kelanjutan petisi 1887 telah mulai bergeser ke perang opini antar orang Belanda yang Belanda tulen dan Indo Eropa/Belandm. Ini antara lain dapat dilihat pada salah satu artikel opini yang dimuat pada surat kabar Deli courant, 07-12-1898 dengan judul Indo-Europeanen. Artikel itu antara lain menulis tentang Indo Eropa.
‘Kelompok ini disebut Indo-Eropa. Apakah orang Hindiaa yang datang dari Eropa? Apakah ini pembelajaran orang tua Hindia kelahiran Eropa? Apakah mereka umumnya keturunan Eropa lahir di Hindia? Apakah orang-orang Eropa di Hindia yang nenek moyangnya berasal dari Eropa? Apakah mereka, bagaimanapun juga, adalah anak-anak dari seorang Eropa totok dan seorang wanita Pribumi totok? Mari kita lihat kelas yang terakhir, jadi mari kita maksudkan masalah ini secara murni dan hanya kelas yang mengekspresikan setiap keturunan lain dari darah, yaitu kelas yang, menurut pendapat saya, paling membutuhkan dukungan dalam pertempuran untuk sebagian besar dari mereka….Beberapa ingin mendukung pribumi— bahkan indikasi Eropa — bahkan di atas anak Eropa, yang lain, di sisi lain, ingin mengabaikannya sama sekali. Dalam pengertian umum setidaknya — anak-anak asli — mereka dianggap yang ayahnya — yang sebenarnya dituduh — tidak ingin mengakui mereka secara hukum — dan oleh karena itu tidak melihat mereka menurut institusi kami dan termasuk dalam kelas: Eropa. Dari mana hanya muncul kepribadian yang sangat dan sangat baik. Apakah mereka harus disebut tidak bahagia secara umum, namun, tunduk pada keraguan yang sah, kita dapat membayangkan dengan baik bahwa, dengan diet asli yang baik, anak-anak yang sakit akan melewati lebih banyak kecerdasan dan ketajaman, dan bahwa jika mereka dalam kondisi yang baik, masih ada hubungan asli yang sangat dapat dikelola untuk mereka; satu hanya memikirkan banyak taruhan itrie membentang. Di kelas orang Indonesia yang kami maksud, anak kandung, yang sepenuhnya diakui dan disahkan oleh hukum oleh ayah, merupakan bagian yang sangat besar dari masyarakat Hindia kami. Banyak dari mereka tertarik pada hubungan terhormat, kemudian menikah dengan gadis-gadis Eropa, dan dalam prosesnya telah menjadi ayah dari anak-anak yang telah menjadi orang Eropa—dan mereka sepenuhnya termasuk dalam jajaran Indo-Eropa yang ditulis oleh kelas yang disebutkan di atas’..
Dalam polemik yang terjadi, terkesan dikontraskan antara Belanda tulen dan Belanda di Hindia (Indo Eropa). Perbedaan inilah yang adakalanya menyentuh berbagai aspek termasuk dalam produk hukum yang dibuat yang nota bene merugikan orang Belanda dan orang Indo di Hindia,. Hal ini semacam ini sudah muncul sejak 1887 dimana para pengusaha melancarkan petisi kepada pemerintah.
Sebagaimana diketahui orang-orang Eropa datang ke Hindia sejak era Portugis dan semakin meningkat pada era VOC/Belanda. Tak bisa dipungkiri sejak itu banyak orang Eropa yang lahir di Hindia dan orang Eropa menikah dengan orang Hindia. Diantara Gubernur Jenderal VOC ada satu yang kelahiran Hindia (di Ambon). Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal selalu orang Eropa tulen (lahir di Eropa). Terminologi orang Indo Europeanen ini paling tidak sudah diidentiofikasi pada tahun 1859 (lihat Javasche courant, 07-05-1859). Indo Eropa dalam hal ini sebagai kelompok warga, namun terminologinya masih dianggap masih netral. Terminologi ini bahkan digunakan untuk variabel ilmiah seperti memebdakan tingkat kematian pada golongan Eropa/Belanda, golongan Indo Eropa dan golongan pribumi (dan juga golongan Cina). Terminologi Indo Eropa mulai dilihat sebagai variabel politik pada tahun 1890an. Terminologi Indo Eropa (keturunan hasil perkawinan antara orang Eropa/Belanda danm orang pribumi) itu awalnya grup warga antara grup Eropa/Belanda dan grup pribumi. Namun dalam perkembangannya orang-orang Eropa/Belanda yang lahir di Hindia dikelompokkan sebagai orang Indo Eropa. Orang Indo Eropa (campuran) yang meski wajahnya berparas Eropa tetap dianggap sebagai identifikasi Indo Eropa.
Untuk mengantisipasi gejolak yang muncul Pemerintah Hindia Belanda mulai mempratekkan program naturalisasi. Tidak hanya orang Eropa non Belanda, juga orang Asing. Dalam hal ini orang Jepang disetarakan dengan orang Eropa. Orang Cina dan orang pribumi dimungkinkan untuk dinaturalisasi. Orang Indo dengan sendirinya disetarakan dengan orang Eropa. Orang pribumi beragama Kristen diwacanakan setara Eropa, tetapi mendapat penentangan dari pribumi lainnya (karena tidak relevan).
Seorang tokoh pribumi di Padang, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda mengkritik wacana orang pribumi Kristen disetarakan dengan Eropa. Alasannya adalah berlebihan dan sambil mempertanyakan. Bagaimana pemerintah memperlakukan orang Kristen dari Tapanoeli, Ambon dan Minahasa sebagai saudara kami sedangkan mereka sama miskin dan melaratnya dengan kami? Meski kami berbeda agama tetapi kami berkerabat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Indo di Hindia Ingin Pisah dari Belanda: RA Eekhout hingga EFE Douwes Dekker
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar