*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pada masa ini universitas diasosiasikan sebagai badan pendidikan yang terdiri dari sejumlah fakultas dan lembaga lainnya. Fakultas adalah kata lain untuk sekolah tinggi (perguruan tinggi). Dalam hal ini perguruan tinggi (hoogeschool) didirikan sebelum terbentuk universitas. Sedangkan fakultas dibentuk sebagai bagian dari universitas. Pembentukan universitas di Indonesia (baca: Hindia Belanda) baru dimulai tahun 1940 (Universiteit van Nederlansche Indie). Konsep serupa ini juga di beberapa kota di Belanda dapat dikatakan belum lama terbentuk seperti di Rotterdam, Delft, Utrecht dan Wageningen. Sebelum terbentuk universitas di kota-kota tersebut, sudah ada pribumi yang studi.
Lantas bagaimana sejarah pribumi studi di kota-kota Belanda sebelum terbentuknya universitas? Seperti disebut di atas, pembentukan universitas di sejumlah kota di Belanda masih terbilang baru seperti di Rotterdam, di Haarlem, di Delft, di Utrecht dan di Wageningen. Lalu bagaimana sejarah pribumi studi di kota-kota Belanda sebelum terbentuknya universitas? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Pribumi Studi di Kota-Kota Belanda: Latar Belakang dan Para Pionir
Pada awal Pemerintah Hindia Belanda introduksi pendidikan modern (aksara Latin) kepada penduduk pribumi sudah dilakukan. Guru-guru asal Belanda didatangkan dan sekolah-sekolah dasar dididirikan di sejumlah kota utama, seperti di kota Padang sudah ada guru tahun 1821. Namun introduksi yang dilakukan tidak terlalu sukses kalau tidak dapat dikatakan gagal. Para orang tua tidak menganggap penting sekolah dan belum/tidak berguna. Selain jarak tempat tinggal dan sekolah yang jauh, soal keamanan siswa, para orang tua membutuhkan anak dalam membantu pekerjaan keluarga. Seperti itulah situasi awal pendidikan di antara kalangan pribumi.
Bagi golongan Eropa/Belanda pendirian sekolah-sekolah di sejumlah kota utama berjalan sukses. Meski para orang tua berjauhan satu sama lain, pendidikan bagi anak Eropa/Belanda dapat berjalan lancar karena diseleranggarakan dengan asrama. Untuk keluarga yang jauh sekali dan terpemci dari kota utama, para orang tua yang mengajari anak-anak mereka. Tidak terlalu banyak permasalahan pendidikan anak diantara orang Eropa/Belanda. Jumlah sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS) makin banyak dari waktu ke waktu.
Dalam perkembangannya pemerintah terus mendorong penduduk pribumi untuk bersekolah. Lalu dibuat program percepatan pendidikan bagi pribumi yang mana pada tahun 1848 terbit keputusan pendirian sejumlah sekolah pemerintah di berbagai kota dengan mendatangkan guru-guru dan mahasiswa dari Belanda untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan pribumi. Untuk memperbanyak guru-guru pribumi pada tahun 1851 Mr Palmer van Broek mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta. Lalu pada tahun 1856 Residen Padangsche Bovenlanden JAW van Ophuijsen juga mendirikan sekolah guru di Fort de Kock. Meski sekolah guru Soeracarta berjalan dengan baik tetapi pengadaan guru tetap masalah karena guru-guru baru yang dihasilkan tidak banyak relatif dengan jumlah kota-kota utama terutama di Jawa maupun Sumatra. Di wilayah Ambon dan Minahasa sendiri sudah sejak lama penyelenggaraan pendidikan diadakan (yang dijalankan oleh para misionaris).
Pada tahun 1851 pemerintah melalui Militaire Drpartment, sehubungan dengan kebutuhan tenaga kesehatan di wilayah-wilayah epidemik, dididirikan sekolah kedokteran di Batavia. Sekolah itu dibangun di sekitar rumah sakit militer di Weltevreden (kini RSPAD). Jumlah siswa sekolah kedokteran sekita 10 orang per tahun yang diterima. Pada tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Angkola Mandailing (Res. Tapanoeli) diterima bernama Si Asta dan Si Angan. Mereka berdua ini adalah siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran Batavia yang berasal dari luar Jawa. Lamaa studi dua tahun. Pada tahun 1856 dua siswa itu lulus yang mana Dr Asta Nasoetion ditempatkan di Onderafdeeling Mandailing dan Dr Angan Harahap di Onderafdeeling Angkola. Pada tahun 1856, mungkin karena dianggap berhasil, dua siswa asal Angkola Mandailing diterima lagi di sekolah kedokteran tersebut. Demikian seterusnya, sekolah kedokteran tersebut, karena berada di Jawa kemudian lebih dikenal sebagai Docter Djawa School.
Pada tahun 1857 salah satu siswa di Afdeeling Angkola Mandailing, bernama Si Sati, tidak melanjutkan sekolah kedokteran ke Batavia, juga tidak melanjutkan sekolah guru ke Fort de Kock dan Soeracarta, tetapi melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1860 Si Sati alias Willem Iskander lulus ujian di Haarlem dan mendapat akta guru. Setelah mengunjungi berbagai tempat yang penting seperti pabrik, wilayah pertanian dan surat kabar, Willem Iskander pada tahun 1861 kembali ke tanah air. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di kampongnya di Tanobato, onderafdeeling Mandailing (sekolah guru ketiga setelah Soeracarta dan Fort de Kock).
Setelah ada laporan Gubernur Pantai Barat Sumatra, Kepala Inspektur Pendidikan Pribumi CA van der Chijs mengunjungi sekolah guru di Tanobato. Hasil evaluasi van der Chijs terhadap sekolah guru Tanobato cepat tersiar di seluruh Hindia. Disebutkan sekolah guru Tanobato terbilanhg bagus dan terbaik di Hindia karena kurikulumnya sangat memadai. Hal itu membuat heboh di Jawa, sebab dari 26 afdeeling di Jawa baru terdapat sekolah pemerintah di ibu kota 15 afdeeling. Apa yang akan terjadi? Sekolah guru Tanobato tengah mengasuh 24 siswa calon guru yang akan segera memenuhi kampong-kampong di Afdeeling Angkola Mandailing. Sejauh ini (pada tahun 1862 saat Willem Iskander mendirikan sekolah guru) sekolah pemerintah di Afdeeling Angkola Mandailing sudah ada enam buah sekolah (darimana Willem Iskander merekrut lulusan terbaik untuk dididik menjadi guru). Heboh di Jawa karena dipicu sekolah guru Tanobato yang dipimpin Willem Iskander membangkitkan semangat para pegiat pendidikan di Residentie Preanger untuk mendirikan sekolah guru. Lalu pada tahun 1865 di Bandoeng dibuka sekolah guru (sekolah guru keempat).
Sati Nasoetion alias Willem Iskander dapat dikatakan pionier pribumi studi ke Belanda. Semangatnya terbilang luar biasa dan hasilnya nyata. Saat Sati Nasoetion berangkan ke Belanda pada tahun 1857 usianya masih 17 tahun. Afdeeling Angkola Mandailing menjadi jumlah sekolah terbanyak per afdeeling di Hindia Belanda. Faktor ketersedian guru menjadi sangat penting. Semuanya dimulai dari gagasan Sati Nasoetion berangkat studi ke Belanda pada tahun 1857. Sati Nasoetion alias Willem Iskander kelak dikenal sebagai ompung (kakek buyut) Prof Andi Hakim Nasution (Rektor IPB 1978-1987).
Sukses Sati Nasoetion alias Willem Iskander studi ke Belanda, salah satu siswa di Jogjakarta dikirim ke Belanda pada tahun 1864 bernama Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto (cucu dari Soeltan Djogjacarta). Di Belanda, Ismangoen tidak studi keguruan seperti Sati Nasoetion, tetapi mengikuti sekolah umum (ELS hingga HBS). Setelah lulus HBS, pada tahun 1871 Ismangoen ikut ujian ambtenaren Oost Indie (pegawai pemerintah untuk Hindia Belanda). Untuk bagian A dari 54 orang yang mendaftar dan hanya 48 yang mengikuti ujian dimana 29 diantaranya dinyatakan lulus termasuk Ismangoen Danoe Winoto. Salah satu penguji dalam ujian ini adalah FN Nieuwenhuijzen, orang yang membawa Ismangoen ke Belanda pada tahun 1864. Para siswa calon ambtenaar ini akan dididik untuk beberapa lama.
Sementara Ismangoen Danoe Winoto mengikuti pendidikan ambtenaar di Belanda, pada tahun 1874 Willem Iskander berangkat ke Belanda untuk studi yang juga membawa tiga guru muda yakni Barnas Lubis, lulusan Kweekschool Tanobato, Rade Soerono dari Soeracarta dan Raden Ardi Sasmita dari Bandoeng. Ketiga guru muda itu diharapkan akan mendapat akta guru seperti yang diperoleh Willem Iskander pada tahun 1860. Sedangkan Willem Iskander sambil membimbing tiga guru muda mengikuti pendidikan untuk mendapatkan akta guru kepala yang diharapkan nanti menjadi direktur sekolah guru yang akan dibuka tajhun 1879 di Padang Sidempoean (pengganti sekolah guru Tanobato yang telah ditutup karena keberangkatan Willem Iskander). Sementara Willem Iskander dan tiga guru muda tengah studi, pada tahun 1875 Ismangoen Danoe Winoto lulus ujian akhir.
Menteri Koloni mengangkat Ismangoen sebagai pegawai pemerintah di Hindia Belanda berdasarkan beslit tanggal 28 Agustus (lihat Algemeen Handelsblad, 02-09-1875). Namun menjadi heboh di Hindia karema ada aturan Gubernur Jenderal bahwa untuk menjadi pejabat pemerintah hanya diperuntukkan untuk orang Eropa/Belanda. Orang pribumi di Hindia Belanda meski memiliki pendidikan lisensi Eropa/Belanda hanya dapat diangkat di pengadilan (Landraad) atau pejabat di lingkungan penduduk pribumi. Ismangoen Danoe Winoto meradang. Meski demikian Ismangoen Danoe Winoto tetap kembali ke tanah air. Ismangoen Danoe Winoto setelah 10 tahun meninggalkan kampung halaman kembali ke kampung halaman di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto berlayar dengan kapal Amalia (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 20-03-1876). Disebutkan di dalam manifes kapal ini Ismangoen Danoe Winoto tidak sendiri tetapi dengan istri. Ismangoen Danoe Winoto sendiri diberitakan menikah dengan CH van Steeden tanggal 28 Januari di Borculoo (lihat Algemeen Handelsblad, 29-01-1876)
Sati Nasoetion alias Willem Iskander dari Afdeeling Angkola Mandailing Residentie Tapanoeli dan Ismangoen Danoe Winoto dari Residentie Djogjakarta adalah dua pionir pribumi studi ke Belanda.
Pada tahun 1860 Penmerintah Hindia Belanda membuka sekolah menengah (HBS) di Batavia (kelak dikenal Koning Willem III School). Siswa yang diterima adalah lulusan sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS). Lama studi lima tahun. Lulusan HBS dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Pembukaan sekolah HBS ini setelah Willem Iskander studi ke Belanda. Dalam hal ini saat Willem Iskander melanjutkan sekolah keguruan ke Belanda, tingkat sekolah yang ada baru sekolah dasar (sekolah pemerintah bagi pribumi dan sekolah ELS bagi golongan Eropa/Belanda). Pada saat Ismangoen lulus studi di Belanda, pada tahun 1875 dibuka sekolah HBS di Soerabaja dan dua tahun kemudian di Semarang dibuka sekolah HBS. Namun tiga sekolah HBS yang ada ini hanya terbatas bagi siswa Eropa.Belanda. Hal itulah mengapa muncul persoalan tentang Ismangoen yang lulusan sekolah di Belanda dalam penempatan sebagai pegawai pemerintah di Hindia Belanda. Tentu saja tidak ada pribumi yang studi di HBS karena sekolah ELS belum dibuka akses bagi pribumi.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pribumi Studi di Belanda: Sekolah Menengah (Hoogereschool), Sekolah Tinggi/Perguruan Tinggi (Hoogeschool) hingga Terbentuknya Universitas (Universiteit)
Dalam perkembangannya di Hindia Belanda, di sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS) yang terdapat di kota-kota utama, dibukan akses bagi siswa pribumi. Para orang tua tidak perlu lagi mengirim anaknya studi ke Belanda seperti yang dilakukan oleh Ismangoen Danoe Winoto. Meski demikian, guru-guru muda masih ada yang dikirim untuk melanjutkan studi ke Belanda seperti JH Wattimena dari Ambon (lulus di Haarlem tahun 1884). Para lulusan ELS dari golongan pribumi dimungkinkan mengikuti ujian kleine ambtenaar di Hindia dan akan ditempatkan sebagai pegawai pemerintah (PNS). Semakin banyaknya lulusan ELS dari golongan pribumi, lalu kemudian sekolah HBS juga dibuka akses kepada siswa pribumi lulusan ELS.
Salah satu siswa pribumi lulusan ELS yang diterima di sekolah HBS adalah Raden Mas Oetojo di HBS Semarang. Pada tahun 1891 Raden Mas Oetojo lulus ujian akhir di HBS Semarang (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-06-1891). Jika dan hanya jika Raden Mas Oetojo lancar studi, diperkirakan Raden Oetojo diterima di HBS Semarang pada tahun 1886. Sebagaimana diketahui lama studi di ELS selama tujuh tahun. Dalam hal ini besar kemungkinan Raden Mas Oetojo adalah pribumi pertama yang memperoleh pendidikan HBS dan merupakan generasi pertama pribumi diterima di sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS), tidak lama setelah kepulangan Ismangoen studi dari Belanda.
Pada tahun 1896 HBS Semarang mengumumkan hasil ujian akhir, Salah satu yang lulus adalah Raden Sosro Kartono (abang dari RA Kartini). Pada tahun 1896 ini juga Raden Kartono berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Raden Kartono kuliah di Polytechnic di Delft.
Raden Kartono dalam hal ini dapat dikatakan pribumi pertama yang studi di perguruan tinggi (mahasiswa) di Belanda. Namun dalam perkembangannya Raden Kartono studi Indologi di Leiden. Setelah Raden Kartono tidak ada lagi pribumi yang melanjutkan studi ke Belanda hingga Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (lulusan sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean) tahun 1903 yang akan melanjutkan studi keguruan. Soetan Casajangan kemudian diketahui kuliah di Rijks Kweekschool di Leiden.
Polytechnic di Delft dan di Rijks Kweekschool di Leiden adalah perguruan tinggi tingkat diploma. Yang diterima di Polytechnich Delf adalah lulusan HBS sedangkan di Rijks Kweekschool yang diterima adalah lulusan kweekschool seperti yang terdapat di Haarlem. Pada saat ini sekolah poli teknik di Delft belum berbentuk fakultas (hoogeschool). Polytechnich Delf inilah yang kemudian ditingkatkan menjadi dengan nama Technische Hoogeschool te Delft yang terdiri berbagai jurusan (departmen) seperti sipil, mesin, elektro, kimia dan sebagainya. Sementara Rijks Kweekschool masih tetap berstus diploma.
Seperti disebut di atas bahwa di Belanda sudah sejak lama ada universitas (di Amsterdam dam Leiden) yang terdiri dari berbagai hoogeschool/fakulteit.Dalam hal ini universitas terdiri dari banyak fakultas atau hoogeschool. Sedangkan di kota-kota lain belum ada universitas, bahkan belum ada sekolah tinggi (hoogeschool) seperti di Delft, Utrecht, Rottedam dan Wageningen. Gagasan pendirian hoogeschool di Delft baru muncul pada tahun 1904 yang dibicarakan di Tweede Kamer. Teknik di Delft bisa ditingkat hoogeschool tetatpi tidak untuk handel dan landbouw. Paling tahun 1907 Technische Hoogeschool di Delft sudah eksis.
Seperti halnya sekolah tinggi di universitas (Leiden dan Amsterdam) mahasiswa yang diterima di Hoogeschool te Delft adalah lulusan HBS yang terlebih dahulu lulus ujian nasional saringan masuk perguruan tinggi (kedokteran, hukum, sastra dan sebagainya) seperti KJ Leitemia lulus ujian masuk 1910 yang kemudian diterima di TH Delft. Pribumi pertama yang studi di Technische Hoogeschool te Delft antara lain Raden Sarengat, RM Notodiningrat, KJ Leatemia dan RM Soerjowinoto yang keempatnya sama-sama lulus ujian propaedeutisch tahun 1914. Pribumi lainnya yang menyusul di sekolah teknik ini adalah Mohamad Iljas (tahun 1916) yang tiba di Belanda tahun 1913 (lulusan HBS di Batavia).
Sementara itu di Wageningen belum ada Landbouwhoogeschool. Yang ada baru setingkat sekolah menengah (landbouwschool). Pada tahun 1908 RM Oetarjo disebnt lulus ujian transisi dari kelas satu ke kelas dua di Rijks Landbouwschool di Wageningen (lihat Arnhemsche courant, 07-09-1908). Raden Oetarjo sebelumnya diketahui tahun 1907 naik ke kelas tiga di HBS Semarang. Dalam hal ini Oetarjo meneruskan sekolah HBS di Wageningen. Persyaratan masuk di Rijks Landbouwschool di Wageningen adalah harus telah menyelesaikan HBS dua tahun. Yang baru menyelesaikan kelas satu HBS ditempatkan ditingkart persiapan. RM Oetarjo lulus ujian akhir (lihat Arnhemsche courant, 12-07-1910). Para lulusan HBS Landbouwschool Wageningen ini dapat meneruskan pendidikan ke kursus satu tahun (terdiri dari dua jurusan: Belanda dan Hindia Belanda). Pada tahun 1911 RM Oetarjo di Rijks Landbouwschool di Wageningen lulus ujian sertifikat Indische Klasse (lihat Arnhemsche courant, 12-07-1911). Dalam hal ini dapat dikatakan Raden Oetarjo adalah lulusan sekolah pertamian dengan level diploma satu tahun (kelas tertinggi di Wageningen). Sebelum RM Oetarjo studi di Rijks Landbouwschool di Wageningen, pribumi pertama yang sudah ada adalah Baginda Djamaloedin. Pada tahun 1905 Djamaloedin lulus ujian dari kelas persiapan naik kelas satu Rijks Landbouwschool di Wageningen (lihat Algemeen Handelsblad, 19-07-1905). Disebutkan Djamaloedin berasal dari Priaman. Satu kelas dengan Djamaloedin adalah Raden Mas Soemardji berasal dari Kediri. Pada tahun 1906 Baginda Djamaloedin lulus ujian transisi dari kelas satu ke kelas dua (lihat Arnhemsche courant, 13-07-1906). Raden Mas Soemardji juga lulus. Disebutkan Raden Mas Soemardji berasal dari Trenggalek, Kediri. Pada tahun 1907 Baginda Djamaloedin dan Raden Mas Soemardji lulus ujian akhir di Rijks Landbouwschool di Wageningen pada tanggal 4 Juli (lihat Arnhemsche courant, 10-07-1907). Raden Soemardji meneruskan ke diploma satu lulus 1908, sedangkan Djamaloedin tidak terinformasikan apakah melanjutkan ke diploma satu atau tidak. Pada tahun 1911 saat Raden Oetarjo lulus diploma satu, SM Latif lulus ujian masuk sekolah pertanian pemerintah Rijks Landbouwschool di Wageningen (lihat Arnhemsche courant, 17-07-1911). Disebutkan SM Latif ditempatkan di kelas dua. SM Latif sendiri adalah siswa HBS di KW III S Batavia yang meneruskan HBS di Haarlem yang kemudian melanjutkan studi di Rijks Landbouwschool di Wageningen.
Seperti halnya di Wageningen, di Rotterdam sekolah yang ada baru setingkat sekolah perdagangan (Handelschool). Gambaran ini dapat dilihat pada tahun 1911. Segera setelah Soetan Casajangan lulus akta guru MO di Rijks Kweekschool di Leiden tahun 1911 diangkat menjadi guru bahasa Melayu di Handelschool di Amsterdam. Saat ini seorang siswa kweekschool di Jogjakarta Sjamsi Sastra Widagda melanjutkan studi sekolah guru di Haarlem yang langsung dibimbing oleh Soetan Casajangan. Lalu Sjamsi meningkatkan pendidikan program Bahasa Melayu dan Etnografi di Leiden dan lulus bulan Desember 1915. Selanjutnya Sjamsi diangkat menjadi asisten dosen bahasa Melayu di Leiden. Saat inilah Sjamsi mengikuti studi di Handelschool di Rotterdam.
Pada tahun 1916 sekolah tinggi perdagangan dibentuk di Rotterdam. Paling tidak sudah ada dua sekolah perdagangan yang diketahui yakni Handelschool di Amsterdam dimana Soetan Casajangan pernah mengajar (sebelum pulang ke tanah air) dan Handelsschool di Rotterdam. Oleh karen dibukanya Handels Hoogeschool di Rotterdam maka dimungkinkan dapat diterimana lulusa HBS.
Sjamsi juga meneruskan pendidikan keguruannya dan mendapat akta guru LO tahun 1917. Sambil tetap sebagai asisten dosen bahasa Melayu di Leiden, pada tahun 1818 Samsi Sastrawidagda diberitakan lulus ujian di Nederland Handelhoogeschool di Rotterdam (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 29-06-1918). Tidak disebutkan tingkat apa (ujian masuk atau ujian transisi). Samsi Widagda lulus ujian sarjana pada tahun 1923 (lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923).
Seperti halnya di Wageningen, di Utrecht sudah ada sekolah kedokteran hewan Veeartsenschool. Pribumi pertama studi di Utrecht adalah Sorip Tagor Harahap, lulusan Veeartsenschool di Buitenzorg tahun 1912 yang kemudian melanjutkan studi ke Utrecht tahun 1913. Sehubungan dengan pembukaan sekolah tinggi kedokteran hewan di Utrecht Rijks Veeartsenschool, Sorip Tagor melanjutkan studinya. Pada tahun 1920 Sorip Tagor lulus ujian akhir di Utrecht dan mendapat gelar sarjana kedokteran hewan (Dr). Dalam hal ini dapat dikatakan Sorip Tagor Harahap adalah pribumi pertama yang meraih gelar dokter hewan dan Sjamsi Sastra Widagda sebagai pribumi pertama yang berhasil meraih gelar sarjana ekonomi. Untuk sekadar menambahkan Mohamad Hatta yang lulus HBS di PHS Batavia pada tahun 1921 mengikuti langkah Sjamsi melanjutkan studi ke Rotterdam. Demikian juga JA Kaligis yang datang di Belanda tahun 1921 mengikuti langkah Sorip Tagor di Utrecht. Lantas bagaimana dengan sekolah tonggi di Wageningen? Di Groningen dan lainnya?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar